Anda di halaman 1dari 22

KOMPLIKASI PERITONITIS PADA

CONTINOUS AMBULATORY
PERITONEAL DIALISIS

Oleh :
Astried Indrasari
08.05.2017.01163

Pembimbing :
dr Lilik Sukesi Sp.PD KIC - KGH

Divisi Ginjal Hipertensi


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUP Dr. Hasan Sadikin / Fak Kedokteran Univ
Padjadjaran
Bandung
2018
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................................ 2

BAB 1 PENDAHULUAN ......................................... Error! Bookmark not defined.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 4

2.1. Angka Kejadian Peritonitis ......................................................................................... 4

2.2. Pencegahan Peritonitis ................................................................................................ 5

2.3. Manifestasi Klinis dan Diagnosis Peritonitis ............................................................. 8

2.4 Penatalaksanaan Peritonitis ....................................................................................... 10

2.4 Peritonitis Jamur ........................................................................................................ 16

2.4 Peritonitis Tuberkulosa .............................................................................................. 17

2.4 Pengangkatan dan Re-insersi Kateter....................................................................... 18

KESIMPULAN .......................................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 20


BAB 1

PENDAHULUAN

Kebutuhan akan terapi pengganti ginjal (TPG) semakin meningkat seiring


dengan meningkatnya prevalensi penyakit ginjak kronik (PGK). Peritonial dialisis
(PD) merupakan salah satu pilihan yang tepat karena secara medik maupun non medik
mempunyai keunggulan dibandingkan dengan HD. Kelebihan continous ambulatory
peritoneal dialysis (CAPD) bagi pasien diantaranya adalah kebebasan dalam tempat
dan mesin sehingga tidak tergantung pada mesin di klinik/rumah sakit, begitu pula
dengan kesulitan geografis.
Peritonitis adalah komplikasi umum dan serius dari peritoneal dialysis (PD).
Meskipun kurang dari 5% dari episode peritonitis mengakibatkan kematian, peritonitis
adalah penyebab langsung atau utama penyebab kematian pada sekitar 16% pasien PD
(1-6). Selain itu, peritonitis yang parah atau berkepanjangan menyebabkan perubahan
struktur dan fungsional membran peritoneum, yang akhirnya menyebabkan kegagalan
membran. Peritonitis adalah penyebab utama kegagalan teknik PD dan konversi ke
hemodialisis jangka panjang.1
Rekomendasi yang dikeluarkan oleh International Society for Peritoneal
Dialysis (ISPD) pertama kali diterbitkan pada tahun 1983 dan direvisi pada tahun 1993,
1996, 2000, 2005, 2010 dan 2016.2
Pencegahan, pengenalan dini, dan manajemen yang tepat dari komplikasi ini
penting karena terkait morbiditas pasien dan resiko kegagalan filtrasi. Keberhasilan
keseluruhan dalam mengelola komplikasi ini sangat tergantung kemampuan
pengelolaan unit PD di masing masing daerah, sehingga pelatihan menjadi perhatian
khusus untuk program PD.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Sejak tahun 197 6 Popovich dan rekan kerjanya telah memperkenalkan penggunaan CAPD
sebagai alternatif terapi yang popular pada pasien end stage renal disease ( ESRD) , sehingga pada
tahun 1985 sudah mencapai 27. 000 pasien yang memakai CAPD. Akan tetapi dari berbagai literatur
di laporkan angka kejadian peritonitis pada 6, 3 episode per pasien-per tahun. 3
Pada Conggress Internaional Society f or Peritoneal Dialysis ke -11 Di Amsterdam-
Nehterlands, dipaparkan beber pa hal tentang terapi CAPD sebagai renal replacement therapy yang
masih lebih unggul di banding Hemodialisis dari efektifitas, adekuasi dan kepuasan pasien. Pada
kesempaan tersebut di bahas salah saunya teruama tentang peritonitis, infeksi pada exit site dan t unnel.
Angka kejadian peritonitis sudah mulai berkurang oleh karena kewaspadaan dan pemberian antibiotk
yang rasonal , didapatkan 1 episode dari 21,5 pasien perbulan yang mana sebelumnya 1 episode dar i
9, 9 pasien ( menurun 61%). 3
Pencegahan komplikasi, deteksi dini dan penanganan yang memadai sangat diperlukan
dalam kegiatan CAPD. Kegiatan preventif dimulai dengan persiapan awal yang baik,
pemilihan kateter yang sesuai, teknik operasi yang optimal serta kerjasama yang antara
bagian bedah, nefrologi dan radiologi.

