Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah


1. Definisi
Perdarahan saluran cerna bagian bawah akut didefinisikan sebagai
perdarahan yang berasal dari bagian bawah ligamentum treitz dan
menyebabkan ketidakstabilan dari tanda vital dan terkadang ditandai
dengan anemia dengan atau tanpa transfusi darah (Cagir, 2011).
2. Epidemiologi
Lebih dari 95-97% kasus perdarahan saluran cerna bagian bawah
(Lower Gastro Intestinal Bleeding) berasal dari kolon, sedangkan 3-5%
sisanya berasal dari usus halus. LGIB terjadi ± 20% dari perdarahan
gastrointestinal (Barnert dan Messmann, 2009). Insidensi LGIB meningkat
dengan bertambahannya usia, yang berhubungan dengan lesi yang didapat
pada kolon sehingga terjadi perdarahan yaitu pada divertikulosis dan
angiodisplasia. Hemmoroid merupakan penyebab tersering LGIB pada
pasien dengan usia < 50 tahun, tetapi perdarahan biasanya ringan.
Penyebab utama LGIB adalah divertikulosis sebesar 33% kasus, diikuti
dengan kanker dan polip yaitu sebesar 19% (Nguyen dan Frizelle, 2007).
3. Etiologi
a. Divertikulosis
Divertikulosis adalah suatu kelainan dimana terjadi herniasi
mukosa atau submukosa dan hanya dilapisi oleh tunika serosa pada
lokasi dinding kolon yang lemah yaitu tempat dimana vasa rekta
menembus dinding kolon. Divertikulosis kolon merupakan penyebab
yang paling umum dari perdarahan saluran cerna bagian bawah, ± 40-
50% dari semua kasus perdarahan. Prevalensi menurut umur
ditemukan bahwa semakin tua usia semakin tinggi angka kejadian dari
penyakit ini. Laki-laki dengan usia < 50 tahun lebih banyak
dibandingkan dengan perempuan. Pada usia 50-70 tahun insiden pada
perempuan lebih banyak daripada laki-laki (Nguyen dan Frizelle,
2007).
Perdarahan dari divertikula umumnya tidak nyeri dan terjadi pada
3% pasien divertikulosis. Feses biasanya berwarna merah gelap
kadangkadang juga bisa juga menjadi merah segar. Divertikula paling
sering terletak pada kolon sigmoid dan kolon desendens.
Kemungkinannya disebabkan oleh faktor traumatis lumen, termasuk
fecalit yang menyebabkan abrasi dari pembuluh darah sehingga terjadi
perdarahan (Barnert dan Messmann, 2009). Perdarahan divertikula
terjadi secara spontan pada 80% pasien. Meskipun divertikula kolon
sebelah kiri lebih umum terjadi, namun perdarahan cenderung lebih
umum terjadi pada divertikula pada kolon kanan. Perdarahan dari lesi
kolon sebelah kanan dapat lebih banyak dan menghasilkan volume
yang lebih besar daripada divertikula sisi sebelah kiri. Perdarahan
ulang (rebleeding) mungkin terjadi kembali pada 10% pasien pada
tahun pertama, setelah itu, risiko untuk perdarahan ulang meningkat
menjadi 25% setelah 4 tahun (Nguyen dan Frizelle, 2007).
b. Inflammatory Bowel Disease (IBD)
IBD adalah penyakit inflamasi yang melibatkan saluran cerna
dengan penyebab yang belum diketahui. Secara garis besar IBD dibagi
menjadi 3 jenis, yaitu kolitis ulseratif, crohn’s disease dan bila sulit
untuk membedakan keduanya maka dimasukkan dalam kategori
indeterminate colitis (Djojoningrat, 2007). Macam-macam kondisi
peradangan dapat menyebabkan perdarahan saluran cerna bagian
bawah yang akut. Perdarahan jarang muncul menjadi tanda, melainkan
berkembang dalam perjalanan penyakitnya dan penyebabnya
berdasarkan riwayat pasien. Perdarahan saluran cerna bagian bawah
akut 20% disebabkan oleh salah satu kondisi peradangan. Kebanyakan
perdarahan berhenti secara spontan atau dengan terapi spesifik pada
penyebabnya (Barbara dan Douglas, 2004).
Perdarahan masif karena IBD jarang terjadi. Kolitis ulseratif
menyebabkan diare berdarah pada beberapa kasus. Pada 50% pasien
dengan kolitis ulseratif, perdarahan gastrointestinal bagian bawah
ringan-sedang, dan sekitar 4% pasien dengan kolitis ulseratif terjadi
perdarahan yang masif (Senagore, 2007). Perdarahan saluran cerna

