Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

Perbandingan Kemaknaan Pemeriksaan Procalcitonin dengan CRP

Disusun Oleh :

Sukma Dwi Kartika 2008320092

Pembimbing :

dr. Edwin Anto Pakpahan Sp.P

SMF ILMU BAGIAN PARU


RSUD DRS H AMRI TAMBUNAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
2022

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................ ...2

KATA PENGANTAR .............................................................................................. ...3

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... ...4

1.1 Latar Belakang ............................................................................................. ...4

1.2 Tujuan ......................................................................................................... ...5

1.3 Manfaat ........................................................................................................ ...5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. ...7

2.1 Procalcitonin ............................................................................................... ...7

2.1.1 Mekanisme Kerja ...................................................................................... ...8

2.1.2 Peran Procalcitonin dalam Diagnosis Klinis............................................. ..10

2.1.3 Pemeriksaan Procalcitonin ........................................................................ ..12

2.1.4 Aspek Praktis Penentuan Procalcitonin Di Laboratorium ........................ ..15

2.1.5 Peran Procalcitonin pada Antibiotik ......................................................... ..15

2.1.6 Procalcitonin pada Sepsis ......................................................................... ..17

2.1.7 Procalcitonin pada Infeksi Jamur .............................................................. ..17

2.1.8 Procalcitonin Pada ISPA .......................................................................... ..17

2.1.9 Akurasi Pemeriksaan Procalcitonin .......................................................... ..19

2.2 C- Reactive Protein . .................................................................................... ..21

2.2.2. C-Reavtive Protein Pada Sepsis ............................................................... ..26

BAB III KESIMPULAN...........................................................................................28

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................29

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan yang maha Esa yang telah melimpahkan

rahmat dan karunia-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan Referat ini guna memenuhi

persyaratan kepaniteraan Klinik Senior bagian SMF paru RSUD Drs. Haji Amri Tambunan Lubuk

pakam dengan judul “Perbandingan Kemaknaan Pemeriksaan Procalcitonindan C-reactive Protein”

referat ini bertujuan agar penulis dapat memahami lebih dalam teori-teori yang diberikan selama

menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di bagian SMF paru mengaplikasikannya untuk kepentingan

klinis kepada pasien.

Penulis mengucapkan terimakasih banyak kepada dr. Edwin Anto PakPahan Sp.P yang telah

membimbing kami dalam referat ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih memiliki

kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran yang membangun dari semua pihak yang

membacanya. Harapan penulis semoga referat ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang

membacanya.

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sampai saat ini, masih terdapat sejumlah keterbatasan pada marker diagnostik konvensional untuk

berbagai kasus infeksi. Akibatnya, pemberian antibiotik yang tidak diperlukan serta durasi terapi yang

tidak tepat dapat memberikan efek yang tidak diinginkan kepada pasien, baik dalam hal resistensi

antibiotik, peningkatan angka mortalitas, lama waktu perawatan, maupun dari aspek biaya. Namun

sebaliknya, keterlambatan menegakkan diagnosis infeksi bakteri akan terjadi bila harus menunggu

hasil parameter kultur mikrobiologi terlebih dahulu. Hambatan lain berupa sensitivitas metode

diagnostik yang relatif rendah (seperti pada kultur darah), dan spesifitas yang relatif rendah (misalnya

karena kontaminasi pada kultur sputum). 1

pemberian antibotik yang tidak rasional, dan masalah resistensi masih menjadi masalah yang cukup

besar di dunia kesehatan saat ini. Keterlambatan menegakkan diagnosis dapat terjadi bila diagnosis

infeksi bakteri menunggu hasil parameter kultur mikrobiologi.1

Penanda infeksi yang ada, termasuk di antaranya jumlah leukosit serta C-reactive protein (CRP) masih

memiliki beberapa keterbatasan, seperti kurang mampu mendeteksi kondisi sepsis. Suatu biomarker

yang ideal akan memberikan informasi sedini mungkin terkait kemungkinan penyebab inflamasi, baik

yang disebabkan oleh infeksi bakterial maupun nonbakterial, serta dapat memberikan informasi

tentang kondisi klinis dan prognosis penyakit. Procalcitonin dapat menjadi marker infeksi yang cukup

menjanjikan. Procalcitonin dapat digunakan sebagai dasar pemberian antibiotik dan menilai efikasi

terapi antibiotik pada pasien infeksi. Kadar procalcitonin serum efektif digunakan untuk tujuan

diagnostik, prediksi penyakit, serta evaluasi efikasi terapi pada berbagai populasi usia, termasuk bayi,

dewasa, dan lanjut usia dengan berbagai lokasi infeksi.1

Upaya untuk menegakkan diagnosis infeksi bakteri yang akurat dan cepat sangat dibutuhkan dalam

praktik klinis. Suatu biomarker yang ideal akan memberikan informasi sedini mungkin, dapat

membedakan inflamasi akibat infeksi bakterial atau nonbakterial, serta dapat memberikan informasi

4
tentang kondisi klinis dan prognosis penyakit. Penanda inflamasi seperti C-reactive protein (CRP) atau

penanda infeksi seperti hitung leukosit kurang spesifik untuk infeksi bakteri. Hal ini disebabkan oleh

adanya bermacam-macam penyebab infeksi dan variasi respons inflamasi pasien yang bergantung pada

waktu, jenis, lama, dan lokasi infeksi. Infeksi yang kemudian dapat berlanjut menjadi kondisi systemic

inflammatory response syndrome (SIRS) dan sepsis, setiap tahun.1,2

Kondisi infeksi berhubungan erat dan ditandai dengan peningkatan yang khas dari kadar prohormon

procalcitonin dalam darah. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa procalcitonin dapat menjadi

dasar pemberian antibiotik dan penilaian efikasi terapi antibiotik pada pasien dengan infeksi. Penelitian

lainnya memperlihatkan bahwa kadar procalcitonin serum efektif digunakan untuk tujuan diagnostik,

prediksi penyakit dan evaluasi efikasi terapi pada berbagai populasi usia, termasuk bayi, dewasa dan

lanjut usia dengan berbagai lokasi infeksi.2

5
1.2 Tujuan

1. Menelaah secara komprehensif mengenai pemeriksaan procalcitonin dan CRP melalui studi
yang valid

2. Sebagai narasi dasar untuk melakukan diskusi klinis selama mengikuti kepaniteraan Klinik
Senior Ilmu Penyakit Paru

3. Memenuhi Persyaratan Untuk Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di SMF Ilmu Penyakit
Paru

1.3 Manfaat

Para ahli memberikan perhatian khusus terhadap penggunaan biomarker sebagai metode

untuk memperbaiki diagnosis infeksi. Selain diagnostik, biomarker ini dapat juga digunakan

sebagai petanda terhadap respon pengobatan.

