Anda di halaman 1dari 7

Anemia defisiensi besi (ADB) adalah bentuk anemia yang paling umum terjadi secara global

dan termasuk ke dalam jenis anemia mikrositik hipokromik. [3,4]


Anemia adalah keadaan dimana kemampuan sel darah merah (red blood cells/RBC) untuk
membawa oksigen menurun, yang ditandai dengan kadar hemoglobin (Hb) dibawah 12 g/dL
pada orang dewasa. Angka ini dapat berbeda-beda tergantung dari usia, jenis kelamin,
kehamilan. [1,2]
Anemia defisiensi besi dapat tidak menimbulkan gejala (asimtomatik) atau menimbulkan gejala
seperti pucat, lemas, lesu, lelah, letih, lalai, dan lainnya.[3,4]
Diagnosis ADB ditegakkan bila ditemukan kadar hb rendah, serum besi rendah, serum ferritin
rendah, dan kapasitas total pengikat besi (total iron binding capacity/TIBC) meningkat.
Pemeriksaan penunjang juga dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab, misalnya dengan cara
memeriksa darah samar feses untuk melihat keberadaan perdarahan di gastrointestinal.[4–6]

Patofisiologi anemia defisiensi besi (ADB) disebabkan karena gangguan homeostasis zat besi
dalam tubuh. Homeostasis zat besi dalam tubuh diatur oleh absropsi besi yang dipengaruhi
asupan besi dan hilangnya zat besi/iron loss. Kurangnya asupan zat besi/iron intake, penurunan
absropsi, dan peningkatan hilangnya zat besi dapat menyebabkan ketidakseimbangan zat besi
dalam tubuh sehingga menimbulkan anemia karena defisiensi besi.[4,6]
Zat besi yang diserap di bagian proksimal usus halus dan dapat dialirkan dalam darah bersama
hemoglobin, masuk ke dalam enterosit, atau disimpan dalam bentuk ferritin dan transferin.
Terdapat 3 jalur yang berperan dalam absropsi besi, yaitu: (1) jalur heme, (2) jalur fero (Fe2+),
dan (3) jalur feri (Fe3+).
Zat besi tersedia dalam bentuk ion fero dan dan ion feri. Ion feri akan memasuki sel melalui jalur
integrin-mobili ferrin (IMP), sedangkan ion fero memasuki sel dengan bantuan transporter metal
divalent/divalent metal transporter (DMT)-1. Zat besi yang berhasil masuk ke dalam enterosit
akan berinteraksi dengan paraferitin untuk kemudian diabsropsi dan digunakan dalam proses
eritropioesis. Sebagain lainnya dialirkan ke dalam plasma darah untuk reutilisasi atau disimpan
dalam bentuk ferritin maupun berikatan dengan transferin. Kompleks besi-transferrin disimpan
di dalam sel diluar sistem pencernaan atau berada di dalam darah. Transport transferrin dalam
tubuh masih belum diketahui dengan pasti. Kapisitas dan afinitias transferin terhadap zat besi
dipengaruhi oleh homeostasis dan kebutuhan zat besi dalam tubuh. Kelebihan zat besi lainnya
kemudian dikeluarkan melalui keringat ataupun dihancurkan bersama sel darah. [4,6]
Perdarahan baik makro ataupun mikro adalah penyebab utama hilangnya zat besi. Sering kali
perdarahan yang bersifat mikro atau okulta tidak disadari dan berlangsung kronis, sehingga
menyebabkan zat besi ikut terbuang dalam darah dan lama-kelamaan menyebabkan cadangan zat
besi dalam tubuh ikut terbuang. Keadan-keadaan seperti penyakit Celiac, post-operasi
gastrointestinal yang mengganggu mukosa dan vili pada usus, sehingga penyerapan besi
terganggu dan menyebabkan homeostasis zat besi juga terganggu. [4,6]

Etiologi anemia defisiensi besi (ADB) cukup beragam. Penyakit ini bisa dipengaruhi asupan zat
besi yang kurang, keadaan perdarahan yang kronik, ataupun malabsorpsi zat besi.
Asupan Zat Besi
Daging merah menyediakan asupan zat besi dalam bentuk heme iron yang bioavailabilitasnya
lebih tidak dipengaruhi oleh konstituen diet. Prevalensi ADB dilaporkan lebih rendah pada area
dimana daging merah menjadi bagian penting diet setempat.
Perdarahan Kronik
Pada perdarahan kronik, misalnya di traktus gastrointestinal ataupun reproduksi, ketika
kehilangan darah sudah mencapai titik tertentu, cadangan besi akan dipakai untuk menstimulasi
produksi hemoglobin di sumsum tulang. Ketika cadangan zat besi telah sangat berkurang, sel
darah menjadi mikrositik hipokromik.
Malabsorpsi Zat Besi
Malabsorpsi zat besi dapat terjadi pada pasien yang menjalani gastric bypass surgery ataupun
memiliki penyakit kronik seperti Celiac disease. Keadaan achlorydria dalam jangka waktu yang
lama juga akan mengganggu absorpsi zat besi.
Faktor Risiko
Resiko anemia defisiensi besi (ADB) meningkat pada pasien dengan:
 Wanita dan wanita hamil
 Usia tua
 Perdarahan
 Infeksi cacing tambang/hookworm
 Kebiasaan merokok
 Obesitas
 Diet vegetarian
 Malabsorpsi besi
 Menometrohagia
 Kanker gastrointestinal
 Pengobatan aspirin dan antasida
 Milkaholics (konsumsi susu sebagai sumber makanan utama) [4–6]

