Anda di halaman 1dari 29

PRESENTASI KASUS

Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus (GNAPS)

Oleh:
Adinta AgustiaNingsih Misdayanti
16710198

Pembimbing:
dr. Agoes Boediono, Sp. A
dr. Yunita Imtihani, Sp.A
dr. Nuning Setyo Purwanti

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
NGANJUK
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................. 1
BAB 2 LAPORAN KASUS............................................................................... 15
BAB 3 PEMBAHASAN..................................................................................... 17
BAB 4 KESIMPULAN....................................................................................... 26
Daftar Pustaka
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
GNAPS merupakan penyebab terbanyak nefritis akut di Negara
berkembang, sedangkan di negara maju terjadi dalam prevalensi yang rendah.
Indonesia merupakan negara berkembang dengan angka kejadian yang cukup
tinggi, hal ini disebabkan karena buruknya sanitasi lingkungan. ( markum. M.S,
2007).
Indonesia pada tahun 1988, melaporkan adanya 170 pasien yang dirawat
di rumah sakit pendidikan dalam 12 bulan. Pasien terbanyak dirawat di Surabaya
(26,5%), kemudian disusul berturut-turut di Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%),
dan Palembang (8,2%). Pasien laki-laki dan perempuan berbanding 2 : 1 dan
terbanyak pada anak usia antara 6-8 tahun (40,6%).
Glomerulonefritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal
tahap akhir dan tingginya angka morbiditas pada anak. Terminologi
glomerulonefritis yang dipakai disini adalah untuk menunjukkan bahwa kelainan
yang pertama dan utama terjadi pada glomerulus, bukan pada struktur ginjal yang
lain. ( Price, 1995)
Glomerulonefritis merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral.
Peradangan dimulai dalam gromleurus dan bermanifestasi sebagai proteinuria dan
atau hematuria. Meskipun lesi utama pada gromelurus, tetapi seluruh nefron pada
akhirnya akan mengalami kerusakan, sehingga terjadi gagal ginjal. Penyakit yang
mula-mula digambarkan oleh Richard Bright pada tahun 1827 sekarang diketahui
merupakan kumpulan banyak penyakit dengan berbagai etiologi, meskipun respon
imun agaknya menimbulkan beberapa bentuk glomerulonefritis. (Nelson, 2000)
Indonesia pada tahun 1995, melaporkan adanya 170 pasien yang dirawat
di rumah sakit pendidikan dalam 12 bulan. Pasien terbanyak dirawat di Surabaya
(26,5%), kemudian disusul berturut-turut di Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%),
dan Palembang (8,2%). Pasien laki-laki dan perempuan berbanding 2 : 1 dan
terbanyak pada anak usia antara 6-8 tahun (40,6%). (Nelson, 2000 )
Gejala glomerulonefritis bisa berlangsung secara mendadak (akut) atau
secara menahun (kronis) seringkali tidak diketahui karena tidak menimbulkan
gejala. Gejalanya dapat berupa mual-mual, kurang darah (anemia), atau
hipertensi. Gejala umum berupa sembab kelopak mata, kencing sedikit, dan
berwarna merah, biasanya disertai hipertensi. Penyakit ini umumnya (sekitar
80%) sembuh spontan, 10% menjadi kronis, dan 10% berakibat fatal. ( Nelson,
2000)
Gejala klinis GNAPS bervariasi mulai dari asimptomatis sampai gejala
yang khas. Bentuk asimtomatis lebih banyak dibandingkan yang simtomatis.
Gejala simtomatis edema, hematuri, hipertensi, oliguri, gejala kardiovaskuler dan
lain-lain. ( Donna J, 2009 )
GNAPS meski angka kejadian dan angka kematiannya tidak sebesar
penyakit infeksi lainnya, tetapi diagnosis dan tata laksana yang terlambat tidak
jarang berakibat fatal atau berlanjut sebagai penyakit kronis yang akan
mengganggu kualitas hidup anak.
Dalam uraian diatas pada laporan kasus individu ini akan dibahas
mengenai GNAPS. GNAPS disini akan dibahas bagaimana mendiagnosis dan
terapi yang diberikan untuk mencegah kematian maupun komplikasi.

1.2 Definisi GNAPS


Glomerulonefritis akut juga disebut dengan glomerulonefritis akut post
sterptokokus (GNAPS) adalah suatu proses radang non-supuratif yang mengenai
glomeruli, sebagai akibat infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus grup A,
tipe nefritogenik di tempat lain. Penyakit ini sering mengenai anak-anak.7
Glomerulonefritis akut (GNA) adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal
terhadap bakteri atau virus tertentu.Yang sering terjadi ialah akibat infeksi kuman
streptococcus. Glomerulonefritis merupakan suatu istilah yang dipakai untuk
menjelaskan berbagai ragam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan
inflamasi glomerulus yang disebabkan oleh suatu mekanisme imunologis.
Sedangkan istilah akut (glomerulonefritis akut) mencerminkan adanya korelasi
klinik selain menunjukkan adanya gambaran etiologi, patogenesis, perjalanan
penyakit dan prognosis.
1.3 Etiologi
Sebagian besar (75%) glomerulonefritis akut paska streptokokus timbul
setelah infeksi saluran pernapasan bagian atas, yang disebabkan oleh kuman
Streptokokus beta hemolitikus grup A tipe 1, 3, 4, 12, 18, 25, 49. Sedang tipe 2,
49, 55, 56, 57 dan 60 menyebabkan infeksi kulit 8-14 hari setelah infeksi
streptokokus, timbul gejala-gejala klinis. Infeksi kuman streptokokus beta
hemolitikus ini mempunyai resiko terjadinya glomerulonefritis akut paska
streptokokus berkisar 10-15%.3,7
Streptococcus ini dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907
dengan alasan bahwa :