Penanda inflamasi, seperti C-reactive protein (CRP), atau penilaian leukosit, tidak spesifik

untuk infeksi bakterial. Banyak bukti yang berkembang mendukung penggunaan procalcitonin

(PCT) untuk meningkatkan diagnosis infeksi bakterial dan sebagai panduan terapi antibiotik.

PCT berhubungan dengan muatan bakteri dan keparahan dari infeksi.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Procalcitonin

Procalcitonin adalah 116-asam amino polipeptida yang muncul dari CALC-1 gene. Procalcitonin

tersusun oleh sebuah peptida terminal-N (N-ProCT, aminoprocalcitonin) yang terletak sentral, CT dan

CCP-1. Procalcitonin intak bersirkulasi pada kadar yang rendah dalam darah individu sehat.

Procalcitonin didegradasi oleh protease spesifik menjadi calcitonin dan dilepaskan ke sirkulasi dalam

jumlah terbatas. Pada orang normal, kadar procalcitonin plasma kurang dari 0,05 ng/ml. Pada kondisi

infeksi bakteri yang berat serta sepsis, kadar procalcitonin meningkat hingga 10.000 kali lipat. Oleh

karena itu, saat ini procalcitonin merupakan penanda utama untuk menegakkan diagnosis infeksi

sistemik berat serta sepsis yang diakibatkan oleh bakteri, tetapi PCT merupakan salah satu dari

beberapa prekusor calcitonin yang terlibat dalam respon sistem imun tubuh sehingga disebut

hormokine. Sifat hormokine dari PCT ini akan memberikan respon terhadap berbagai macam proses

inflamasi dalam tubuh seperti syok kardiogenik, trauma, pembedahan, luka bakar, pankreatitis

necrotizing dan infeksi. 3

Pada infeksi mikroba akan terjadi peningkatan ekspresi gen CALC-I yang menyebabkan lepasnya PCT

dari seluruh sel parenkim dan sel-sel yang terdiferensiasi di hati maupun sel-sel mononuklear.

Gambar. Struktur dan Pemecahan procalcitonin

7
Produksi procalcitonin distimulasi oleh cytokine proinflamasi yang dibangkitkan oleh produk

yang atau dari translokasi endogen toksin bakteri melalui dinding usus. Diketahui bahwa

bakteri Gram positif, Gram negatif, atau jamur mengaktivasi jalur toll-like receptor (TLR)

yang berbeda, sehingga memproduksi cytokine proinflamasi yang berbeda pula, yang

kesemuanya menstimulasi produksi procalcitonin. Dengan demikian dapat diduga bahwa

patogen yang berbeda dapat mendorong produksi procalcitonin dengan kadar yang berbeda

pula.Konsentrasi serum dihasilkan oleh bakteri. Produk tersebut di antaranya endotoksin

(lipopolisakarida/LPS) yang berasal dari dinding sel bakteri Gram negatif, asam lipoteikoat

dari bakteri Gram positif, serta komponen lain dari mikroorganisme dan sel yang mengalami

nekrosis. 2,3

Substansi ini dapat berasal dari infeksi eksternal PCT yang normal adalah <0,05 ng/mL tetapi

jika terjadi inflamasi sistemik, khususnya infeksi bakterial, PCT dihasilkan dalam jumlah

banyak oleh jaringan tubuh. Bila terjadi inflamasi akibat bakteri kadar PCT selalu >2 ng/ml

sedangkan pada kasus akibat infeksi virus kadar PCT <0,5 ng/ml. PCT terdeteksi dalam 2-4

jam dan mencapai konsentrasi puncak dalam 6-24 jam. Kadar PCT seiring dengan tingkat

keparahan inflamasi atau dengan kata lain semakin tinggi tingkat keparahan penyakit maka

kadar PCT juga semakin tinggi. Selanjutnya, PCT memiliki kegunaan sebagai indikator

prognostic dengan semakin tingginya konsentrasi serum maka berhubungan dengan resiko

mortalitas.3

2.1.1 Mekanisme Kerja

Procalcitonin dihasilkan sebagai respon terhadap endotoksin atau mediator yang dihasilkan dalam

respon terhadap infeksi bakterial (yaitu, interleukin (IL)-1ᵦ, tumor necrosis factor (TNF)-α, and IL-6).

PCT lebih spesifik untuk infeksi bakterial dan dapat membedakan infeksi bakterial dari penyakit akibat

virus.

8
Gambar. Mekanisme Sekresi PCT

Sekresi procalcitonin terbagi dua jalur, yaitu jalur klasik dan alternatif (konstitutif) :

1. Jalur klasik : procalcitonin sebagai propeptida calcitonin (calc-1) akan

mengekspresikan hanya terbatas pada sel neuroendokrin, khususnya sel C kelenjar

tiroid untuk pengaturan metabolism calcium dan gastrin secara fisiologis.

