Anda di halaman 1dari 15

1

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Terapi Besi Intravena pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis

Ni Made Nova Andari Kluniari 1, Yenny Kandarini 2


1
Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar, Bali, Indonesia.
2
Departemen/KSM Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar, Bali, Indonesia
Korespondensi : Ni Made Nova Andari Kluniari/08996110289/
Andarikung@gmail.com

ABSTRACT
Iron deficiency is often observed in patients with chronic kidney disease (CKD)
and is a major cause of hiporesponsiveness to erythropoiesis-stimulating Agents.
To corect iron deficiency anemia, replacement of iron is needed. Iron can be
replaced either by the oral route or by intravenous route. Among CKD patient,
hemoglobin level often affected by inflammation and infection. Inflammation in
CKD patients, stimulate liver to produce hepcidin. Increased hepcidin levels are
known to block iron absorption from food in the intestines and its release in iron
stores and it is limiting the efficacy of oral iron. To avoid concerns about efficacy
oral iron and medication adherence in threating iron deficiency among CKD
patients require Intravenous iron therapy. The Preparations of intravenous iron
can use to supplement iron are ferric carboxymaltose, ferric gluconate,
ferumoxytol, high molecular weight iron dextran, low molecular weight iron
dextran, iron isomaltoside and iron sucrose. Intravenous iron therapy has been
associated with infrequent but severe adverse reaction.

Keywords: Intravenous Iron, Chronic Kidney Disease, Hepcidin


2

PENDAHULUAN

Fungsi ginjal adalah untuk filtrasi darah, ekskresi produk sisa dan mengatur
keseimbangan cairan serta elektrolit. Filtrasi terjadi pada glomerulus, penurunan
filtrasi glomerulus kurang dari 60 mL/min/1,73 m2, mengindikasikan adanya
penurunan fungsi ginjal kronis, pada saat itulah seseorang dapat dikatakan
mengalami penyakit ginjal kronis (PGK). Prevalensi PGK di Amerika Serikat
diperkirakan mencapai 15,6%.1
Anemia kerap kali muncul pada pasien dengan PGK, anemia mulai
berkembang sejak tahap awal PGK. Penelitian berbasis populasi oleh National
Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) di Amerika Serikat
menemukan bahwa prevalensi anemia meningkat pada populasi dengan laju
filtrasi glomerulus <60 mL/min/1,73 m2. NHANES juga menyatakan prevalensi
anemia mencapai 15,4% pada pasien dengan PGK stadium 1-5 dibandingkan
7,5% pada populasi tanpa PGK.2 Anemia cenderung bertambah berat seiring
dengan progresivitas PGK. Sekitar 90% pasien yang menjalani dialisis rutin akan
berkembang menjadi anemia.3
Banyak penelitian yang menyatakan bahwa kondisi anemia pada PGK
berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi dan menurunkan
kualitas hidup seseorang. Penelitian oleh Horl menyatakan bahwa pada pasien
dengan PGK dan hemoglobin (Hb) < 9 g/dL, setiap penurunan Hb 1g/dL pada
rerata kadar Hb secara independent berhubungan dengan peningkatan mortalitas
dan komplikasi pada jantung. Pada penelitian Dialysis Outcomes and Practice
Patterna Study (DOPPS), disampaikan bahwa setiap peningkatan Hb 1 g/dL
berhubungan dengan 5% penurunan relative risk dari mortalitas (RR 0,95, 95%CI
0,9-0,99, P =0,03) dan penurunan 4% pada resiko perawatan di rumah sakit (RR
0.96, 95% CI 0,93-0,99, P=0,02).4
Selain defisiensi eritropoetin ada beberapa hal lain sebagai penyebab
anemia pada pasien dengan PGK yaitu kehilangan darah hemodialisis, defisiensi
besi, defisiensi vitamin B12, defisiensi asam folat, kondisi inflamasi akut, kondisi
inflamasi kronis, berkurangnya usia sel darah merah dan tendensi terjadinya
pendarahan akibat kadar ureum yang tinggi dalam darah. Defisiensi besi pada
PGK merupakan penyebab utama kurangnya respon terhadap Erythropoesis-
3

Stimulating Agen (ESA). Pada 50% pasien dengan PGK (stadium 3-5, pre-dialisis)
dengan anemia dan belum mendapat terapi ESA atau suplemen zat besi,
menunjukan adanya deplesi cadangan zat besi pada sumsum tulang.5 Oleh Sebab
itu penulis merasa pentingnya mengetahui terapi Zat besi pada pasien CKD
dengan Anemia.