2
bagian bawah pada pasien dengan penyakit Crohn’s jarang terjadi,
tidak seperti pada pasien kolitis ulseratif, hanya 1-2% pasien dengan
Crohn’s terjadi perdarahan yang masif (Senagore, 2007).
c. Arteriovenous Malformation (Angiodisplasia)
Angiodisplasia menjadi penyebab 3-20% dari kasus perdarahan
saluran cerna bagian bawah. Angiodisplasia, yang juga disebut sebagai
malformasi arteriovenosa, adalah distensi atau dilatasi dari pembuluh
darah kecil pada submukosa saluran pencernaan. Angiodisplasia dapat
terjadi sepanjang saluran pencernaan dan merupakan penyebab paling
umum dari perdarahan dari usus kecil pada pasien berusia diatas 50
tahun.Angiodisplasia tampak jelas pada kolonoskopi berwarna merah,
lesi rata dengan diameter sekitar 2-10 mm. Lesi tampak seperti
bintang, oval, tajam, atau tidak jelas. Meskipun angiografi mampu
mengidentifikasikan lesi, namun kolonoskopi adalah metode yang
paling sensitif untuk mengidentifikasi angiodisplasia (Barbara dan
Douglas, 2004).
Angiodisplasia usus merupakan malformasi arteri yang terletak di
sekum dan kolon asenden. Angiodisplasia usus merupakan lesi yang
diperoleh dan mempengaruhi orang tua berusia > 60 tahun. Lesi ini
terdiri dari kelompok-kelompok pembuluh darah yang berdilatasi,
terutama pembuluh darah vena, pada mukosa dan submukosa kolon.
Angiodisplasia cenderung menyebabkan perdarahan dengan episode
lambat tetapi berulang. Oleh karena itu, pasien dengan angiodisplasia
datang dengan anemia. Angiodisplasia yang menyebabkan hilangnya
darah dalam jumlah besar jarang didapatkan. Perdarahan lesi aktif
dapat diobati dengan elektrokoagulasi koloskopi (Barbara dan
Douglas, 2004).

d. Benign Anorectal Disease


Penyakit anorektal jinak (misalnya hemoroid, fisura ani, fistula
anorektal) dapat menyebabkan perdarahan rektum intermiten.
Sebanyak 11% dari pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian
bawah terjadi dari penyakit anorektal. Pasien yang memiliki varises
rektum dengan hipertensi portal dapat terjadi perdarahan masif saluran

3
cerna bagian bawah tanpa rasa sakit, sehingga pemeriksaan awal
anorektum menjadi penting. Penyakit anorektal jinak yang lebih
proksimal dari saluran cerna bagian bawah dapat terjadi perdarahan.
Pada kasus-kasus ini perdarahan yang timbul berwarna merah segar
dan tidak bercampur dengan feses (Barbara dan Douglas, 2004).
Hemoroid merupakan pelebaran dan inflamasi pembuluh darah
vena di daerah anus yang berasal dari plexus hemoroidalis. Hemoroid
eksterna adalah pelebaran vena yang berada dibawah kulit (subkutan)
yang terjadi di bawah linea dentate, sedangkan hemoroid interna
adalah pelebaran vena submukosa di atas atau di dalam linea dentata.
Biasanya struktur anatomis anal canal masih normal (Djojoningrat,
2007).
e. Neoplasma
Neoplasma kolorektal dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
polip kolon dan kanker kolon. Polip adalah tonjolan di atas permukaan
mukosa. Polip kolon dapat dibagi dalam 3 tipe, yaitu neoplasma
epithelium, non neoplasma, dan submukosa. Makna klinis yang
penting dari polip ada dua, pertama adalah kemungkinan mengalami
transformasi menjadi kanker kolorektal dan kedua dengan tindakan
pengangkatan polip, kanker kolorektal dapat dicegah (Abdullah, 2007).
Neoplasma kolon dapat muncul dalam bentuk dan sifat bermacam-
macam. Biasanya perdarahan dari lesi ini lambat, ditandai dengan
perdarahan samar dan anemia sekunder. Neoplasma ini juga dapat
berdarah dengan cepat, namun pada beberapa bentuk sampai dengan
20% dari kasus perdarahan akut pada akhirnya ditemukan muncul
karena polip kolon atau kanker. Keluhan yang paling sering dirasakan
adalah perubahan buang air besar, perdarahan pada anus
(hematochezia dan konstipasi). Jika terjadi obstruksi maka gejala yang
timbul berupa nyeri abdomen, mual, muntah dan obstipasi. Pada tumor
yang telah melakukan invasi lokal maka akan timbul gejala tenesmus,
hematuria, infeksi saluran kemih berulang dan obstruksi uretra bahkan
perforasi abdomen (Barbara dan Douglas, 2004).
4. Manifestasi Klinis
a. Hematochezia

