Anda di halaman 1dari 13

1

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Terapi Besi Intravena pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis

Ni Made Nova Andari Kluniari 1 , Yenny Kandarini 2


1
Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar, Bali, Indonesia.
2
Departemen/KSM Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar, Bali, Indonesia
Korespondensi : Ni Made Nova Andari Kluniari/08996110289/
Andarikung@gmail.com

ABSTRACT
Iron deficiency is often observed in patients with chronic kidney disease (CKD)
and is a major cause of hiporesponsiveness to erythropoiesis-stimulating Agents.
To corect iron deficiency anemia, replacement of iron is needed. Iron can be
replaced either by the oral route or by intravenous route. Among CKD patient,
hemoglobin level often affected by Inflammation and infection. Inflammation in
CKD patients, stimulate liver to produce hepcidin. Increased hepcidin levels are
known to block iron absorption from food in the intestines and its release in iron
stores and it is limiting the efficacy of oral iron. To avoid concerns about efficacy
oral iron and medication adherence in threating iron deficiency among CKD
patients require Intravenous iron therapy. The Preparations of intravenous iron
can use to supplement iron are Ferric Carboxymaltose, Ferric Gluconate,
Ferumoxytol, High Molecular Weight Iron Dextran, Low Molecular Weight Iron
Dextran, Iron Isomaltoside and Iron Sucrose. Intravenous iron therapy has been
associated with infrequent but severe adverse reaction.

Keywords: Intravenous Iron, Chronic Kidney Disease, Hepcidin


2

PENDAHULUAN
Fungsi ginjal adalah untuk filtrasi darah, ekskresi produk sisa dan mengatur
keseimbangan cairan serta elektrolit. Filtrasi terjadi pada glomerulus, penurunan
filtrasi glomerulus <60 mL/min/1,73 m2, mengindikasikan adanya penurunan
fungsi ginjal kronis, pada saat itulah seseorang dapat dikatakan mengalami
penyakit ginjal kronis (PGK). Prevalensi PGK di Amerika Serikat diperkirakan
mencapai 15,6%.1
Anemia kerap kali muncul pada pasien dengan PGK, Anemia mulai
berkembang sejak tahap awal PGK. Penelitian berbasis populasi dengan National
Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) di Amerika Serikat
menemukan bahwa prevalensi anemia meningkat pada populasi dengan laju
filtrasi glomerulus <60 mL/min/1,73 m2. NHANES juga menyatakan prevalensi
anemia mencapai 15,4% pada pasien dengan PGK stadium 1-5 dibandingkan
7,5% pada populasi tanpa PGK.2 Anemia cenderung bertambah berat seiring
dengan progresivitas PGK. Sekitar 90% pasien yang menjalani dialisis rutin akan
berkembang menjadi anemia.3
Banyak penelitian yang menyatakan bahwa kondisi anemia pada PGK
berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi dan menurunkan
kualitas hidup seseorang. Penelitian oleh Horl menyatakan bahwa pada pasien
dengan PGK dan Hb < 9 g/dL, setiap penurunan Hb 1g/dL pada rerata kadar Hb
secara independent berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan komplikasi
pada jantung. Pada penelitiani Dialysis Outcomes and Practice Patterna Study
(DOPPS), disampaikan bahwa setiap peningkatan Hb 1 g/dL berhubungan dengan
5% penurunan relative risk dari mortalitas (RR 0,95, 95%CI 0,9-0,99, P =0,03)
dan penurunan 4% pada resiko perawatan di rumah sakit (RR 0.96, 95% CI 0,93-
0,99, P=0,02).4
Selain defisiensi eritropoetin ada beberapa hal lain sebagai penyebab
anemia pada pasien dengan PGK yaitu kehilangan darah hemodialysis, defisiensi
besi, defisiensi vitamin B12, defisiensi asam folat, kondisi inflamasi akut, kondisi
inflamasi kronis, berkurangnya usia sel darah merah dan tendensi terjadinya
pendarahan akibat kadar ureum yang tinggi dalam darah. Defisiensi besi pada
PGK merupakan penyebab utama kurangnya respon terhadap Erythropoesis-
3