2.1. Angka Kejadian Peritonitis

Sebagai bagian dari program peningkatan kualitas secara berkesinambungan,


unit PD harus melakukan monitoring angka kejadian peritonitis, sekurangnya setahun
sekali dalam bentuk jumlah episode per pasien per tahun. Monitoring tersebut meliputi
angka kejadian peritonitis secara keselurahan, angka kejadian peritonitis berdasarkan
mikroorganisme penyebab, persentase pasien yang bebas peritonitis dan kepekaan
antimicrobial dalam mengobati peritonitis.
Dilakukan monitoring terhadap setiap episode peritonitis yang berkembang
setelah pemasangan kateter dan sebelum pelatihan PD dimulai. Episode peritonitis
yang berkembang saat pasien dirawat di rumah sakit dan PD yang dilakukan oleh
perawat juga harus dihitung. Selama perhitungan, hanya episode peritonitis yang
berkembang dari hari pertama pelatihan PD harus dihitung, sementara episode kambuh
seharusnya hanya dihitung sekali. Selain tingkat peritonitis keseluruhan, pemantauan
harus mencakup mikroorganisme penyebab peritonitis dan kepekaan obat dari
organisme yang menginfeksi, sehingga dapat membantu untuk merancang rejimen
antibiotik empiris yang spesifik. Dengan informasi ini, intervensi dapat
diimplementasikan saat angka kejadian peritonitis meningkat atau terlalu tinggi.4

2.2. Pencegahan Peritonitis

Exit-site dan catheter-tunnel infection adalah faktor predisposisi utama untuk


peritonitis terkait PD. Banyak strategi pencegahan bertujuan untuk mengurangi
kejadian infeksi saluran keluar dan saluran keluar, dan uji klinis di area ini sering
melaporkan angka kejadian peritonitis sebagai hasil sekunder. 5
ISPD merekomendasikan penggunaan antibiotika profilaksis sesaat sebelum
dilakukan insersi kateter. Ada 4 uji acak, terkontrol pada penggunaan perioperatif
intravena (IV) cefuroxime, gentamisin, vankomisin, dan cefazolin dibandingkan
dengan tidak ada pengobatan profilaksis. Tiga dari mereka menunjukkan bahwa
antibiotik perioperatif mengurangi kejadian peritonitis awal, sementara 1 yang
menggunakan cefazolin dan gentamisin tidak menemukan manfaat. Vancomycin dan
cefazolin dibandingkan head-to-head dalam 1 studi, menunjukkan bahwa vankomisin
lebih efektif daripada cefazolin. Meskipun sefalosporin generasi pertama mungkin
sedikit kurang efektif daripada vankomisin, namun masih umum digunakan karena
kekhawatiran mengenai resistensi vankomisin. Setiap program PD harus menentukan
pilihan antibiotiknya sendiri untuk profilaksis setelah mempertimbangkan spektrum
lokal resistensi anti-biotik. Tidak ada data tentang efektivitas skrining rutin dan
pemberantasan Staphylococcus aureus nasal carriage sebelum pemasangan kateter
(misalnya oleh mupirocin intranasal). 6
Selain antibiotik profilaksis, berbagai teknik penempatan kateter telah diuji.
Sebuah tinjauan sistematis menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan dalam
tingkat peritonitis antara teknik-teknik ini. Begitu juga terhadap jenis kateter, tidak ada
data memperlihatkan mengenai efek desain dan konfigurasi PD kateter pada risiko
peritonitis. Delapan uji coba acak telah membandingkan kateter PD lurus dan
melingkar dan tidak menemukan perbedaan dalam tingkat peritonitis. Beberapa
penelitian retrospektif menyarankan bahwa kateter double-cuffed dikaitkan dengan
tingkat peritonitis yang lebih rendah daripada yang cuff tunggal. Namun, satu-satunya
uji coba secara acak pada topik ini menunjukkan tidak ada perbedaan risiko peritonitis
antara dua jenis kateter. 7
Untuk CAPD, beberapa studi prospektif menegaskan bahwa penggunaan
sistem koneksi Y dengan desain “flush before fill” menghasilkan angka kejadian
peritonitis yang lebih rendah daripada sistem spike tradisional.8
ISPD tidak merekomendasikan secara khusus pada pilihan solusi dialisis untuk
pencegahan peritonitis. Data awal menunjukkan bahwa pilihan cairan PD dapat
mempengaruhi tingkat peritonitis, meskipun hasil uji coba yang dipublikasikan
bertentangan. Percobaan acak terbesar dan metodologis yang paling kuat dari cairan
pH netral, rendah-glucosa degradation-produk (GDP) PD menunjukkan bahwa cairan
ini secara signifikan mengurangi kejadian dan tingkat keparahan peritonitis
dibandingkan dengan cairan konvensional. 9
Rekomendasi ISPD mengenai penggunaan krim atau salep antibiotik topikal
(mupirocin atau gentamicin) setiap hari ke daerah exit site. Dilakukan pengobatan yang
optimal untuk infeksi exit site atau infeksi tunnel kateter untuk mengurangi risiko
peritonitis berikutnya . Langkah-langkah umum mengenai perawatan di luar-tempat
dan kebersihan tangan yang teliti selama pertukaran dialisis telah direkomendasikan
dan harus ditekankan selama pelatihan pasien.10
Rekomendasi ISPD terbaru untuk memberikan edukasi dan pelatihan terhadap
pasiem. Pelatihan PD dilakukan oleh staf perawat dengan kualifikasi dan pengalaman
yang sesuai.
Setelah pelatihan PD selesai dan pasien dimulai di rumah PD, kunjungan rumah
oleh perawat PD sering berguna dalam mendeteksi masalah dengan teknik pertukaran,
kepatuhan terhadap protokol, dan masalah lingkungan dan perilaku lainnya yang
meningkatkan risiko peritonitis. Selain pelatihan awal, pelatihan kembali memainkan
peran penting dalam mengurangi kesalahan menurut spesialis pembelajaran. Studi
menemukan bahwa 6 bulan setelah inisiasi PD, sebagian besar pasien mengambil jalan
pintas, memodifikasi metode pertukaran standar, atau tidak mengikuti teknik aseptic.
Pelatihan kembali dilakukan pada adanya episode rawat inap yang berkepanjangan,
setelah peritonitis dan/atau infeksi kateter, adanya perubahan dalam ketangkasan,
penglihatan, atau aktivitas mental, perubahan ke pemasok lain atau jenis koneksi yang
berbeda, dan setelah adanya interupsi pada program PD, pasien dilakukan
hemodialisa.11
ISPD merekomendasikan antibiotik profilaksis sebelum kolonoskopi dan
prosedur ginekologi invasive. Peritonitis pada PD biasanya terjadi setelah prosedur
intervensi invasif (misalnya kolonoskopi, histeroskopi, kolesistektomi) pada pasien
PD. Dalam satu penelitian, di dapatkan dari 97 colonoskopi yang dilakukan pada 77
pasien CAPD, peritonitis terjadi pada 5 (6,3%) dari 79 colonoskopi yang dilakukan
tanpa antibiotik prophylaxis dan tidak ada satupun dari 18 colonoskopi yang dilakukan
dengan antibiotik prophylaxis (p = 0,58). 12
Sejumlah faktor risiko lain yang berpotensi dimodifikasi untuk peritonitis telah
dilaporkan pada banyak penelitian. Khususnya, hipoalbuminemia, depresi, dan
hilangnya motivasi berulang kali dilaporkan sebagai faktor risiko penting, meskipun
tidak ada data yang dipublikasikan untuk menunjukkan bahwa pengobatan masalah ini
akan mengurangi tingkat peritonitis. Demikian pula, paparan terhadap hewan domestik
merupakan faktor risiko lain. Hewan harus dikeluarkan dari ruang di mana PD sedang
dilakukan. Dua penelitian observasional menunjukkan bahwa terapi vitamin D oral
dikaitkan dengan kejadian peritonitis yang secara signifikan lebih rendah, tetapi
penelitian acak prospektif diperlukan untuk mengkonfirmasi hasilnya.13,14