2. Jalur alternatif (konstitutif) : inflamasi akan menstimulasi procalcitonin sebagai

hormokine dan akan diekspresikan pada seluruh sel parenkim tubuh. Infeksi bakteri

(lipopolisakarida / endotoksin) menstimulasi pelepasan mediator proinflamasi (IL-1

TNFα) yang akan menginduksi CT-mRNA dalam parenkim sel untuk menghasilkan

procalcitonin, sebaliknya infeksi virus melalui interferon γ akan menghambat

konsentrasi PCT, oleh karena itu konsentrasi PCT yang rendah atau normal.3,4

9
Langkah akhir dalam konversi procalcitonin menjadi calcitonin dihambat oleh beberapa

sitokin dan endotoksin bakterial, oleh karena itu, level sitokin yang tinggi dan/atau endotoksin

bakterial menyebabkan kadar PCT meningkat. Sitokin dihasilkan sebagai respon inflamasi dan

infeksi, tetapi endotoksin spesifik dihasilkan pada infeksi bakteri karena endotoksin berasal

dari dinding sel bakteri gram-negatif. Walaupun virus, parasit, dan jamur dapat meningkatkan

kadar PCT karena inflamasi sistemik, kegunaan PCT sebagai alat diagnostik menyatakan

adanya infeksi bakteri lokal atau sistemik, terutama pada sepsis bakterial. Pada kasus infeksi

jamur, kegunaan PCT sebagai alat diagnostik terbatas karena kadarnya tidak meningkat sampai

1-2 hari setelah kejadian infeksi. Peningkatan kadar yang lebih besar dapat mengantisipasi

ineksi bakteri gram negatif versus gram positif oleh karena pelepasan endotoksin dari dinding

sel bakteri gram negatif, walaupun hanya beberapa studi yang memperlihatkan kadar PCT

yang lebih tinggi pada infeksi bakteri gram negatif jika dibandingkan dengan infeksi gram

positif.4

2.1.2 Peran Procalcitonin Dalam Diagnosis Klinis

Kadar prohormon procalcitonin yang sangat tinggi ditemukan pada semua pasien dengan

sepsis juga pada berbagai kasus SIRS berat yang disebabkan oleh luka bakar, pankreatitis,

pneumonia, pembedahan luas, multitrauma, dan beberapa infeksi nonbakterial seperti

malaria. Peningkatan kadar ini terjadi sebesar puluhan, ratusan bahkan ribuan kali lipat.

Sebagai prohormon calcitonin, procalcitonin memiliki aktivitas hormonal yang minim.

Hormon calcitonin disintesis di dalam sel-sel C pada kelenjar tiroid dan paru, serta dalam sel-

sel neuroendokrin, sebagai respons terhadap hiperkalsemia atau pada pasien dengan

keganasan tiroid medular. Calcitonin memiliki 33 asam amino dan sebagai bagian dari

protein yang lebih besar, yaitu 116 asam amino prohormon procalcitonin. Di dalam serum

orang normal, didapatkan procalcitonin intak, calcitonin aktif (CT), dan NProCT

(aminoterminus 57-amino acid sequence), CCP-1 (21-amino acid carboxyterminus peptide)

atau catacalcin dan CCP-1 yang terikat dengan calcitonin. 3

10
Procalcitonin memperlihatkan peningkatan kadar dalam tubuh yang cepat sejalan dengan

paparan, cepat mencapai kadar puncak, dan dengan cepat menurun mengikuti pemberian

terapi atau hilangnya pencetus. Waktu paruh procalcitonin sekitar 24 jam. Procalcitonin

diharapkan dapat menjadi penanda infeksi bakteri yang lebih spesifik. Kadar procalcitonin

meningkat ketika terjadi infeksi bakteri, jamur, dan parasit. Sebaliknya, procalcitonin hanya

sedikit meningkat atau bahkan mengalami peningkatan kadar pada infeksi virus serta pada

kondisi inflamasi berat yang bukan disebabkan oleh infeksi. Procalcitonin diproduksi sebagai

respons terhadap endotoksin atau mediator yang dilepaskan pada saat terjadi infeksi bakteri.

Mediator interleukin (IL)-1ß, tumor necrosis factor (TNF)-α, dan IL-6 berkorelasi sangat kuat

dengan berat dan lamanya infeksi bakteri. Karena pengaturan procalcitonin dihambat oleh

interferon (INF)-γ, suatu cytokine yang dilepaskan sebagai respons terhadap infeksi virus,

maka procalcitonin lebih spesifik mengindikasikan infeksi bakteri dan dengan demikian dapat

membedakan infeksi bakteri dengan infeksi virus. 5

Kadar procalcitonin dalam darah meningkat dalam 6-12 jam setelah infeksi, bahkan terdapat

literatur yang menyatakan peningkatan terjadi dalam 2-4 jam setelah infeksi. Kadar

procalcitonin mencapai puncaknya dalam 8 hingga 24 jam setelah infeksi dan bertahan

selama proses inflamasi berlangsung. Kadar procalcitonin cepat menurun hingga separuhnya

setelah infeksi terkontrol oleh sistem imun tubuh pasien atau akibat pemberian terapi

antibiotik. Procalcitonin berkorelasi dengan jumlah bakteri dan beratnya infeksi. Sebaliknya,

biomarker terdahulu, yaitu c-reactive protein (CRP) dan laju endap darah (LED), keduanya

hanya meningkat setelah 24 jam infeksi dan meningkat juga pada infeksi virus, sementara

kadar procalcitonin relative. Fluktuasi kadar procalcitonin diduga dipengaruhi juga secara

langsung oleh jaringan adiposa melalui sel-sel imun penderita dan secara tidak langsung

melalui pengaturan fungsi imun endokrin dan/atau parakrin. Selama inflamasi, ekspresi TNF-

α jaringan adiposa meningkat dan diduga berefek lokal. TNF-α tidak disekresi ke sirkulasi,

sementara adipokin lain seperti IL-6, dilepaskan ke aliran darah. Peningkatan procalcitonin

11
ini berkorelasi dengan beratnya penyakit dan risiko kematian.

1. Pemeriksaan Procalcitonin

Pemeriksaan procalcitonin dikembangkan dengan meningkatkan sensitivitasnya hingga kadar

terendah 0,06 ng/ml. Penelitian Kratzsch memperlihatkan bahwa calcitonin dalam serum tidak

stabil pada suhu ruang. Konsentrasi calcitonin menurun setelah 2 jam. Pada suhu beku

konsentrasi calcitonin juga mengalami penurunan sebesar 10-30%. Sebaliknya, konsentrasi

procalcitonin dalam darah relatif lebih stabil dibandingkan calcitonin. Procalcitonin tetap stabil

selama preparasi sampel, baik ketika dibekukan, maupun pada penyimpanan dalam jangka

waktu lama. Metode pemeriksaan procalcitonin membutuhkan sensitivitas yang tinggi

sehingga perubahan kadar procalcitonin yang sangat rendah dapat terdeteksi. Metode

pemeriksaan procalcitonin dapat menggunakan metode electro chemiluminescence (ECL)

