Anda di halaman 1dari 14

Sepsis Neonatorum

1. Definisi, Epidemiologi, Etiologi, dan Faktor Risiko


 Definisi
Sepsis neonatal adalah sindrom klinik penyakit sistemik, disertai bakteremia yang terjadi
pada bayi dalam satu bulan pertama kehidupan. Sepsis adalah disfungsi organ yang
mengancam kehidupan (life-threatening organ dysfunction) yang disebabkan oleh
disregulasi imun terhadap infeksi.

 Epidemiologi
- Insiden sepsis lebih tinggi pada kelompok neonatus dan bayi 1-18 tahun (9,7 versus
0,23 kasus per 1000 anak).
- Pasien sepsis berat, sebagian besar berasal dari infeksi saluran nafas (36-42%),
bakteremia, dan infeksi saluran kemih.
- Di unit perawatan intensif anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM),
sejumlah 19,3% dari 502 pasien anak yang dirawat mengalami sepsis dengan angka
mortalitas 54%.
- Usia rerata penderita sepsis berat 3,0 tahun (0,7-11,0)
- Angka kematian selama perawatan di rumah sakit sebesar 25% dan tidak terdapat
perbedaan mortalitas antara PICU di negara berkembang dan negara maju.

 Etiologi

 Faktor Risiko
- Prematuritas dan berat lahir rendah, disebabkan fungsi dan anatomi kulit yang
masih imatur, dan lemahnya sistem imun
- Ketuban pecah dini (>18 jam),
- Ibu demam pada masa peripartum atau ibu dengan infeksi, misalnya
khorioamnionitis, infeksi saluran kencing, kolonisasi vagina oleh GBS, kolonisasi
perineal dengan E. coli,
- Cairan ketuban hijau keruh dan berbau,
- Tindakan resusitasi pada bayi baru lahir,
- Prosedur invasif,
- Tindakan pemasangan alat misalnya kateter, infus, pipa endotrakheal,
- Bayi dengan galaktosemi,
- Terapi zat besi,
- Perawatan di NICU (neonatal intensive care unit) yang terlalu lama,
- Pemberian nutrisi parenteral,

2. Patofisiologi
- Lemahnya pertahanan tubuh pada bayi kurang bulan atau pada bayi cukup bulan risiko
tinggi disebabkan oleh
1) Sistem imun seluler
Sel polimorfonuklear mempunyai kemampuan kemotaksis terbatas,
menurunnya mobilisasi reseptor permukaan sel, kemampuan bakterisidal yang amat
terbatas. Semua komponen komplemen kurang, terutama pada bayi kurang bulan
juga, disertai kurangnya produksi zat kemotaktik opsonin.
Sel limfosit T yang berfungsi dalam imunitas seluler telah normal pada
gestasi muda, tetapi belum dapat memberikan respons terhadap antigen asing yang
spesifik, hal ini menyebabkan bayi rentan terhadap infeksi jamur dan virus

2) Sistem imun humoral


Kadar IgG pada neonatus tergantung dari transport aktif melalui plasenta
oleh karena semua tipe IgG dari ibu dapat ditransport ke janin sedangkan IgM, IgA
dan IgE tidak melalui plasenta, karena itu pada neonatus jumlahnya kurang. Secara
kuantitatif, jumlah IgG jelas kurang pada bayi berat lahir sangat rendah, karena
sebagian besar IgG ditransfer melalui plasenta sesudah 32 minggu kehamilan
Hal inilah yang merupakan faktor risiko terjadinya infeksi nosokomial pada
masa neonatal, terutama untuk bayi berat lahir sangat rendah atau bayi kurang
bulan.

3. Diagnosis dan diagnosis Banding


 Diagnosis
Diagnosis sepsis ditegakkan berdasarkan adanya:
1) Infeksi
a) Faktor predisposisi infeksi
Faktor-faktor predisposisi infeksi, meliputi: faktor genetik, usia, status nutrisi,
status imunisasi, komorbiditas (asplenia, penyakit kronis, transplantasi,
keganasan, kelainan bawaan), dan riwayat terapi (steroid, antibiotika, tindakan
invasif).

b) Tanda atau bukti infeksi berlangsung


Tanda infeksi berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratoris.
 Klinis berupa :
 Letargi dan iritabel
 Bayi tampak sakit
 Kulit berubah warna menjadi keabuan atau sianosis, pucat, timbul bintik
bintik , ruam, sklerema atau ikterik
 Suhu tidak stabil seperti demam atau hipotermia
 Gangguan kardiopulmonal seperti sesak merintih, napas cuping hidung,
retraksi, takipnu, atau takikardi serta hipotensi
 Gejala gastrointestinal seperti toleransi minum buruk, diare, kembung

c) Respon inflamasi
 Demam atau hipotermia
 Takikardia rerata denyut jantung di atas normal sesuai usia tanpa adanya
stimulus eksternal, obat kronis, atau nyeri; atau peningkatan denyut jantung
yang tidak dapat dijelaskan lebih dari 0,5 sampai 4 jam
 Bradikardia (pada anak < tahun): rerata denyut jantung di bawah normal
sesuai usia tanpa adanya stimulus vagal eksternal, beta-blocker, atau
penyakit jantung kongenital; atau penurunan denyut jantung yang tidak
dapat dijelaskan selama lebih dari 0,5 jam
 Takipneu: rerata frekuensi nafas di atas normal

2) Tanda gagal organ


Kecurigaan disfungsi organ (warning signs) bila ditemukan salah satu dari 3
tanda klinis:
a) Penurunan kesadaran (metode AVPU),
b) Gangguan kardiovaskular (penurunan kualitas nadi, perfusi perifer, atau tekanan
arterial rerata), atau
c) Gangguan respirasi (peningkatan atau penurunan work of breathing, sianosis)

Disfungsi organ meliputi disfungsi sistem kardiovaskular, respirasi, hematologis,


sistem saraf pusat, dan hepatik. Disfungsi organ ditegakkan berdasarkan skor
PELOD-2. Diagnosis sepsis ditegakkan bila skor ≥11 (atau ≥7).

 Diagnosis Banding

4. Tatalaksana
- Tatalaksana infeksi
1) Antibiotic,
 Pemilihan jenis antibiotika empirik sesuai dengan dugaan etiologi infeksi,
diagnosis kerja, usia, dan predisposisi penyakit.
 Apabila penyebab sepsis belum jelas, antibiotik diberikan dalam 1 jam pertama
sejak diduga sepsis, dengan sebelumnya dilakukan pemeriksaan kultur darah.
 Setelah bakteri penyebab diketahui, terapi antibiotika definitif diberikan sesuai
pola kepekaan kuman.
 Upaya awal terapi sepsis adalah dengan menggunakan antibiotika tunggal
berspektrum luas.

 Dosis antibiotic yang dapat diberikan antara laindapat dilihat di lampiran 6


konsensus sepsis pada anak IDAI

2) Antijamur
 Pasien dengan predisposisi infeksi jamur sistemik (skor Kandida ≥3 dan kadar
prokalsitonin >1,3ng/mL) memerlukan terapi anti-jamur.
 Penggunaan antijamur pada sepsis disesuaikan dengan data sensitivitas lokal.
 Bila tidak ada data, dapat diberikan lini pertama berupa: amphotericin B atau
flukonazol, sedangkan lini kedua adalah mycafungin.

3) Evaluasi penggunaan antibiotic dan anti-jamur


Prinsip penggunaan antibiotik dan anti-jamur empirik adalah melakukan deeskalasi
apabila etiologi sepsis telah diketahui dan terdapat perbaikan klinis.
- Tatalaksana disfungsi organ
1) Pernafasan
 Tata laksana pernapasan meliputi: pembebasan jalan napas (non-invasif dan
invasif) dan pemberian suplemen oksigen. Langkah pertama resusitasi adalah
pembebasan jalan nafas sesuai dengan tatalaksana bantuan hidup dasar.
 Bila didapatkan tanda-tanda gagal nafas perlu dilakukan segera intubasi
endotrakeal dan selanjutnya ventilasi mekanik di ruang perawatan intensif.

2) Ventilasi non invasive


 Ventilasi tekanan positif non-invasif dapat digunakan sebagai pilihan awal pada
pasien sepsis dengan risiko PARDS atau mengalami imunodefisiensi; dan tidak
direkomendasikan untuk pasien PARDS berat.
 Intubasi harus segera dilakukan bila pasien dengan ventilasi non-invasif tidak
menunjukkan tanda perbaikan atau mengalami perburukan.

3) Ventilasi mekanik invasive


 Indikasi ventilasi mekanik pada pasien sepsis adalah gagal napas atau disfungsi
organ lain (gangguan sirkulasi dan penurunan kesadaran)
 Modus ventilasi mekanik dapat manggunakan volume controlled ventilation
(VCV), pressure-controlled ventilation (PCV), atau pressure-controlled dengan
volume target.

4) Resusitasi cairan dan tatalaksana hemodinamik


 Akses vaskular harus segera dipasang dalam waktu singkat melalui akses vena
perifer atau intraosseus. Jenis cairan yang diberikan adalah kristaloid atau koloid
 Cairan diberikan dengan bolus sebanyak 20 ml/kg selama 5-10 menit,
menggunakan push and pull atau pressure bag technique
 Resusitasi cairan dihentikan bila target resusitasi tercapai (tabel 6) atau bila
terjadi refrakter cairan (tabel 7).
 Bila pasien mengalami refrakter cairan, perlu diberikan obat-obatan vasoaktif
sesuai dengan profil hemodinamik. Panduan penggunaan obat vasoaktif
tergantung pada tipe syok (tabel 8).
5) Transfuse darah
6) Kortikosteroid
Hidrokortison suksinat 50 mg/m2 /hari diindikasikan untuk pasien syok refrakter
katekolamin atau terdapat tanda-tanda insufisiensi adrenal.

7) Kontrol glikemik
Gula darah dipertahankan 50-180 mg/dL. Bila gula darah >180 mg/dL, glucose
infusion rate (GIR) diturunkan sampai 5 mg/kg/menit. Bila gula darah >180 mg/dL,
dengan GIR 5 mg/kg/menit, GIR dipertahankan dan titrasi rapid acting insulin 0,05-
0,1 IU/kg.

8) Nutrisi
Nutrisi diberikan setelah respirasi dan hemodinamik stabil, diutamakan secara
enteral dengan kebutuhan fase akut 57 kCal/kg/hari dan protein 60% dari total
kebutuhan protein (0-2 tahun: 2-3 g/kg/hari; 2-3 tahun: 1,5-2 g/ kg/hari; 3-18 tahun:
1,5 g/kg/hari)

9) Menghilangkan sumber infeksi


Melakukan debridemen, mengeluarkan abses dan pus, membuka alat dan kateter
yang berada dalam tubuh merupakan bagian dari eradikasi sumber infeksi.

5. Prognosis dan komplikasi


 Prognosis

 Komplikasi

HIV neonatus
1. Definisi, Epidemiologi, Etiologi, dan Faktor Risiko
 Definisi
HIV (human immunodeficiency virus) adalah virus yang merusak sistem kekebalan tubuh
dengan menginfeksi dan menghancurkan sel CD4. HIV pada neonates dapat ditularkan
saat intrauterine melalui plasenta, persalinan, dan menyusui
 Epidemiologi

 Etiologi
- HIV disebabkan oleh human immunodeficiency virus yang menyerang sel CD4 atau
TH0 sehingga penurunkan sistem imun pasien yang terinfeksi dan menjadi rentan
terkena infksi lain
- Penularan HIV pada anak terbagi menjadi 2, yaitu vertical dan horizontal
1) Vertical, menandakan infeksi dari ibu ke anak, memegang jumlah >90% total
kasus HIV pada anak. Terjadi selama intrauterine, saat persalinan, dan
postpartum
 Intrauterine 5-10%
 Persalinan 10-20%
 Post-partum 5-20%
2) Horizontal, seperti transfuse darah, jarum suntik, dan hubungan sexual (sexual
abuse pada kekerasan seksual pada anak)

 Faktor Risiko
Risiko transmisi vetikal tergantung pada beberapa faktor seperti
1) Usia kehamilan, dimana pada ibu hamil muda lebih jarang terjadi penularan karena
plasenta merupakan barier yang dapat melindungi janin dari infeksi pada ibu.
Transmisi terbesar terjadi pada waktu hamil tua dan waktu persalinan.
2) Viral load di tubuh ibu tinggi
3) Kondisi dan kesehatan ibu, seperti stadium dan progrsivitas penyakit ibu, ada
tidaknya komplikasi, merokok, narkoba, dan sebagainya
4) Pemberian ASI
5) Bayi yang tidak diberikan ARV profilaks

2. Patofisiologi

3. Diagnosis dan Diagnosis Banding


 Diagnosis
- Bila ada anak berumur < 18 bulan dan dipikirkan terinfeksi HIV, tetapi perangkat
laboratorium untuk PCR HIV tidak tersedia, tenaga kesehatan diharapkan mampu
menegakkan diagnosis dengan cara DIAGNOSIS PRESUMTIF.

- Algoritma diagnosis dan pemberian terapi HIV pada anak < 18 bulan
 Diagnosis Banding

4. Tatalaksana
- Terapi profilaksis,
a) Dilakukan pemberian kotrimoksazol kepada anak yang terpajan HIV saat usia 4-6
minggu untuk mencegah pneumocystis jiroveci sampai tidak ada risiko transmisi HIV
dan infeksi HIV telah disingkirkan
b) Pada anak yang terinfeksi HIV:
 Pada anak usia < 1 tahun. Profilaksis kotrimoksazol diindikasikan tanpa melihat
nilai CD4 atau stadium klinis. Profilaksis diberikan hingga umur 5 tahun atau
diteruskan seumur hidup tanpa penghentian
 Pada anak usia 1-5 tahun, kotrimoksazol diberikan pada stadium WHO 204
tanpa melihat persentase CD4 atau stadium WHO berapapun dengan CD4 <
25%. Profilax diberikanseumur hidup
 Pada anak usia > 5 tahun, kotrimoksazol diberikan pada stadium WHO
berapapun dengan CD4<350 atau stadium WHO 3/4 tanpa melihat kadar CD4.
Profilax dapa diberikan seumur hidup atau bila CD4>350 setelah ARV 6 bulan
c) Untuk bayi dan anak yang terpajan HIV saja dan tidak terinfeksi (dibuktikan dengan
pemeriksaan laboratorium, baik PCR 2 kali atau antibodi pada usia sesuai),
profilaksis dapat dihentikan sesudah status ditetapkan (sesingkatnya umur 6 bulan
atau sampai umur 1 tahun)

- Tatalaksana definitive

Rekomendasi ARV
1) Lini pertama direkomendasikan 2 Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI) +
1 Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Berdasarkan ketersediaan
obat, dapat digunakan 3 kombinasi panduan ARV

 NRTI pendamping 3TC sebagai berikut


 NNRTI yang dapat digunakan sebagai berikut

- Pemantauan setelah mendapat ARV

5. Prognosis dan Komplikasi


 Prognosis
Prognosis infeksi HIV ditentukan oleh diagnosis dini dan pengobatan pemeliharaan
dengan terapi antiretroviral (ARV). Pasien yang didiagnosis lebih dini dapat segera
memulai terapi ARV untuk meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan,
menurunkan risiko komplikasi, dan memperpanjang kesintasan hidup pasien.

 Komplikasi
- Tuberkulosis (TBC) Tuberkulosis adalah infeksi paru-paru yang sering menyerang
penderita HIV, bahkan menjadi penyebab utama kematian pada penderita AIDS.
Penderita HIV yang kontak dengan pasien tuberkulosis mungkin akan disarankan
untuk menjalani pengobatan dengan isoniazid guna mencegah TBC berkembang.
- Toksoplasmosis Toksoplasmosis adalah infeksi parasit yang dapat memicu kejang
bila sampai menyebar ke otak.
- Cytomegalovirus Cytomegalovirus adalah infeksi yang disebabkan oleh salah satu
kelompok virus herpes. Infeksi ini dapat menyebabkan kerusakan pada mata,
saluran pencernaan, dan paru-paru.
- Candidiasis Candidiasis adalah infeksi akibat jamur Candida, yang menyebabkan
ruam pada sejumlah area tubuh.
- Kriptosporidiosis Kriptosporidiosis adalah infeksi akibat parasit yang hidup di dalam
sistem pencernaan.
- Meningitis kriptokokus Meningitis kriptokokus adalah peradangan pada selaput otak
dan tulang belakang yang disebabkan oleh jamur.
- Wasting syndrome Wasting syndrome adalah kondisi ketika penderita AIDS
kehilangan 10% berat badan. Wasting syndrome biasanya disertai diare dan demam
kronis.
- HIVAN HIVAN (HIV-associated nephropathy) adalah peradangan pada saringan di
ginjal. Kondisi ini menyebabkan gangguan pada proses pembuangan limbah sisa
metabolisme dari tubuh.
- Gangguan neurologis Meski AIDS tidak menginfeksi sel saraf, tetapi penderitanya
bisa mengalami depresi, mudah marah, bahkan sulit berjalan. Salah satu gangguan
saraf yang paling sering menyerang penderita AIDS adalah demensia.

Rubella
1. Definisi, epidemiologi, etiologi, dan faktor risiko
 Definisi
Rubella atau campak Jerman disebabkan oleh infeksi virus Rubella yang menular dari
satu orang ke orang lain. Seseorang bisa terserang rubella ketika menghirup percikan air
liur yang dikeluarkan penderita saat batuk atau bersin.

 Epidemiologi
- Kejadian rubella tersebar di seluruh dunia, yang mana angka kejadiannya masih
terbilang tinggi. WHO pada tahun 2017 melaporkan angka kejadian rubella di dunia
mencapai 16.112 kasus. Negara dengan kasus rubella tertinggi pada tahun 2017
terjadi di Indonesia yaitu sebanyak 4.327 kasus, selanjutnya India dengan jumlah
kasus sebanyak 2.946, dan Cina dengan jumlah kasus sebanyak 1.601.
- donesia salah satu negara penyumbang kasus Rubella terbesar di dunia. Menurut
data WHO pada tahun 2015 jumlah kasus rubella di Indonesia mencapergi 1.379
kasus, kemudian pada tahun 2016 menurun menjadi 1.170 kasus, dan pada tahun
2017 meningkat menjadi 4.327 kasus.
- Menurut data CBMS dari Dinas Kesehatan Sumatera Barat bahwa jumlah kasus
rubella di Provinsi Sumatera Barat tahun 2017 yaitu sebanyak 144 kasus.

 Etiologi
Penyebab Rubella adalah togavirus jenis rubivirus dan termasuk golongan virus RNA.
Virus dapat berkembang biak di nasofaring dan kelenjar getah bening regional, dan
viremia terjadi pada 4 – 7 hari setelah virus masuk tubuh.

 Faktor risiko
- Tidak mendapat imunisasi MR pada usia 9 bulan dan 18 bulan
- Bepergian ke daerah endemic rubella
- Defisiensi vitamin A. Vitamin A merupakan mikronutrien penting yang diperlukan
untuk fungsi kekebalan tubuh spesifik maupun non spesifik. Defisiensi vitamin A
dilaporkan dapat menyebabkan gangguan kekebalan humoral serta selular

2. Patofisiologi

3. Diagnosis dan diagnosis banding


 Diagnosis
1) Manifestasi klinis
- Masa prodromal antara 2-4 hari ditandai dengan demam 38,4 – 40,6ºC, koriza,
batuk, konjungtivitis, bercak Koplik.
- Bercak Koplik timbul 2 hari sebelum dan sesudah erupsi kulit, terletak pada
mukosa bukal posterior berhadapan dengan geraham bawah, berupa papul
warna putih atau abu-abu kebiruan di atas dasar bergranulasi atau eritematosa.
- Demam sangat tinggi di saat ruam merata dan menurun dengan cepat setelah 2-
3 hari timbulnya eksantema.
- Dapat disertai adanya adenopati generali ata dan splenomegali.
- Eksantema timbul pada hari ke 3-4 masa prodromal, memudar setelah 3 hari
dan menghilang setelah 6-7 hari.
- Erupsi dimulai dari belakang telinga dan perbatasan rambut kepala kemudian
menyebar secara sentrifugal sampai ke seluruh badan pada hari ke3 eksantema.
- Eksantema berupa papul eritematosa berbatas jelas dan kemudian
berkonfluensi menjadi bercak yang lebih besar, tidak gatal dan kadang disertai
purpura.
- Bercak menghilang disertai dengan hiperpigmentasi kecoklatan dan deskuamasi
ringan yang menghilang setelah 7-10 hari.
- Black measles merupakan keadaan yang berat dari campak, terdapat demam
dan delirium diikuti penekanan fungsi pernafasan dan erupsi hemoragik yang
luas.
2) Pemeriksaan penunjang berupa isolasi birus dari darah, urin, atau secret nasofaring
serta pemeriksaan serologis dengan titer antibody 2 minggu setelah timbul klinis
 Diagnosis banding

4. Tatalaksana
- Pencegahan, Vaksinasi bersama rubela dan mumps (MMR) pada usia 15 - 18 bulan dan
ulangan pada usia 10-12 tahun atau 12-18 tahun.
- Supportif, pemberian vitamin A 2 x 200.000 IU dengan interval 24 jam.

5. Prognosis dan komplikasi


 Prognosis
Rubella tergolong infeksi ringan dan biasanya hanya menyerang satu kali seumur hidup.
Akan tetapi, rubella dapat memberikan dampak yang lebih serius pada orang yang
belum divaksin dan ibu hamil. Pada ibu hamil, kondisi ini dapat
menyebabkan keguguran atau memicu sindrom rubella kongenital pada janin.

 Komplikasi

Anda mungkin juga menyukai