Tabel 1. Faktor resiko peritonitis yang bisa dimodifikasi .

Rekomendasi ISPD memberikan profilaksis antijamur ketika pasien PD


menerima antibiotik untuk mencegah peritonitis karena jamur. Sejumlah penelitian
observasional dan uji coba acak memeriksa penggunaan nistatin atau flukonazol oral
sebagai profilaksis selama terapi antibiotik. Pada intinya, 2 uji coba terkontrol secara
acak dan tinjauan sistematis menunjukkan manfaat yang signifikan.15

2.3. Manisfestasi Klinis Dan Diagnosis Peritonitis

Diagnosis peritonitis ditegakkan ketika ditemui paling sedikit 2 dari kriteria


berikut: (1) gambaran klinis yang konsisten dengan peritonitis, yaitu nyeri perut dan /
atau cairan dialisis berawan; (2) jumlah sel darah putih dialisis> 100 / μL atau> 0,1 x
109 / L (setelah waktu tinggal paling sedikit 2 jam), dengan> 50% polimorfonuklear;
dan (3) kultur dialisis positif. Pasien PD yang datang dengan efluen berawan dianggap
memiliki peritonitis dan diperlakukan seperti itu sampai diagnosis dapat
dikonfirmasikan atau dikecualikan. Cairan effluent dilakukan pemeriksaan jumlah sel,
hitung jenis, pewarnaan Gram, dan biakan setiap kali peritonitis dicurigai. 16

Gambar 1. Manajemen awal pada peritonitis


Pasien-pasien dengan peritonitis biasanya datang dengan effluent PD yang
berawan dan ada keluhan sakit perut. Effluent yang berawan hampir selalu
menunjukkan infeksi peritonitis, meskipun ada diagnosis banding lainnya (Tabel 2).
Beberapa pasien datang dengan cairan keruh tetapi tidak ada atau sedikit sakit perut.
Di sisi lain, peritonitis juga harus dimasukkan dalam diagnosis banding pasien PD yang
mengalami nyeri perut, bahkan jika efluennya jernih. Selain gejala yang muncul, pasien
harus ditanyai tentang kontaminasi terbaru, kejadian salah koneksi , prosedur
endoskopi atau ginekologi, serta adanya konstipasi atau diare. Selain itu, pasien harus
ditanyai tentang riwayat peritonitis dan ESI. 16

Tabel 2. Differenssial diagnosis untuk effluent berawan


Pada pemeriksaan fisik, nyeri perut terasa di seluruh bagian perut dan
memberat dengan maneuver rebound. Rasa sakit yang terlokalisir dapat meningkatkan
kecurigaan kelainan dasar yang memerlukan pembedahan. atau kelembutan lokal harus
meningkatkan kecurigaan dari patologi bedah yang mendasarinya. Pemeriksaan fisik
juga harus mencakup daerah exit site dan jalur kateter. Setiap sekret yang keluar harus
dilakukan kultur. Tingkat nyeri perut merupakan faktor penting dalam menentukan
apakah seorang pasien memerlukan rawat inap di rumah sakit. Secara umum, pasien
dengan nyeri minimal dapat diobati secara rawat jalan dengan terapi antibiotik
intraperitoneal (IP), dilakukan monitoring selama 3 hari untuk menilai resolusi yang
terjadi.