1. Timbulnya GNA setelah infeksi skarlatina

2. Diisolasinya kuman Streptococcus beta hemolyticus golongan A

3. Meningkatnya titer anti-streptolisin pada serum penderita.4

Mungkin faktor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan faktor alergi
mempengaruhi terjadinya GNA setelah infeksi dengan kuman Streptococcuss.
Ada beberapa penyebab glomerulonefritis akut, tetapi yang paling sering
ditemukan disebabkan karena infeksi dari streptokokus, penyebab lain
diantaranya:
1. Bakteri : streptokokus grup C, meningococcocus, Sterptoccocus Viridans,
Gonococcus, Leptospira, Mycoplasma Pneumoniae, Staphylococcus albus,
Salmonella typhi dll
2. Virus : hepatitis B, varicella, vaccinia, echovirus, parvovirus, influenza,
parotitis epidemika dl
3. Parasit : malaria dan toksoplasma 1,8
Streptokokus
Sterptokokus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat yang secara khas
membentuk pasangan atau rantai selama masa pertumbuhannya. Merupakan
golongan bakteri yang heterogen. Lebih dari 90% infeksi streptokkus pada
manusia disebabkan oleh Streptococcus hemolisis kumpulan A. Kumpulan ini
diberi spesies nama S. pyogenes 9,10
S. pyogenes -hemolitik golongan A mengeluarkan dua hemolisin, yaitu:
a. Sterptolisin O
adalah suatu protein (BM 60.000) yang aktif menghemolisis dalam keadaan
tereduksi (mempunyai gugus-SH) tetapi cepat menjadi tidak aktif bila ada
oksigen. Sterptolisin O bertanggung jawab untuk beberapa hemolisis yang terlihat
ketika pertumbuhan dipotong cukup dalam dan dimasukkan dalam biakan pada
lempeng agar darah. Sterptolisisn O bergabung dengan antisterptolisin O, suatu
antibody yang timbul pada manusia setelah infeksi oleh setiap sterptokokus yang
menghasilkan sterptolisin O. antibody ini menghambat hemolisis oleh sterptolisin
O. fenomena ini merupakan dasar tes kuantitatif untuk antibody. Titer serum
antisterptolisin O (ASO) yang melebihi 160-200 unit dianggap abnormal dan
menunjukkan adanya infeksi sterptokokus yang baru saja terjadi atau adanya
kadar antibodi yang tetap tinggi setelah serangan infeksi pada orang yang
hipersensitifitas.9

1. Sterptolisin S

Adalah zat penyebab timbulnya zone hemolitik disekitar koloni sterptokokus


yang tumbuh pada permukaan lempeng agar darah. Sterptolisin S bukan antigen,
tetapi zat ini dapat dihambat oleh penghambat non spesifik yang sering ada dalam
serum manusia dan hewan dan tidak bergantung pada pengalaman masa lalu
dengan sterptokokus.9
Gambar Bakteri Sterptokokus 10
Bakteri ini hidup pada manusia di tenggorokan dan juga kulit. Penyakit yang
sering disebabkan diantaranya adalah faringitis, demam rematik dan
glomerulonefritis.9
1. 3. Patofisiologi
Sebenarnya bukan sterptokokus yang menyebabkan kerusakan pada ginjal.
Diduga terdapat suatu antibodi yang ditujukan terhadap suatu antigen khusus yang
merupakan unsur membran plasma sterptokokal spesifik. Terbentuk kompleks
antigen-antibodi didalam darah dan bersirkulasi kedalam glomerulus tempat
kompleks tersebut secara mekanis terperangkap dalam membran basalis.
Selanjutnya komplomen akan terfiksasi mengakibatkan lesi dan peradangan yang
menarik leukosit polimorfonuklear (PMN) dan trombosit menuju tempat lesi.
Fagositosis dan pelepasan enzim lisosom juga merusak endothel dan membran
basalis glomerulus (IGBM). Sebagai respon terhadap lesi yang terjadi, timbul
proliferasi sel-sel endotel yang diikuti sel-sel mesangium dan selanjutnya sel-sel
epitel. Semakin meningkatnya kebocoran kapiler gromelurus menyebabkan
protein dan sel darah merah dapat keluar ke dalam urine yang sedang dibentuk
oleh ginjal, mengakibatkan proteinuria dan hematuria. Agaknya kompleks
komplomen antigen-antibodi inilah yang terlihat sebagai nodul-nodul subepitel
pada mikroskop elektron dan sebagai bentuk granular dan berbungkah-bungkah
pada mikroskop imunofluoresensi, pada pemeriksaan cahaya glomerulus tampak
membengkak dan hiperseluler disertai invasi PMN.2
Menurut penelitian yang dilakukan penyebab infeksi pada glomerulus akibat
dari reaksi hipersensivitas tipe III. Kompleks imun (antigen-antibodi yang timbul
dari infeksi) mengendap di membran basalis glomerulus. Aktivasi kpmplomen
yang menyebabkan destruksi pada membran basalis glomerulus.11
Kompleks-kompleks ini mengakibatkan kompelen yang dianggap merupakan
mediator utama pada cedera. Saat sirkulasi melalui glomerulus, kompleks-
kompleks ini dapat tersebar dalam mesangium, dilokalisir pada subendotel
membran basalis glomerulus sendiri, atau menembus membran basalis dan
terperangkap pada sisi epitel. Baik antigen atau antibodi dalam kompleks ini tidak
mempunyai hubungan imunologis dengan komponen glomerulus. Pada
pemeriksaan mikroskop elektron cedera kompleks imun, ditemukan endapan-
endapan terpisah atau gumpalan karateristik paa mesangium, subendotel, dan
epimembranosa. Dengan miskroskop imunofluoresensi terlihat pula pola nodular
atau granular serupa, dan molekul antibodi seperti IgG, IgM atau IgA serta
komponen-komponen komplomen seperti C3,C4 dan C2 sering dapat
diidentifikasi dalam endapan-endapan ini. Antigen spesifik yang dilawan oleh
imunoglobulin ini terkadang dapat diidentifikasi.12,13
Hipotesis lain yang sering disebut adalah neuraminidase yang dihasilkan oleh
Streptokokus, merubah IgG menjadi autoantigenic. Akibatnya, terbentuk
autoantibodi terhadap IgG yang telah berubah tersebut. Selanjutnya terbentuk
komplek imun dalam sirkulasi darah yang kemudian mengendap di ginjal.7
Streptokinase yang merupakan sekret protein, diduga juga berperan pada
terjadinya GNAPS. Sreptokinase mempunyai kemampuan merubah plaminogen
menjadi plasmin. Plasmin ini diduga dapat mengaktifkan sistem komplemen
sehingga terjadi cascade dari sistem komplemen.7
Pola respon jaringan tergantung pada tempat deposit dan jumlah kompleks
yang dideposit. Bila terutama pada mesangium, respon mungkin minimal, atau
dapat terjadi perubahan mesangiopatik berupa ploriferasi sel-sel mesangial dan
matrik yang dapt meluas diantara sel-sel endotel dan membran basalis,serta
menghambat fungsi filtrasi simpai kapiler. Jika kompleks terutama terletak
subendotel atau subepitel, maka respon cenderung berupa glomerulonefritis
difusa, seringkali dengan pembentukan sabit epitel. Pada kasus penimbunan
kronik komplek imun subepitel, maka respon peradangan dan proliferasi menjadi
kurang nyata, dan membran basalis glomerulus berangsur- angsur menebal
dengan masuknya kompleks-kompleks ke dalam membran basalis baru yang
dibentuk pada sisi epitel.12,13
Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap perbedaan distribusi deposit
kompleks imun dalam glomerulus sebagian besar tidak diketahui, walaupun
demikian ukuran dari kompleks tampaknya merupakan salah satu determinan
utama. Kompleks-kompleks kecil cenderung menembus simpai kapiler,
mengalami agregasi, dan berakumulasi sepanjang dinding kapiler do bawah epitel,
sementara kompleks-kompleks berukuran sedang tidak sedemikian mudah
menembus membran basalis, tapi masuk ke mesangium. Komplkes juga dapat
berlokalisasi pada tempat-tempat lain.
Jumlah antigen pada beberapa penyakit deposit kompleks imun terbatas,
misal antigen bakteri dapat dimusnahkan dengan mekanisme pertahanan penjamu
atau dengan terapi spesifik. Pada keadaan demikian, deposit kompleks-kompleks
imun dalam glomerulus terbatas dan kerusakan dapat ringan danberlangsung
singkat, seperti pada glomerulonefritis akut post steroptokokus.1,2
Hasil penyelidikan klinis imunologis dan percobaan pada binatang
menunjukkan adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab.
Beberapa penyelidik mengajukan hipotesis sebagai berikut :

1. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrana


basalis glomerulus dan kemudian merusaknya.

2. Proses auto-imun kuman Streptococcus yang nefritogen dalam tubuh


menimbulkan badan autoimun yang merusak glomerulus.

3. Streptococcus nefritogen dan membran basalis glomerulus mempunyai


komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung
merusak membrana basalis ginjal.4

1.4 Anatomi Ginjal


Ginjal merupakan organ ganda yang terletak di daerah abdomen,
retroperitoneal antara vetebra lumbal 1 dan 4. pada neonatus kadang-kadang dapat
diraba. Ginjal terdiri dari korteks dan medula. Tiap ginjal terdiri dari 8-12 lobus
yang berbentuk piramid. Dasar piramid terletak di korteks dan puncaknya yang
disebut papilla bermuara di kaliks minor. Pada daerah korteks terdaat glomerulus,
tubulus kontortus proksimal dan distal. .4
Panjang dan beratnya bervariasi yaitu 6 cm dan 24 gram pada bayi lahir
cukup bulan, sampai 12 cm atau lebih dari 150 gram. Pada janin permukaan ginjal
tidak rata, berlobus-lobus yang kemudian akan menghilang dengan bertambahnya
umur.1
Tiap ginjal mengandung 1 juta nefron (glomerulus dan tubulus yang
berhubungan dengannya ). Pada manusia, pembentukan nefron selesai pada janin
35 minggu. Nefron baru tidak dibentuk lagi setelah lahir. Perkembangan
selanjutnya adalah hipertrofi dan hiperplasia struktur yang sudah ada disertai
maturasi fungsional.1
Tiap nefron terdiri dari glomerulus dan kapsula bowman, tubulus
proksimal, anse henle dan tubulus distal. Glomerulus bersama denga kapsula
bowman juga disebut badan maplphigi. Meskipun ultrafiltrasi plasma terjadi di
glomerulus tetapi peranan tubulus dala pembentukan urine tidak kalah
pentingnya.1

Gambar Perdarahan pada ginjal


1.5 Fungsi Ginjal
Fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi
cairan ekstrasel dalam batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel
ini dikontrol oleh filtrasi glomerulus, reabsorpsi dan sekresi tubulus.3
Fungsi utama ginjal terbagi menjadi :

1. Fungsi ekskresi

Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mOsmol dengan


mengubah ekskresi air.

Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan


H+dan membentuk kembali HCO3

Mempertahankan kadar masing-masing elektrolit plasma dalam rentang


normal.

Mengekskresikan produk akhir nitrogen dan metabolisme protein terutama


urea, asam urat dan kreatinin.

2. Fungsi non ekskresi

Menghasilkan renin yang penting untuk mengatur tekanan darah.

Menghasilkan eritropoietin yaitu suatu faktor yang penting dalam


stimulasi produk sel darah merah oleh sumsum tulang.

Memetabolisme vitamin D menjadi bentuk aktifnya.

Degradasi insulin.

Menghasilkan prostaglandin

Fungsi dasar nefron adalah membersihkan atau menjernihkan plasma darah


dan substansi yang tidak diperlukan tubuh sewaktu darah melalui ginjal. Substansi
yang paling penting untuk dibersihkan adalah hasil akhir metabolisme seperti
urea, kreatinin, asam urat dan lain-lain. Selain itu ion-ion natrium, kalium, klorida
dan hidrogen yang cenderung untuk berakumulasi dalam tubuh secara berlebihan.3
Mekanisme kerja utama nefron dalam membersihkan substansi yang tidak
diperlukan dalam tubuh adalah :
1. Nefron menyaring sebagian besar plasma di dalam glomerulus yang akan
menghasilkan cairan filtrasi.

2. Jika cairan filtrasi ini mengalir melalui tubulus, substansi yang tidak
diperlukan tidak akan direabsorpsi sedangkan substansi yang diperlukan
direabsorpsi kembali ke dalam plasma dan kapiler peritubulus.

