DISUSUN OLEH:
( D2017030 )
TAHUN 2017
LAPORAN PENDAHULUAN
SEPSIS NEONATORUM
A. Pengertian Sepsis
Sepsis adalah adanya mikroorganisme patogenik atau toksinnya
didalam darah atau jaringan lainnya. Sepsis adalah SIRS ditambah tempat
infeksi yang diketahui (ditentukan dengan biakan positif terhadap organism
dari tempat tersebut) yang memiliki criteria dua atau lebih yaitu (Nurarif,
2015):
1. Suhu > 380C atau 360C
2. Denyut jantung > 90 x/ menit
3. Respirasi > 20 x/ menit atau PaCO2 < 32 mmHg
4. Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau > 10% sel imatur
Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ,
kelainan hipoperfusi, atau hipotensi. Kelainan hipoperfusi meliputi (tetapi
tidak terbatas) pada asidosis laktat, oliguria, atau perubahan akut pada status
mental (Nurarif, 2015).
Sepsis neonatal adalah sindrom klinik penyakit sistemik, disertai
bakteremia yang terjadi pada bayi dalam satu bulan pertama kehidupan.
Angka kejadian sepsis neonatal adalah 1-10 per 1000 kelahiran hidup. Sepsis
neonatal dapat terjadi secara dini, yaitu pada 5-7 hari pertama dengan
organisme penyebab didapat dari intrapartum atau melalui saluran genital ibu.
Sepsis neonatal dapat terjadi setelah bayi berumur 7 hari atau lebih yang
disebut sepsis lambat, yang mudah menjadi berat dan sering menjadi
meningitis. Sepsis nosokomial terutama terjadi pada bayi berat lahir sangat
rendah atau bayi kurang bulan dengan angka kematian yang sangat tinggi.
Karena masih tingginya angka kematian sepsis neonatal, tatalaksana yang
utama adalah upaya pencegahan dengan pemakaian proteksi di setiap
tindakan terhadap neonatus, termasuk pemakaian sarung tangan, masker, baju
dan kacamata debu serta mencuci segera tangan dan kulit yang terkena darah
atau cairan tubuh lainnya (Pusponegoro, 2012).
B. Klasifikasi
Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat
diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu sepsis neonatorum awitan dini
(early-onset neonatal sepsis) dan sepsis neonatorum awitan lambat (late-
onset neonatal sepsis). Sepsis neonatorum awitan dini (SNAD) merupakan
infeksi perinatal yang terjadi segera dalam periode pascanatal (kurang dari 72
jam) dan biasanya diperoleh pada saat proses kelahiran atau in utero. Infeksi
terjadi secara vertikal karena penyakit ibu atau infeksi yang diderita ibu
selama persalinan atau kelahiran bayi. Incidence rate sepsis neonatorum
awitan dini adalah 3.5 kasus per 1.000 kelahiran hidup dan 15-50% pasien
tersebut meninggal. Sepsis neonatorum awitan lambat (SNAL) terjadi
disebabkan kuman yang berasal dari lingkungan di sekitar bayi setelah 72 jam
kelahiran. Proses infeksi semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi
horizontal dan termasuk didalamnya infeksi karena kuman nasokomial
(Aminullah, 2010).
C. Etiologi
Organisme penyebab sepsis primer berbeda dengan sepsis
nosokomial. Sepsis primer biasanya disebabkan: Streptokokus Grup B
(GBS), kuman usus Gram negatif, terutama Escherisia coli, Listeria
monocytogenes, Stafilokokus, Streptokokus lainnya (termasuk Enterokokus),
kuman anaerob, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan penyebab sepsis
nosokomial adalah Stafilokokus (terutama Staphylococcus epidermidis),
kuman Gram negatif (Pseudomonas, Klebsiella, Serratia, dan Proteus), dan
jamur (Pusponegoro, 2012).
D. Faktor Risiko
Pusponegoro (2012), factor risiko untuk terjadinya sepsis neonatal ialah :
1. Prematuritas dan berat lahir rendah, disebabkan fungsi dan anatomi kulit
yang masih imatur, dan lemahnya sistem imun,
2. Ketuban pecah dini (>18 jam),
3. Ibu demam pada masa peripartum atau ibu dengan infeksi, misalnya
khorioamnionitis, infeksi saluran kencing, kolonisasi vagina oleh GBS,
kolonisasi perineal dengan E. coli,
4. Cairan ketuban hijau keruh dan berbau,
5. Tindakan resusitasi pada bayi baru lahir,
6. Kehamilan kembar,
7. Prosedur invasif,
8. Tindakan pemasangan alat misalnya kateter, infus, pipa endotrakheal,
9. Bayi dengan galaktosemi,
10. Terapi zat besi,
11. Perawatan di NICU (neonatal intensive care unit) yang terlalu lama,
12. Pemberian nutrisi parenteral,
13. Pemakaian antibiotik sebelumnya, dan
14. Lain-lain misalnya bayi laki-laki terpapar 4x lebih sering dari perempuan
Lemahnya pertahanan tubuh pada bayi kurang bulan atau pada bayi cukup
bulan risiko tinggi disebabkan oleh (Pusponegoro, 2012):
1. Sistem Imunitas Seluler
Sel polimorfonuklear mempunyai kemampuan kemotaksis
terbatas, menurunnya mobilisasi reseptor permukaan sel, kemampuan
bakterisidal yang amat terbatas, dan fagositosis normal.