Stimulating Agen (ESA). Pada 50% pasien dengan PGK (stadium 3-5, pre-dialisis)
dengan anemia dan belum mendapat terapi ESA atau suplemen zat besi,
menunjukan adanya deplesi cadangan zat besi pada sumsum tulang.5 Oleh Sebab
itu penulis merasa pentingnya mengetahui terapi Zat besi pada pasien CKD
dengan Anemia.

DEFISIENSI BESI PADA PGK


Eritropoesis yang adekuat bergantung pada kecukupan cadangan zat besi dan
eritropoetin. Orang dengan PGK memiliki masalah dengan ketersediaan zat besi
di dalam tubuh. Pasien PGK dapat mengalami kehilangan darah melalui
pendarahan gastrointestinal, pasien dengan PGK juga harus melalui pemeriksaan
darah yang rutin. Pada pasien PGK yang memerlukan hemodialisis secara rutin,
darah sering tersisa di alat hemodialisis. Data mengenai asupan zat besi pada
pasien dengan PGK memang terbatas, namun data tersebut menunjukkan asupan
zat besi pada pasien PGK berkurang karena makanan mengandung zat besi sulit
ditoleransi oleh pasien dengan gangguan ginjal. Pada penelitian oleh Talib dan
kawan-kawan dikatakan anemia defisiensi besi terjadi pada 42,63% pasien PGK
dan fungsional defisiensi besi terjadi pada 39.03% pasien dengan PGK.5 Pada
penelitian Stauffer dan kawan-kawan, prevalensi anemia dikatakan meningkat
seiring dengan meningkatnya stadium PGK, dari 8,4% pada stadium 1 menjadi
53,4% pada PGK stadium 5.6
Hormon yang mengatur homeostasis besi di dalam tubuh adalah hepsidin.
Hepsidin sendiri merupakan molekul polipeptida kecil yang menghambat absorpsi
besi pada saluran cerna dan pelepasan zat besi dari makrofag. Hepsidin dapat
melewati filtrasi glomerulus kemudian direabsorpsi di tubulus ginjal. Gangguan
fungsi ginjal sendiri dapat meningkatkan kadar hepsidin dalam darah meskipun
tanpa inflamasi.1

Peran Hepsidin pada Metabolisme Besi


Hepsidin bekerja dengan cara berikatan dengan feroportin sebagai mediasi semua
aliran besi ke plasma dan cairan ekstra seluler, yaitu transport besi dari duodenum
4

menuju plasma, pelepasan resikel zat besi dari lien dan hati, serta pelepasan zat
besi dari cadangan besi di hepatosit. 1
Hepsidin berperan sebagai regulator negatif absorpsi besi intestine dan
pelepasan oleh makrofag. Hepsidin yang berikatan dengan reseptor feroportin
menyebabkan internalisasi dan degradasi feroportin serta retensi besi pada
enterosit. Sebagai akibatnya, absorpsi dan mobilisasi penyimpanan besi dari hepar
dan makrofag menurun. Sintesis hepsidin akan meningkat ketika saturasi
transferrin tinggi (saat kapasitas transferrin mengikat besi maksimal), sebaliknya
sintesis hepsidin akan turun ketika saturasi besi rendah.7
Sebuah penelitian oleh Nemeth dan kawan-kawan menyatakan hepsidin
berikatan secara langsung dengan feroportin, terikatnya hepsidin dengan
feroportin ini menyebabkan terjadinya internalisasi dan degradasi feroportin
sehingga menyebabkan hilangnya feroportin dari membran sel dan meniadakan
ekspor besi. Mekanisme ini menjelaskan regulasi penyerapan besi, karena
enterosit absorptif hanya berfungsi selama dua hari kemudian akan terlepas dari
ujung vili masuk ke dalam lumen saluran cerna. Oleh karena itu pengangkutan zat
besi oleh feroportin melintasi membran basolateral menentukan apakah besi
diangkut untuk plasma transferrin atau dikeluarkan dari tubuh dengan lepasnya
enterosit.8
Pada saat simpanan besi tinggi atau cukup, hepar menghasilkan hepsidin
yang bersirkulasi ke intestin. Hepsidin di usus halus, akan menyebabkan
feroportin di internalisasi, memblokir satu satunya jalur untuk trasportasi besi dari
enterosit ke plasma. Pada saat cadangan besi rendah, produksi hepsidin akan
ditekan dan feroportin yang dihasilkan pada membran basolateral enterosit untuk
mengangkut besi dari sitoplasma enterosit untuk transferrin plasma. Interaksi
hepsidin-feroportin juga menjelaskan pengaturan daur ulang besi dalam makrofag,
dan bertanggungjawab dalam keadaan inflamasi. Hepsidin mengakibatkan
terjadinya feroportin diinternalisasi, transport besi dihambat, dan besi terjebak
dalam makrofag.8
5