Mekanisme kerja nefron yang lain dalam membersihkan plasma dan substansi
yang tidak diperlukan tubuh adalah sekresi. Substansi-substansi yang tidak
diperlukan tubuh akan disekresi dan plasma langsung melewati sel-sel epitel yang
melapisi tubulus ke dalam cairan tubulus. Jadi urine yang akhirnya terbentuk
terdiri dari bagian utama berupa substansi-substansi yang difiltrasi dan juga
sebagian kecil substansi-substansi yang disekresi.3
1.6 Prevalensi
GNAPS dapat terjadi pada semua kelompok umur, namun tersering pada
golongan umur 5-15 tahun, dan jarang terjadi pada bayi. Referensi lain
menyebutkan paling sering ditemukan pada anak usia 6-10 tahun. Penyakit ini
dapat terjadi pada laki laki dan perempuan, namun laki laki dua kali lebih sering
dari pada perempuan. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1.
Diduga ada faktor resiko yang berhubungan dengan umur dan jenis kelamin. Suku
atau ras tidak berhubungan dengan prevelansi penyakit ini, tapi kemungkinan
prevalensi meningkat pada orang yang sosial ekonominya rendah, sehingga
lingkungan tempat tinggalnya tidak sehat.3,7,8,11
1.7 Gejala Klinis
Gambaran klinis dapat bermacam-macam. Kadang-kadang gejala ringan
tetapi tidak jarang anak datang dengan gejala berat. Kerusakan pada rumbai
kapiler gromelurus mengakibatkan hematuria/kencing berwarna merah daging dan
albuminuria, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Urine mungkin tampak
kemerah-merahan atau seperti kopi Kadang-kadang disertai edema ringan yang
terbatas di sekitar mata atau di seluruh tubuh. Umumnya edema berat terdapat
pada oliguria dan bila ada gagal jantung. Edema yang terjadi berhubungan dengan
penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG/GFR) yang mengakibatkan ekskresi air,
natrium, zat-zat nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi edema dan
azotemia. Peningkatan aldosteron dapat juga berperan pada retensi air dan
natrium. Dipagi hari sering terjadi edema pada wajah terutama edem periorbita,
meskipun edema paling nyata dibagian anggotaGFR biasanya menurun (meskipun
aliran plasma ginja biasanya normal) akibatnya, ekskresi air, natrium, zat-zat
nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi edema dan azotemia. Peningkatan
aldosteron dapat juga berperan pada retensi air dan natrium. Dipagi hari sering
terjadi edema pada wajah terutama edem periorbita, meskipun edema paling nyata
dibagian anggota bawah tubuh ketika menjelang siang. Derajat edema biasanya
tergantung pada berat peradangan gelmurulus, apakah disertai dnegan payah
jantung kongestif, dan seberapa cepat dilakukan pembatasan garam.1,2,7,8

Gambar proses terjadinya proteinuria dan hematuria 14


Hipertensi terdapat pada 60-70% anak dengan GNA pada hari pertama,
kemudian pada akhir minggu pertama menjadi normal kembali. Bila terdapat
kerusakan jaringan ginjal, maka tekanan darah akan tetap tinggi selama beberapa
minggu dan menjadi permanen bila keadaan penyakitnya menjadi kronis. Suhu
badan tidak beberapa tinggi, tetapi dapat tinggi sekali pada hari pertama. Kadang-
kadang gejala panas tetap ada, walaupun tidak ada gejala infeksi lain yang
mendahuluinya. Gejala gastrointestinal seperti muntah, tidak nafsu makan,
konstipasi dan diare tidak jarang menyertai penderita GNA.1,4,7
Hipertensi selalu terjadi meskipun peningkatan tekanan darah mungkin hanya
sedang. Hipertensi terjadi akibat ekspansi volume cairan ekstrasel (ECF) atau
akibat vasospasme masih belum diketahui dengna jelas. 1,2

1.8 Hipertensi pada GNAPS


Kelompok Umur Normal Hipertensi

<2 tahun <104/70 >112/74

3-5 tahun <108/70 >116/76

6-9 tahun 114/74 122/78

10-12 tahun 122/78 >126/82

13-15 tahun 130/80 >136/86

16-20 tahun 136/84 >140/90

20-45 tahun 120-125/75-80 135/90

45-60 tahun 135-140/85 140/90-160/95

>65 tahun 150/85 160/90 (borderline)

Sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA) merupakan suatu sistem


hormonal enzimatik yang bersifat multikompleks dan berperanan dalam naiknya
tekanan darah serta pengaturan keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit. Renin
dihasilkan oleh sel-sel jukstaglomerulus di ginjal, sekresi renin ini oleh ginjal
dipengaruhi oleh mekanisme intrarenal (reseptor vaskular dan makula densa),
mekanisme simpatoadrenergik, dan mekanisme humoral. Renin akan merubah
angiotensinogen menjadi angiotensin I, kemudian angiotensin I oleh pengaruh
angiotensin converting enzyme (ACE) yang dihasilkan oleh paru, hati, dan ginjal
diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II ini akan menyebabkan stimulasi
simpatik, vasokontriksi, dan retensi garam dan air yang berperanan dalam
peningkatan tekanan darah. Selain itu, angiotensin II juga memberikan pengaruh
trofic effect yang dapat mengakibatkan vascular hypertrophy (Beevers, dkk.,
2001; Sudoyo, dkk., 2006).
1.9 Gambaran Laboratorium
Urinalisis menunjukkan adanya proteinuria (+1 sampai +4), hematuria
makroskopik ditemukan hampir pada 50% penderita, kelainan sedimen urine
dengan eritrosit disformik, leukosituria serta torak selulet, granular, eritrosit(++),
albumin (+), silinder lekosit (+) dan lain-lain. Kadang-kadang kadar ureum dan
kreatinin serum meningkat dengan tanda gagal ginjal seperti hiperkalemia,
asidosis, hiperfosfatemia dan hipokalsemia. Kadang-kadang tampak adanya
proteinuria masif dengan gejala sindroma nefrotik. Komplomen hemolitik total
serum (total hemolytic comploment) dan C3 rendah pada hampir semua pasien
dalam minggu pertama, tetapi C4 normal atau hanya menurun sedikit, sedangkan
kadar properdin menurun pada 50% pasien. Keadaan tersebut menunjukkan
aktivasi jalur alternatif komplomen.1,4,7
Penurunan C3 sangat mencolok pada pasien glomerulonefritis akut
pascastreptokokus dengan kadar antara 20-40 mg/dl (harga normal 50-140 mg.dl).
Penurunan C3 tidak berhubungan dengann parahnya penyakit dan kesembuhan.
Kadar komplomen akan mencapai kadar normal kembali dalam waktu 6-8
minggu. Pengamatan itu memastikan diagnosa, karena pada glomerulonefritis
yang lain yang juga menunjukkan penuruanan kadar C3, ternyata berlangsung
lebih lama.2,12
Adanya infeksi sterptokokus harus dicari dengan melakukan biakan
tenggorok dan kulit. Biakan mungkin negatif apabila telah diberi antimikroba.
Beberapa uji serologis terhadap antigen sterptokokus dapat dipakai untuk
membuktikan adanya infeksi, antara lain antisterptozim, ASTO, antihialuronidase,
dan anti Dnase B. Skrining antisterptozim cukup bermanfaat oleh karena mampu
mengukur antibodi terhadap beberapa antigen sterptokokus. Titer anti sterptolisin
O mungkin meningkat pada 75-80% pasien dengan GNAPS dengan faringitis,
meskipun beberapa starin sterptokokus tidak memproduksi sterptolisin
O.sebaiknya serum diuji terhadap lebih dari satu antigen sterptokokus. Bila semua
uji serologis dilakukan, lebih dari 90% kasus menunjukkan adanya infeksi
sterptokokus. Titer ASTO meningkat pada hanya 50% kasus, tetapi
antihialuronidase atau antibodi yang lain terhadap antigen sterptokokus biasanya
positif. Pada awal penyakit titer antibodi sterptokokus belum meningkat, hingga
sebaiknya uji titer dilakukan secara seri. Kenaikan titer 2-3 kali berarti adanya
infeksi. 1,3,7
Krioglobulin juga ditemukan GNAPS dan mengandung IgG, IgM dan C3.
kompleks imun bersirkulasi juga ditemukan. Tetapi uji tersebut tidak mempunyai
nilai diagnostik dan tidak perlu dilakukan secara rutin pada tatalaksana pasien.1
BAB II
LAPORAN KASUS
Pasien atas nama An. M Teguh Adi , jenis kelamin laki-laki, umur 15
tahun, berat badan 45 kg. Pasien datang ke IGD RSUD Ngnjuk pada tanggal 11
Januari 2017 dengan keluhan demam. Pasien demam ada tanggal 09 Januari 2017
dan ibu mengeluh anaknya bengkak di daerah wajah sejak panas turun, bengkak
dirasakan semakin bertambah setiap harinya. Keluhan bengkak seperti ini tidak
pernah dialami pasien sebelumnya. Selain itu keluarga pasien mengatakan pipis
anak berubah menjadi bewarna merah sebelum MRS. Saat ini kencing tidak lagi
bewarna merah. Saat kencing tidak nyeri. Sejak panas turun kencing hanya
sedikit.
Riwayat penyakit dahulu tidak ada,riwayat alergi tidak ada, riwayat
keluarga tidak ada pernah seperti ini. Riwayat keluarga hipertensi, diabetes, dan
penyakit ginjal tidak ada. Riwayat alergi dalam keluarga tidak ada.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak bengkak
pada wajah, dan pada vital sign saat MRS didapatkan tensi atas 131/90,tensi
bawah 150/100, nadi 72 x/menit reguler, pernapasan 20 x/menit, suhu 36,2 C.
Pada inspeksi kepala dan leher tidak didapatkan anemis , tidak didapatkan ikterus,
tidak sianosis, tidak ada dyspneu dan pernafasan cuping hidung, reflex cahaya
positif pada kedua mata, didapatkan benjolan di belakang telinga. Inspeksi pada
thoraks didapatkan bentuk dan pergerakan dinding dada simetris, tidak didapatkan
retraksi, pada perkusi didapatkan suara sonor pada kedua lapang paru, pada
auskultasi didapatkan suara nafas vesikuler pada kedua lapang paru, tidak
terdengar suara nafas tambahan. Pemeriksaan jantung, tidak ditemukan vosoure
cardiac, pada palpasi tidak didapatkan thrill, ictus cordis teraba namun tidak kuat
angkat, pada perkusi didapatkan batas kanan jantung di ICS IV Linea Parasternal
Dextra dan batas kiri jantung di ICS V Linea midclavikula sinistra, kesan normal,
pada auskultasi terdapat suara jantung S1 S2 tunggal, reguler, tidak didapatkan
gallop dan murmur. Pada pemeriksaan fisik abdomen didapatkan inspeksinya
datar, palpasi supel, tidak ada nyeri tekan, hepar dan lien tidak teraba, perkusi
didapatkan suara timpani, tidak terdapat shifting dullness, ginjal tidak teraba,
nyeri ketok CVA positif kanan dan kiri dan pada auskultasi terdengar bising usus
normal. Pada pemeriksaan genetalianya normal. Pemeriksaan ekstremitas
didapatkan hangat, kering, merah, dan didapatkan edema.
Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan laboratorium berupa darah lengkap yang telah
dilakukan saat MRS (11 Januari 2017) yaitu Hematokrit 35.8 % , Hemoglobin
12.5 g/dl, Leukosit 11.5 , Trombosit 245, Albumin 3.40 g/dl, Urea 74. 9 mg/dl,
Serum creatinin 1.43 mg/dl, dan Cholesterol 148 mg/dl. Hasil laboraturium
berupa urin lengkap pada tanggal 11 Januari 2017 bakteri 1.1 / uL, bilirubin urin
negatif, silinder 4.52 /uL,epitel urin 17.0 /uL, bakteri 1.1 /uL.
Hari kedua (12 Januari 2017 ) pasien dirawat di ruangan rawat inap,
keadaan umum pasien wajahnya masih bengkak, pipisnya sudah bening. Vital
signnya TD: 120/70, Nadi: 98 x/menit, Suhu: 35,2 C, RR: 26. Pada pemeriksaan
kepala ditemukan edema di sekitar wajah. Pada pemeriksaan ekstremitas akral
hangat. Pasien mendapat terapi inf D5 1/2 1500cc/24jam, inj ampicilin 3x500mg,
lasix 3 x 25mg, diet rendah protein, diet rendah garam.
Hari ketiga (13 Januari 2017) pasien dirawat di ruangan rawat inap,
keadaan umum pasien wajahnya masi bengkak, pasien tidak mau makan, dan
pipisnya masi bewarna merah. Vital signnya TD: 91/68, Nadi: 95x/menit, Suhu:
35,8 C, RR: 24
Hari keempat (14 Januari 2017) pasien dirawat di ruangan rawat inap,
keadaan umum pasien wajah bengkak berkurang, pasien mau makan , dan pipis
berwarna kuning bening. Vital signnya TD: 140/90 (atas), 110/ 60 (bawah) , Nadi:
100x/menit, Suhu: 36,4 C, RR: 28. Pada pemeriksaan kepala edema mulai
berkurang . Pada pemeriksaan ekstremitas akral hangat dan CRT kurang dari 2
detik. Terapi yang diberikan Captopril 3 x 2,25 mg/hr , lasix 3 x 25 mg/hari.
Jika terjadi Krisis Hipertensi dengan gejala kesadaran menurun, dan
kejang maka terapi yang diberikan adalah dilakukan obeservasi tekanan darah tiap
4 jam, catapres 0,09 mg/ kali secara iv selang 4 6 jam, Dizepam 20 mg, oksigen
2 lpm.
BAB III
PEMBAHASAN