dengan lama pemeriksaan 18 menit dan batas deteksi 0,06 ng/ml. 6

Metode enzyme-linked fluorescence immunoassay (ELFA) membutuhkan waktu 20 menit

dengan batas deteksi 0,09 ng/ml. Metode time resolved amplified cryptate emission (TRACE)

membutuhkan waktu lebih lama, yaitu 50 menit dengan batas deteksi 0,06 ng/ml.1,4

Keterbatasan setiap metode pengukuran procalcitonin adalah dapat ditemukannya hasil positif

palsu dan negatif palsu. Perbedaan penyebab infeksi dapat menginduksi respons kadar

procalcitonin yang berbeda dalam sirkulasi. Antimikroba dapat menurunkan kadar

procalcitonin, walaupun hubungan langsung dengan dosis antibiotik yang dikonsumsi

pasiendengan kadar procalcitonin masih belum jelas. 6,10

Pada bayi baru lahir, kadar procalcitonin secara normal meningkat hingga 2–3 ng/ml dalam 24

jam setelah kelahiran dan menjadi normal kembali setelah 48–72 jam. Peningkatan kadar

procalcitonin yang tidak spesifik pada keadaan tanpa infeksi bakteri dapat terjadi pada

keganasan tiroid medular, keganasan paru jenis small cell, komplikasi pascaoperasi, cirrhosis,

pankreatitis, ischemic bowel, syok kardiogenik, juga pada situasi stres berat seperti periode

pascatrauma.
12
Pada infeksi intraabdominal, penggunaan procalcitonin sangat menjanjikan sebagai penanda untuk

menyingkirkan adanya perforasi dan iskemia pada sindroma obstruksi (obstructive bowel syndrome).

Penggunaan procalcitonin terbatas pada appendicitis akut dan pankreatitis. Procalcitonin lebih

membantu sebagai penanda prognosis untuk penyakit berat dan keadaan yang buruk. Infeksi yang

terlokalisasi, seperti pada artritis dan osteomielitis, tidak meningkatkan kadar procalcitonin secara

bermakna, terutama bila cut-off yang digunakan adalah 0,1 ng/ml. Hal penting yang perlu dipahami

adalah bahwa produksi procalcitonin tidak dipengaruhi oleh corticosteroid atau terapi dengan

nonsteroid antiinflammatory drugs (NSAID) serta tidak tergantung pada jumlah leukosit.

Procalcitonin diukur pada serum dengan menggunakan pemeriksaan imunoluminometrik. Pemeriksaan

menggunakan dua antibodi mooklonal antigenspesifik, satu diarahkan ke calcitonin dan lainnya ke

katacalcin. Batas untuk mengetahui pemeriksaan adalah 0,1 ng/ml dan koefisien variasinya 5 sampai

10% dengan rentang 1 sampai 1000 ng/ml.7

Pada keadaan fisiologik, transkripsi gen Calc-1 terbatas pada sel neuroendokrin di kelenjar tiroid dan

paru sehingga kadar PCT serum pada individu sehat sangat rendah. Pada keadaan infeksi terutama

sepsis, ekspresi gen Calc-1 ditingkatkan dan PCT dilepaskan oleh hampir semua jaringan tubuh. Pada

infeksi bakteri, kombinasi produk mikroba dan sitokin proinflamasi IL-1β, TNF-α, dan IL-6

menyebabkan peningkatan ekspresi PCT. Menariknya, induksi PCT dapat dilemahkan oleh IFN-γ yang

berperan penting pada pertahanan awal pejamu terhadap virus, akibatnya konsentrasi PCT serum dapat

digunakan untuk membedakan infeksi bakteri dan infeksi virus.7

Terdapat keterbatasan pemeriksaan PCT, yaitu peningkatan PCT dapat terjadi tanpa adanya infeksi

bakteri, yaitu pada trauma berat, operasi, pasca syok kardiak, stres partus pada neonatus, syok suhu

panas, acute graft-versus-host disease, imunoterapi (seperti transfusi granulosit, antibodi anti-CD3,

terapi alemtezumab, IL2, atau TNF-α), penyakit autoimun (seperti penyakit Kawasaki dan beberapa

tipe vaskulitis), dan sindrom paraneoplastik. Pemeriksaan PCT berupa tes kuantitatif dan kualitatif,

menggunakan teknik imunologi seperti enzyme immunoassay atau immunofluorescence. Tes

komersial yang tersedia saat ini umumnya menggunakan antibodi anti-kalsitonin atau antibodi anti-

13
katakalsin. Sampel yang digunakan bisa berupa serum atau plasma (EDTA atau heparin). Karena PCT

merupakan protein yang stabil di dalam darah, penyimpanan pada suhu ruangan selama 24 jam

konsentrasi PCT masih dapat dipertahankan >80% dan bila disimpan pada suhu 4◦C konsentrasi dapat

dipertahankan >90%.7

14
2. Aspek Praktis Penentuan Procalcitonin Di Laboratorium

1. Bahan sample: serum atau plasma

2. Stabilitas in vitro : pada suhu kamar (mengalami penguraian/ dekomposisi setelah 24 jam 10

%), pada suhu - 20º C stabil selama 1 bulan, pada keadaan beku atau cair siklus 3 kali PCT

sample menurun 3 %.

3. Waktu paruh in vivo: kira-kira 24 jam

4. Pengukuran PCT untuk memantau penderita : minimum satu kali sehari.

Oleh karena itu, beberapa penelitian merekomendasikanpasien dengan resiko infeksi bakteri atau yang

sudah dimulai terapi antibiotik dilakukan pengukuran kadar PCT setiap 2-3 hari kemudian. Interpretasi

PCT (pascabedah, bebas sepsis dan pasca-awal pengobatan antibiotika): bila 50% PCT menurun

menunjukkan keberhasilan pengobatan, tetapi bila tetap atau kadar PCT meningkat tidak ada

perubahan dengan pengobatan berarti penyakit memburuk.