Gambar 1. Pengaturan besi sistemik oleh hepsidin8

Hepsidin pada PGK


Ginjal merupakan organ yang bertanggungjawab untuk ekskresi hepsidin, banyak
penelitian yang mengungkapkan adanya peningkatan kadar hepsidin pada plasma
darah orang dengan PGK, khususnya pada pasien PGK stadium lanjut terutama
pasien PGK dengan hemodialysis rutin. Penelitian oleh Coyne menjelaskan
adanya korelasi terbalik antara laju filtrasi glomerulus dengan konsentrasi
hepsidin dalam plasma orang dengan PGK non-dialisis.9,10
Hepsidin merupakan polopeptida yang berikatan erat dengan
plasma protein dan dapat diekskresi dengan cepat bila fungsi ginjal normal, dalam
jumlah besar hepsidin direabsorbsi dan didegradasi oleh tubulus proximal
sebagaimana metabolisme dari polipeptida lain. Pada keadaan fungsi ginjal yang
menurun maka jumlah hepsidin yang didegradasi akan berkurang dan jumlahnya
akan meningkat pada plasma.11
Pada pasien yang menjalani dialisis, terjadi peningkatan kadar hepsidin di
dalam darah. Pada penelitian oleh Neelke dan kawan-kawan, didapatkan bahwa
kadar hepsidin dalam darah berhubungan dengan cadangan besi yang dicerminkan
6

oleh level ferritin dalam tubuh dan inflamasi yang dicerminkan pada kadar high-
sensitivity C-reactive Protein (hsCRP).10 Pada penelitian oleh Zaritzky dan kawan
kawan, didapatkan median kadar hepsidin dalam darah pasien PGK mencapai 270
ng/ml dan mencapai 652 ng/ml pada pasien PGK on dialysis. 12 Seperti telah
dijelaskan sebelumnya, kadar hepsidin yang tinggi pada orang dengan PGK
mengakibatkan berkurangnya kemampuan usus untuk mengabsorpsi zat besi dari
makanan.8