Pasien atas nama An. M Teguh Adi , jenis kelamin laki-laki, umur 15
tahun, berat badan 45 kg. Pasien datang ke IGD RSUD Ngnjuk pada tanggal 11
Januari 2017 dengan keluhan demam. Pasien demam ada tanggal 09 Januari 2017
dan ibu mengeluh anaknya bengkak di daerah wajah sejak panas turun, bengkak
dirasakan semakin bertambah setiap harinya. Keluhan bengkak seperti ini tidak
pernah dialami pasien sebelumnya. Selain itu keluarga pasien mengatakan pipis
anak berubah menjadi bewarna merah sebelum MRS. Saat ini kencing tidak lagi
bewarna merah. Saat kencing tidak nyeri. Sejak panas turun kencing hanya
sedikit.
Dari hasil anamnesa pada anak T, didapatkan disekitar wajah tampak
edema. Sehingga ada diagnosis banding edema pada anak.
Edema pada anak dibagi menjadi 2 yaitu edema lokal atau edema umum.
Edema lokal contohnya seperti adanya obstruksi pada vena atau penyakit limfatik
atau peningkatan permeabilitas dinding kapiler. Edema umum biasanya
disebabkan karena penurunan pengeluaran air dan natrium (penurunan tekanan
onkotik atau peningkatan tekanan hidrostatik).
Peningkatan tekanan hidrostatik contohnya pada penyakit jantung
kongestif. Pada penyakit jantung kongestif, didapatkan kelainan pada jantung
dengan tanda-tanda tergantung dari berat peyakitnya. Tanda-tanda yang biasa
muncul seperti mudah lelah, anoreksia, sesak, gangguan pertumbuhan hingga
edema anasarka. Pada An. T tidak didapatkan gejala-gejala maupun riwayat
penyakit jantung, sehingga diagnosis banding penyakit jantung kongestif dapat
disingkirkan.
Penurunan onkotik juga terjadi pada sindrom nefrotik. Dimana sindrom
nefrotik adalah penyakit ginjal yang sering dijumpai pada anak dengan suatu
kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuri yang mssif,
hipoalbumin, hiperkolesterolemia serta edema. An. T memiliki gejala proteinuria
yang masif dan edema. Tetapi dari hasil anamnesis dan pemeriksaan laboratorium
yang lain tidak mengarah pada sindrom nefrotik maka diagnosis banding ini dapat
disingkirkan.
Retensi Natrium dan penurunan pengeluaran cairan yang menyebabkan
terjadi edema salah satunya terdapat pada penyakit glomerulonefrotis akut (GNA).
Edema pada anak T karena terjadinya mekanisme retensi natrium Na+, edema
pada glomerulonefritis tanpa penurunan tekanan onkotik plasma. Hal ini berbeda
dengan mekanisme edema pada sindrom nefrotik. Edema yang terjadi
berhubungan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG/GFR) yang
mengakibatkan ekskresi air, natrium, zat-zat nitrogen mungkin berkurang,
sehingga terjadi edema dan azotemia. Peningkatan aldosteron dapat juga berperan
pada retensi air dan natrium. Dipagi hari sering terjadi edema pada wajah
terutama edema periorbita, meskipun edema paling nyata dibagian anggota bawah
tubuh ketika menjelang siang. Untuk anak T edema hanya terjadi pada bagian
periorbita.
Selain edema keluhan lain yang dialami oleh anak T adalah kencing
berwarna merah (hematuri) . Kelainan urinalisis seperti hematuria pada pasien
GNA diduga karena kerusakan dinding kapiler glomerulus sehingga menjadi lebih
permeable dan porotis terhadap protein dan sel-sel eritrosit.

Gambar proses terjadinya proteinuria dan hematuria


GNA merupakan penyakit pada glomerulus yang paling banyak
diakibatkan infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus grup A yang biasa
disebut GNAPS. Gejala-gejala glomerulonefritis akut pascastreptokokus seperti
hematuria timbul 10 hari setelah faringitis. Dari anamnesis anak sering mengalami
nyeri telan dan badan panas yang terjadi sekitar 2 minggu sebelum manifestasi
edema periorbita.
Beberapa literatur menyebutkan penyebab hematuria pada pasien-pasien
GNA kemungkinan karena adanya proses. Beberapa ahli mengajukan hipotesis
sebagai berikut :
1. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrane
basalis glomerulus dan kemudian merusaknya.
2. Proses auto imun kuman streptococcus yang nefritogen dalam tubuh
menimbulkan badan auto-imun yang merusak glomerulus.
3. Streptokokus nefritogen dengan membrane basalis glomerulus mempunyai
komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung
merusak membrane basalis ginjal.
Kompleks imun atau anti Glomerular Basement Membrane (GBM) antibodi
yang mengendap/berlokasi pada glomeruli akan mengaktivasi komplemen jalur
klasik atau alternatif dari sistem koagulasi dan mengakibatkan peradangan
glomeruli, menyebabkan terjadinya :
1. Hematuria, Proteinuria, dan Silinderuria (terutama silinder eritrosit)
2. Penurunan aliran darah ginjal sehingga menyebabkan Laju Filtrasi Ginjal
(LFG) juga menurun. Hal ini berakibat terjadinya oligouria dan terjadi retensi
air dan garam akibat kerusakan ginjal. Hal ini akan menyebabkan terjadinya
edemaa, hipervolemia, kongesti vaskular (hipertensi, edemaa paru dengan
gejala sesak nafas, rhonkhi, kardiomegali), azotemia, hiperkreatinemia,
asidemia, hiperkalemia, hipokalsemia, dan hiperfosfatemia semakin nyata, bila
LFG sangat menurun.
3. Hipoperfusi yang menyebabkan aktivasi sistem renin-angiotensin. Angiotensin
2 yang bersifat vasokonstriktor perifer akan meningkat jumlahnya dan
menyebabkan perfusi ginjal semakin menurun. Selain itu, LFG juga makin
menurun disamping timbulnya hipertensi.
Angiotensin 2 yang meningkat ini akan merangsang kortek adrenal untuk
melepaskan aldosteron yang menyebabkan retensi air dan garam ginjal dan
akhirnya terjadi hipervolemia dan hipertensi.
Gambar Proses peradangan glomeruli