Interpretasi PCT sesudah pemantauan penyakit infeksi dengan risiko tinggi (pascatransplantasi atau

politrauma): bukan komplikasi infeksi jika kadar PCT rendah atau menurun dari kadar yang tinggi

(sesudah beberapa hari pascabedah). Bila kadar PCT tetap tinggi atau kadar PCT meningkat

merupakan petunjuk ada komplikasi.3,7

3. Procalcitonin sebagai Panduan Antibiotik

Banyak data membuktikan pemberian antibiotik yang tepat sejak dini dapat mengurangi

mortalitas sepsis tetapi dipihak lain penggunaan antibiotik yang tidak perlu berperan dalam

peningkatan resistensi bakterial dan meningkatkan biaya medis dan resiko.

kejadian efek samping obat. Indikasi peresepan antibiotik yang paling sering di Negara barat

adalah infeksi saluran pernafasan bagian bawah. Gejala klinis, begitupun dengan penanda

laboratorium yang biasa digunakan, tidak dapat diandalkan dalam membedakan infeksi viral

dengan bakterial. Sekitar 75% pasien infeksi saluran pernafasan bagian bawah diobati dengan

antibiotik, meskipun penyebab infeksinya adalah viral. Sebuah pendekatan untuk

15
memperkirakan probabilitas sumber infeksi bakterial pada infeksi saluran pernafasan bagian

bawah adalah pengukuran procalcitonin serum.6

Pengkajian diagnostik dan pengobatan merupakan tanggung jawab dari dokter yang

merawat. Pengukuran kadar PCT direkomendasikan pada seluruh pasien pada saat masuk

rumah sakit dan untuk pasien rawat inap setiap 2 sampai 3 hari selama mereka mendapat terapi

antibiotik. Efikasi, kelayakan, dan keamanan procalcitonin sebagai panduan terapi antibiotik

pada infeksi saluran pernafasan bawah dan sepsis telah dilaporkan dalam beberapa uji coba

acak. Procalcitonin sebagai panduan terapi antibiotik mengurangi peresepan antibiotik inisial

sebanyak 40-50% pada pasien infeksi saluran pernafasan yang datang ke unit gawat darurat

dan sebanyak 70-80% pada pasien rawat jalan yang berobat ke dokter umum dan mengurangi

pemaparan antibiotik total sebanyak 40-50% pada pneumonia komunitas.1

16
4. Procalcitonin pada Sepsis

Sepsis adalah penyakit sistemik karena serangan sitokin pro-inflamasi dan substansi humoral

lainnya yang diinduksi oleh infeksi bakteri. Jika penyebabnya infeksi, diagnosis ditegakkan

sebagai sepsis. Sepsis dan SIRS berat sering berbahaya dan menimbulkan komplikasi fatal,

seperti hipotensi, gagal jantung, koagulasi intravaskular, dan/atau koma, yang dikenal dengan

nama MODS (Multiple Organ Dysfunction Syndrome). Membedakan secara klinis antara

SIRS dan sepsis sering sulit bahkan tidak mungkin. Yang berhubungan dengan kedua kondisi

tersebut adalah kadar serum dari sitokin pro-inflamatori yang tinggi seperti TNF-α (tumor

necrosis factor-α), IL (interleukin)-1, IL-6, dan IL-8 6.8,3

Sepsis memberikan spektrum klinis bervariasi karena didasari oleh tingkat keparahan yang

terjadi diawali dengan infeksi, sepsis kemudian berkembang menjadi sepsis berat dan syok

septik. Pada keadaan infeksi sistemik, termasuk sepsis, kadar PCT umumnya meningkat lebih

17
dari 0,5-2 ng/mL, dan sering mencapai lebih dari 10 ng/mL. Kadar yang lebih tinggi

berhubungan dengan keparahan penyakit dan prognosis. Konsentrasi PCT dalam plasma

sangat berkorelasi dengan kemungkinan kegagalan organ akibat sepsis terutama bila

konsentrasi PCT yang tinggi secara menetap dapat memprediksi akan terjadi fatal outcome

akibat sepsis.5

Gambar. Nilai Procalcitonin pada Penatalaksanaan Sepsis

Gambar . Nilai Procalcitonin pada Follow Up Sepsis

18
5. Procalcitonin pada Infeksi Jamur

Baru-baru ini, kegunaan PCT sebagai penanda dari infeksi telah banyak dibicarakan.

Evaluasinya dipertimbangkan sebagai penanda biologis yang valid dalam membedakan

penyakit bakterial dan dapat membedakan bakteremia dari kondisi inflamasi non-infeksi.

Mengenai infeksi jamur, data literature masih sedikit dan kontroversial: beberapa peneliti

melaporkan bahwa PCT serum lebih rendah pada infeksi jamur dibandingkan dengan infeksi

bakterial. Kadar PCT berkisar dari 0,5 sampai 1 ng/mL dapat disangkakan proses infeksi lain

daripada sepsis bakterial dan menuntun kita untuk mempertimbangkan apakah disebabkan

oleh sepsis karena jamur.4

6. Procalcitonin pada ISPA

PCT tampaknya sangat sensitif terhadap toksin bakteri dibandingkan dengan biomarker lain

seperti sel darah putih (WBC) dan CRP, dan PCT mengalami penurunan regulasi dengan

adanya infeksi virus. Pada tahun 2017 PCT telah disetujui sebagai penanda untuk memandu

terapi antibiotik pada infeksi saluran pernapasan bawah, oleh US Food and Drug

Administration tetapi, terlepas dari langkah ini, tidak ada konsensus tentang kegunaan

penanda ini untuk memandu terapi antimikroba di pasar internasional yang tersedia saat ini.

pedoman untuk pengelolaan pneumonia. Peran PCT pada ISPA telah dipelajari di RCT

dengan mempertimbangkan pengaturan yang berbeda (ICU; pasien rawat jalan), untuk

mengatasi kapan antibiotik harus dimulai dan kapan harus dihentikan. Banyak penelitian

mengevaluasi penggunaan PCT sebagai bagian dari diagram alir, tetapi salah satu kendala

utama yang mereka temui adalah definisi tingkat batas yang standar dan dapat diterima.

Sebagian besar penelitian setuju untuk memulai terapi antimikroba sebagai berikut : PCT

0,25 ng/mL dianjurkan, PCT> 0,5 ng/mL sangat dianjurkan. Beberapa RCT baru-baru ini

menyelidiki apakah penggunaan PCT mungkin terkait dengan peningkatan resep antibiotik.10

19
7. Akurasi Pemeriksaan Procalcitonin

Pada beberapa kajian dinyatakan bahwa PCT lebih sensitif dan spesifik untuk diagnosis

infeksi dibandingkan dengan C reactive protein, IL-6 dan IL-8 pada berbagai situasi klinis.

