Disusun Oleh :
Pembimbing :
1
DAFTAR ISI
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan yang maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan Referat ini guna memenuhi
persyaratan kepaniteraan Klinik Senior bagian SMF paru RSUD Drs. Haji Amri Tambunan Lubuk
referat ini bertujuan agar penulis dapat memahami lebih dalam teori-teori yang diberikan selama
menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di bagian SMF paru mengaplikasikannya untuk kepentingan
Penulis mengucapkan terimakasih banyak kepada dr. Edwin Anto PakPahan Sp.P yang telah
membimbing kami dalam referat ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih memiliki
kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran yang membangun dari semua pihak yang
membacanya. Harapan penulis semoga referat ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang
membacanya.
3
BAB I
PENDAHULUAN
Sampai saat ini, masih terdapat sejumlah keterbatasan pada marker diagnostik konvensional untuk
berbagai kasus infeksi. Akibatnya, pemberian antibiotik yang tidak diperlukan serta durasi terapi yang
tidak tepat dapat memberikan efek yang tidak diinginkan kepada pasien, baik dalam hal resistensi
antibiotik, peningkatan angka mortalitas, lama waktu perawatan, maupun dari aspek biaya. Namun
sebaliknya, keterlambatan menegakkan diagnosis infeksi bakteri akan terjadi bila harus menunggu
hasil parameter kultur mikrobiologi terlebih dahulu. Hambatan lain berupa sensitivitas metode
diagnostik yang relatif rendah (seperti pada kultur darah), dan spesifitas yang relatif rendah (misalnya
pemberian antibotik yang tidak rasional, dan masalah resistensi masih menjadi masalah yang cukup
besar di dunia kesehatan saat ini. Keterlambatan menegakkan diagnosis dapat terjadi bila diagnosis
Penanda infeksi yang ada, termasuk di antaranya jumlah leukosit serta C-reactive protein (CRP) masih
memiliki beberapa keterbatasan, seperti kurang mampu mendeteksi kondisi sepsis. Suatu biomarker
yang ideal akan memberikan informasi sedini mungkin terkait kemungkinan penyebab inflamasi, baik
yang disebabkan oleh infeksi bakterial maupun nonbakterial, serta dapat memberikan informasi
tentang kondisi klinis dan prognosis penyakit. Procalcitonin dapat menjadi marker infeksi yang cukup
menjanjikan. Procalcitonin dapat digunakan sebagai dasar pemberian antibiotik dan menilai efikasi
terapi antibiotik pada pasien infeksi. Kadar procalcitonin serum efektif digunakan untuk tujuan
diagnostik, prediksi penyakit, serta evaluasi efikasi terapi pada berbagai populasi usia, termasuk bayi,
Upaya untuk menegakkan diagnosis infeksi bakteri yang akurat dan cepat sangat dibutuhkan dalam
praktik klinis. Suatu biomarker yang ideal akan memberikan informasi sedini mungkin, dapat
membedakan inflamasi akibat infeksi bakterial atau nonbakterial, serta dapat memberikan informasi
4
tentang kondisi klinis dan prognosis penyakit. Penanda inflamasi seperti C-reactive protein (CRP) atau
penanda infeksi seperti hitung leukosit kurang spesifik untuk infeksi bakteri. Hal ini disebabkan oleh
adanya bermacam-macam penyebab infeksi dan variasi respons inflamasi pasien yang bergantung pada
waktu, jenis, lama, dan lokasi infeksi. Infeksi yang kemudian dapat berlanjut menjadi kondisi systemic
Kondisi infeksi berhubungan erat dan ditandai dengan peningkatan yang khas dari kadar prohormon
procalcitonin dalam darah. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa procalcitonin dapat menjadi
dasar pemberian antibiotik dan penilaian efikasi terapi antibiotik pada pasien dengan infeksi. Penelitian
lainnya memperlihatkan bahwa kadar procalcitonin serum efektif digunakan untuk tujuan diagnostik,
prediksi penyakit dan evaluasi efikasi terapi pada berbagai populasi usia, termasuk bayi, dewasa dan
5
1.2 Tujuan
1. Menelaah secara komprehensif mengenai pemeriksaan procalcitonin dan CRP melalui studi
yang valid
2. Sebagai narasi dasar untuk melakukan diskusi klinis selama mengikuti kepaniteraan Klinik
Senior Ilmu Penyakit Paru
3. Memenuhi Persyaratan Untuk Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di SMF Ilmu Penyakit
Paru
1.3 Manfaat
Para ahli memberikan perhatian khusus terhadap penggunaan biomarker sebagai metode
untuk memperbaiki diagnosis infeksi. Selain diagnostik, biomarker ini dapat juga digunakan
Penanda inflamasi, seperti C-reactive protein (CRP), atau penilaian leukosit, tidak spesifik
untuk infeksi bakterial. Banyak bukti yang berkembang mendukung penggunaan procalcitonin
(PCT) untuk meningkatkan diagnosis infeksi bakterial dan sebagai panduan terapi antibiotik.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Procalcitonin
Procalcitonin adalah 116-asam amino polipeptida yang muncul dari CALC-1 gene. Procalcitonin
tersusun oleh sebuah peptida terminal-N (N-ProCT, aminoprocalcitonin) yang terletak sentral, CT dan
CCP-1. Procalcitonin intak bersirkulasi pada kadar yang rendah dalam darah individu sehat.