2.4. Penalataksanaan Peritonitis

Terapi antibiotik empiris dimulai sesegera mungkin setelah dilakukan


pemriksaan kultur. Terapi empiris harus mencakup organisme gram positif dan gram
negatif . Untuk organisme gram positif diberikan vankomisin atau cephalosporin
generasi pertama dan organisme gram negatif dengan sefalosporin generasi ketiga atau
aminoglikosida. Pemberian antibiotik bertujuan untuk resolusi cepat peradangan dan
mempertahankan fungsi membran peritoneum. Tidak ada rejimen antibiotik yang
terbukti lebih unggul dibanding yang lain sebagai pengobatan empiris, meskipun
kombinasi glikopeptida (vankomisin atau teicoplanin) plus
ceftazidime dianggap lebih unggul daripada rejimen lain dalam meta analisis
proporsional. 17
Untuk cakupan gram positif, beberapa penelitian membandingkan sefalosporin
generasi pertama dengan rejimen berbasis glikopeptida. Ketika dianalisis secara
keseluruhan, rejimen berbasis glikopeptida menghasilkan tingkat penyembuhan
lengkap yang lebih tinggi, tetapi tidak ada perbedaan dalam tingkat kegagalan
pengobatan primer, kambuh, atau pengangkatan kateter. Sebuah tinjauan sistematis
mencatat bahwa hasilnya sangat dipengaruhi oleh 1 studi, di mana dosis cefazolin
secara substansial lebih rendah dari rekomendasi saat ini. Penelitian lain tidak
menemukan perbedaan dalam tingkat penyembuhan untuk vankomisin dan cefazolin
ketika dosis cephalosporin yang tepat digunakan. Meskipun demikian, beberapa unit
PD memiliki tingkat organisme resisten methicillin yang tinggi dan vankomisin lebih
baik untuk cakupan gram positif empiris , meskipun masih kontroversial penggunaan
empiris vankomisin secara rutin.
Untuk cakupan organisme gram negatif, penelitian sebelumnya telah
menunjukkan bahwa aminoglikosida (misalnya gentamisin atau netilmicin),
ceftazidime, cefepime, atau carbapenem semuanya efektif. Cefepime memiliki
kemampuan bagus melawan bakteri gram positif dan dapat digunakan sebagai
monoterapi. Fluoroquinolones juga dapat digunakan jika didukung oleh pola
kerentanan antimikroba lokal. Untuk pasien yang alergi terhadap sefalosporin,
aztreonam juga merupakan alternatif yang mungkin. Dalam studi terkontrol secara
acak, IP netilmicin dan ceftazidime memiliki kemanjuran yang sama untuk cakupan
gram-negatif empiris. Pengobatan aminoglikosida jangka pendek tidak mahal, aman,
dan memberikan cakupan gram negatif yang baik. Tidak ada bukti bahwa pengobatan
jangka pendek aminoglikosida mempercepat penurunan fungsi ginjal. Namun,
pengobatan aminoglikosida yang berulang atau berkepanjangan (lebih dari 3 minggu)
dikaitkan dengan tingginya insiden toksisitas vestibular. 18,19
Pemberian antibiotik IP lebih direkomendasikan kecuali pasien menunjukkan
gejala sepsis. Secara umum, pemberian dosis IP menghasilkan tingkat obat IP yang
tinggi dan lebih disukai daripada pemberian IV. Selain itu, dosis IP menghindari
venipuncture dan dapat dilakukan oleh pasien di rumah setelah pelatihan yang tepat.
Meskipun IV vankomisin cukup berhasil sebagai cakupan gram positif empiris,
penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa IV vankomisin menghasilkan tingkat
kegagalan pengobatan primer yang lebih tinggi secara signifikan daripada administrasi
IP. Pemberian antibiotik IP harus dilakukan menggunakan teknik steril, seperti
menempatkan povidone iodine, menggosok dengan alkohol 70% strip, atau
chlorhexidine pada port obat selama 5 menit sebelum penyisipan jarum melalui port.20
Table 3. Dosis antibiotic intraperitoneal untuk terapi peritonitis

Table 4. Dosis antibiotic sistemik pada peritonitis


Antibiotik intraperitoneal dapat diberikan secara terus menerus (yaitu di setiap
pertukaran) atau dosis intermiten (yaitu sekali sehari). Dalam dosis intermiten, larutan
dialisis yang mengandung antibiotik harus dibiarkan tinggal selama setidaknya 6 jam
untuk memungkinkan penyerapan yang cukup. Banyak antibiotik yang secara
signifikan meningkatkan penyerapan selama peritonitis, yang memungkinkan masuk
kembali ke dalam rongga peritoneum selama siklus PD berikutnya.21
Telah dilakukan penelitian tentang stabilitas dan kompatibilitas berbagai
antibiotik untuk administrasi IP. Vankomisin, aminoglikosida, dan sefalosporin dapat
dicampur dalam kantong larutan dialisis yang sama tanpa kehilangan bioaktivitas.
Aminoglikosida dan sefalosporin dapat ditambahkan ke dalam kantong yang sama,
meskipun aminoglikosida tidak boleh ditambahkan ke kantong yang sama dengan
penisilin karena ketidakcocokan bahan kimia. Untuk antibiotik apa pun yang harus
dicampur, jarum suntik terpisah. Meskipun vankomisin dan ceftazidime kompatibel
ketika ditambahkan ke solusi dialisis (1 L volume total atau lebih besar), mereka tidak
kompatibel jika digabungkan dalam spuit yang sama atau ditambahkan ke kantong
dialisis kosong untuk reinfusi ke pasien. Antibiotik stabil untuk beberapa lama walau
setelah ditambahkan ke cairan PD. Vancomycin stabil selama 28 hari dalam larutan
dialisis yang disimpan pada suhu kamar. Gentamisin stabil selama 14 hari baik pada
suhu kamar dan di bawah pendinginan, tetapi durasi stabilitas berkurang dengan
pencampuran dengan heparin. Cefazolin stabil selama 8 hari pada suhu kamar atau
selama 14 hari jika didinginkan; penambahan heparin tidak memiliki pengaruh buruk.
Ceftazidime stabil selama 4 hari pada suhu kamar atau 7 hari jika didinginkan.
Cefepime stabil selama 14 hari jika cairan dialisat didinginkan. 22,23
Pada pasien juga diberikan heparin 500 unit / L IP untuk mencegah oklusi
kateter oleh fibrin. Tergantung pada tingkat keparahan gejala, beberapa pasien akan
membutuhkan analgesik untuk mengontrol rasa sakit. Pada presentasi awal dan
sebelum antibiotik IP dimulai, 1 atau 2 pertukaran PD cepat sering dilakukan untuk
menghilangkan rasa sakit, meskipun tidak ada data yang mendukung pendekatan ini.
Sebuah uji coba terkontrol secara acak menunjukkan bahwa lavage peritoneal cepat
yang lebih ekstensif selama 24 jam pertama peritonitis tidak mempengaruhi tingkat
penyembuhan atau kekambuhan total dibandingkan dengan praktek yang biasa dari 2
siklus pertukaran cepat. 24
Permeabilitas peritoneal terhadap air, glukosa, dan protein biasanya meningkat
selama peritonitis. Pengurangan dalam ultrafiltrasi sering timbul, dan kelebihan cairan
adalah komplikasi yang sering terjadi. Penggunaan sementara dialisat hipertonik dan
waktu tinggal yang pendek mungkin diperlukan untuk mempertahankan pengeluran
cairan yang adekuat. Penggunaan sementara larutan icodextrin dapat mencegah
kelebihan cairan pada pasien PD dengan peritonitis akut. Karena penyerapan glukosa
yang cepat, kontrol glikemik dapat memperburuk pada pasien diabetes. Pemantauan
glukosa darah dengan penyesuaian dosis insulin yang tepat mungkin diperlukan.
Kehilangan protein selama peritonitis juga meningkat. Skrining untuk malnutrisi harus
dilakukan pada pasien dengan peradangan peritoneum berkepanjangan.25
Algoritma manajemen untuk cocci gram positif dan basil gram negatif yang
diidentifikasi dalam dialysis effluent diringkas dalam Gambar 2 dan 3. Dalam 48 jam
setelah memulai terapi, sebagian besar pasien dengan peritonitis terkait PD akan
menunjukkan perbaikan klinis yang cukup besar. Efluen harus diperiksa secara visual
secara teratur untuk menentukan apakah sudah jernih. Jika tidak ada perbaikan setelah
48 jam, jumlah sel dan kultur ulang harus dilakukan.
Selain itu, pemantauan jumlah WBC di efluen PD dapat memprediksi respons
pengobatan. Sebuah penelitian retrospektif menunjukkan bahwa dialisis effluent WBC
count ≥ 1.090 / mm3 pada hari ke 3 adalah penanda prognostik independen untuk
kegagalan pengobatan.26
Gambar 2. Algoritme untuk gram positif

Gambar 3. Algoritme untuk gram negative

Setelah memulai pengobatan antibiotik, biasanya ada perbaikan klinis dalam 72


jam. Peritonitis refrakter didefinisikan sebagai kegagalan efluen PD menjadi jernih
setelah 5 hari pemberian antibiotik yang tepat. Pengangkatan kateter diindikasikan
dalam kasus peritonitis refrakter, atau lebih awal jika kondisi klinis pasien memburuk,
untuk mempertahankan peritoneum untuk PD di masa depan serta mencegah
morbiditas dan mortalitas. Upaya jangka panjang untuk mengobati peritonitis refraktori
oleh antibiotik tanpa pengangkatan kateter berhubungan dengan tinggal di rumah sakit
yang lebih lama, kerusakan membran peritoneum, peningkatan risiko peritonitis jamur,
dan mortalitas yang tinggi. 27
Peritonitis rekuren adalah episode peritonitis yang terjadi dalam waktu 4
minggu setelah penyelesaian terapi dari episode sebelumnya tetapi dengan organisme
yang berbeda. Sedangkan peritonitis relaps yaitu Sebuah episode yang terjadi dalam 4
minggu setelah penyelesaian terapi dari episode sebelumnya dengan organisme yang
sama atau satu episode steril. Peritonitis berulang adalah sebuah episode yang terjadi
lebih dari 4 minggu setelah selesainya terapi dari episode sebelumnya dengan
organisme yang sama. 28
Ketika dibandingkan dengan episode non-relaps, relaps berhubungan dengan
tingkat penyembuhan yang lebih rendah, lebih banyak masalah ultrafiltrasi, dan tingkat
kegagalan teknik yang lebih tinggi. Peritonitis episode rekuren memiliki prognosis
yang lebih buruk daripada yang relaps.28

2.5. Peritonitis Jamur


Peritonitis jamur adalah komplikasi serius dengan tingginya tingkat rawat inap,
pengangkatan kateter, transfer ke hemodialisis, dan kematian. Terapi awal merupakan
kombinasi dari amfoterisin B dan flusitosin. Namun, IP amphotericin menyebabkan
peritonitis kimia dan nyeri, sementara pemberian IV memiliki bioavailabilitas
peritoneum yang buruk. Selain itu, flusitosin tidak tersedia secara luas. Jika flusitosin
digunakan, pemantauan konsentrasi serum secara teratur diperlukan untuk menghindari
toksisitas sumsum tulang. Kadar flusitosin serum puncak, diukur 1 - 2 jam setelah dosis
oral, harus 25 - 50 mcg / mL. 29
Agen lain pilihan termasuk flukonazol, echinocandin (misalnya caspofungin,
micafungin, atau anidulafungin), posaconazole, dan vorikonazol. Meskipun flukonazol
umumnya digunakan, prevalensi resistensi azol meningkat. Flukonazol hanya memiliki
aktivitas melawan spesies Candida dan Cryptococcus. Echinocandins dianjurkan
untuk pengobatan peritonitis jamur yang disebabkan oleh spesies Aspergillus dan non-
albicans spesies Candida, atau pada pasien intoleran terhadap terapi antijamur lainnya.
Caspofungin telah berhasil digunakan sebagai monoterapi atau dalam kombinasi
dengan amfoterisin. Posaconazole dan vorikonazol digunakan untuk pengobatan
peritonitis yang disebabkan oleh jamur berfilamen. Terlepas dari pilihan agen anti-
jamur, penelitian observasional menunjukkan bahwa pengangkatan kateter yang cepat
akan meningkatkan hasil dan mengurangi mortalitas. Agen anti-jamur harus
dilanjutkan setelah pengangkatan kateter selama minimal 2 minggu. Sebuah penelitian
terbaru menunjukkan bahwa sekitar sepertiga pasien dapat kembali ke PD.29

2.6. Peritonitis Tuberkulosa

Meskipun gejala klasik demam, sakit perut, dan cairan keruh dapat terjadi
dengan peritonitis tuberkulosis, diagnosis harus dipertimbangkan pada setiap pasien
dengan peritonitis refrakter atau kambuh dengan kultur bakteri negatif. 30
Protokol pengobatan harus didasarkan pada protokol umum untuk pengobatan
tuberkulosis tetapi sering dimulai dengan 4 obat: rifampisin, isoniazid, pirazinamid,
dan ofloxacin. Sebuah penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kadar rifampisin
dalam efluen PD sering rendah. Terapi rifampisin intraperitoneal telah dianjurkan
tetapi tidak tersedia di banyak negara. Secara umum, pyrazinamide dan ofloxacin dapat
dihentikan setelah 2 bulan, sementara rifampisin dan isoniazid harus dilanjutkan untuk
total 12-18 bulan. Pyridoxine (50 hingga 100 mg / hari) harus diberikan untuk
menghindari neurotoksisitas yang diinduksi isoniazid. Streptomisin, bahkan dalam
dosis yang dikurangi, dapat menyebabkan ototoksisitas setelah penggunaan jangka
panjang dan harus dihindari. Ethambutol dikaitkan dengan risiko tinggi neuritis optik
pada pasien dialisis dan harus digunakan dengan pengurangan dosis yang tepat. 30

2.7. Pengangkatan Dan Re-Insersi Kateter

Untuk peritonitis refrakter dan peritonitis jamur, simultan


re-insersi kateter PD baru tidak dianjurkan, dan pasien harus menjalani hemodialisis
sementara. Studi observasional menunjukkan bahwa antibiotik yang efektif harus
dilanjutkan selama setidaknya 2 minggu setelah pengangkatan kateter untuk peritonitis
refrakter. Setelah episode peritonitis berat, sekitar 50% pasien berpotensi kembali ke
PD . 31