Sumber:
anonim, Openi, 2010.
Gambar: Gambaran CT scan kolangiokarsinoma intrahepatik berupa lesi 2,5 cm pada lobus
kanan liver dengan dilatasi bilier proksimal. Perdarahan yang diakibatkan oleh karsinoma
merupakan salah satu penyebab terjadinya anemia defisiensi besi.

Epidemiologi anemia defisiensi besi (ADB) cukup tinggi. WHO melaporkan terdapat lebih dari
273 juta anak usia 6-59 bulan menderita anemia dengan 9.6 juta diantaranya merupakan anemia
berat.
Global
Anemia adalah masalah yang dihadapi secara global. World Health Organization (WHO)
mencatat, secara global pada tahun 2011, terdapat lebih dari 273 juta anak usia 6-59 bulan
menderita anemia dengan 9.6 juta diantaranya merupakan anemia berat, lebih dari 496 juta
wanita tidak hamil usia 15-49 tahun menderita anemia dengan 19.4 juta diantaranya merupakan
anemia berat, dan 32.4 juta wanita hamil usia 15-49 tahun menderita anemia dengan 800 ribu
diantaranya merupakan anemia berat. Kurang lebih 50% dari angka ini berkaitan dengan
defisiensi besi (anak: 42%, wanita tidak hamil 49%, dan wanita hamil 50%).[8,9]
Indonesia
Berdasarkan data dari Riskesdas tahun 2013, di Indonesia terdapat 21,7% anak ≥1 tahun, 28.1%
balita 12-59 bulan, dan 37.1% ibu hamil mengalami anemia.[10]
Mortalitas
Kematian pada anemia sering kali terjadi karena komplikasi dan anemia berat. Anemia dalam
kehamilan meningkatkan resiko kematian ibu dan neonatus. Pada tahun 2013, secara global,
tercatat sekitar 3 juta kematian kematian ibu dan bayi karena anemia. Prevalensi kematian karena
anemia berat pada anak dan wanita adalah 0.9%-1.5%.[8,9] Salah satu studi meta-analisis
menunjukkan kenaikan Hb 1 g/dL dapat menurunkan kematian bayi sebanyak 1.8 juta. Anemia
defisiensi besi sendiri menyebabkan sekitar 90.000 kematian di negara berkembang dan
menyebabkan sekitar 1,6 kematian per 100.000 penduduk di Amerika Serikat.[8,11,12]

Diagnosis anemia defisiensi besi (ADB) ditegakkan dari pemeriksaan laboratorium dengan
menentukan kadar Hb, menentukan jenis anemia, dan menentukan kadar besi dalam darah.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik dapat membantu mencari gejala penyerta dan
komplikasi dari ADB. [4–6]
Anamnesis
Pasien dengan anemia defisiensi besi (ADB) dapat menunjukkan gejala ataupun asimtomatik.
Gejala-gejala yang dapat timbul antara lain adalah:
 Pucat
 5L: lemas, letih, lesu, lelah, lalai
 Pica (kebiasaan memakan benda yang tidak awam dianggap sebagai makanan misalnya kertas
atau tanah)
 Sindrom Plummer-Vinson atau Patterson-Kelly: disfagia, glositis atropik, jaring
esofagus/esophageal web
 Koilonikia
 Alopesia
 Sklera biru
 Restless leg syndrome/RLS: rasa tidak nyaman pada kaki saat diam yang membaik dengan
pergerakan
 Perdarahan kronis: hematemesis, melena, menometrorrhagia, hematuria [4,6]

Penatalaksanaan anemia defisiensi besi (ADB) dilakukan berdasarkan derajat keparahan dan
gejala penyerta, meliputi:
 Modifikasi Diet
 Penanganan kondisi penyerta
 Terapi besi oral
 Terapi besi parenteral
 Transfusi darah
Keberhasilan terapi ADB ditandai dengan peningkatan hemoglobin sebanyak 2 g/dL dalam 3
minggu. Pengobatan harus dilanjutkan selama paling tidak 6 bulan untuk memastikan persediaan
besi dalam darah sudah kembali normal dan menghindari rekurensi. [4,5,7]