Procalcitonin didegradasi oleh protease spesifik menjadi calcitonin dan dilepaskan ke sirkulasi dalam
jumlah terbatas. Pada orang normal, kadar procalcitonin plasma kurang dari 0,05 ng/ml. Pada kondisi
infeksi bakteri yang berat serta sepsis, kadar procalcitonin meningkat hingga 10.000 kali lipat. Oleh
karena itu, saat ini procalcitonin merupakan penanda utama untuk menegakkan diagnosis infeksi
sistemik berat serta sepsis yang diakibatkan oleh bakteri, tetapi PCT merupakan salah satu dari
beberapa prekusor calcitonin yang terlibat dalam respon sistem imun tubuh sehingga disebut
hormokine. Sifat hormokine dari PCT ini akan memberikan respon terhadap berbagai macam proses
inflamasi dalam tubuh seperti syok kardiogenik, trauma, pembedahan, luka bakar, pankreatitis
Pada infeksi mikroba akan terjadi peningkatan ekspresi gen CALC-I yang menyebabkan lepasnya PCT
dari seluruh sel parenkim dan sel-sel yang terdiferensiasi di hati maupun sel-sel mononuklear.
7
Produksi procalcitonin distimulasi oleh cytokine proinflamasi yang dibangkitkan oleh produk
yang atau dari translokasi endogen toksin bakteri melalui dinding usus. Diketahui bahwa
bakteri Gram positif, Gram negatif, atau jamur mengaktivasi jalur toll-like receptor (TLR)
yang berbeda, sehingga memproduksi cytokine proinflamasi yang berbeda pula, yang
patogen yang berbeda dapat mendorong produksi procalcitonin dengan kadar yang berbeda
(lipopolisakarida/LPS) yang berasal dari dinding sel bakteri Gram negatif, asam lipoteikoat
dari bakteri Gram positif, serta komponen lain dari mikroorganisme dan sel yang mengalami
nekrosis. 2,3
Substansi ini dapat berasal dari infeksi eksternal PCT yang normal adalah <0,05 ng/mL tetapi
jika terjadi inflamasi sistemik, khususnya infeksi bakterial, PCT dihasilkan dalam jumlah
banyak oleh jaringan tubuh. Bila terjadi inflamasi akibat bakteri kadar PCT selalu >2 ng/ml
sedangkan pada kasus akibat infeksi virus kadar PCT <0,5 ng/ml. PCT terdeteksi dalam 2-4
jam dan mencapai konsentrasi puncak dalam 6-24 jam. Kadar PCT seiring dengan tingkat
keparahan inflamasi atau dengan kata lain semakin tinggi tingkat keparahan penyakit maka
kadar PCT juga semakin tinggi. Selanjutnya, PCT memiliki kegunaan sebagai indikator
prognostic dengan semakin tingginya konsentrasi serum maka berhubungan dengan resiko
mortalitas.3
Procalcitonin dihasilkan sebagai respon terhadap endotoksin atau mediator yang dihasilkan dalam
respon terhadap infeksi bakterial (yaitu, interleukin (IL)-1ᵦ, tumor necrosis factor (TNF)-α, and IL-6).
PCT lebih spesifik untuk infeksi bakterial dan dapat membedakan infeksi bakterial dari penyakit akibat
virus.
8
Gambar. Mekanisme Sekresi PCT
Sekresi procalcitonin terbagi dua jalur, yaitu jalur klasik dan alternatif (konstitutif) :
hormokine dan akan diekspresikan pada seluruh sel parenkim tubuh. Infeksi bakteri
TNFα) yang akan menginduksi CT-mRNA dalam parenkim sel untuk menghasilkan
konsentrasi PCT, oleh karena itu konsentrasi PCT yang rendah atau normal.3,4
9
Langkah akhir dalam konversi procalcitonin menjadi calcitonin dihambat oleh beberapa
sitokin dan endotoksin bakterial, oleh karena itu, level sitokin yang tinggi dan/atau endotoksin
bakterial menyebabkan kadar PCT meningkat. Sitokin dihasilkan sebagai respon inflamasi dan
infeksi, tetapi endotoksin spesifik dihasilkan pada infeksi bakteri karena endotoksin berasal
dari dinding sel bakteri gram-negatif. Walaupun virus, parasit, dan jamur dapat meningkatkan
kadar PCT karena inflamasi sistemik, kegunaan PCT sebagai alat diagnostik menyatakan
adanya infeksi bakteri lokal atau sistemik, terutama pada sepsis bakterial. Pada kasus infeksi
jamur, kegunaan PCT sebagai alat diagnostik terbatas karena kadarnya tidak meningkat sampai
1-2 hari setelah kejadian infeksi. Peningkatan kadar yang lebih besar dapat mengantisipasi
ineksi bakteri gram negatif versus gram positif oleh karena pelepasan endotoksin dari dinding
sel bakteri gram negatif, walaupun hanya beberapa studi yang memperlihatkan kadar PCT
yang lebih tinggi pada infeksi bakteri gram negatif jika dibandingkan dengan infeksi gram
positif.4
Kadar prohormon procalcitonin yang sangat tinggi ditemukan pada semua pasien dengan
sepsis juga pada berbagai kasus SIRS berat yang disebabkan oleh luka bakar, pankreatitis,
malaria. Peningkatan kadar ini terjadi sebesar puluhan, ratusan bahkan ribuan kali lipat.