TERAPI ZAT BESI PADA PENYAKIT GINJAL KRONIS

Ambang batas untuk mendiagnosis anemia adalah Hb <13 g/dl untuk laki laki dan
Hb <12 g/dl untuk wanita, namun bukan merupakan indikasi untuk melakukan
terapi. Menurut guideline KDIGO 2012, kadar Hb pada pasien CKD harus
dievaluasi pada kondisi:
a. Pasien yang belum pernah didiagnosis anemia, kadar Hb dalam darah harus
diperiksa saat ada indikasi klinis (terdapat gejala yang berkembang akibat
anemia yaitu astenia, dyspnea, takikardia dan lain lain) dan:
o Sekurang kurangnya 1 kali dalam 1 tahun pada PGK stage 3 (eGFR 60-30
ml/min/1,73 m2)
o Sekurang kurangnya 2 kali dalam 1 tahun pada pasien PGK stage 4-5
tanpa hemodialisis (eGFR <30 ml/min/1,73 m2).
o Sekurang kurangnya setiap 3 bulan pada pasien dengan PGK dengan
terapi hemodialisis atau peritonal dialisis.
b. Pasien dengan anemia dan tidak diterapi dengan ESA, kadar hb dalam darah
harus dievaluasi bila terdapat indikasi klinis dan:
o Setiap 3 bulan pada pasien PGK stage 3-5 yang tidak memerlukan terapi
hemodialis atau PGK stage 5 pada pasien dengan terapi peritoneal
dialisis.
o Setiap bulan pada pasien PGK stage 5 dengan terapi hemodialisis rutin.
c. Pasien anemia dengan terapi ESA, kadar Hb dalam darah harus diperiksa bila
terdapat indikasi klinis serta:
- Setiap bulan pada fase koreksi
7

- Pada fase pemeliharaan: pada pasien PGK Stage 5 tanpa terapi dialisa
kadar hb diperiksa sekurang kurangnya setiap 3 bulan. Setiap bulan pada
pasien PGK stage 5 dengan terapi hemodialisis, dan setiap 2 bulan pada
pasien dengan terapi peritoneal dialisis.13
Terapi awal pada pasien anemia dengan PGK harus selalu meliputi pemeriksaan:
- Pemeriksaan darah lengkap (MCV, MCH, leukosit dan platelet)
- Retikulosit absolut
- Parameter dari metabolisme besi: saturasi besi, ferritin, transferin,
Transferin saturation index (TSAT).
- Vitamin B12 dan asam folat.13

Indikasi Terapi Besi


Pemberian terapi besi pada pasien PGK adalah untuk mengatasi defisiensi besi,
mencegah perkembangan anemia menjadi lebih berat pada pasien dengan terapi
ESA, meningkatkan kadar Hb dalam darah baik pada pasien PGK dengan atau
tanpa terapi ESA, dan menurunkan dosis ESA yang diperlukan pada pasien PGK
yang telah diterapi dengan ESA.13 Defisiensi besi pada PGK harus dikoreksi
karena selain mengakibatkan anemia juga mengakibatkan hiporesponsifnya
seseorang terhadap terapi ESA. Berikut merupakan definisi dari defisiensi besi
pada PGK:
 Defisiensi absolut: deplesi zat besi: konsentrasi feritin <100 ng/ml dan TSAT
<20%
 Fungsional defisiensi: TSAT <20% dan konsentrasi feritin normal atau tinggi.
Dalam kondisi ini kebutuhan zat besi untuk eritropoesis melebihi kapasitas
pelepasan zat besi dari retikulo-endotelial sistem.14

Berikut indikasi terapi zat besi pada pasien dengan PGK:


a. Defisiensi besi absolut (konsentrasi feritin <100ng/ml dan TSAT <20%)
b. Untuk meninkatkan konsentrasi Hb sebelum inisiasi ESA jika TSAT < 25%
dan ferritin < 200 ng/ml pada PGK non dialisis atau ferritin <300 ng/ml pada
PGK stage 5 dengan dialisis terapi.
8