4
Hematochezia adalah darah segar yang keluar lewat anus/rektum.
Hal ini merupakan manifestasi klinis perdarahan yang paling sering.
Sumber perdarahan pada umumnya berasal dari anus, rektum, atau
kolon bagian kiri (sigmoid atau kolon descendens), tetapi juga dapat
berasal dari usus kecil atau saluran cerna bagian atas bila perdarahan
tersebut berlangsung masif (sehingga sebagian volume darah tidak
sempat kontak dengan asam lambung) dan masa transit usus yang
cepat (Davila dan Rajan, 2005).
b. Maroon stool
Maroon stool adalah darah yang berwarna merah hati (kadang
bercampur dengan melena) yang biasanya berasal dari perdarahan di
kolon bagian kanan (ileo-caecal) atau juga dapat dari usus kecil bila
waktu transit usus cepat (Davila dan Rajan, 2005).
c. Melena
Melena adalah feses yang berwarna hitam seperti kopi (bubuk
kopi) atau seperti aspal, berbau busuk dan hal ini disebabkan
perubahan hemoglobin menjadi hematin. Perubahan ini dapat terjadi
akibat kontak hemoglobin dengan asam lambung atau akibat degradasi
darah oleh bakteri usus. Misalnya pada perdarahan yang bersumber di
kolon bagian kanan yang disertai waktu transit usus yang lambat.
Perdarahan saluran cerna bagian bawah akan tersamar bila jumlah
darah sedikit sehingga tidak mengubah warna feses yang keluar.
Sebagian besar perdarahan berlangsung akut, berhenti spontan, dan
jarang menimbulkan gangguan hemodinamik (Davila dan Rajan,
2005).
5. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang (Kemenkes, 2015).
a. Anamnesis
1) Pasien datang dengan keluhan keluar darah segar yang keluar
melalui anus (hematochezia).
2) Melena dapat terjadi jika perdarahan kolon sebelah kanan dengan
perlambatan mobilitas.
3) Perdarahan dari diverticulum biasanya tidak nyeri. Feses berwarna
merah gelap-merah segar. Umumnya berhenti secara spontan dan
tidak berulang.

5
4) Hemoroid dan fissure ani biasanya menimbulkan perdarahan
dengan warna merah segar tetapi tidak bercampur dengan feses.
5) Apakah bercampur dengan feses (colitis atau lesi di proksimal
rectum), terpisah dengan feses/menetes (hemoroid), pemakaian
antikoagulan, atau terdapat gejala sistemik lainnya seperti demam
lama (tifoid, colitis infeksi), menurunnya berat badan (kanker),
perubahan pola defekasi (kanker), tanpa rasa sakit (hemoroid
interna, angiodisplasia), nyeri perut (colitis infeksi, iskemia
mesenterial), tenesmus ani (fisura, disentri).
b. Pemeriksaan Fisik
1) Pada colok dubur ditemukan darah segar
2) Nilai tanda vital, terutama ada tidaknya renjatan atau hipotensi
postural (Tilt test)
3) Pemeriksaan fisik abdomen untuk menilai ada tidaknya rasa nyeri
tekan, rangsang peritoneal, massa intra abdomen
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Darah lengkap
2) Feses rutin
3) Kolonoscopy
Kolonoskopi adalah prosedur yang dilakukan oleh seorang
pemeriksa (gastroenterologis) untuk mengevaluasi bagian dalam
kolon (usus besar). Ujung kolonoskop dimasukkan ke dalam anus
dan melalui usus besar dan berakhir di sekum. Kolonoskopi juga
dapat melakukan biopsi pada lesi yang dicurigai ganas.
Pemeriksaan kolon yang lengkap dapat mencapai >95% pasien.
Rasa tidak nyaman yang timbul sangat bergantung pada operator.
Kolonoskopi dengan enema barium bertujuan untuk mendeteksi
lesi kecil seperti adenoma. Kolonoskopi merupakan prosedur
terbaik untuk mendeteksi polip kolon. Kolonoskopi mempunyai
sensitivitas 95% dan spesifitas 99% paling tinggi dibandingkan
dengan modalitas yang lain dalam mendeteksi polip adematosa.
Disamping itu, dapat dilakukan biopsi dan tindakan polipektomi
untuk mengangkat polip. Akan tetapi kolonoskopi tidak dapat
membedakan jenis-jenis polip secara histologi, oleh karena itu
biopsi dan polipektomi penting untuk menegakkan diagnosis
secara histologi (Abdullah, 2009).