Hormon calcitonin disintesis di dalam sel-sel C pada kelenjar tiroid dan paru, serta dalam sel-
sel neuroendokrin, sebagai respons terhadap hiperkalsemia atau pada pasien dengan
keganasan tiroid medular. Calcitonin memiliki 33 asam amino dan sebagai bagian dari
protein yang lebih besar, yaitu 116 asam amino prohormon procalcitonin. Di dalam serum
orang normal, didapatkan procalcitonin intak, calcitonin aktif (CT), dan NProCT
10
Procalcitonin memperlihatkan peningkatan kadar dalam tubuh yang cepat sejalan dengan
paparan, cepat mencapai kadar puncak, dan dengan cepat menurun mengikuti pemberian
terapi atau hilangnya pencetus. Waktu paruh procalcitonin sekitar 24 jam. Procalcitonin
diharapkan dapat menjadi penanda infeksi bakteri yang lebih spesifik. Kadar procalcitonin
meningkat ketika terjadi infeksi bakteri, jamur, dan parasit. Sebaliknya, procalcitonin hanya
sedikit meningkat atau bahkan mengalami peningkatan kadar pada infeksi virus serta pada
kondisi inflamasi berat yang bukan disebabkan oleh infeksi. Procalcitonin diproduksi sebagai
respons terhadap endotoksin atau mediator yang dilepaskan pada saat terjadi infeksi bakteri.
Mediator interleukin (IL)-1ß, tumor necrosis factor (TNF)-α, dan IL-6 berkorelasi sangat kuat
dengan berat dan lamanya infeksi bakteri. Karena pengaturan procalcitonin dihambat oleh
interferon (INF)-γ, suatu cytokine yang dilepaskan sebagai respons terhadap infeksi virus,
maka procalcitonin lebih spesifik mengindikasikan infeksi bakteri dan dengan demikian dapat
Kadar procalcitonin dalam darah meningkat dalam 6-12 jam setelah infeksi, bahkan terdapat
literatur yang menyatakan peningkatan terjadi dalam 2-4 jam setelah infeksi. Kadar
procalcitonin mencapai puncaknya dalam 8 hingga 24 jam setelah infeksi dan bertahan
selama proses inflamasi berlangsung. Kadar procalcitonin cepat menurun hingga separuhnya
setelah infeksi terkontrol oleh sistem imun tubuh pasien atau akibat pemberian terapi
antibiotik. Procalcitonin berkorelasi dengan jumlah bakteri dan beratnya infeksi. Sebaliknya,
biomarker terdahulu, yaitu c-reactive protein (CRP) dan laju endap darah (LED), keduanya
hanya meningkat setelah 24 jam infeksi dan meningkat juga pada infeksi virus, sementara
kadar procalcitonin relative. Fluktuasi kadar procalcitonin diduga dipengaruhi juga secara
langsung oleh jaringan adiposa melalui sel-sel imun penderita dan secara tidak langsung
melalui pengaturan fungsi imun endokrin dan/atau parakrin. Selama inflamasi, ekspresi TNF-
α jaringan adiposa meningkat dan diduga berefek lokal. TNF-α tidak disekresi ke sirkulasi,
sementara adipokin lain seperti IL-6, dilepaskan ke aliran darah. Peningkatan procalcitonin
11
ini berkorelasi dengan beratnya penyakit dan risiko kematian.
1. Pemeriksaan Procalcitonin
terendah 0,06 ng/ml. Penelitian Kratzsch memperlihatkan bahwa calcitonin dalam serum tidak
stabil pada suhu ruang. Konsentrasi calcitonin menurun setelah 2 jam. Pada suhu beku
procalcitonin dalam darah relatif lebih stabil dibandingkan calcitonin. Procalcitonin tetap stabil
selama preparasi sampel, baik ketika dibekukan, maupun pada penyimpanan dalam jangka
sehingga perubahan kadar procalcitonin yang sangat rendah dapat terdeteksi. Metode
dengan batas deteksi 0,09 ng/ml. Metode time resolved amplified cryptate emission (TRACE)
membutuhkan waktu lebih lama, yaitu 50 menit dengan batas deteksi 0,06 ng/ml.1,4
Keterbatasan setiap metode pengukuran procalcitonin adalah dapat ditemukannya hasil positif
palsu dan negatif palsu. Perbedaan penyebab infeksi dapat menginduksi respons kadar
Pada bayi baru lahir, kadar procalcitonin secara normal meningkat hingga 2–3 ng/ml dalam 24
jam setelah kelahiran dan menjadi normal kembali setelah 48–72 jam. Peningkatan kadar
procalcitonin yang tidak spesifik pada keadaan tanpa infeksi bakteri dapat terjadi pada
keganasan tiroid medular, keganasan paru jenis small cell, komplikasi pascaoperasi, cirrhosis,
pankreatitis, ischemic bowel, syok kardiogenik, juga pada situasi stres berat seperti periode
pascatrauma.