Dari teori diatas dapat disimpulakan bahwa pada anak T kemungkinan


besar edema yang terjadi padanya disebabkan karena infeksi pada ginjalnya yang
kemunkinan besar disebabkan oleh kuman streptokokus yang lebih dikenal
dengan GLOMERULONEFRITIS AKUT POST STREPTOCOCCUS (GNAPS).
Glomerulonefritis akut pasca streptokokos adalah suatu sindrom nefritik
akut yang ditandai dengan timbulnya hematuri, edemaa, hipertensi, dan penurunan
fungsi ginjal. Gejala ini timbul setelah infeksi kuman streptokokus beta
hemolitikus grup A di saluran napas bagian atas atau di kulit. Terutama menyerang
anak usia sekolah dan jarang < 3 tahun. Perbandingan laki-laki 2:1.
Pada anamnesis pasien dengan GNA sering kali mengeluhkan:
Malaise, sakit kepala, muntah, panas badan dan anoreksia.
Datang dengan hematuri atau sembab pada kedua mata dan tungkai.
Kadang pasien datang dengan kejang dan penurunan kesadaran akibat
ensefalopati hipertensi.
Oliguria/ anuria akibat gagal ginjal dan gagal jantung.
Adanya infeksi streptokokus harus dicari dengan melakukan biakan
tenggorok dan kulit. Biakan mungkin negatif apabila telah diberikan
antimikroba. Beberapa uji serologis terhadap antigen streptokokus dapat
dipakai untuk membuktikan adanya infeksi streptokokus, antara lain
antistreptozim, ASTO, antihialuronidase, dan anti Dnase B. Skrining
antistreptozim cukup bermanfaat oleh karena mampu mengukur antibodi
terhadap beberapa antigen streptokokus. Titer anti streptolosin O
meningkat pada 75-80% pasien dengan glomerulonefritis akut pasca
streptokokus dengan faringitis, meskipun beberapa strain streptokokus
tidak memproduksi streptolisin O. Bila semua uji dilakukan uji serologis
dilakukan, lebih dari 90% kasus menunjukkan adanya infeksi
streptokokus.
Titer ASTO meningkat pada hanya 50% kasus glomerulonefritis akut
pascastreptokokus atau pascaimpetigo, tetapi antihialuronidase atau
antibodi yang lain terhadap antigen streptokokus biasanya positif. Pada
awal penyakit titer antibodi streptokokus belum meningkat, hingga
sebaiknya uji titer dilakukan secara seri. Kenaikan titer 2-3 kali lipat
berarti adanya infeksi. Tetapi , meskipun terdapat bukti adanya infeksi
streptokokus, hal tersebut belum dapat memastikan bahwa
glomerulonefritis tersebut benar-benar disebabkan karena infeksi
streptokokus. Gejala klinis dan perjalanan penyakit pasien penting untuk
menentukan apakah biopsi ginjal memang diperlukan.
Titer antibodi streptokokus positif pada >95 % pasien faringitis, dan 80%
pada pasien dengan infeksi kulit. Antistreptolisin, antinicotinamid
dinucleotidase (anti-NAD), antihyaluronidase (Ahase) dan anti-DNAse B
positif setelah faringitis. Titer antibodi meningkat dalam 1 minggu
puncaknya pada satu bulan dan akan menurun setelah beberapa bulan.
Pada pemeriksaan serologi didapatkan penurunan komponen serum CH50
dan konsentrasi serum C3. Penurunan C3 terjadi ada >90% anak dengan
GNAPS. Pada pemeriksaan kadar komplemen, C3 akan kembali normal
dalam 3 hari atau paling lama 30 hari setelah onset.
Peningkatan BUN dan kreatinin. Peningkatannya biasanya transien. Bila
peningkatan ini menetap beberapa minggu atau bulan menunjukkan pasien
bukan GNAPS sebenarnya. Pasien yang mengalami bentuk kresentik GN
mengalami perubahan cepat, dan penyembuhan tidak sempurna. Adanya
hiperkalemia dan asidosis metabolik menunjukkan adanya gangguan
fungsi ginjal. Selain itu didapatkan juga hiperfosfatemi dan Ca serum yang
menurun.
Pada urinalisis menggambarkan abnormalitas, hematuria dan proteinuria
muncul pada semua kasus. Pada sedimen urin terdapat eritrosit, leukosit,
granular. Terdapat gangguan fungsi ginjal sehingga urin menjadi lebih
terkonsentrasi dan asam. Ditemukan juga glukosuria. Eritrosit paling baik
didapatkan pada urin pagi hari, terdapat 60-85% pada anak yang dirawat di
RS. Hematuria biasanya menghilang dalam waktu 3-6 bulan dan mungkin
dapat bertahan 18 bulan. Hematuria mikroskopik dapat muncul meskipun
klinis sudah membaik. Proteinuria mencapai nilai +1 sampai +4, biasanya
menghilang dalam 6 bulan. Pasien dengan proteinuria dalam nephrotic-
range dan proteinuria berat memiliki prognosis buruk.