DEFISIENSI BESI PADA PGK

Terdapat beberapa faktor penyebab anemia pada pasien dengan PGK, faktor yang
paling banyak diketahui yaitu akibat produksi eritropoietin yang tidak adekuat dan
defisiensi besi merupakan faktor lain yang mempengaruhinya. Life span dari sel
darah merah juga berkurang. Sel darah merah normalnya hidup beredar dalam
darah selama 120 hari namun pada pasien PGK diperkirakan life span sel darah
merah hanya 60-90 hari.6
Orang dengan PGK memiliki masalah dengan ketersediaan zat besi di
dalam tubuh. Pasien PGK dapat mengalami kehilangan darah melalui pendarahan
gastrointestinal, pasien dengan PGK juga harus melalui pemeriksaan darah yang
rutin. Pada pasien PGK yang memerlukan hemodialisis secara rutin, darah sering
tersisa di alat hemodialisis. Data mengenai asupan zat besi pada pasien dengan
PGK memang terbatas, namun data tersebut menunjukkan asupan zat besi pada
pasien PGK berkurang karena makanan mengandung zat besi sulit ditoleransi oleh
pasien dengan gangguan ginjal. Pada penelitian oleh Talib dan kawan-kawan
dikatakan anemia defisiensi besi terjadi pada 42,63% pasien PGK dan fungsional
defisiensi besi terjadi pada 39.03% pasien dengan PGK.5 Pada penelitian Stauffer
dan kawan-kawan, prevalensi anemia dikatakan meningkat seiring dengan
meningkatnya stadium PGK, dari 8,4% pada stadium 1 menjadi 53,4% pada PGK
stadium 5.7
Hormon yang mengatur homeostasis besi di dalam tubuh adalah hepsidin.
Hepsidin sendiri merupakan molekul polipeptida kecil yang menghambat absorpsi
besi pada saluran cerna dan pelepasan zat besi dari makrofag. Hepsidin dapat
melewati filtrasi glomerulus kemudian direabsorpsi di tubulus ginjal. Gangguan
fungsi ginjal sendiri dapat meningkatkan kadar hepsidin dalam darah meskipun
tanpa inflamasi.1
4

Gambar 1. Eritropoesis pada PGK6

Peran Hepsidin pada Metabolisme Besi

Hepsidin bekerja dengan cara berikatan dengan feroportin sebagai mediasi semua
aliran besi ke plasma dan cairan ekstra seluler, yaitu transport besi dari duodenum
menuju plasma, pelepasan resikel zat besi dari lien dan hati, serta pelepasan zat
besi dari cadangan besi di hepatosit.1
Hepsidin berperan sebagai regulator negatif absorpsi besi intestine dan
pelepasan oleh makrofag. Hepsidin yang berikatan dengan reseptor feroportin
menyebabkan internalisasi dan degradasi feroportin serta retensi besi pada
enterosit. Sebagai akibatnya, absorpsi dan mobilisasi penyimpanan besi dari hepar
dan makrofag menurun. Sintesis hepsidin akan meningkat ketika saturasi
transferin tinggi (saat kapasitas transferin mengikat besi maksimal), sebaliknya
sintesis hepsidin akan turun ketika saturasi besi rendah.8
Sebuah penelitian oleh Nemeth dan kawan-kawan menyatakan hepsidin
berikatan secara langsung dengan feroportin, terikatnya hepsidin dengan
feroportin ini menyebabkan terjadinya internalisasi dan degradasi feroportin
sehingga menyebabkan hilangnya feroportin dari membran sel dan meniadakan
ekspor besi. Mekanisme ini menjelaskan regulasi penyerapan besi, karena
5