c. Pada pasien yang telah mendapat terapi ESA untuk meningkatkan kadar Hb
atau mengurangi dosis ESA bila TSAT <30% dan ferritin < 300 ng/ml.
Target ferritin pada pasien dengan PGK 200-500 ng/ml, dan TSAT ~
30%.14
Parameter metabolisme zat besi ditentukan dengan pengambilan sampel
minimal saat 15 hari setelah terapi zat besi intravena terakhir.14
Pertimbangan pemilihan preparat besi pada pasien PGK, baik oral maupun
intravena harus berdasarkan:
- Beratnya anemia
- Ketersediaan akses vena
- Ada atau tidaknya respon terhadap terapi besi oral sebelumnya
- Ada atau tidaknya efek samping yang muncul pada terapi besi oral sebelumnya
- Kepatuhan pasien terhadap terapi
- Biaya yang diperlukan.13
Pada pasien PGK non- hemodialisis ataupun peritonal dialisis lebih dipilih
penggunaan preparat besi oral dengan dosis dewasa 200mg/hari dibagi menjadi 2-
3 dosis. Lebih dipilih ferrous salt untuk absorpsi lebih baik dan sebaiknya
dikonsumsi saat perut kosong sebelum makan.14
Seperti telah dijelaskan diatas bahwa kadar hepsidin dalam darah penderita
penyakit ginjal kronis meningkat sehingga dapat mengganggu absorpsi zat besi
pada intestinal, maka masalah utama terapi besi oral pada PGK adalah masalah
absorpsi intestinal selain itu terdapat pula masalah intoleransi gastrointestinal, dan
tingkat kepatuhan terapi yang rendah. Preparat besi intravena juga dikatakan
memiliki bioavaibilitas 20 kali lebih besar dibandingkan dengan preparat besi
oral.1 Pemberian suplemen besi intravena dapat meningkatkan eritropoesis dan
meningkatkan kadar Hb dalam darah pada pasien PGK dengan anemia meskipun
bila TSAT dan kadar ferritin dalam darah tidak mengindikasikan adanya
defisiensi besi absolut dan bahkan pada saat sumsum tulang menunjukkan
cadangan zat besi yang adekuat. Pemberian besi intravena juga dikatakan dapat
meningkatkan respon eritropoetik pada pasien yang mendapat terapi ESA. 13
Guideline KDIGO 2012 merekomendasikan penggunaan suplemen besi
pada pasien dengan PGK sebagai berikut:
9

1. Pada orang dewasa dengan PGK dan anemia tidak sedang dalam terapi besi
ataupun ESA direkomendasikan percobaan pemberian preparat besi intravena
(atau pada pasien PGK non-dialisis alternatifnya adalah pemberin preparat
besi oral selama 1-3 bulan) bila:
- Diperlukan peningkatan kadar Hb tanpa memulai terapi ESA.
- TSAT < 30% dan ferritin < 500 ng/ml.
2. Pada orang dewasa dengan PGK dan Anemia yang sedang dalam terapi ESA
yang belum mendapat suplemen besi disarankan percobaan pemberian
preparat besi intravena (atau pada pasien PGK non-dialisis alternatifnya
adalah pemberin preparat besi oral selama 1-3 bulan) bila:
- Dibutuhkan peningkatan konsentrasi Hb atau pengurangan dosis ESA
- TSAT < 30% dan ferritin < 500 ng/ml.13
Preparat besi intravena yang dapat digunakan Ferric Carboxymaltose,
Ferric Gluconate, Ferumoxytol, High Molecular Weight Iron Dextran, Low
Molecular Weight Iron Dextran, Iron Isomaltoside dan Iron Sucrose. Zat besi
intravena dapat diberikan dengan dosis tunggal yang besar ataupun dosis yang
lebih kecil namun diberikan secara berulang secara spesifik tergantung terhadap
preparat besi intravena. Jumlah kehilangan zat besi pada setiap individu sulit
untuk diperkirakan secara tepat sehingga dosis yang tepat untuk kompensasi
kehilangan tersebut sulit untuk ditentukan dengan tepat. Dosis inisial yang
umumnya diperlukan kira kira 1000mg, dosis awal ini dapat diulang bila pada
pemberian pertamanya gagal meningkatkan kadar Hb dan atau gagal mengurangi
dosis ESA yang diperlukan dan bila TSAT tetap < 30% dan ferritin serum tetap <
500 ng/ml. Terdapat dua pendekatan yang umumnya digunakan untuk
maintenance IV Iron Treatment pada pasien dengan PGK stage 5 dengan
Hemodialisis:
1. Pemberian preparat besi untuk memenuhi cadangan besi dilakukan bila pada
saat pemeriksaan status besi secara periodik terdapat indikasi kecenderungan
terjadinya defisiensi besi atau menurunnya parameter metabolism besi
dibawah target yang telah ditentukan.
2. Pemberian preparat besi dengan dosis lebih kecil dengan interval yang regular
untuk memelihara status besi dengan stabil.14
10

EFEK SAMPING PEMBERIAN TERAPI BESI INTRAVENA


Segala bentuk pemberian zat besi Intravena berhubungan dengan efek samping
yang terjadi secara akut dan berat. Pada pemberian terapi besi intravena, hal yang
harus diperhatikan adalah terjadinya hipotensi dan dyspnea, yang merupakan
tanda terburuk dari anafilaksis. Mekanisme aksi munculnya efek samping berbeda
pada setiap preparat besi. Preparat iron dextran dihubungkan dengan kejadian
anafilaksis yang lebih tinggi dibandingkan preparat besi lainnya. Diperkirakan
terjadi reaksi anafilaksis sebesar 0,6-0,7 % pada pasien yang diberikan terapi iron
dextran. Efek samping yang lebih serius terjadi pada High Molecular Weight Iron
Dextran bila dibandingkan dengan Low Molecular Weight Iron Dextran. Bila
dibandingkan dengan preparat iron dextran, efek samping yang berat lebih jarang
terjadi pada pemberian preparat non dextran. Namun demikian penggunaan
preparat besi intravena harus memperhatikan profil keamanan dan toksisitas dari
masing masing produk yang telah diperingatkan dan direkomendasikan pada label
produk.15

Penggunaan Zat Besi Intravena pada Pasien Infeksi


Zat besi adalah zat yang esensial untuk pertumbuhan berbagai pathogen termasuk
bakter, virus, fungi, parasite dan helmin, serta menekan fungsi imunsistem
terhadap mikroba. Terdapat beberapa teori serta bukti penelitian yang menyatakan
pemberian zat besi dapat memperberat infeksi yang terjadi namun bukti yang
mendukungnya masih sedikit. Data pada pasien CKD masih dalam perdebatan.
Pemberikan preparat besi intravena pada pasien dengan infeksi sistemik tidak
direkomendasikan.16

Iron Overload Pada Pemberian Zat Besi Intravena


Iron overload merepresentasikan sebuah kondisi peningkatan kandungan besi
total pada tubuh yang mungkin berhubungan dengan resiko disfungsi organ yang
bergantung pada waktu paparan. Iron overload yang patologis adalah kelebihan
zat besi dalam tubuh yang mengakibatkan munculnya tanda dan gejala akibat
disfungsi organ yang diakibatkan kelebihan zat besi tersebut. 16
11

Pemberian terapi besi intravena dapat mengakibatkan kelebihan Fe (zat


besi) yang terakumulasi pada organ seperti hepar, lien, myocardium, sendi, paru,
dan limfonodi. Pada pasien PGK tahap akhir dengan hemodialisis dengan
overload iron pada hepar, tes fungsi hati biasanya normal dan jarang terjadi
sirosis hepatis. Bukti terjadinya kerusakan organ akibat iron overload pada
populasi hemodialisis memang masih kurang, namun stres oksidatif dan inflamasi
dapat terjadi akibat pemberian zat besi secara parenteral yang berlebihan, hal ini
dapat meningkatkan angka kejadia kardiovaskular serta kematian pada pasien
dengan PGK tahap akhir dan terapi hemodialisis.16

RINGKASAN
Anemia defisiensi besi sering terjadi pada pasien dengan penyakit ginjal kronis
dan merupakan sebuah faktor utama yang dapat mengakibatkan hiporesponsifnya
erythropoiesis-stimulating agents. Untuk penatalaksanaan anemia defisiensi besi
diperlukan terapi preparat besi. Preparat besi ini dapat diberikan baik secara oral
maupun intravena. Inflamasi merupakan penyebab lain anemia pada pasien
dengan penyakit ginjal kronis. Inflamasi menstimulasi hepar untuk memproduksi
hepsidin. Peningkatan hepsidin juga dapat menurunkan absorpsi besi pada
intestinal, sehingga mengurangi efektifitas pemberian zat besi secara oral. Pasien
yang menderita penyakit ginjal kronis disertai anemia defisiensi besi memerlukan
terapi besi intravena untuk menghindari penurunan efektifitas serta untuk
meningkatkan kepatuhan pasien dalam pengobatan. Preparat yang digunakan
dapat berupa Ferric Carboxymaltose, Ferric Gluconate, Ferumoxytol, High
Molecular Weight Iron Dextran, Low Molecular Weight Iron Dextran, Iron
Isomaltoside dan Iron Sucrose. Penggunaan terapi besi intravena dikatakan
memiliki efek samping yang jarang namun ketika terjadi dapat berupa manifestasi
yang berat, sehingga penting bagi klinisi untuk mengetahui efek samping yang
mungkin terjadi serta penatalaksaan efek samping tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

1. Macdougall CL. Intravenous Iron Therapy in Patient with Chronic Kidney


Disease. Clin Kidney J, 2017;10:16-24.
12

2. Ryu Ryol, et al. The Prevalence and Management of Anemia in Chronic


Kidney Disease Patient. J Korean Med Sci, 2017;32(2):249-56
3. Tanaka Shinji, et al. How to Suplement Iron in Patients with Renal Anemia.
Nephron, 2015;131:138-44.
4. Hörl WH. Anaemia management and mortality risk in chronic kidney disease.
Nat Rev Nephrol, 2013; 9 :291–301

5. Talib, et al. Role of Iron Deficiency Anemia in Patients with Chronic Kidney
Disease. IOSR Journal of Dental and Medical Science, 2015;14:102-5.
6. Staufer ME, Fan T. Prevalence of Anemia in Chronic Kidney Disease in the
United State. PLos ONE, 2014; 9(1): e84943.
7. Nemeth E, Tomas Ganz. The Role of Hepcidin in Iron Metabolism. Acta
Haematol, 2019 ;122:78-86.
8. Nemeth E, et al. Hepcidin Regulated Cellular Iron Efflux by Binding to
Feroportin and Inducing Internalization. Science. 2004;306:2090-3.
9. Coyne DW. Hepcidin: Clinical Utility as a Diagnostic Tool and Therapeutic
Target. Kidney Int, 2011;80:240-4.
10. Neelke C, et al. Hepcidin-25 in Chronic Hemodialysis Patients is Related to
Residual Kidney Function and Not to Treatment with Erythropoiesis
Stimulating Agents. PLoS ONE, 2012;7(7): e39783.
11. Ganz T, Nemeth E. Iron Balance and the Role of Hepcidin in Chronic Kidney
Disease. Semin Nephrol, 2016;36(2):87–93.
12. Zaritzky J, et al. Hepcidin A Potential Novel Biomarker for Iron Status in
Chronic Kidney Disease. Clin J Am Nephrol, 2009; 4(6):1051-6.
13. KDIGO. Clinical Practice Guideline for Anemia in Chronic Kidney Disease.
Kidney Int Suppl, 2012;2:279-335.
14. Cases Aleix, et al. Anemia of Chronic Kidney Disease: Protocol of study,
management and referral to nephrology. Nefrologia, 2018;38 (1):8-12.
15. Philip A, et al. Safety of Intravenous Iron Use in Chronic Kidney Disease.
Curr Opin Nephrol Hypertens, 2016;25: 529-35.
16. Macdougall LC, et al. Iron Management in Chronic Kidney Disease:
Conclusion from a “Kidney Disease: Improving Global Outcomes”
Controversies Conference. Kidney Int, 2016;89:28-39.
13

Anda mungkin juga menyukai