6
6. Penatalaksanaan
a. Stabilkan hemodinamik
b. Ferrosulfat 325 mg 3x1

A. Kanker Kolorectal
1. Definisi
Kanker kolorektal adalah keganasan yang berasal dari jaringan
usus besar, terdiri dari kolon (bagian terpanjang dari usus besar) dan atau
rektum (bagian kecil terakhir dari usus besar sebelum anus) (Levin, 2008).
Menurut American Cancer Society, kanker kolorektal (KKR) adalah
kanker ketiga terbanyak dan merupakan kanker penyebab kematian kedua
terbanyak pada pria dan wanita di Amerika Serikat. Telah diprediksi
bahwa pada tahun 2016 ada 95.270 kasus baru kanker kolon dan 39.220
kasus baru kanker rectum. Secara keseluruhan risiko untuk mendapatkan
kanker kolorektal adalah 1 dari 20 orang (5%). Risiko penyakit cenderung
lebih sedikit pada wanita dibandingkan pada pria. Banyak faktor lain yang
dapat meningkatkan risiko individual untuk terkena kanker kolorektal.
Angka kematian kanker kolorektal telah berkurang sejak 20 tahun terakhir.
Ini berhubungan dengan meningkatnya deteksi dini dan kemajuan pada
penanganan kanker kolorektal (Zauber, 2008)
2. Faktor resiko
Faktor risiko menurut Bring, 2012 adalah sebagai berikut:
a. Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi
1) Usia
Diagnosis KKR meningkat progresif sejak usia 40 tahun,
meningkat tajam setelah usia 50 tahun, lebih dari 90% kasus KKR
terjadi di atas usia 50 tahun. Angka kejadian pada usia 60-79 tahun
50 kali lebih tinggi dibandingkan pada usia kurang dari 40 tahun.
2) Faktor Herediter
Riwayat familial berkontribusi pada sekitar 20% kasus KKR.
Kondisi yang paling sering diwariskan adalah familial
adenomatous polyposis (FAP) dan hereditary nonpolyposis
colorectal cancer (HNPCC), dikenal sebagai sindrom Lynch. Gen-
gen yang berperan dalam pewarisan KKR ini telah diidentifi kasi.
HNPCC berhubungan dengan mutasi gengen yang terlibat dalam
jalur perbaikan DNA, disebut gen MLH1 dan MLH2. FAP
disebabkan mutasi tumor supresor gen APC (Antigen Presenting

7
Cell). HNPCC terjadi pada 2-6% KKR.6,8 Risiko KKR seumur
hidup pada orang dengan mutase HNPCC berkisar 70-80%14,15
dan rerata umur saat didiagnosis adalah pada pertengahan usia 40
tahun. Mutasi MLH1 dan MLH2 juga berhubungan dengan
peningkatan risiko relatif kanker lain, termasuk beberapakeganasan
ekstrakolon seperti kanker uterus, gaster, usus halus, pankreas,
ginjal, dan ureter. FAP ditemukan pada <1% kasus KKR. Tidak
seperti individu dengan HNPCC yang mengalami beberapa
adenoma, individu dengan FAP mengalami pertumbuhan ratusan
polip, biasanya di awal usia 20 tahun. Pada usia 40 tahun, hampir
semua orang dengan kelainan ini didiagnosis kanker bila kolon
tidak diangkat. APC yang berhubungan dengan kondisi poliposis
diwariskan dengan pola autosom dominan. Sekitar 75-80%
individu dengan APC yang berhubungan dengan poliposis
memiliki orang tua dengan kondisi sama. Uji prenatal dan
diagnosis genetik preimplantasi dimungkinkan bila suatu penyakit
yang menyebabkan mutase teridentifi kasi pada anggota keluarga.
3) Faktor Lingkungan
KKR dipertimbangkan sebagai suatu penyakit yang dipengaruhi
lingkungan; faktor pola hidup, sosial, dan kultural ikut berperan.
KKR adalah suatu kanker dengan penyebabpenyebab yang dapat
dimodifi kasi, dan sebagian besar kasusnya secara teori dapat
dicegah. Bukti risiko lingkungan diperoleh melalui studi para
migran dan keturunannya. Di antara individu yang bermigrasi dari
daerah risiko rendah ke risiko tinggi, angka insidens KKR
cenderung meningkat menyerupai populasi di area tersebut.
Sebagai contoh, di antara keturunan migran Eropa Selatan yang
berpindah ke Australia dan migran Jepang yang berpindah ke
Hawaii, risiko KKR meningkat dibandingkan populasi di negara
asalnya. Insidens KKR pada keturunan migran Jepang di Amerika
Serikat melebihi insidens pada populasi kulit putih di tempat
tersebut, dan lebih tinggi 3-4 kali dibandingkan populasi orang
Jepang di negaranya. Selain faktor migrasi, terdapat beberapa