Dalam hal diagnostik, peran PCT sudah sangat jelas. Studi yang membandingkan PCT

dengan CRP dalam membedakan proses infeksi dan inflamasi menunjukkan keunggulan PCT

dengan sensitivitas (85% Vs 78%) dan spesifisitas (83% Vs 60%). Namun, klinisi harus

mempertimbangkan peningkatan biaya dengan penggunaan tes tambahan. Biaya pemeriksaan

PCT hampir dua kali lipat CRP, tetapi memiliki nilai yang lebih baik secara keseluruhan

penatalaksanaan pasien, terutama saat-saat untuk memutuskan terapi antibiotik.9

Hasil false positive dan false negative dapat muncul pada beberapa keadaan

sehingga harus diperhatikan panduan interpretasi hasil PCT False negative kadar PCT

biasanya terlihat pada masa awal penyakit atau tempat infeksi terlokalisasi, endokarditis

subakut. Situasi dimana terjadi peningkatan PCT akibat infeksi non-bakterial dapat

disebabkan oleh :

- Bayi baru lahir (<48-72 jam; setelah 72 jam diinterpretasikan seperti biasanya)

20
- Stress masif (trauma berat, pembedahan, syok kardiogenik, luka bakar)

- Pengobatan dengan agen yang menstimulasi sitokin (OKT3, anti-

lymphocyte globulins, alemtuzumab, IL-2, transfuse granulosit)

- Malaria dan beberapa infeksi jamur

- Beberapa bentuk dari vaskulitis dan acute graft vs. host disease

- Syok kardiogenik berat dan panjang atau abnormalitas perfusi organ

- Sindroma paraneoplastik akibat kanker tiroid medular dan small cell

lung carcinoma.9,10

2.2 C- Reactive Protein

Penggunaan CRP sebagai biomarker sepsis pertama kali diidentifikasi pada tahun 1930, yaitu

saat Tillet dan Francis menemukan bahwa pada serum pasien pneumonia terdapat protein

yang dapat mempresipitasikan fraksi polisakarida (fraksi C) dari Streptococcus pneumoniae.

Protein ini cepat menurun saat pasien pulih dan tidak ditemukan pada populasi sehat.

C-reactive protein (CRP) adalah protein fase akut yang dilepaskan oleh sel hati setelah

distimulasi oleh mediator inflamasi seperti IL. Jika terdapat kalsium, CRP berikatan dengan

polisakarida seperti Phosphocholine (PCh) pada mikroorganisme dan memicu jalur klasik

komplemen sistem imun alamiah dengan mengaktivasi C1q CRP memiliki berbagai homolog

pada vertebra dan beberapa pada invertebra dan merupakan protein dari famili pentraksin,

yang meliputi beberapa molekul molekul lain dengan struktur yang serupa seperti amyloid.

Induksi transkripsional pada gen CRP terutama terjadi pada hepatosit di lever akibat

peningkatan kadar sitokin-sitokin inflamasi, terutama interleukin-6 (IL-6).11

CRP diproduksi dalam bentuk homopentameric, dikenal dengan istilah CRP (nCRP) yang

dapat berdisosiasi secara ireversibel pada lokasi inflamasi dan infeksi menjadi 5 monomer

terpisah, dikenal dengan istilah CRP monomeric (mCRP). Disosiasi nCRP menjadi subunit

21
bebasnya telah diamati pada kondisi urea yang tinggi atau suhu tinggi tanpa adanya kalsium.

Jadi, secara garis beras CRP dibagi menjadi 2 bentuk yang berbeda secara strukturnya, yaitu

native/pentameric CRP (pCRP) dan modified / monomeric CRP (mCRP). Isoform-isoform

tersebut berikatan dengan reseptor dan membran sel yang berbeda serta memiliki sifat dan

menciptakan efek yang berbeda.

Molekul-molekul mCRP dibedakan dari nCRP dari sifat antigenic, biologis, dan

elektroforesisnya dan terbukti bahwa molekul-molekul tersebut mengekspresikan neoepitope

yang berbeda. Kedua isoform CRP telah dibuktikan memiliki fungsi biologis yang berbeda

dalam proses inflamasi.

Sebagai contoh, nCRP telah dibuktikan menghambat adhesi platelet dengan neutrofil,

sedangkan mCRP meningkatkan interaksi tersebut. Perbedaan dalam fungsi ini dapat

dijelaskan dengan ikatan kedua isoform terhadap tipe reseptor Fc gamma (Fcϒ) yang

berbeda. Isoform mCRP menggunakan ikatan kompleks imun berafinitas rendah dengan

reseptor IgG yang disebut dengan FcϒRIIIb (CD16b) pada neutrofil dan FcϒRIIIa (CD16a)

pada monosit, sementara nCRP berikatan reseptor IgG berafinitas rendah FcϒRIIa.12

22
23
C-reactive protein (CRP) ialah protein fase akut dengan struktur homopentamer dan memiliki

tempat ikatan kalsium yang spesifik terhadap phosphocholin. Creactive protein (CRP)

bersama dengan serum amyloid P component (SAP) merupakan anggota dari protein

golongan pentraxins. Protein ini terdiri dari lima subunit yang identik (homopentamer)

dengan berat subunit kurang lebih 23 kDa yang berikatan secara non-kovalen dan tersusun

secara simetris. CRP memiliki 206 residu asam amino. Dengan menggunakan mikroskop

elektron, terlihat gambaran cincin (anular) molekul berbentuk donat. Struktur pentamer CRP

memiliki sifat stabilitas molekul yang tinggi dan ketahanan terhadap serangan enzimatik.

CRP merupakan penanda inflamasi dan salah satu protein fase akut yang disintesis di hati

untuk memantau secara non-spesifik penyakit lokal maupun sistemik. C-reactive protein

berikatan dengan polisakarida dan peptidopolisaka- rida yang terdapat pada bakteri, fungi,

dan parasit dengan adanya kalsium. Selain itu, CRP dapat juga terikat pada komponen inti sel

pejamu yang apoptosis atau nekrosis seperti ribonukleoprotein, Sehingga berperan pada

pembersihan jaringan.12

Sebagai biomarker, CRP dianggap sebagai respon peradangan fase akut yang mudah dan

murah untuk diukur dibandingkan dengan penanda inflamasi lainnya. CRP juga dijadikan

sebagai penanda prognostik untuk inflamasi.

Protein C-reaktif menunjukkan peningkatan ekspresi selama kondisi inflamasi seperti

rheumatoid arthritis, beberapa penyakit kardiovaskular, dan infeksi. Sebagai protein fase

akut, konsentrasi plasma CRP menyimpang setidaknya 25% selama gangguan inflamasi.

Konsentrasi tertinggi CRP ditemukan dalam serum, dengan beberapa infeksi bakteri

meningkatkan tingkat hingga 1.000 kali lipat. Namun, ketika rangsangan berakhir, nilai CRP

menurun secara eksponensial selama 18-20 jam, mendekati waktu paruh CRP. Kadar CRP

plasma meningkat dari sekitar 1 ug/mL menjadi lebih dari 500 ug/mL dalam waktu 24-72 jam

pada kerusakan jaringan yang parah seperti trauma dan kanker progresif. IL-6 dilaporkan

24
sebagai penginduksi utama CRP ekspresi gen, dengan IL-1 meningkatkan efek . Peningkatan

CRP serum dapat ditemukan pada infeksi. Infeksi bakteri Gram positif dan negatif akut dan

sistemik, serta infeksi jamur sistemik menyebabkan CRP sangat meningkat, bahkan pada

pasien yang imunodefisiensi. Konsentrasi CRP cende- rung lebih rendah pada infeksi virus

akut, meskipun keadaan ini tidak mutlak, karena infeksi dengan adenovirus, campak, dan

influenza kadang-kadang dikaitkan dengan CRP yang tinggi. Data CRP pada infeksi parasit

masih terbatas, tetapi beberapa penyakit akibat protozoa parasit seperti malaria,

pneumocystosis dan toksoplasmosis dapat juga menyebabkan peningkatan CRP. Pada infeksi

kronis seperti tuber- kulosis dan lepra, CRP abnormal namun biasanya hanya sedikit

meningkat. Namun, meskipun IL-6 diperlukan untuk CRP induksi gen, tidak cukup untuk

mencapai ini saja. Sejak pertama kali diidentifikasi, kualitas pengukuran CRP telah

berkembang dengan pesat. Pada mulanya pengu- kuran CRP bersifat kualitatif, namun hasil

pengukuran tidak bermanfaat dalam mem bedakan berbagai keadaan penyakit karena hampir

semua memberikan hasil positif. Setelah itu, pengukuran semi kuantitatif dengan cara

aglutinasi latex dikembangkan, tetapi dianggap tidak banyak memberikan manfaat. Setelah

pengenalan yang lebih baik akan karakteristik biokimia CRP, dikembangkan antibodi

monoklonal spesifik CRP dan beberapa metode imunologi seperti enzyme immunoassay,

imuno- turbidimetri dan nefelometri. sangat meningkat, bahkan pada pasien yang

imunodefisiensi. 12

CRP lebih bermanfaat untuk evaluasi sepsis dan prognosis. Konsentrasi CRP telah terbukti

berkorelasi dengan tingkat keparahan infeksi. Penurunan cepat konsentrasi CRP dilaporkan

berkorelasi dengan respon yang baik terhadap terapi awal antimikroba pada pasien sepsis,

sehingga CRP menjadi biomarker yang berguna untuk monitoring respon pengobatan.

Ada banyak faktor yang dapat mengubah kadar CRP dasar termasuk usia, jenis kelamin,

status merokok, berat badan, kadar lipid, dan tekanan darah. Rata-rata kadar CRP dalam

25
serum pada orang bule yang sehat adalah sekitar 0,8 mg/L, tetapi nilai dasar ini dapat sangat

bervariasi pada individu karena faktor lain, termasuk polimorfisme pada CRP gen. Manusia

CRP gen dapat ditemukan pada 1q23. pada lengan panjang kromosom 1, dan sampai saat ini,

tidak ada variasi alelik atau defisiensi genetik yang ditemukan untuk gen ini meskipun

beberapa polimorfisme telah diidentifikasi. Misalnya, hingga 50% varians awal dalam CRP

dikaitkan dengan jumlah pengulangan dinukleotida yang ditemukan di wilayah intronik gen.

2.2.1 C-Reactive Protein pada Sepsis

Pentingnya melakukan pemeriksaan CRP pada pasien-pasien dengan sepsis terletak pada

fakta bahwa penurunan kadar CRP secara progresif merupakan indikator awal bahwa sepsis

mulai membaik dan maka dari itu, nilai serial CRP dapat membantu dokter dalam

menentukan apakah akan melakukan perubahan terapi atau tidak. Penurunan progresif pada

nilai CRP dan perbaikan klinis pasien sering kali berjalan bersamaan. jika nilai CRP lebih

dari 0.5 kali lipat dibandingkan nilai awal pada hari ke-2 makan prognosisnya adalah buruk

(sensitivitas 91%, spesifisitas 59%). Sebaliknya, dia mengamati bahwa ketika nilai CRP

menurun 0.31 atau lebih pada hari ke-2, ketika dibandingkan dengan nilai pada hari

sebelumnya, setelah memulai terapi antibiotik, prognosisnya adalah baik (sensitivitas 75%,

spesifisitas 85%). 13,14

Sensitivitas CRP sebagai biomarker sepsis adalah 68-92% dan spesifisitas 40- 67%. Keter-

batasan ini menyebabkan CRP memiliki peran diagnostik yang rendah. CRP lebih bermanfaat

untuk evaluasi sepsis dan prognosis. Konsentrasi CRP telah terbukti berkorelasi dengan

tingkat keparahan infeksi. Penurunan cepat konsentrasi CRP dilaporkan berkorelasi dengan

respon yang baik terhadap terapi awal antimikroba pada pasien sepsis, sehingga CRP menjadi

biomarker yang berguna untuk monitoring respon pengobatan. Sebaliknya, pening- katan

CRP pada sepsis dihubungkan dengan peningkatan risiko kegagalan organ dan/atau kematian.

Kondisi peradangan akut, seperti infeksi (sepsis), menyebabkan lever memproduksi CRP,

26
yang merupakan protein yang termasuk dalam famili disebut pentraxins. CRP memiliki peran

utama dalam aktivasi sistem komplemen melalui kompleks C1, maka dari itu CRP sering

dikenal sebagai mekanisme pertahanan utama pada manusia. CRP adalah reaktan fase akut

dan biomarker yang sensitif ketika seseorang mengalami sepsis. Ketika ada infeksi atau

peradangan akut, konsentrasi CRP dalam darah dapat mengalami peningkatan yang terlihat

dalam waktu 2 jam setelah onset gejala dan mencapai nilai puncaknya dalam 48 jam.14

27
BAB 3

KESIMPULAN

Suatu biomarker yang ideal akan memberikan informasi sedini mungkin, dapat membedakan

inflamasi akibat infeksi bakterial atau nonbakterial, serta dapat memberikan informasi

tentang kondisi klinis dan prognosis penyakit. Penanda inflamasi seperti C-reactive protein

(CRP) atau penanda infeksi seperti hitung leukosit kurang spesifik untuk infeksi bakteri. Hal

ini disebabkan oleh adanya bermacam-macam penyebab infeksi dan variasi respons inflamasi

pasien yang bergantung pada waktu, jenis, lama, dan lokasi infeksi.

Procalcitonin telah dilaporkan sebagai sebuah biomarker yang dapat membantu klinisi dalam

mendiagnosis dan memberikan terapi infeksi bakterial. Prinsip utama dari interpretasi nilai

procalcitonin: Interpretasikan keadaan klinis dari pasien, Pengukuran serial dianjurkan dan,

dapat memberikan informasi yang berguna, Pertimbangkan dinamika dari penyakit, Waspada

dengan kondisi yang dapat meningkatkan kadar procalcitonin.

Kriteria diagnosis dan tatalaksana sepsis juga selalu berkembang mengikuti perkembangan

zaman, namun tindakan untuk stratifikasi dan menentukan prognosis sepsis belum banyak

dikenal oleh tenaga kesehatan. Creactive protein atau CRP merupakan protein fase akut yang

diproduksi oleh lever sebagai respons akibat adanya inflamasi pada tubuh. Pemeriksaan CRP

mudah dilakukan dan memiliki sensitivitas yang cukup baik untuk memprediksi derajat

keparahan dan mortalitas akibat sepsis. Pemeriksaan ini juga lebih efisien dalam hal biaya

dibandingkan dengan pemeriksaan Procalcitonin (PCT) sehingga dapat dilakukan bahkan di

rumah sakit non rujukan.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Schuetz P, Albrich W, Mueller B. 2018. “Procalcitonin for diagnosis of infection and

guide to antibiotic decisions: past, present, and future” in BMC Medicine (9:1-9).

2. Davidson J, Tong S, Hauck A, Lawson DS, Cruz E, Kaufman J. 2019. “Kinetics of

procalcitonin and C-Reactive protein and the relationship to postoperative infection in

young infants undergoing cardiovascular surgery” in Pediatric Research (74;413-9).

3. Schuetz P, Crain MC, Mueller B. Procalcitonin and other biomarkers for the

asessment of disease severity and guidance of treatment in bacterial infections.

Advances in sepsis vol 6 no 3, 2017.

4. Leli C, Ferranti M, Moretti A, Al Dhahab ZS, Cenci E, Mencacci A. 2019.

Procalcitonin levels in gram-positive, gramnegative and fungal bloodstream

infections. Hindawi Publishing Corporation Disease Markers (1-8).

5. De Backer D, Dorman T. Surviving sepsis guidelines: A continuous move toward better care

of patients with sepsis. JAMA - J Am Med Assoc. Published online 2017.

doi:10.1001/jama.2017.0059.

6. Hohn A, Schroeder S, Gehrt A, Bernhardt K, Bein B, Wegscheider K, et al. 2013.

“Procalcitonin-guided algorithm to reduce length of antibiotic therapy in patients with

severe sepsis and septic shock” in BMC Infectious Diseases (13:158-72).

7. Kratzsch J, Petzold A, Raue F, Reinhardt W, Bröcker-Preu M, Görges R, et al. 2011.

“Basal and stimulated calcitonin and procalcitonin by various assays in patients with

and without medullary thyroid cancer” in Clinical Chemistry (57: 467-74).

8. Yap CYF, Aw TC. 2014. “The use of procalcitonin in clinical practice” in

Proceedings of Singapore Healthcare (23:33–7).

29
9. Yang Y, Xie J, Guo F, Longhini F, Gao Z, Huang Y, et al. 2016. “Combination of

c‑reactive protein, procalcitonin and sepsisrelated organ failure score for the diagnosis

of sepsis in critical patients” in Ann. Intensive Care (51:1-9).

10. Gilbert DN. 2011. “Procalcitonin as a Biomarker in respiratory tract infection” in

Clinical Infectious Diseases (52:46–50).

11. Nehring SM, Goyal A, Bansal P, Patel BC. C Reactive Protein. In: ; 2020. 5. A ATE.

Diseases Original. Published online 2018:146-149. Anush MM, Ashok VK, Sarma

RIN, Pillai SK. Role of c-reactive protein as an indicator for determining the outcome

of sepsis. Indian J Crit Care Med. Published online 2019. doi:10.5005/jp-journals-

10071-23105

12. Levy MM, Evans LE, Rhodes A. The Surviving Sepsis Campaign Bundle: 2018

update. Intensive Care Med. 2018;44(6):925-928. doi:10.1007/s00134-018-5085-0 10.

Sproston NR, Ashworth JJ. Role of C-Reactive Protein at Sites of Inflammation and

Infection. Front Immunol. 2018;9:754. doi:10.3389/fimmu.2018.00754

13. Pradhan S, Ghimire A, Bhattarai B, dkk. The role of C-reactive protein as a diagnostic

predictor of sepsis in a multidisciplinary Intensive Care Unit of a tertiary care center

in Nepal. Indian J Crit Care Med. 2016;20(7):417- 420. doi:10.4103/0972-

5229.186226

30

Anda mungkin juga menyukai