a. Semua komponen komplemen kurang, terutama pada bayi kurang
bulan juga, disertai kurangnya produksi zat kemotaktik opsonin.
b. Sel limfosit T yang berfungsi dalam imunitas seluler telah normal
pada gestasi muda, tetapi belum dapat memberikan respons terhadap
antigen asing yang spesifik, hal ini menyebabkan bayi rentan terhadap
infeksi jamur dan virus, meningkatnya jumlah sel T supresor, dapat
mengurangi produksi antibodi sewaktu antenatal.
c. Sel limfosit B dalam makrofag membelah menjadi sel memori atau
menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi.
2. Sistem Imunitas Humoral
Kadar IgG pada neonatus tergantung dari transport aktif melalui
plasenta oleh karena semua tipe IgG dari ibu dapat ditransport ke janin
sedangkan IgM, IgA dan IgE tidak melalui plasenta, karena itu pada
neonatus jumlahnya kurang. Antibodi yang ditransfer ke janin, akan
menjadi pelindung terhadap infeksi spesifik yang pernah diderita ibu
sebelumnya. Secara kuantitatif, jumlah IgG jelas kurang pada bayi berat
lahir sangat rendah, karena sebagian besar IgG ditransfer melalui plasenta
sesudah 32 minggu kehamilan; maka jumlah IgG pada bayi kurang bulan
sangat rendah dibanding bayi cukup bulan. Jumlah ini berkurang pada
beberapa bulan pertama sesudah lahir, keadaan ini disebut
hipoimunoglobinemia fisiologis pascanatal. Hal inilah yang merupakan
faktor risiko terjadinya infeksi nosokomial pada masa neonatal, terutama
untuk bayi berat lahir sangat rendah atau bayi kurang bulan.
E. Manifestasi klinik
Diagnosis dini sepsis ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan terapi
diberikan tanpa menunggu hasil kultur. Tanda dan gejala sepsis neonatal
tidak spesifik dengan diagnosis banding yang sangat luas, termasuk gangguan
napas, penyakit metabolik, penyakit hematologik, penyakit susunan syaraf
pusat, penyakit jantung, dan proses penyakit infeksi lainnya (misalnya infeksi
TORCH = toksoplasma, rubela, sitomegalo virus, herpes). Bayi yang diduga
menderita sepsis bila terdapat gejala:
1. Letargi, iritabel,
2. Tampak sakit,
3. Kulit berubah warna keabu-abuan, gangguan perfusi, sianosis, pucat,
kulit bintik-bintik tidak rata, petekie, ruam, sklerema atau ikterik,
4. Suhu tidak stabil demam atau hipotermi,
5. Perubahan metabolik hipoglikemi atau hiperglikemi, asidosis metabolik,
6. Gejala gangguan kardiopulmonal gangguan pernapasan (merintih, napas
cuping hidung, retraksi, takipnu), apnu dalam 24 jam pertama atau tiba-
tiba, takikardi, atau hipotensi (biasanya timbul lambat),
7. Gejala gastrointestinal: toleransi minum yang buruk, muntah, diare,
kembung dengan atau tanpa adanya bowel loop (Pusponegoro, 2012).
F. Patofisiologi
Penyakit yang ada pada ibu karena adanya bakteri dan virus pada
neonatus (bayi).Kemudian menyebabkan terjadinya infeksi yang
menimbulkan sepsis. Faktor infeksi yang mempengaruhi sepsis, antara lain
faktor maternal yaitu adanya status sosial-ekonomi ibu,ras, dan latar belakang
yang mempengaruhi kecenderungan terjadinya infeksi dengan alasan yang
tidak diketahui sepenuhnya. Ibu yang berstatus sosio-ekonomi rendah
mungkin nutrisinya buruk dan tempat tinggalnya padat dan tidak higienis.
Status paritas (wanita multipara atau gravida lebih dari 3) dan umur ibu
(kurang dari 20 tahun atau lebih dari 30 tahun. Kurangnya perawatan
prenatal, ketuban pecah dini (KPD), dan prosedur selama persalinan. Faktor
Neonatal, pada bayi dengan prematurius ( berat badan bayikurang dari 1500
gram), merupakan faktor resiko utama untuk sepsis neonatal. Umumnya
imunitas bayi kurang bulan lebih rendah dari pada bayi cukup bulan.Transpor
imunuglobulin melalui plasenta terutama terjadi pada paruh terakhir
ketiga.Setelah bayi lahir, konsentrasi imunoglobulin serum terus menurun
sehingga menyebabkan hipergamaglobulinemia berat. Imaturitas kulit juga
melemahkan pertahanan kulit. Kemudian adanya defisiensi imun. Neonatus
bisa mengalami kekurangan IgG spesifik, khususnya terhadap streptokokus
atau Haemophilus influenza IgG dan IgA tidak melewati plasenta dan hampir
tidak terdeteksi dalam darah tali pusat. Faktor Lingkungan, pada bayi mudah
terjadi defisiensi imun yaitu cenderung mudah sakit sehingga sering
memerlukan prosedur invasif, dan memerlukan waktu perawatan dirumah
sakit lebih lama. Penggunaan kateter vena atau arteri maupun kateter
nutrisi parenteral merupakan tempat masuk bagi mikroorganisme pada
kulit yang luka. Bayi juga mungkin terinfeksi akibat alat yang terkontaminasi.
Paparan terhadap obat-obat tertentu,seperti steroid, bisa menimbulkan resiko
pada neonatus yang melebihi resiko penggunaan antibiotik spektrum luas,
sehingga menyebabkan kolonisasi spektrum luas, sehingga menyebabkan
resisten berlipat ganda. Kadang-kadang di ruang perawatan terhadap epidemi
penyebaran mikroorganisme yang berasal dari petugas (infeksi
nosokomial), paling sering akibat kontak tangan. Pada bayi yang
minum ASI, spesies Lactbacillus dan E.colli ditemukan dalam tinjanya,
sedangkan bayi yang minum susu formula hanya didominasi oleh E.colli
(Pusponegoro, 2012).
G. Pathways
Masuk ke neonatus
Kuman dan virus dari ibu Kuman di vagina dan serviks Infeksi
nosokomial dari
luar rahim
Melewati plasenta dan Naik mencapai kiroin dan
umbilikus amnion Melalui alat-alat
pengisap lender,
Masuk kedalam tubuh bayi Amnionitis dan korionitis selang endotrakeal,
infuse, selang
Melalui sirkulasi darah Kuman melalui umbilicus nasogastrik, botol
janin masuk ketubuh janin minuman atau dot
Sepsis
I. Penatalaksanaan
Pusponegoro (2012), penatalaksanaan pada sepsis neonatorum
diantaranya adalah :
1. Perawatan
Perawatan suportif diberikan untuk mempertahankan suhu tubuh
normal, untuk menstabilkan status kardiopulmonary, untuk memperbaiki
hipoglikemia dan untu kmencegah kecenderungan perdarahan. Perawatan
suportif neonatus septik sakit meliputi sebagai berikut:
a. Menjaga kehangatan untuk memastikan temperature. Agar bayi tetap
normal harus dirawat di lingkungan yang hangat. Suhu tubuh harus
dipantau secara teratur.
b. Cairan intravena harus diperhatikan. Jika neonatus mengalami
perfusi yang jelek, maka saline normal dengan 10 ml / kg selama 5
sampai 10 menit. Dengan dosis yang sama 1 sampai 2 kali selama 30
sampai 45 menit berikutnya, jika perfusi terus menjadi buruk.
Dextrose (10%) 2 ml per kg pil besar dapat diresapi untuk
memperbaiki hipoglikemia yang adalah biasanya ada dalam sepsis
neonatal dan dilanjutkan selama 2 hari atau sampai bayi dapat
memiliki feed oral.
c. Terapi oksigen harus disediakan jika neonatus mengalami distres
pernapasan atausianosis
d. Oksigen mungkin diperlukan jika bayi tersebut apnea atau napas
tidak memadai
e. Vitamin K 1 mg intramuskular harus diberikan untuk mencegah
gangguan perdarahan
f. Makanan secara enteral dihindari jika neonatus sangat sakit atau
memiliki perut kembung. Menjaga cairan harus dilakukan dengan
infus IV.
g. Langkah-langkah pendukung lainnya termasuk stimulasi lembut
fisik, aspirasi nasigastric, pemantauan ketat dan konstan kondisi bayi
dan perawatan ahli.
2. Terapi pengobatan
Prinsip pengobatan pada sepsis neonatorum adalah
mempertahankan metabolisme tubuh dan memperbaiki keadaan umum
dengan pemberian cairan intravena termasuk kebutuhan nutrisi dan
monitor pemberian antibiotik hendaknya memenuhi kriteria efektif
berdasarkan pemantauan mikrobiologi, murah dan mudah diperoleh, dan
dapat diberi secara parental. Pilihan obat yang diberikan adalah
ampisilin, gentasimin atau kloramfenikol, eritromisin atau sefalosporin
atau obat lain sesuai hasil tes resistensi. (Sangayu, 2012)
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan dispneu, apneu,
takipneu
b. Hipertermia berhubungan dengan kerusakan control suhu sekunder
akibat infeksi atau inflamasic.
c. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan
sekunder akibat demam, muntah dan diare
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan reflex hisap lemah
(Herdman, 2015).