Table 5. Indikasi Pengangkatan kateter

Ada beberapa data tentang durasi optimal antara pengangkatan kateter untuk
peritonitis dan re-insersi kateter baru. Studi observasional menunjukkan periode
minimal 2 sampai 3 minggu, meskipun beberapa akan merekomendasikan waktu yang
lebih lama untuk re-insersi pada kasus peritonitis jamur. Re-insersi kateter baru harus
dilakukan dengan pendekatan laparoskopi atau mini-laparotomi sehingga adhesi dapat
divisualisasikan secara langsung. Masalah ultrafiltrasi umum terjadi setelah kembali ke
PD. Sebagian kecil pasien dengan peritonitis terkait PD , dapat terjadi koleksi cairan
intra-abdominal berulang yang membutuhkan drainase perkutan setelah pengangkatan
kateter. Kesempatan berhasil kembali ke PD sangat rendah pada kelompok pasien ini,
dan konversi langsung ke hemodialisis jangka panjang harus dipertimbangkan. 31
KESIMPULAN

Tingkat mortalitas pasien dialisis yang tinggi menjadi perhatian banyak


kalangan nephrologists. Mortalitas dikaitkan dengan infeksi, serta perawatan di rumah
sakit yang terkait dengan infeksi telah dicatat secara signifikan lebih tinggi untuk
pasien yang menggunakan dialisis peritoneal dibandingkan dengan pasien yang
dilakukan hemodialisis . Peritonitis terkait PD adalah infeksi yang paling umum pada
pasien PD dan hanya menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas tetapi juga
penyebab utama kegagalan teknik pasien yang dirawat pada PD.
Spektrum khas organisme yang menyebabkan peritonitis termasuk organisme
gram positif (67%), organisme gram negatif (28%), jamur (2,5%) atau organisme
anaerob (2,5%). Kejadian kultur-negatif terjadi hingga 20% dari episode peritonitis.
Pengobatan komplikasi infeksi berupa peritonitis lebih terstandardisasi dengan
rekomendasi yang dikeluarkan oleh International Society of Peritoneal Dialysis yang
diadopsi secara universal. Sekitar 80% pasien yang mengalami peritonitis akan
merespon terapi antimikroba dan tetap menggunakan terapi PD, sementara 10 hingga
15% pasien memerlukan pengangkatan kateter dan transfer ke hemodialisis. Hasilnya
berbeda berdasarkan organisme dengan episode gram negatif dan jamur memiliki hasil
yang lebih buruk daripada episode gram positif. 32
Komplikasi infeksi terkait Peritoneal Dialisis (PD) telah mendapat banyak
perhatian dan telah menjadi subyek penyelidikan yang luas. Minat telah difokuskan
pada strategi untuk mengurangi kejadian infeksi, lebih memahami faktor risiko yang
mempengaruhi pasien terhadap infeksi, dan mengembangkan strategi terapi yang lebih
baik untuk mengobati infeksi