12
Pada infeksi intraabdominal, penggunaan procalcitonin sangat menjanjikan sebagai penanda untuk
menyingkirkan adanya perforasi dan iskemia pada sindroma obstruksi (obstructive bowel syndrome).
Penggunaan procalcitonin terbatas pada appendicitis akut dan pankreatitis. Procalcitonin lebih
membantu sebagai penanda prognosis untuk penyakit berat dan keadaan yang buruk. Infeksi yang
terlokalisasi, seperti pada artritis dan osteomielitis, tidak meningkatkan kadar procalcitonin secara
bermakna, terutama bila cut-off yang digunakan adalah 0,1 ng/ml. Hal penting yang perlu dipahami
adalah bahwa produksi procalcitonin tidak dipengaruhi oleh corticosteroid atau terapi dengan
nonsteroid antiinflammatory drugs (NSAID) serta tidak tergantung pada jumlah leukosit.
menggunakan dua antibodi mooklonal antigenspesifik, satu diarahkan ke calcitonin dan lainnya ke
katacalcin. Batas untuk mengetahui pemeriksaan adalah 0,1 ng/ml dan koefisien variasinya 5 sampai
Pada keadaan fisiologik, transkripsi gen Calc-1 terbatas pada sel neuroendokrin di kelenjar tiroid dan
paru sehingga kadar PCT serum pada individu sehat sangat rendah. Pada keadaan infeksi terutama
sepsis, ekspresi gen Calc-1 ditingkatkan dan PCT dilepaskan oleh hampir semua jaringan tubuh. Pada
infeksi bakteri, kombinasi produk mikroba dan sitokin proinflamasi IL-1β, TNF-α, dan IL-6
menyebabkan peningkatan ekspresi PCT. Menariknya, induksi PCT dapat dilemahkan oleh IFN-γ yang
berperan penting pada pertahanan awal pejamu terhadap virus, akibatnya konsentrasi PCT serum dapat
Terdapat keterbatasan pemeriksaan PCT, yaitu peningkatan PCT dapat terjadi tanpa adanya infeksi
bakteri, yaitu pada trauma berat, operasi, pasca syok kardiak, stres partus pada neonatus, syok suhu
panas, acute graft-versus-host disease, imunoterapi (seperti transfusi granulosit, antibodi anti-CD3,
terapi alemtezumab, IL2, atau TNF-α), penyakit autoimun (seperti penyakit Kawasaki dan beberapa
tipe vaskulitis), dan sindrom paraneoplastik. Pemeriksaan PCT berupa tes kuantitatif dan kualitatif,
komersial yang tersedia saat ini umumnya menggunakan antibodi anti-kalsitonin atau antibodi anti-
13
katakalsin. Sampel yang digunakan bisa berupa serum atau plasma (EDTA atau heparin). Karena PCT
merupakan protein yang stabil di dalam darah, penyimpanan pada suhu ruangan selama 24 jam
konsentrasi PCT masih dapat dipertahankan >80% dan bila disimpan pada suhu 4◦C konsentrasi dapat
dipertahankan >90%.7
14
2. Aspek Praktis Penentuan Procalcitonin Di Laboratorium
2. Stabilitas in vitro : pada suhu kamar (mengalami penguraian/ dekomposisi setelah 24 jam 10
%), pada suhu - 20º C stabil selama 1 bulan, pada keadaan beku atau cair siklus 3 kali PCT
sample menurun 3 %.