8
faktor geografi yang mempengaruhi perbedaan insidens KKR,
salah satunya adalah insidens KKR konsisten lebih tinggi pada
penduduk perkotaan. Orang yang tinggal di area perkotaan
memiliki prediktor risiko yang lebih kuat dibandingkan orang yang
lahir di area perkotaan.
b. Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi
1) Pola Diet dan Nutrisi
Diet berpengaruh kuat terhadap risiko KKR, dan perubahan pola
makan dapat mengurangi risiko kanker ini hingga 70%. Insidens
KKR meningkat pada orangorang yang mengonsumsi daging
merah dan/atau daging yang telah diproses. Konsumsi daging
merah dilaporkan memiliki hubungan lebih erat dengan insidens
kanker rektum, sedangkan konsumsi daging yang diproses dalam
jumlah besar berhubungan dengan kanker kolon bagian distal.
Implikasi lemak dihubungkan dengan konsep tipikal diet Barat,
terjadi perkembangan flora bakterial yang mendegradasi garam
empedu menjadi komponen N-nitroso yang berpotensi
karsinogenik. Mekanisme potensial asosiasi positif antara
konsumsi daging merah dengan kanker kolorektal termasuk adanya
heme besi pada daging merah. Beberapa jenis daging yang dimasak
pada temperatur tinggi memicu produksi amino heterosiklik dan
hidrokarbon aromatic polisiklik, keduanya dipercaya merupakan
bahan karsinogenik. Larson, dkk. Melalui studi prospektif
menyarankan pembatasan konsumsi daging merah dan daging yang
diproses untuk mencegah KKR.
2) Aktivitas Fisik dan Obesitas
Dua faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan saling berhubungan,
aktivitas fisik dan kelebihan berat badan, dilaporkan berpengaruh
pada sepertiga kasus KKR. Aktivitas tinggi berhubungan dengan
rendahnya insidens KKR.Aktivitas fisik reguler dan diet sehat
membantu menurunkan risiko KKR. Mekanisme biologi yang
berperan dalam hubungan antara menurunnya aktivitas fi sik dan
KKR mulai dipahami. Aktivitas fi sik meningkatkan angka
metabolik dan meningkatkan ambilan oksigen maksimal. Dalam

9
jangka panjang, aktivitas reguler serupa meningkatkan efisiensi
dan kapasitas metabolik tubuh, juga menurunkan tekanan darah
dan resistensi insulin. Selain itu, aktivitas fisik meningkatkan
motilitas usus. Kurangnya aktivitas fisik harian juga meningkatkan
insidens obesitas, faktor lain yang berhubungan dengan KKR.
Kelebihan berat badan dan obesitas meningkatkan sirkulasi
estrogen dan menurunkan sensitivitas insulin, juga dipercaya
mempengaruhi risiko kanker, dan berhubungan dengan
penimbunan adipositas abdomen. Namun, peningkatan risiko yang
berhubungan dengan kelebihan berat badan dan obesitas
tampaknya tidak hanya berhubungan dengan peningkatan asupan
energi, hal ini juga dapat mencerminkan perbedaan efisiensi
metabolisme. Studi menunjukkan bahwa individu yang
menggunakan energi lebih efisien memiliki risiko KKR lebih
rendah. Skala Indeks Massa Tubuh (IMT) memberikan pengukuran
kelebihan berat badan yang lebih akurat dibandingkan berat badan
saja.28,29 IMT dihitung dengan membagi berat badan (dalam
kilogram) dengan kuadrat tinggi badan (dalam meter). Panduan
IMT Asia Pasifik berbeda dengan klasifi kasi IMT oleh National
Institutes of Health (NIH) karena kandungan lemak tambahan dan
perbedaan distribusi lemak pada orang Asia. Orang Asia
menunjukkan peningkatan akumulasi lemak walaupun IMT-nya
rendah.29,30 Obesitas menyebabkan penimbunan hormon,
peningkatan kadar insulin dan insulin-like growth factor-1 (IGF-1),
pemicuan regulator pertumbuhan tumor, gangguan respons imun
dan stres oksidatif, sehingga memicu terjadinya karsinoma
kolorektal.
3) Merokok
Sebesar 12% kematian KKR berhubungan dengan kebiasaan
merokok. Karsinogen rokok meningkatkan pertumbuhan KKR, dan
meningkatkan risiko terdiagnosis kanker. Merokok menyebabkan
pembentukan dan pertumbuhan polip adenomatosa, lesi prekursor
KKR.34 Terdapat hubungan statistic signifikan berdasarkan dosis

10
merokok per tahun setelah merokok lebih dari 30 tahun; individu
dengan riwayat merokok lama dan kemudian berhenti merokok
tetap memiliki risiko KKR. Polip berukuran besar di kolon dan
rektum dihubungkan dengan kebiasaan merokok jangka panjang.
Onset KKR penderita pria dan wanita perokok lebih muda.