enterosit absorptif hanya berfungsi selama dua hari kemudian akan terlepas dari
ujung vili masuk ke dalam lumen saluran cerna. Oleh karena itu pengangkutan zat
besi oleh feroportin melintasi membran basolateral menentukan apakah besi
diangkut untuk plasma transferin atau dikeluarkan dari tubuh dengan lepasnya
enterosit.9
Pada saat simpanan besi tinggi atau cukup, hepar menghasilkan hepsidin
yang bersirkulasi ke saluran cerna. Hepsidin di usus halus, akan menyebabkan
feroportin di internalisasi, memblokir satu satunya jalur untuk trasportasi besi dari
enterosit ke plasma. Pada saat cadangan besi rendah, produksi hepsidin akan
ditekan dan feroportin yang dihasilkan pada membran basolateral enterosit untuk
mengangkut besi dari sitoplasma enterosit untuk transferin plasma. Interaksi
hepsidin-feroportin juga menjelaskan pengaturan daur ulang besi dalam makrofag,
dan bertanggungjawab dalam keadaan inflamasi. Hepsidin mengakibatkan
terjadinya feroportin diinternalisasi, transport besi dihambat, dan besi terjebak
dalam makrofag.9

Gambar 2. Pengaturan besi sistemik oleh hepsidin9


6

Hepsidin pada PGK

Ginjal merupakan organ yang bertanggungjawab untuk ekskresi hepsidin, banyak


penelitian yang mengungkapkan adanya peningkatan kadar hepsidin pada plasma
darah orang dengan PGK, khususnya pada pasien PGK stadium lanjut terutama
pasien PGK dengan hemodialisis rutin. Penelitian oleh Coyne menjelaskan adanya
korelasi terbalik antara laju filtrasi glomerulus dengan konsentrasi hepsidin dalam
plasma orang dengan PGK non-dialisis.10,11
Hepsidin merupakan polopeptida yang berikatan erat dengan
plasma protein dan dapat diekskresi dengan cepat bila fungsi ginjal normal, dalam
jumlah besar hepsidin direabsorbsi dan didegradasi oleh tubulus proksimal
sebagaimana metabolisme dari polipeptida lain. Pada keadaan fungsi ginjal yang
menurun maka jumlah hepsidin yang didegradasi akan berkurang dan jumlahnya
akan meningkat pada plasma.12
Pada pasien yang menjalani dialisis, terjadi peningkatan kadar hepsidin di
dalam darah. Pada penelitian oleh Neelke dan kawan-kawan, didapatkan bahwa
kadar hepsidin dalam darah berhubungan dengan cadangan besi yang dicerminkan
oleh level feritin dalam tubuh dan inflamasi yang dicerminkan pada kadar high-
sensitivity C-reactive Protein (hsCRP).11 Pada penelitian oleh Zaritzky dan kawan
kawan, didapatkan median kadar hepsidin dalam darah pasien PGK mencapai 270
ng/ml dan mencapai 652 ng/mL pada pasien PGK yang menjalani dialisis. 13
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, kadar hepsidin yang tinggi pada orang
dengan PGK mengakibatkan berkurangnya kemampuan usus untuk mengabsorpsi
zat besi dari makanan.9

DIAGNOSIS ANEMIA DEFISIENSI BESI PADA PGK


Anemia pada PGK didefinisikan sebagai kadar Hb <13 g/dl untuk laki laki dan Hb
<12 g/dl untuk wanita. Batasan anemia pada konsensus ini mengacu pada kriteria
World Health Organization (WHO) karena penelitian mengenai cut-off point Hb
pada anemia defisiensi besi pada populasi Indonesia menunjukkan hasil yang
tidak berbeda dengan kriteria anemia dari WHO.14
7

Definisi anemia defisiensi besi pada pasien PGK berbeda dengan populasi
nonPGK, oleh karena pasien PGK yang mendapat terapi ESA membutuhkan
kadar besi yang lebih tinggi. Pasien PGK yang menjalani hemodialisis mengalami
kehilangan darah lebih banyak akibat proses hemodialisis, oleh karena itu cut-off
feritin serum yang dipakai lebih tinggi dibandingkan pada PGK yang tidak
menjalani dialisis dan PGK yang menjalani peritoneal dialisis. Pada PGK Anemia
defisiensi besi dibagi menjadi defisiensi absolut dan defisiensi fungsional. Anemia
defisiensi absolut bila saturasi transferin (ST) <20% dan ferritin serum (FS) <100
ng/ml pada PGK yang tidak menjalani hemodialisis dan PGK dengan peritoneal
dialisisi. FS <200 ng/ml pada pasien PGK dengan hemodialisis rutin. Anemia
defisiensi besi fungsional didefinisikan sebagai ST <20% dan FS ≥ 100 ng/mL
pada pasien PGK yang tidak menjalani hemodialisis dan PGK dengan peritoneal
dialisis. FS ≥ 200 ng/mL pada PGK dengan hemodialisis rutin.14

Tabel 1. Defisiensi besi pada PGK14


PGK dengan Anemia PGK-nonHD/PGK- PD PGK-HD
ST (%) FS (ng/ml) ST (%) FS (ng/ml)
Besi Cukup ≥20 ≥ 100 ≥20 ≥200
Defisiensi besi fungsional <20 ≥ 100 <20 ≥200
Defisiensi besi absolut <20 < 100 <20 <200
PGK-HD : Penyakit Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisis
PGK-nonD : Penyakit Ginjal Kronik yang tidak menjalani dialisis
PGK-PD : Penyakit Ginjal Kronik yang menjalani peritoneal dialisis

EVALUASI ANEMIA PADA PGK


Anemia umumnya terjadi pada PGK stadium 3 hingga 5, dan hampir selalu
ditemukan pada stadium 5. Menurut pedoman KDIGO 2012, kadar Hb pada PGK
harus dievaluasi pada beberapa kondisi. Pada pasien yang belum pernah
didiagnosis anemia kadar Hb harus diperiksa saat terdapat indikasi klinis akibat
anemia seperti astenia, dispnea, takikardi dan lain lain serta sekurang kurangnya 1
kali dalam 1 tahun pada PGK stadium 3 (eGFR 60-30 ml/min/1,73 m 2). Pada
pasien PGK stadium 4-5 tanpa hemodialisis (eGFR <30 ml/min/1,73 m2)
hendaknya kadar Hb diperiksa 2 kali dalam 1 tahun sedangkan pada pasien
8

dengan PGK dengan terapi hemodialisis atau peritonal dialisis setidaknya kadar
Hb diperiksa setiap 3 bulan.15
Pada pasien PGK dengan anemia dan tidak diterapi dengan ESA, kadar Hb
dalam darah harus dievaluasi bila terdapat indikasi klinis dan setiap 3 bulan pada
pasien PGK stadium 3-5 yang tidak memerlukan terapi hemodialis atau PGK
stadium 5 pada pasien dengan terapi peritoneal dialisis. Pada pasien PGK stadium
5 dan tidak dalam terapi ESA namun dengan terapi hemodialisis rutin, kadar Hb
harus dievaluasi bila terdapat indikasi klinis dan secara rutin setiap bulannya.15
Pada pasien PGK dengan anemia dan terapi ESA kadar Hb dalam darah
harus diperiksa bila terdapat indikasi klinis serta setiap bulan pada fase koreksi.
Pada fase pemeliharaan, pasien PGK stadium 5 tanpa terapi dialisa kadar Hb
diperiksa sekurang kurangnya setiap 3 bulan. Sedangkan kadar Hb harus diperiksa
setiap bulan pada pasien PGK stadium 5 dengan terapi hemodialisis, dan setiap 2
bulan pada pasien dengan terapi peritoneal dialisis.15
Selain kadar Hb pada pasien PGK dengan anemia harus dievaluasi pula
retikulosit absolut. Parameter dari metabolisme besi: saturasi besi, feritin,
transferin, transferrin saturation index (TSAT), vitamin B12 dan asam folat.15