Oleh karena itu, beberapa penelitian merekomendasikanpasien dengan resiko infeksi bakteri atau yang
sudah dimulai terapi antibiotik dilakukan pengukuran kadar PCT setiap 2-3 hari kemudian. Interpretasi
PCT (pascabedah, bebas sepsis dan pasca-awal pengobatan antibiotika): bila 50% PCT menurun
menunjukkan keberhasilan pengobatan, tetapi bila tetap atau kadar PCT meningkat tidak ada
Interpretasi PCT sesudah pemantauan penyakit infeksi dengan risiko tinggi (pascatransplantasi atau
politrauma): bukan komplikasi infeksi jika kadar PCT rendah atau menurun dari kadar yang tinggi
(sesudah beberapa hari pascabedah). Bila kadar PCT tetap tinggi atau kadar PCT meningkat
Banyak data membuktikan pemberian antibiotik yang tepat sejak dini dapat mengurangi
mortalitas sepsis tetapi dipihak lain penggunaan antibiotik yang tidak perlu berperan dalam
kejadian efek samping obat. Indikasi peresepan antibiotik yang paling sering di Negara barat
adalah infeksi saluran pernafasan bagian bawah. Gejala klinis, begitupun dengan penanda
laboratorium yang biasa digunakan, tidak dapat diandalkan dalam membedakan infeksi viral
dengan bakterial. Sekitar 75% pasien infeksi saluran pernafasan bagian bawah diobati dengan
15
memperkirakan probabilitas sumber infeksi bakterial pada infeksi saluran pernafasan bagian
Pengkajian diagnostik dan pengobatan merupakan tanggung jawab dari dokter yang
merawat. Pengukuran kadar PCT direkomendasikan pada seluruh pasien pada saat masuk
rumah sakit dan untuk pasien rawat inap setiap 2 sampai 3 hari selama mereka mendapat terapi
antibiotik. Efikasi, kelayakan, dan keamanan procalcitonin sebagai panduan terapi antibiotik
pada infeksi saluran pernafasan bawah dan sepsis telah dilaporkan dalam beberapa uji coba
acak. Procalcitonin sebagai panduan terapi antibiotik mengurangi peresepan antibiotik inisial
sebanyak 40-50% pada pasien infeksi saluran pernafasan yang datang ke unit gawat darurat
dan sebanyak 70-80% pada pasien rawat jalan yang berobat ke dokter umum dan mengurangi
16
4. Procalcitonin pada Sepsis
Sepsis adalah penyakit sistemik karena serangan sitokin pro-inflamasi dan substansi humoral
lainnya yang diinduksi oleh infeksi bakteri. Jika penyebabnya infeksi, diagnosis ditegakkan
sebagai sepsis. Sepsis dan SIRS berat sering berbahaya dan menimbulkan komplikasi fatal,
seperti hipotensi, gagal jantung, koagulasi intravaskular, dan/atau koma, yang dikenal dengan
nama MODS (Multiple Organ Dysfunction Syndrome). Membedakan secara klinis antara
SIRS dan sepsis sering sulit bahkan tidak mungkin. Yang berhubungan dengan kedua kondisi
tersebut adalah kadar serum dari sitokin pro-inflamatori yang tinggi seperti TNF-α (tumor
Sepsis memberikan spektrum klinis bervariasi karena didasari oleh tingkat keparahan yang
terjadi diawali dengan infeksi, sepsis kemudian berkembang menjadi sepsis berat dan syok
septik. Pada keadaan infeksi sistemik, termasuk sepsis, kadar PCT umumnya meningkat lebih
17
dari 0,5-2 ng/mL, dan sering mencapai lebih dari 10 ng/mL. Kadar yang lebih tinggi
berhubungan dengan keparahan penyakit dan prognosis. Konsentrasi PCT dalam plasma
sangat berkorelasi dengan kemungkinan kegagalan organ akibat sepsis terutama bila
konsentrasi PCT yang tinggi secara menetap dapat memprediksi akan terjadi fatal outcome
akibat sepsis.5
18
5. Procalcitonin pada Infeksi Jamur
Baru-baru ini, kegunaan PCT sebagai penanda dari infeksi telah banyak dibicarakan.
penyakit bakterial dan dapat membedakan bakteremia dari kondisi inflamasi non-infeksi.
Mengenai infeksi jamur, data literature masih sedikit dan kontroversial: beberapa peneliti
melaporkan bahwa PCT serum lebih rendah pada infeksi jamur dibandingkan dengan infeksi
bakterial. Kadar PCT berkisar dari 0,5 sampai 1 ng/mL dapat disangkakan proses infeksi lain
daripada sepsis bakterial dan menuntun kita untuk mempertimbangkan apakah disebabkan
PCT tampaknya sangat sensitif terhadap toksin bakteri dibandingkan dengan biomarker lain
seperti sel darah putih (WBC) dan CRP, dan PCT mengalami penurunan regulasi dengan
adanya infeksi virus. Pada tahun 2017 PCT telah disetujui sebagai penanda untuk memandu
terapi antibiotik pada infeksi saluran pernapasan bawah, oleh US Food and Drug
Administration tetapi, terlepas dari langkah ini, tidak ada konsensus tentang kegunaan
penanda ini untuk memandu terapi antimikroba di pasar internasional yang tersedia saat ini.
pedoman untuk pengelolaan pneumonia. Peran PCT pada ISPA telah dipelajari di RCT
dengan mempertimbangkan pengaturan yang berbeda (ICU; pasien rawat jalan), untuk
mengatasi kapan antibiotik harus dimulai dan kapan harus dihentikan. Banyak penelitian
mengevaluasi penggunaan PCT sebagai bagian dari diagram alir, tetapi salah satu kendala
utama yang mereka temui adalah definisi tingkat batas yang standar dan dapat diterima.