4) Alkohol
Konsumsi alkohol reguler berhubungan dengan perkembangan
KKR. Konsumsi alkohol merupakan faktor risiko KKR pada usia
muda, juga meningkatnya insidens kanker kolon distal. Metabolit
reaktif pada alkohol seperti asetaldehid bersifat karsinogenik.
Terdapat korelasi antara alkohol dan merokok, rokok menginduksi
mutasi spesifik DNA yang perbaikannya tidak efektif karena
adanya alkohol. Alkohol berperan sebagai solven, meningkatkan
penetrasi molekul karsinogen lain ke dalam sel mukosa. Efek
alkohol dimediasi melalui produksi prostaglandin, peroksidase
lipid, dan generasi ROS (Reactive Oxygen Species) bebas.
Konsumsi tinggi alcohol biasanya berhubungan dengan nutrisi
rendah, sehingga jaringan rentan terhadap karsinogenesis.
Konsumsi alkohol 2-4 porsi per hari meningkatkan risiko hingga
23% dibandingkan individu yang mengonsumsi kurang dari 1 porsi
per hari. Porsi yang dimaksud adalah satuan jumlah minuman yang
dikeluarkan oleh National Institute on Alcohol Abuse and
Alcoholism, 1 porsi mengandung sekitar 14 gram alcohol murni,
volumenya berbeda-beda untuk minuman beralkohol yang beredar
di masyarakat – 1 porsi = 355 ml bir (kadar alkohol 5%), 148 ml
wine (kadar alkohol 7%), 29,5 ml brandy atau minuman keras
lainnya (kadar alkohol 40%).37 Riwayat mengonsumsi alkohol
juga memiliki risiko tinggi
5) Lain-lain
Peranan suplementasi kalsium dan vitamin D untuk mencegah
kanker kolorektal masih perlu diteliti lebih lanjut. Studi meta-
analisis menunjukkan kalsium 1200 mg menurunkan risiko
adenoma secara bermakna, sedangkan hubungan antara vitamin D

11
dan kanker belum diketahui pasti. Perhimpunan Dokter Spesialis
Bedah Digestif Indonesia memberikan rekomendasi tingkat B
untuk aspirin dan OAINS (Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid)
dalam menurunkan risiko KKR, namun penggunaannya tidak
dianjurkan karena efek samping obat. Penggunaan terapi sulih
hormon pasca-menopause secara teratur dan jangka panjang juga
menurunkan risiko KKR, namun meningkatkan risiko kanker
payudara dan penyakit kardiovaskuler.
3. Tanda dan Gejala Klinis
Tanda dan gejala dari kanker kolon bervariasi dan tidak spesifik
dan sering kali tidak didapatkan gejala dan tanda dini dari kanker
kolorektal. Keluhan utama pasien dengan kanker kolorektal berhubungan
dengan besar dan lokasi dari tumor dan ada tidaknya metastasis. Gejala
muncul pada kanker kolorektal yang terjadi sudah lama dan berprognosis
buruk (Levin, 2008). Umumnya gejala pertama timbul karena penyulit
yaitu gangguan faal usus, obstruksi, perdarahan atau akibat penyebaran.
Gejala klinis kanker kolorektal pada lokasi tumor di kolon kiri berbeda
dengam kanan. Tumor di kolon kiri sering bersifat skirotik sehingga lebih
banyak menimbulkan stenosis dan obstruksi karena feses sudah menjadi
padat. Tumor pada kolon kiri dan rektum menyebabkan perubahan pola
defekasi seperti konstipasi atau defekasi dengan tenesmi, semakin distal
letak tumor feses semakin menipis atau seperti kotoran kambing atau lebih
cair disertai darah atau lendir. Pada kanker kolon kanan jarang terjadi
stenosis karena feses masih cair. Gejala umumnya adalah dispepsia,
kelemahan umum penurunan berat badan dan anemia. Pada kanker di
kolon kanan didapatkan masa di perut kanan bawah (Levin, 2008).
4. Deteksi Dini dan Diagnosis
Deteksi dini adalah investigasi pada individu asimtomatik yang
bertujuan untuk mendeteksi adanya penyakit pada stadium dini sehingga
dapat dilakukan terapi kuratif. Menurut NCCN tahun 2012 Deteksi dini
dilakukan pada :
a. Deteksi dini dilakukan pada individu yang berusia di atas 40 tahun.
b. Deteksi dini dilakukan pada kelompok masyarakat yang :
1) Penderita yang memiliki riwayat penyakit kolitis ulserativa atau
Crohn > 10 tahun,

12
2) Penderita yang meiliki riwayat polipektomi pada adenoma
kolorektal.
3) Individu dengan adanya riwayat keluarga penderita kanker
kolorektal karena memiliki risiko 5 kali lebih tinggi untuk terkena
kanker kolorektal.
Gejala dan tanda yang menunjukkan nilai prediksi tinggi kanker
kolorektal:
a. Keluhan utama dan pemeriksaan klinis (NCCN, 2012):
1) Perdarahan per-anum disertai peningkatan frekuensi defekasi
dan/atau diare selama minimal 6 minggu (semua umur)
2) Perdarahan per-anum tanpa gejala anal (di atas 60 tahun)
3) Peningkatan frekuensi defekasi atau diare selama minimal 6
minggu (di atas 60 tahun)
4) Massa teraba pada fossa iliaka dekstra (semua umur)
5) Massa intra-luminal di dalam rectum
6) Tanda-tanda obstruksi mekanik usus.
7) Setiap penderita dengan anemia defisiensi Fe dengan hemoglobin <
11 g% pada pria dan hemoglobin < 10 g% pada wanita pasca
menopause
b. Pada pemeriksaan colok dubur ini yang harus dinilai adalah:
1) Keadaan tumor: ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak
bagian terendah terhadap cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas
kelenjar prostat atau ujung os coccygis.
2) Mobilitas tumor: hal ini sangat penting untuk mengetahui tingkat
keberhasilan terapi pembedahan. Lesi yang sangat dini biasanya
masih dapat digerakkan pada lapisan otot dinding rektum. Pada lesi
dalam yang sudah mengalami ulserasi umumnya terjadi perlekatan
dan fiksasi pada struktur ekstra-rektal.
3) Ekstensi penjalaran yang diukur dari besar ukuran tumor dan
karakteristik pertumbuhan primer dan sebagian lagi dari mobilitas
atau fiksasi lesi.

5. Pemeriksaan penunjang
Berikut beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat mendukung
penegakan diagnosis KKR (Saglam, 2011):
a. Endoskopi
Endoskopi merupakan prosedur diagnostik utama dan dapat dilakukan
dengan sigmoidoskopi (>35% tumor terletak di rektosigmoid) atau

13
dengan kolonoskopi total. Kolonoskopi memberikan keuntungan
sebagai berikut:
1) Tingkat sensitivitas di dalam mendiagnosis adenokarsinoma atau
polip kolorektal adalah 95%
2) Kolonoskopi berfungsi sebagai alat diagnostik (biopsi) dan terapi
(polipektomi)
3) Kolonoskopi dapat mengidentifikasi dan melakukan reseksi
synchronous polyp
4) Tidak ada paparan radiasi.
Kelemahan kolonoskopi adalah:
Pada 5 – 30 % pemeriksaan tidak dapat mencapai sekum
1) Sedasi intravena selalu diperlukan
2) Lokalisasi tumor dapat tidak akurat
3) Tingkat mortalitas adalah 1: 5000 kolonoskopi.
b. Enema barium dengan kontras ganda
Pemeriksaan enema barium yang dipilih adalah dengan kontras ganda
karena memberikan keuntungan sebagai berikut:
1) Sensitivitasnya untuk mendiagnosis KKR: 65-95%
2) Aman
3) Tingkat keberhasilan prosedur sangat tinggi
4) Tidak memerlukan sedasi
5) Telah tersedia di hampir seluruh rumah sakit.
Kelemahan pemeriksaan enema barium:
1) Lesi T1 sering tak terdeteksi
2) Rendahnya akurasi untuk mendiagnosis lesi di rekto-sigmoid
dengan divertikulosis dan di sekum
3) Rendahnya akurasi untuk mendiagnosis lesi tipe datar
4) Rendahnya sensitivitas (70-95 %) untuk mendiagnosis polip < 1
cm
5) Ada paparan radiasi.
c. CT colonography (Pneumocolon CT)
Pemeriksaan CT kolonografi dipengaruhi oleh spesifikasi alat CT scan
dan software yang tersedia serta memerlukan protokol pemeriksaan
khusus. Modalitas CT yang dapat melakukan CT kolonografi dengan
baik adalah modalitas CT scan yang memiliki kemampuan
rekonstruksi multiplanar dan 3D volume rendering. Kolonoskopi
virtual juga memerlukan software khusus. Keunggulan CT kolonografi
adalah:
1) Dapat digunakan sebagai skrining setiap 5 tahun sekali (level of
evidence 1C, sensitivitas tinggi di dalam mendiagnosis KKR)
2) Toleransi pasien baik,