Edukasi dan promosi kesehatan pada anemia defisiensi besi (ADB) adalah dengan:
 Mencegah perdarahan : Perdarahan yang umum terjadi adalah perdarahan karena haid atau
gastrointestinal, segera konsultasikan ke dokter dan tangani perdarahan bila ada sebelum terjadi
anemia
 Suplemen besi pada wanita hamil
 Diet tinggi Fe : Makanan yang mengandung zat besi tinggi, seperti bayam, hati ayam, ikan,
sereal, kacang-kacangan, kentang, daging merah, makanan laut, tahu, dan kedelai dapat
membantu mencegah ADB.[15] Hindari makanan atau minuman yang dapat mengganggu
penyerapan besi, misalnya teh dan kopi.
 Kepatuhan minum obat : Pengobatan ADB sering kali gagal dan mengakibatkan rekurensi ADB.
Hal ini dapat dicegah dengan kepatuhan minum obat dan durasi pengobatan hingga 6 bulan
setelah perbaikan untuk memastikan persediaan besi dalam darah sudah kembali normal.
 Pasien harus diedukasi bahwa penyimpanan tablet besi dewasa harus dijauhkan dari anak-anak
karena fatal apabila dikonsumsi anak. [14]

Prognosis anemia defisiensi besi (ADB) umumnya baik. Prognosis juga bergantung pada
penyakit penyerta dan komplikasi yang timbul.
Komplikasi
Komplikasi yang umum terjadi pada ADB antara lain adalah:

Referensi
Referensi
1. World Health Organization. Anemia. WHO. 2017. Diunduh dari:
http://www.who.int/topics/anaemia/en/. Diakses tanggal 13 Oktober 2017
2. World Health Organization. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and
assessment of severity. Vitam Miner Nutr Inf Syst. 2011:1-6
3. World Health Organization. Micronutrient deficiencies. WHO. 2013. Diunduh dari:
http://www.who.int/nutrition/topics/vad/en/. Diakses tanggal 13 oktober 2017
4. Harper JL. Iron deficiency anemia. Medscape. 2016. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/202333-overview. Diakses tanggal 13 oktober 2017
5. Short M, Domagalski J. Iron deficiency anemia: evaluation and management. Am Fam
Physician. 2013;87:98–104
6. Schrier SL. Causes and diagnosis of iron deficiency and iron deficiency anemia in adults.
UpToDate. 2016. Diunduh dari: https://www.uptodate.com/contents/causes-and-diagnosis-of-
iron-deficiency-and-iron-deficiency-anemia-in-adults. Diakses tanggal 13 oktober 2017
7. Schier S, Auerbach M. Treatment of iron deficiency anemia in adults. Diunduh dari:
http://www.uptodate.com/contents/treatment-of-iron-deficiency-anemia-in-adults. Diakses
tanggal 13 oktober 2017
8. World Health Organization. The Global Prevalence of Anaemia in 2011. WHO Rep. 2015;48
9. World Health Organization. Global Prevalence of Anaemia in 2011. Diunduh dari:
http://www.who.int/vmnis/anaemia/prevalence/summary/anaemia_data_status_t2/en/. Diakses
tanggal 14 oktober 2017
10. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar 2013. Kemenkes RI.
2013. Diunduh dari: http://www.depkes.go.id/. Diakses tanggal 14 oktober 2017
11. Scott S, Chen-Edinboro L, Caufield L, Murray-Kolb L. The impact of anemia on child
mortality: An updated review. Nutrients 2014;6:5915-32
12. Central for Disease Control and Prevention. Anemia or Iron Deficiency Statistics. CDC.
2015. Diunduh dari: https://www.cdc.gov/nchs/fastats/anemia.htm. Diakses tanggal 14 oktober
2017

13. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia. Buku panduan praktik
klinis bagi dokter pelayanan primer: standar pelayanan di fasilitas kesehatan tingkat pertama.
Edisi ke-1. Indonesia: Kemenkes RI; 2013
14. British Medical Journal. Iron deficiency anemia. BMJ Best Pract. 2017. Diunduh dari:
http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/94/follow-up.html. Diakses tanggal 15
oktober 2017
15. National Health Institute Office of Dietary Supplements. Iron: dietary supplement fact sheet.
NIH. 2016. Diunduh dari: https://ods.od.nih.gov/factsheets/Iron-HealthProfessional/ Diakses
tanggal 31 oktober 2017

Anda mungkin juga menyukai