Sebagian besar penelitian setuju untuk memulai terapi antimikroba sebagai berikut : PCT
0,25 ng/mL dianjurkan, PCT> 0,5 ng/mL sangat dianjurkan. Beberapa RCT baru-baru ini
menyelidiki apakah penggunaan PCT mungkin terkait dengan peningkatan resep antibiotik.10
19
7. Akurasi Pemeriksaan Procalcitonin
Pada beberapa kajian dinyatakan bahwa PCT lebih sensitif dan spesifik untuk diagnosis
infeksi dibandingkan dengan C reactive protein, IL-6 dan IL-8 pada berbagai situasi klinis.
Dalam hal diagnostik, peran PCT sudah sangat jelas. Studi yang membandingkan PCT
dengan CRP dalam membedakan proses infeksi dan inflamasi menunjukkan keunggulan PCT
dengan sensitivitas (85% Vs 78%) dan spesifisitas (83% Vs 60%). Namun, klinisi harus
PCT hampir dua kali lipat CRP, tetapi memiliki nilai yang lebih baik secara keseluruhan
Hasil false positive dan false negative dapat muncul pada beberapa keadaan
sehingga harus diperhatikan panduan interpretasi hasil PCT False negative kadar PCT
biasanya terlihat pada masa awal penyakit atau tempat infeksi terlokalisasi, endokarditis
subakut. Situasi dimana terjadi peningkatan PCT akibat infeksi non-bakterial dapat
disebabkan oleh :
- Bayi baru lahir (<48-72 jam; setelah 72 jam diinterpretasikan seperti biasanya)
20
- Stress masif (trauma berat, pembedahan, syok kardiogenik, luka bakar)
- Beberapa bentuk dari vaskulitis dan acute graft vs. host disease
lung carcinoma.9,10
Penggunaan CRP sebagai biomarker sepsis pertama kali diidentifikasi pada tahun 1930, yaitu
saat Tillet dan Francis menemukan bahwa pada serum pasien pneumonia terdapat protein
Protein ini cepat menurun saat pasien pulih dan tidak ditemukan pada populasi sehat.
C-reactive protein (CRP) adalah protein fase akut yang dilepaskan oleh sel hati setelah
distimulasi oleh mediator inflamasi seperti IL. Jika terdapat kalsium, CRP berikatan dengan
polisakarida seperti Phosphocholine (PCh) pada mikroorganisme dan memicu jalur klasik
komplemen sistem imun alamiah dengan mengaktivasi C1q CRP memiliki berbagai homolog
pada vertebra dan beberapa pada invertebra dan merupakan protein dari famili pentraksin,
yang meliputi beberapa molekul molekul lain dengan struktur yang serupa seperti amyloid.
Induksi transkripsional pada gen CRP terutama terjadi pada hepatosit di lever akibat
CRP diproduksi dalam bentuk homopentameric, dikenal dengan istilah CRP (nCRP) yang
dapat berdisosiasi secara ireversibel pada lokasi inflamasi dan infeksi menjadi 5 monomer
terpisah, dikenal dengan istilah CRP monomeric (mCRP). Disosiasi nCRP menjadi subunit
21
bebasnya telah diamati pada kondisi urea yang tinggi atau suhu tinggi tanpa adanya kalsium.
Jadi, secara garis beras CRP dibagi menjadi 2 bentuk yang berbeda secara strukturnya, yaitu
tersebut berikatan dengan reseptor dan membran sel yang berbeda serta memiliki sifat dan
Molekul-molekul mCRP dibedakan dari nCRP dari sifat antigenic, biologis, dan
yang berbeda. Kedua isoform CRP telah dibuktikan memiliki fungsi biologis yang berbeda
Sebagai contoh, nCRP telah dibuktikan menghambat adhesi platelet dengan neutrofil,
sedangkan mCRP meningkatkan interaksi tersebut. Perbedaan dalam fungsi ini dapat
dijelaskan dengan ikatan kedua isoform terhadap tipe reseptor Fc gamma (Fcϒ) yang
berbeda. Isoform mCRP menggunakan ikatan kompleks imun berafinitas rendah dengan
reseptor IgG yang disebut dengan FcϒRIIIb (CD16b) pada neutrofil dan FcϒRIIIa (CD16a)
pada monosit, sementara nCRP berikatan reseptor IgG berafinitas rendah FcϒRIIa.12
22
23
C-reactive protein (CRP) ialah protein fase akut dengan struktur homopentamer dan memiliki
tempat ikatan kalsium yang spesifik terhadap phosphocholin. Creactive protein (CRP)
bersama dengan serum amyloid P component (SAP) merupakan anggota dari protein
golongan pentraxins. Protein ini terdiri dari lima subunit yang identik (homopentamer)
dengan berat subunit kurang lebih 23 kDa yang berikatan secara non-kovalen dan tersusun
secara simetris. CRP memiliki 206 residu asam amino. Dengan menggunakan mikroskop
elektron, terlihat gambaran cincin (anular) molekul berbentuk donat. Struktur pentamer CRP
memiliki sifat stabilitas molekul yang tinggi dan ketahanan terhadap serangan enzimatik.