14
3) Dapat memberikan informasi keadaan di luar kolon, termasuk
untuk menentukan stadium melalui penilaian invasi lokal,
metastasis hepar, dan kelenjar getah bening.
Sedangkan kelemahannya adalah:
1) Tidak dapat mendiagnosis polip < 10 mm
2) Memerlukan radiasi yang lebih tinggi
3) Tidak dapat menetapkan adanya metastasis pada kelenjar getah
bening apabila kelenjar getah bening tidak mengalami pembesaran
4) Jumlah spesialis radiologi yang berkompeten masih terbatas
5) Modalitas CT scan dengan perangkat lunak yang mumpuni masih
terbatas
6) Jika persiapan pasien kurang baik, maka hasilnya sulit
diinterpretasi
7) Permintaan CT scan abdomen dengan diagnosis klinis yang belum
terarah ke keganasan kolorektal akan membuat protokol CT scan
abdomen tidak dikhususkan pada CT colonography
8) Tidak dapat dilakukan biopsi atau polipektomi.
6. Tatalaksana
Penatalaksanaan kanker kolorektal bersifat multidisiplin yang melibatkan
beberapa spesialisasi/ subspesialisasi antara lain gastroenterologi, bedah
digestif, onkologi medik, dan radioterapi. Pilihan dan rekomendasi terapi
tergantung pada beberapa faktor, eperti stadium kanker, histopatologi,
kemungkinan efek samping, kondisi pasien dan preferensi pasien. Terapi
bedah merupakan modalitas utama untuk kanker stadium dini dengan
tujuan kuratif. Kemoterapi adalah pilihan pertama pada kanker stadium
lanjut dengan tujuan paliatif. Radioterapi merupakan salah satu modalitas
utama terapi kanker rektum. Saat ini, terapi biologis (targeted therapy)
dengan antibodi monoklonal telah berkembang pesat dan dapat diberikan
dalam berbagai situasi klinis, baik sebagai obat tunggal maupun kombinasi
dengan modalitas terapi lainnya. Penatalaksanaan kanker kolorektal
dibedakan menjadi penatalaksanaan kanker kolon dan kanker rektum
(Labianca, 2013)
Tabel 1.1 Rangkuman penatalaksanaan kanker kolon

15
Tabel 1.2 Rangkuman penatalaksanaan kanker rectum

16
17
DAFTARPUSTAKA

Brink D, Barlow J, Bush K, Chaudhary N, Fareed M, Hayes R, et al. Institute for


Clinical Systems Improvement. Colorectal Cancer Screening. Published
May 2012.

Labianca R, Nordlinger B, Mosconi S, Mandalà M, Cervantes A, et al. Early


colon cancer: ESMO clinical practice guidelines for diagnosis, treatment
and follow up. Ann Oncol. 2013;24(Suppl 6):vi64-7

Levin B, Lieberman DA, McFarland B, Smith RA, Brooks D, Andrews KS, et al.
Screening and surveillance for the early detection of colorectal cancer and
adenomatous polyps: a joint guideline from the American Cancer Society,
the US Multi-Society Task Force on Colorectal Cancer, 32 and the
American College of Radiology. CA Cancer J Clin. 2008;58:130- 60.

National Comprehensive Cancer Network (NCCN). NCCN Clinical


Practice Guidelines in Oncology. Colon Cancer Version 3.2013. 2012 Nov
26; National Comprehensive Cancer Network. Available from URL:
http://www.tri-kobe.org/nccn/guideline/colorectal/ english/ colon.pdf

Saglam M, Ors F. Virtual colonoscopy: indications, techniques, findings. Da


Rocha JJR, editor. Endoscopic procedures in colon and rectum.
InTech:2011

Zauber AG, Lansdorp-Vogelaar I, Knudsen AB, Wilschut J, Ballegooijen MV,


Kuntz KM. Evaluating test strategies for colorectal cancer screening: a
decision analysis for the U.S. Preventive Services Task Force. Ann Intern
Med. 2008;149:659-69.

18

Anda mungkin juga menyukai