TERAPI ZAT BESI PADA PENYAKIT GINJAL KRONIS


Pemberian terapi besi pada pasien PGK adalah untuk mengatasi defisiensi besi,
mencegah perkembangan anemia menjadi lebih berat pada pasien dengan terapi
ESA, meningkatkan kadar Hb dalam darah baik pada pasien PGK dengan atau
tanpa terapi ESA, dan menurunkan dosis ESA yang diperlukan pada pasien PGK
yang telah diterapi dengan ESA. Defisiensi besi pada PGK harus dikoreksi karena
selain mengakibatkan anemia juga mengakibatkan hiporesponsifnya seseorang
terhadap terapi ESA.15

Indikasi Terapi Besi pada PGK


Pada pasien dengan PGK, terapi besi diindikasikan pada kondisi defisiensi besi
absolut, untuk meningkatkan konsentrasi Hb sebelum inisiasi ESA TSAT < 25%
dan feritin < 200 ng/ml pada PGK non dialisis atau feritin <300 ng/ml pada PGK
stadium 5 dengan dialisis terapi. Pada pasien yang telah mendapat terapi ESA,
9

preparat besi diberikan untuk meningkatkan kadar Hb atau mengurangi dosis ESA
bila TSAT <30% dan feritin < 300 ng/ml.15
Target feritin pada pasien dengan PGK adalah 200-500 ng/ml, dan TSAT
30%. Parameter metabolisme zat besi ditentukan dengan pengambilan sampel
minimal saat 15 hari setelah terapi besi intravena terakhir.16

Gambar 3. Algoritme terapi besi pada PGK14

Pada pasien anemia dengan PGK dan menjalani hemodialisis rutin, iron
sucrose atau iron dextran dapat diberikan bila dapat ditoleransi, dengan dosis 100
mg diencerkan dengan 100 mL NaCl 0.9%, drip intravena 15-30 menit pada saat
hemodialisis. Bila ST 800 ng/mL terapi besi dapat ditunda kemudian dapat
dilakukan evaluasi terkait penyebab kemungkinan adanya keadaan infeksi-
inflamasi.14
10

Kontraindikasi Pemberian Preparat Besi

Pemberian preparat besi dikontraindikasikan pada keadaan riwayat hipersensitivas


terhadap preparat besi, gangguan fungsi hati berat dan iron overload dengan
ST>50%. 14 Reaksi hipersensitivitas terhadap preparat besi intravena diperkirakan
< 0,1%. Reaksi anafilaksis bahkan lebih jarang terjadi. Insiden reaksi anafilaksis
akibat preparat besi intravena hanya 1:200.000.17
Fujita dan kawan-kawan menyatakan bahwa kelebihan besi merupakan
mediator penting pada proses terjadinya hepatic oxidative stress yang berujung
pada progresifitas infeksi virus hepatitis C kronis. Pada kondisi hepatosit yang
baik, akumulasi besi pada hepatosit memicu terjadinya proses protektif berupa
antioksidan dan faktor protektif lainnya sehingga tidak terjadi kerusakan lebih
lanjut pada hepatosit dan tidak terjadi fibrosis. Ketika akumulasi besi terjadi pada
hepatosit yang mengalami inflamasi baik akibat virus, alcohol ataupun obat,
respon protektif tersebut akan terganggu sehingga akan memicu terjadinya
kematian hepatosit dan kemudian memicu terjadi pembersihan oleh sel kuffer,
muncul respon inflamasi, dan sinyal fibrogenetik yang berujung pada fibrosis
yang masif. 18
Akumulasi besi yang patologis dapat mempengaruhi berbagai organ
seperti hepar, pancreas dan jantung. Saturasi serum transferin merupakan
indikator yang digunakan dalam menggambarkan kondisi iron overload. Arch dan
kawan-kawan menyatakan ST >55% berhubungan dengan semua penyebab
kematian. 19

Pemilihan Preparat Besi pada PGK

Pada pasien PGK non-HD ataupun menjalani peritoneal dialisis lebih dipilih
penggunaan preparat besi oral dengan dosis dewasa 200 mg per hari dibagi
menjadi 2-3 dosis. Lebih dipilih ferrous salt untuk absorpsi lebih baik dan
sebaiknya dikonsumsi saat perut kosong sebelum makan. 16
Seperti telah dijelaskan diatas bahwa kadar hepsidin dalam darah penderita
penyakit ginjal kronis meningkat sehingga dapat mengganggu absorpsi zat besi
pada intestinal, maka masalah utama terapi besi oral pada PGK adalah masalah
11

absorpsi intestinal selain itu terdapat pula masalah intoleransi gastrointestinal dan
tingkat kepatuhan terapi yang rendah. Preparat besi intravena juga dikatakan
memiliki bioavaibilitas 20 kali lebih besar dibandingkan dengan preparat besi
oral.1 Pemberian suplemen besi intravena dapat meningkatkan eritropoesis dan
meningkatkan kadar Hb dalam darah pada pasien PGK dengan anemia meskipun
bila TSAT dan kadar feritin dalam darah tidak mengindikasikan adanya defisiensi
besi absolut dan bahkan pada saat sumsum tulang menunjukkan cadangan zat besi
yang adekuat. Pemberian besi intravena juga dikatakan dapat meningkatkan
respon eritropoetik pada pasien yang mendapat terapi ESA.15
Pada pedoman KDIGO 2012 merekomendasikan penggunaan suplemen
besi pada orang dewasa dengan PGK dan anemia tidak sedang dalam terapi besi
ataupun ESA direkomendasikan percobaan pemberian preparat besi intravena
(atau pada pasien PGK non-dialisis alternatifnya adalah pemberin preparat besi
oral selama 1-3 bulan) bila diperlukan peningkatan kadar Hb tanpa memulai terapi
ESA dan bila TSAT < 30% serta feritin < 500 ng/ml. Pada orang dewasa dengan
PGK dan anemia yang sedang dalam terapi ESA yang belum mendapat suplemen
besi disarankan percobaan pemberian preparat besi intravena (atau pada pasien
PGK non-dialisis alternatifnya adalah pemberin preparat besi oral selama 1-3
bulan) bila dibutuhkan peningkatan konsentrasi Hb atau pengurangan dosis ESA,
TSAT < 30% serta feritin < 500 ng/ml. 15
Preparat besi intravena yang dapat digunakan ferric carboxymaltose, ferric
gluconate, ferumoxytol, high molecular weight iron dextran, low molecular
weight iron dextran, iron isomaltoside dan iron sucrose. Terapi besi intravena
dapat diberikan dengan dosis tunggal yang besar ataupun dosis yang lebih kecil
namun diberikan secara berulang secara spesifik tergantung terhadap preparat besi
intravena. Jumlah kehilangan zat besi pada setiap individu sulit untuk
diperkirakan secara tepat sehingga dosis yang tepat untuk kompensasi kehilangan
tersebut sulit untuk ditentukan dengan tepat. Dosis inisial yang umumnya
diperlukan diperkirakan 1000 mg, dosis awal ini dapat diulang bila pada
pemberian pertamanya gagal meningkatkan kadar Hb dan atau gagal mengurangi
dosis ESA yang diperlukan dan bila TSAT tetap < 30% dan feritin serum tetap <
500 ng/ml. Terdapat dua pendekatan yang umumnya digunakan untuk
12

pemeliharaan pemberian besi intravena pada pasien dengan PGK stadium 5


dengan hemodialisis yaitu pemberian preparat besi untuk memenuhi cadangan
besi dilakukan bila pada saat pemeriksaan status besi secara periodik terdapat
indikasi kecenderungan terjadinya defisiensi besi atau menurunnya parameter
metabolisme besi dibawah target yang telah ditentukan. Preparat besi dengan
dosis lebih kecil dengan interval yang regular juga diberikan untuk memelihara
status besi dengan stabil. 16

EFEK SAMPING TERAPI BESI INTRAVENA

Segala bentuk pemberian terapi besi Intravena berhubungan dengan efek samping
yang terjadi secara akut dan berat. Pada pemberian terapi besi intravena, hal yang
harus diperhatikan adalah terjadinya hipotensi dan dispnea, yang merupakan tanda
terburuk dari anafilaksis. Mekanisme aksi munculnya efek samping berbeda pada
setiap preparat besi. Preparat iron dextran dihubungkan dengan kejadian
anafilaksis yang lebih tinggi dibandingkan preparat besi lainnya. Diperkirakan
terjadi reaksi anafilaksis sebesar 0,6-0,7 % pada pasien yang diberikan terapi iron
dextran. Efek samping yang lebih serius terjadi pada high molecular weight iron
dextran bila dibandingkan dengan low molecular weight iron dextran. Efek
samping yang berat lebih jarang terjadi pada pemberian preparat non dextran bila
dibandingkan dengan preparat iron dextran. Penggunaan preparat besi intravena
harus memperhatikan profil keamanan dan toksisitas dari masing masing produk
yang telah diperingatkan dan direkomendasikan pada label produk.20

Penggunaan Zat Besi Intravena pada Pasien Infeksi

Zat besi adalah zat yang esensial untuk pertumbuhan berbagai pathogen termasuk
bakter, virus, fungi, parasite dan helmin, serta menekan fungsi imunsistem
terhadap mikroba. Terdapat beberapa teori serta bukti penelitian yang menyatakan
pemberian zat besi dapat memperberat infeksi yang terjadi namun bukti yang
mendukungnya masih sedikit. Data pada pasien PGK masih dalam perdebatan.
Pemberikan preparat besi intravena pada pasien dengan infeksi sistemik tidak
direkomendasikan.21

Iron Overload pada Pemberian Besi Intravena


13

Iron overload merepresentasikan sebuah kondisi peningkatan kandungan besi


total pada tubuh yang mungkin berhubungan dengan resiko disfungsi organ yang
bergantung pada waktu paparan. Iron overload yang patologis adalah kelebihan
zat besi dalam tubuh yang mengakibatkan munculnya tanda dan gejala akibat
disfungsi organ yang diakibatkan kelebihan zat besi tersebut.21
Pemberian terapi besi intravena dapat mengakibatkan kelebihan Fe (zat
besi) yang terakumulasi pada organ seperti hepar, lien, miokardium, sendi, paru,
dan limfonodi. Pada pasien PGK tahap akhir yang menjalani hemodialisis dengan
overload iron pada hepar, tes fungsi hati biasanya normal dan jarang terjadi
sirosis hepatis. Bukti terjadinya kerusakan organ akibat iron overload pada
populasi hemodialisis memang masih kurang, namun stres oksidatif dan inflamasi
dapat terjadi akibat pemberian zat besi secara parenteral yang berlebihan, hal ini
dapat meningkatkan angka kejadia kardiovaskular serta kematian pada pasien
dengan PGK tahap akhir dan terapi hemodialisis.21

RINGKASAN

Anemia defisiensi besi sering terjadi pada pasien dengan penyakit ginjal kronis
dan merupakan sebuah faktor utama yang dapat mengakibatkan hiporesponsifnya
erythropoiesis-stimulating agents. Untuk penatalaksanaan anemia defisiensi besi
diperlukan terapi preparat besi. Preparat besi ini dapat diberikan baik secara oral
maupun intravena. Pasien yang menderita penyakit ginjal kronis disertai anemia
defisiensi besi memerlukan terapi besi intravena untuk menghindari penurunan
efektifitas serta untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam pengobatan.
Preparat yang digunakan dapat berupa ferric carboxymaltose, ferric gluconate,
ferumoxytol, high molecular weight iron dextran, low molecular weight iron
dextran, iron isomaltoside dan iron sucrose. Penggunaan terapi besi intravena
dikatakan memiliki efek samping yang jarang namun ketika terjadi dapat berupa
manifestasi yang berat, sehingga penting bagi klinisi untuk mengetahui efek
samping yang mungkin terjadi serta penatalaksaan efek samping tersebut.
14

DAFTAR PUSTAKA

1. Macdougall CL. Intravenous Iron Therapy in Patient with Chronic Kidney


Disease. Clin Kidney J. 2017;10:16-24.
2. Ryu S-R, Park SK, Jung JY, dkk. The Prevalence and Management of
Anemia in Chronic Kidney Disease Patient. J Korean Med Sci.
2017;32(2):249-56
3. Tanaka S, Tanaka T. How to Suplement Iron in Patients with Renal Anemia.
Nephron. 2015;131:138-44.
4. Hörl WH. Anaemia management and mortality risk in chronic kidney disease.
Nat Rev Nephrol. 2013; 9 :291–301
5. Talib SH, Kulkarni SG, Gulwe VS,dkk. Role of Iron Deficiency Anemia in
Patients with Chronic Kidney Disease. IOSR Journal of Dental and Medical
Science. 2015;14:102-5.
6. Lankhorst CE, Wish JB. Anemia in renal disease: Diagnosis and
management. Blood Rev. 2010; 24:39–47
7. Staufer ME, Fan T. Prevalence of Anemia in Chronic Kidney Disease in the
United State. PLos ONE. 2014; 9(1)
8. Nemeth E, Tomas Ganz. The Role of Hepcidin in Iron Metabolism. Acta
Haematol. 2019;122:78-86.
9. Nemeth E, Tuttle MS, Powelson J, dkk. Hepcidin Regulated Cellular Iron
Efflux by Binding to Feroportin and Inducing Internalization. Science.
2004;306:2090-3.
10. Coyne DW. Hepcidin: Clinical Utility as a Diagnostic Tool and Therapeutic
Target. Kidney Int, 2011;80:240-4.
11. Neelke C, Grooteman MP, Bots ML, dkk. Hepcidin-25 in Chronic
Hemodialysis Patients is Related to Residual Kidney Function and Not to
Treatment with Erythropoiesis Stimulating Agents. PLoS ONE. 2012;7(7):
e39783.
15

12. Ganz T, Nemeth E. Iron Balance and the Role of Hepcidin in Chronic Kidney
Disease. Semin Nephrol. 2016;36(2):87–93.
13. Zaritzky J, Young J, Wang H-J, dkk. Hepcidin A Potential Novel Biomarker
for Iron Status in Chronic Kidney Disease. Clin J Am Nephrol. 2009;
4(6):1051-6.
14. PERNEFRI. Konsensus Managemen Anemia pada Penyakit Ginjal Kronik.
Edisi kedua. Jakarta: PERNRFRI; 2011.
15. KDIGO. Clinical Practice Guideline for Anemia in Chronic Kidney Disease.
Kidney Int Suppl. 2012;2:279-335.
16. Cases A, Egocheaga MI, Tranche S, dkk. Anemia of Chronic Kidney
Disease: Protocol of study, management and referral to nephrology.
Nefrologia. 2018;38 (1):8-12.
17. Lim W, Afif W, Knowles S, dkk. Canadian expert consensus: management of
hypersensitivity reactions to intravenous iron in adults. Int. J. Clin. Transfus.
Med. 2019; 114:363–73
18. Fujita N, Horiike S, Sugimoto R, dkk. Hepatic oxidative DNA damage
correlates with iron overload in chronic hepatitis C patients. Free Radic. Biol.
Med.2007; 42: 353–62
19. Bloomer SA, Brown KE. Iron-Induced Liver Injury: A Critical Reappraisal.
Int. J. Mol. Sci. 2019;20:2132
20. Kalra PA , Bhandari S Safety of Intravenous Iron Use in Chronic Kidney
Disease. Curr Opin Nephrol Hypertens. 2016;25: 529-35.
21. Macdougall LC, Bircher AJ, Eckardt K-E, dkk. Iron Management in Chronic
Kidney Disease: Conclusion from a “Kidney Disease: Improving Global
Outcomes” Controversies Conference. Kidney Int. 2016;89:28-39.

Anda mungkin juga menyukai