DAFTAR PUSTAKA
1. Ghali JR, Bannister KM, Brown FG, Rosman JB, Wiggins KJ, Johnson DW,
McDonald SP. Microbiology and outcomes of peritonitis in Australian peritoneal
dialysis patients. Perit Dial Int 2011; 31:651–62
2. Piraino B, Bernardini J, Brown E, Figueiredo A, Johnson DW, Lye WC, et al. ISPD
position statement on reducing the risks of peritoneal dialysisrelated infections. Perit
Dial Int 2011; 31:614–30.
3. Krediet RT. 30 Years of peritoneal dialysis development: the past and the future.
Peritoneal Dialysis I nternational 2007; 27: 2
4. Piraino B. Today’s approaches to prevent peritonitis. Contrib Nephrol 2012; 178:246–
50.
5. van Diepen AT, Tomlinson GA, Jassal SV. The association between exit site infection
and subsequent peritonitis among peritoneal dialysis patients. Clin J Am Soc Nephrol
2012; 7:1266–71.
6. Gadallah MF, Ramdeen G, Mignone J, Patel D, Mitchell L, Tatro S. Role of
preoperative antibiotic prophylaxis in preventing postoperative peritonitis in newly
placed peritoneal dialysis catheters. Am J Kidney Dis 2000; 36:1014–9.
7. Eklund B, Honkanen E, Kyllonen L, Salmella K, Kala AR. Peritoneal dialysis access:
prospective randomized comparison of single-cuff and double-cuff straight Tenckhoff
catheters. Nephrol Dial Transplant 1997; 12:2664–6.
8. Daly C, Cody JD, Khan I, Rabindranath KS, Vale L, Wallace SA. Double bag or Y-
set versus standard transfer systems for continuous ambulatory peritoneal dialysis in
end-stage kidney disease. Cochrane Database Syst Rev 2014; 8:CD003078.
9. Cho Y, Johnson DW, Badve SV, Craig JC, Strippoli GF, Wiggins KJ. The impact of
neutral-pH peritoneal dialysates with reduced glucose degradation products on clinical
outcomes in peritoneal dialysis patients. Kidney Int 2013; 84:969–7
10. Aykut S, Caner C, Ozkan G, Ali C, Tugba A, Zeynep G, et al. Mupirocin application
at the exit site in peritoneal dialysis patients: five years of experience. Ren Fail 2010;
32:356–61.
11. Ellis EN, Blaszak C, Wright S, Van Lierop A. Effectiveness of home visits to pediatric
peritoneal dialysis patients. Perit Dial Int 2012; 32:419–23
12. Yip T, Tse KC, Lam MJ, Cheng SW, Lui SL, Tang S, et al. Risks and outcomes of
peritonitis after flexible colonoscopy in CAPD patients. Perit Dial Int 2007; 27:560–
4.
13. Broughton A, Verger C, Goffin E. Pets-related peritonitis in peritoneal dialysis:
companion animals or Trojan horses? Semin Dial 2010; 23:306–16
14. Rudnicki M, Kerschbaum J, Hausdorfer J, Mayer G, Konig P. Risk factors for
peritoneal dialysis-associated peritonitis: the role of oral active vitamin D. Perit Dial
Int 2010; 30:541–8.
15. Restrepo C, Chacon J, Manjarres G. Fungal peritonitis in peritoneal dialysis patients:
successful prophylaxis with fluconazole, as demonstrated by prospective randomized
control trial. Perit Dial Int 2010; 30:619–25
16. Rocklin MA, Teitelbaum I. Noninfectious causes of cloudy peritoneal dialysate. Semin
Dial 2001; 14:37–40
17. Ballinger AE, Palmer SC, Wiggins KJ, Craig JC, Johnson DW, Cross NB, et al.
Treatment for peritoneal dialysis-associated peritonitis. Cochrane Database Syst Rev
2014; 4:CD005284
18. Lui SL, Cheng SW, Ng F, Ng SY, Wan KM, Yip T, et al. Cefazolin plus netilmicin
versus cefazolin plus ceftazidime for treating CAPD peritonitis: effect on residual renal
function. Kidney Int 2005; 68:2375–80.
19. Tokgoz B, Somdas MA, Ucar C, Kocyigit I, Unal A, Sipahioglu MH, et al. Correlation
between hearing loss and peritonitis frequency and administration of ototoxic
intraperitoneal antibiotics in patients with CAPD. Ren Fail 2010; 32:179–84
20. Lye WC, Lee EJ, van der Straaten J. Intraperitoneal vancomycin/oral pefloxacin versus
intraperitoneal vancomycin/gentamicin in the treatment of continuous ambulatory
peritoneal dialysis peritonitis. Perit Dial Int 1993; 13(Suppl 2):S348–50.
21. Boyce NW, Wood C, Thomson NM, Kerr P, Atkins RC. Intraperitoneal (IP)
vancomycin therapy for CAPD peritonitis—a prospective, randomized comparison of
intermittent v continuous therapy. Am J Kidney Dis 1988; 12:304–6.
22. de Vin F, Rutherford P, Faict D. Intraperitoneal administration of drugs in peritoneal
dialysis patients: a review of compatibility and guidance for clinical use. Perit Dial Int
2009; 29:5–15. 327.
23. Dooley DP, Tyler JR, Wortham WG, Harrison LS, Starnes WF Jr, Collins GR, et al.
Prolonged stability of antimicrobial activity in peritoneal dialysis solutions. Perit Dial
Int 2003; 23:58–62
24. Ejlersen E, Brandi L, Lokkegaard H, Ladefoged J, Kopp R, Haarh P. Is initial (24
hours) lavage necessary in treatment of CAPD peritonitis? Perit Dial Int 1991; 11:38–
42.
25. Chow KM, Szeto CC, Kwan BC, Pang WF, Ma T, Leung CB, et al. Randomized
controlled study of icodextrin on the treatment of peritoneal dialysis patients during
acute peritonitis. Nephrol Dial Transplant 2014; 29:1438–43.
26. Chow KM, Szeto CC, Cheung KK, Leung CB, Wong SS, Law MC, et al. Predictive
value of dialysate cell counts in peritonitis complicating peritoneal dialysis. Clin J Am
Soc Nephrol 2006; 1:768–73.
27. Choi P, Nemati E, Banerjee A, Preston E, Levy J, Brown E. Peritoneal dialysis catheter
removal for acute peritonitis: a retrospective analysis of factors associated with
catheter removal and prolonged postoperative hospitalization. Am J Kidney Dis 2004;
43:103–11.
28. Burke M, Hawley CM, Badve SV, McDonald SP, Brown FG, Boudville N, et al.
Relapsing and recurrent peritoneal dialysis-associated peritonitis: a multicenter
registry study. Am J Kidney Dis 2011; 58:429–36.
29. Basturk T, Koc Y, Unsal A, Ahbap E, Sakaci T, Yildiz I, et al. Fungal peritonitis in
peritoneal dialysis: a 10-year retrospective analysis in a single center. Eur Rev Med
Pharmacol Sci 2012; 16:1696–1700.
30. Abraham G, Mathews M, Sekar L, Srikanth A, Sekar U, Soundarajan P. Tuberculous
peritonitis in a cohort of continuous ambulatory peritoneal dialysis patients. Perit Dial
Int 2001; 21(Suppl 3):S202–4.
31. Troidle L, Gorban-Brennan N, Finkelstein FO. Outcome of patients on chronic
peritoneal dialysis undergoing peritoneal catheter removal because of peritonitis. Adv
Perit Dial 2005; 21:98–101.
32. Troidle, L. and F. Finkelstein. Treatment and outcome of CPD-associated peritonitis.
Annals of Clinical Microbiology and Antimicrobials 2006; 5(1): 6

Anda mungkin juga menyukai