CRP merupakan penanda inflamasi dan salah satu protein fase akut yang disintesis di hati
untuk memantau secara non-spesifik penyakit lokal maupun sistemik. C-reactive protein
berikatan dengan polisakarida dan peptidopolisaka- rida yang terdapat pada bakteri, fungi,
dan parasit dengan adanya kalsium. Selain itu, CRP dapat juga terikat pada komponen inti sel
pejamu yang apoptosis atau nekrosis seperti ribonukleoprotein, Sehingga berperan pada
pembersihan jaringan.12
Sebagai biomarker, CRP dianggap sebagai respon peradangan fase akut yang mudah dan
murah untuk diukur dibandingkan dengan penanda inflamasi lainnya. CRP juga dijadikan
rheumatoid arthritis, beberapa penyakit kardiovaskular, dan infeksi. Sebagai protein fase
akut, konsentrasi plasma CRP menyimpang setidaknya 25% selama gangguan inflamasi.
Konsentrasi tertinggi CRP ditemukan dalam serum, dengan beberapa infeksi bakteri
meningkatkan tingkat hingga 1.000 kali lipat. Namun, ketika rangsangan berakhir, nilai CRP
menurun secara eksponensial selama 18-20 jam, mendekati waktu paruh CRP. Kadar CRP
plasma meningkat dari sekitar 1 ug/mL menjadi lebih dari 500 ug/mL dalam waktu 24-72 jam
pada kerusakan jaringan yang parah seperti trauma dan kanker progresif. IL-6 dilaporkan
24
sebagai penginduksi utama CRP ekspresi gen, dengan IL-1 meningkatkan efek . Peningkatan
CRP serum dapat ditemukan pada infeksi. Infeksi bakteri Gram positif dan negatif akut dan
sistemik, serta infeksi jamur sistemik menyebabkan CRP sangat meningkat, bahkan pada
pasien yang imunodefisiensi. Konsentrasi CRP cende- rung lebih rendah pada infeksi virus
akut, meskipun keadaan ini tidak mutlak, karena infeksi dengan adenovirus, campak, dan
influenza kadang-kadang dikaitkan dengan CRP yang tinggi. Data CRP pada infeksi parasit
masih terbatas, tetapi beberapa penyakit akibat protozoa parasit seperti malaria,
pneumocystosis dan toksoplasmosis dapat juga menyebabkan peningkatan CRP. Pada infeksi
kronis seperti tuber- kulosis dan lepra, CRP abnormal namun biasanya hanya sedikit
meningkat. Namun, meskipun IL-6 diperlukan untuk CRP induksi gen, tidak cukup untuk
mencapai ini saja. Sejak pertama kali diidentifikasi, kualitas pengukuran CRP telah
berkembang dengan pesat. Pada mulanya pengu- kuran CRP bersifat kualitatif, namun hasil
pengukuran tidak bermanfaat dalam mem bedakan berbagai keadaan penyakit karena hampir
semua memberikan hasil positif. Setelah itu, pengukuran semi kuantitatif dengan cara
aglutinasi latex dikembangkan, tetapi dianggap tidak banyak memberikan manfaat. Setelah
pengenalan yang lebih baik akan karakteristik biokimia CRP, dikembangkan antibodi
monoklonal spesifik CRP dan beberapa metode imunologi seperti enzyme immunoassay,
imuno- turbidimetri dan nefelometri. sangat meningkat, bahkan pada pasien yang
imunodefisiensi. 12
CRP lebih bermanfaat untuk evaluasi sepsis dan prognosis. Konsentrasi CRP telah terbukti
berkorelasi dengan tingkat keparahan infeksi. Penurunan cepat konsentrasi CRP dilaporkan
berkorelasi dengan respon yang baik terhadap terapi awal antimikroba pada pasien sepsis,
sehingga CRP menjadi biomarker yang berguna untuk monitoring respon pengobatan.
Ada banyak faktor yang dapat mengubah kadar CRP dasar termasuk usia, jenis kelamin,
status merokok, berat badan, kadar lipid, dan tekanan darah. Rata-rata kadar CRP dalam
25
serum pada orang bule yang sehat adalah sekitar 0,8 mg/L, tetapi nilai dasar ini dapat sangat
bervariasi pada individu karena faktor lain, termasuk polimorfisme pada CRP gen. Manusia
CRP gen dapat ditemukan pada 1q23. pada lengan panjang kromosom 1, dan sampai saat ini,
tidak ada variasi alelik atau defisiensi genetik yang ditemukan untuk gen ini meskipun
beberapa polimorfisme telah diidentifikasi. Misalnya, hingga 50% varians awal dalam CRP
dikaitkan dengan jumlah pengulangan dinukleotida yang ditemukan di wilayah intronik gen.
Pentingnya melakukan pemeriksaan CRP pada pasien-pasien dengan sepsis terletak pada
fakta bahwa penurunan kadar CRP secara progresif merupakan indikator awal bahwa sepsis
mulai membaik dan maka dari itu, nilai serial CRP dapat membantu dokter dalam
menentukan apakah akan melakukan perubahan terapi atau tidak. Penurunan progresif pada
nilai CRP dan perbaikan klinis pasien sering kali berjalan bersamaan. jika nilai CRP lebih
dari 0.5 kali lipat dibandingkan nilai awal pada hari ke-2 makan prognosisnya adalah buruk
(sensitivitas 91%, spesifisitas 59%). Sebaliknya, dia mengamati bahwa ketika nilai CRP
menurun 0.31 atau lebih pada hari ke-2, ketika dibandingkan dengan nilai pada hari
sebelumnya, setelah memulai terapi antibiotik, prognosisnya adalah baik (sensitivitas 75%,
Sensitivitas CRP sebagai biomarker sepsis adalah 68-92% dan spesifisitas 40- 67%. Keter-
batasan ini menyebabkan CRP memiliki peran diagnostik yang rendah. CRP lebih bermanfaat
untuk evaluasi sepsis dan prognosis. Konsentrasi CRP telah terbukti berkorelasi dengan
tingkat keparahan infeksi. Penurunan cepat konsentrasi CRP dilaporkan berkorelasi dengan
respon yang baik terhadap terapi awal antimikroba pada pasien sepsis, sehingga CRP menjadi
biomarker yang berguna untuk monitoring respon pengobatan. Sebaliknya, pening- katan
CRP pada sepsis dihubungkan dengan peningkatan risiko kegagalan organ dan/atau kematian.
Kondisi peradangan akut, seperti infeksi (sepsis), menyebabkan lever memproduksi CRP,
26
yang merupakan protein yang termasuk dalam famili disebut pentraxins. CRP memiliki peran
utama dalam aktivasi sistem komplemen melalui kompleks C1, maka dari itu CRP sering
dikenal sebagai mekanisme pertahanan utama pada manusia. CRP adalah reaktan fase akut
dan biomarker yang sensitif ketika seseorang mengalami sepsis. Ketika ada infeksi atau
peradangan akut, konsentrasi CRP dalam darah dapat mengalami peningkatan yang terlihat
dalam waktu 2 jam setelah onset gejala dan mencapai nilai puncaknya dalam 48 jam.14
27
BAB 3
KESIMPULAN
Suatu biomarker yang ideal akan memberikan informasi sedini mungkin, dapat membedakan
inflamasi akibat infeksi bakterial atau nonbakterial, serta dapat memberikan informasi
tentang kondisi klinis dan prognosis penyakit. Penanda inflamasi seperti C-reactive protein
(CRP) atau penanda infeksi seperti hitung leukosit kurang spesifik untuk infeksi bakteri. Hal
ini disebabkan oleh adanya bermacam-macam penyebab infeksi dan variasi respons inflamasi
pasien yang bergantung pada waktu, jenis, lama, dan lokasi infeksi.
Procalcitonin telah dilaporkan sebagai sebuah biomarker yang dapat membantu klinisi dalam
mendiagnosis dan memberikan terapi infeksi bakterial. Prinsip utama dari interpretasi nilai
procalcitonin: Interpretasikan keadaan klinis dari pasien, Pengukuran serial dianjurkan dan,
dapat memberikan informasi yang berguna, Pertimbangkan dinamika dari penyakit, Waspada
Kriteria diagnosis dan tatalaksana sepsis juga selalu berkembang mengikuti perkembangan
zaman, namun tindakan untuk stratifikasi dan menentukan prognosis sepsis belum banyak
dikenal oleh tenaga kesehatan. Creactive protein atau CRP merupakan protein fase akut yang
diproduksi oleh lever sebagai respons akibat adanya inflamasi pada tubuh. Pemeriksaan CRP
mudah dilakukan dan memiliki sensitivitas yang cukup baik untuk memprediksi derajat
keparahan dan mortalitas akibat sepsis. Pemeriksaan ini juga lebih efisien dalam hal biaya
28
DAFTAR PUSTAKA
guide to antibiotic decisions: past, present, and future” in BMC Medicine (9:1-9).
3. Schuetz P, Crain MC, Mueller B. Procalcitonin and other biomarkers for the
5. De Backer D, Dorman T. Surviving sepsis guidelines: A continuous move toward better care
doi:10.1001/jama.2017.0059.
“Basal and stimulated calcitonin and procalcitonin by various assays in patients with
29
9. Yang Y, Xie J, Guo F, Longhini F, Gao Z, Huang Y, et al. 2016. “Combination of
c‑reactive protein, procalcitonin and sepsisrelated organ failure score for the diagnosis
11. Nehring SM, Goyal A, Bansal P, Patel BC. C Reactive Protein. In: ; 2020. 5. A ATE.
Diseases Original. Published online 2018:146-149. Anush MM, Ashok VK, Sarma
RIN, Pillai SK. Role of c-reactive protein as an indicator for determining the outcome
10071-23105
12. Levy MM, Evans LE, Rhodes A. The Surviving Sepsis Campaign Bundle: 2018
Sproston NR, Ashworth JJ. Role of C-Reactive Protein at Sites of Inflammation and
13. Pradhan S, Ghimire A, Bhattarai B, dkk. The role of C-reactive protein as a diagnostic
5229.186226
30