TERAPI
Tidak ada pengobatan yang khusus yang mempengaruhi penyembuhan
kelainan di glomerulus.
1. Istirahat total selama 3-4 minggu. Dulu dianjurkan istirahat mutlah selama
6-8 minggu untuk memberi kesempatan pada ginjal untuk menyembuh.
Tetapi penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa mobilisasi penderita
sesudah 3-4 minggu dari mulai timbulnya penyakit tidak berakibat buruk
terhadap perjalanan penyakitnya.
2. Pemberian penisilin pada fase akut. Pemberian antibiotika ini tidak
mempengaruhi beratnya glomerulonefritis, melainkan mengurangi
menyebarnya infeksi Streptococcus yang mungkin masih ada. Pemberian
penisilin ini dianjurkan hanya untuk 10 hari, sedangkan pemberian
profilaksis yang lama sesudah nefritisnya sembuh terhadap kuman
penyebab tidak dianjurkan karena terdapat imunitas yang menetap. Secara
teoritis seorang anak dapat terinfeksi lagi dengan kuman nefritogen lain,
tetapi kemungkinan ini sangat kecil sekali. Pemberian penisilin dapat
dikombinasi dengan amoksislin 50 mg/kg BB dibagi 3 dosis selama 10
hari. Jika alergi terhadap golongan penisilin, diganti dengan eritromisin 30
mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis.
3. Makanan Pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1g/kgbb/hari)
dan rendah garam (1 g/hari). Makanan lunak diberikan pada penderita
dengan suhu tinggi dan makanan biasa bila suhu telah normal kembali.
Bila ada anuria atau muntah, maka diberikan IVFD dengan larutan glukosa
10%. Pada penderita tanpa komplikasi pemberian cairan disesuaikan
dengan kebutuhan, sedangkan bila ada komplikasi seperti gagal jantung,
edemaa, hipertensi dan oliguria, maka jumlah cairan yang diberikan harus
dibatasi.
4. Pengobatan terhadap hipertensi. Pemberian cairan dikurangi, pemberian
sedativa untuk menenangkan penderita sehingga dapat cukup beristirahat.
Pada hipertensi dengan gejala serebral diberikan reserpin dan hidralazin.
Mula-mula diberikan reserpin sebanyak 0,07 mg/kgbb secara
intramuskular. Bila terjadi diuresis 5-10 jam kemudian, maka selanjutnya
reserpin diberikan peroral dengan dosis rumat, 0,03 mg/kgbb/hari.
Magnesium sulfat parenteral tidak dianjurkan lagi karena memberi efek
toksis.
5. Bila anuria berlangsung lama (5-7 hari), maka ureum harus dikeluarkan
dari dalam darah dengan beberapa cara misalnya dialisis pertonium,
hemodialisis, bilasan lambung dan usus (tindakan ini kurang efektif,
tranfusi tukar). Bila prosedur di atas tidak dapat dilakukan oleh karena
kesulitan teknis, maka pengeluaran darah vena pun dapat dikerjakan dan
adakalanya menolong juga.
6. Diurektikum dulu tidak diberikan pada glomerulonefritis akut, tetapi
akhir-akhir ini pemberian furosemid (Lasix) secara intravena (1
mg/kgbb/kali) dalam 5-10 menit tidak berakibat buruk pada
hemodinamika ginjal dan filtrasi glomerulus (Repetto dkk, 1972). Bila
timbul gagal jantung, maka diberikan digitalis, sedativa dan oksigen.
Komplikasi
1. Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagian
akibat berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi
ginjal akut dengan uremia, hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hidremia.
Walau aliguria atau anuria yang lama jarang terdapat pada anak, namun
bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum kadang-kadang di perlukan.
2. Ensefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena hipertensi.
Terdapat gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-
kejang. Ini disebabkan spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan
edemaa otak.
3. Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki basah,
pembesaran jantung dan meningginya tekanand arah yang bukan saja
disebabkan spasme pembuluh darah, melainkan juga disebabkan oleh
bertambahnya volume plasma. Jantung dapat membesar dan terjadi gagal
jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di miokardium.
4. Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis
eritropoetik yang menurun.
Pengukuran laju filtrasi glomelurus (LFG) dengan cara pengukuran
klirens kreatinin atau memakai rumus berikut:
LFG= (140 umur) x BB
72 x kreatinin plasma (mg/dl)
LFG anak T = 5625
100,08
LFG = 56,20 ml/menit

Berdasarkan hasil uji fungsi ginjal pada anak A, menunjukkan hasil yang
tidak normal dimana menurut National Kidney Fondation 2002 angka tersebut
mulai menunjukkan gangguan ginjal tingkat 2. Seperti yang ditunjukkan pada
tabel di bawah ini :

Tabel Klasifikasi penyakit ginjal


(dimodifikasi dari National Kidney Fondation, 2002)
*Dengan faktor-faktor resiko PGK
#Dengan kerusakan ginjal, misal proteinuria prsisten, kelainan sedimen
urin, kelainan kimia darah dan urin, kelainan pencitraan)

Klasifikasi diatas dapat dijelaskan lagi sebagai berikut, yaitu tingkat 2


gangguan ringan, tingkat 3 gangguan sedang, tingkat 4 gangguan berat, dan
tingkat 5 sebagai gagal ginjal. Tingkat 5 dibedakan lagi bila LFG <15 ml/mnt
maka disebut sebagai gagal ginjal fase akut.

Tabel Tingkatan penyakit gagal ginjal kronik dengan tanda dan gejala

BAB IV
KESIMPULAN
Pada laporan ini, pasien atas nama An. M Teguh Adi , umur 15 tahun
dengan BB 45 kg, MRS di RSUD nganjuk pada tanggal 11 Januari 2017 dengan
keluhan bengkak di sekitar wajah sejak 2 hari sebelum MRS. Selain itu bengkak
diikuti dengan pipis berwarna merah kecoklatan, sebelum MRS. Pemeriksaan
fisik yang dapat ditemukan antara lain adanya edema periorbita.
Hasil pemeriksaan laboratorium berupa darah lengkap yang telah
dilakukan saat MRS (11 Januari 2017) yaitu Hematokrit 35.8 % , Hemoglobin
12.5 g/dl, Leukosit 11.5 , Trombosit 245, Albumin 3.40 g/dl, Urea 74. 9 mg/dl,
Serum creatinin 1.43 mg/dl, dan Cholesterol 148 mg/dl. Hasil laboraturium
berupa urin lengkap pada tanggal 11 Januari 2017 bakteri 1.1 / uL, bilirubin urin
negatif, silinder 4.52 /uL,epitel urin 17.0 /uL, bakteri 1.1 /uL.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
lainnya yang mendukung, maka disini saya mendiagnosis pasien dengan GNAPS.
Selanjutnya pada pasien ini dilakukan terapi berupa bedrest total, infuse
D5 1/4 1500cc/24 jam, inj lasix 3 x 25mg, captopril 3 x 22,5 mg PO, Erytromicin
30 mg/kg BB/hari ,dan diet rendah garam.

DAFTAR PUSTAKA

1. Price, Sylvia A, 1995 Patofisiologi :konsep klinis proses-proses penyakit,


ed 4, EGC, Jakarta.
2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1985, Glomerulonefritis akut,
835-839, Infomedika, Jakarta.

3. Ilmu Kesehatan Nelson, 2000, vol 3, ed Wahab, A. Samik, Ed 15,


Glomerulonefritis akut pasca streptokokus,1813-1814, EGC, Jakarta.

4. SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dokter Soetomo, 2006, Pedoman


Diagnosis dan Terapi, FK Unair, Surabaya.

5. markum. M.S, Wiguno .P, Siregar. P, 2007, Glomerulonefritis, Ilmu


Penyakit Dalam II, 274-281, Balai Penerbit FKUI,Jakarta.

6. Konsensus Nefrologi IDAI, 2012, Tata Laksana Sindrom Nefrotik


Idiopatik Pada Anak, Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia,
Jakarta.

7. Konsensus Nefrologi IDAI, 2012, Konsensus Glomerulonefritis Akut


Pasca Streptokokus, Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia,
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai