Oleh:
Adinta AgustiaNingsih Misdayanti
16710198
Pembimbing:
dr. Agoes Boediono, Sp. A
dr. Yunita Imtihani, Sp.A
dr. Nuning Setyo Purwanti
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
NGANJUK
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................. 1
BAB 2 LAPORAN KASUS............................................................................... 15
BAB 3 PEMBAHASAN..................................................................................... 17
BAB 4 KESIMPULAN....................................................................................... 26
Daftar Pustaka
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
GNAPS merupakan penyebab terbanyak nefritis akut di Negara
berkembang, sedangkan di negara maju terjadi dalam prevalensi yang rendah.
Indonesia merupakan negara berkembang dengan angka kejadian yang cukup
tinggi, hal ini disebabkan karena buruknya sanitasi lingkungan. ( markum. M.S,
2007).
Indonesia pada tahun 1988, melaporkan adanya 170 pasien yang dirawat
di rumah sakit pendidikan dalam 12 bulan. Pasien terbanyak dirawat di Surabaya
(26,5%), kemudian disusul berturut-turut di Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%),
dan Palembang (8,2%). Pasien laki-laki dan perempuan berbanding 2 : 1 dan
terbanyak pada anak usia antara 6-8 tahun (40,6%).
Glomerulonefritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal
tahap akhir dan tingginya angka morbiditas pada anak. Terminologi
glomerulonefritis yang dipakai disini adalah untuk menunjukkan bahwa kelainan
yang pertama dan utama terjadi pada glomerulus, bukan pada struktur ginjal yang
lain. ( Price, 1995)
Glomerulonefritis merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral.
Peradangan dimulai dalam gromleurus dan bermanifestasi sebagai proteinuria dan
atau hematuria. Meskipun lesi utama pada gromelurus, tetapi seluruh nefron pada
akhirnya akan mengalami kerusakan, sehingga terjadi gagal ginjal. Penyakit yang
mula-mula digambarkan oleh Richard Bright pada tahun 1827 sekarang diketahui
merupakan kumpulan banyak penyakit dengan berbagai etiologi, meskipun respon
imun agaknya menimbulkan beberapa bentuk glomerulonefritis. (Nelson, 2000)
Indonesia pada tahun 1995, melaporkan adanya 170 pasien yang dirawat
di rumah sakit pendidikan dalam 12 bulan. Pasien terbanyak dirawat di Surabaya
(26,5%), kemudian disusul berturut-turut di Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%),
dan Palembang (8,2%). Pasien laki-laki dan perempuan berbanding 2 : 1 dan
terbanyak pada anak usia antara 6-8 tahun (40,6%). (Nelson, 2000 )
Gejala glomerulonefritis bisa berlangsung secara mendadak (akut) atau
secara menahun (kronis) seringkali tidak diketahui karena tidak menimbulkan
gejala. Gejalanya dapat berupa mual-mual, kurang darah (anemia), atau
hipertensi. Gejala umum berupa sembab kelopak mata, kencing sedikit, dan
berwarna merah, biasanya disertai hipertensi. Penyakit ini umumnya (sekitar
80%) sembuh spontan, 10% menjadi kronis, dan 10% berakibat fatal. ( Nelson,
2000)
Gejala klinis GNAPS bervariasi mulai dari asimptomatis sampai gejala
yang khas. Bentuk asimtomatis lebih banyak dibandingkan yang simtomatis.
Gejala simtomatis edema, hematuri, hipertensi, oliguri, gejala kardiovaskuler dan
lain-lain. ( Donna J, 2009 )
GNAPS meski angka kejadian dan angka kematiannya tidak sebesar
penyakit infeksi lainnya, tetapi diagnosis dan tata laksana yang terlambat tidak
jarang berakibat fatal atau berlanjut sebagai penyakit kronis yang akan
mengganggu kualitas hidup anak.
Dalam uraian diatas pada laporan kasus individu ini akan dibahas
mengenai GNAPS. GNAPS disini akan dibahas bagaimana mendiagnosis dan
terapi yang diberikan untuk mencegah kematian maupun komplikasi.
Mungkin faktor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan faktor alergi
mempengaruhi terjadinya GNA setelah infeksi dengan kuman Streptococcuss.
Ada beberapa penyebab glomerulonefritis akut, tetapi yang paling sering
ditemukan disebabkan karena infeksi dari streptokokus, penyebab lain
diantaranya:
1. Bakteri : streptokokus grup C, meningococcocus, Sterptoccocus Viridans,
Gonococcus, Leptospira, Mycoplasma Pneumoniae, Staphylococcus albus,
Salmonella typhi dll
2. Virus : hepatitis B, varicella, vaccinia, echovirus, parvovirus, influenza,
parotitis epidemika dl
3. Parasit : malaria dan toksoplasma 1,8
Streptokokus
Sterptokokus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat yang secara khas
membentuk pasangan atau rantai selama masa pertumbuhannya. Merupakan
golongan bakteri yang heterogen. Lebih dari 90% infeksi streptokkus pada
manusia disebabkan oleh Streptococcus hemolisis kumpulan A. Kumpulan ini
diberi spesies nama S. pyogenes 9,10
S. pyogenes -hemolitik golongan A mengeluarkan dua hemolisin, yaitu:
a. Sterptolisin O
adalah suatu protein (BM 60.000) yang aktif menghemolisis dalam keadaan
tereduksi (mempunyai gugus-SH) tetapi cepat menjadi tidak aktif bila ada
oksigen. Sterptolisin O bertanggung jawab untuk beberapa hemolisis yang terlihat
ketika pertumbuhan dipotong cukup dalam dan dimasukkan dalam biakan pada
lempeng agar darah. Sterptolisisn O bergabung dengan antisterptolisin O, suatu
antibody yang timbul pada manusia setelah infeksi oleh setiap sterptokokus yang
menghasilkan sterptolisin O. antibody ini menghambat hemolisis oleh sterptolisin
O. fenomena ini merupakan dasar tes kuantitatif untuk antibody. Titer serum
antisterptolisin O (ASO) yang melebihi 160-200 unit dianggap abnormal dan
menunjukkan adanya infeksi sterptokokus yang baru saja terjadi atau adanya
kadar antibodi yang tetap tinggi setelah serangan infeksi pada orang yang
hipersensitifitas.9
1. Sterptolisin S
1. Fungsi ekskresi
Degradasi insulin.
Menghasilkan prostaglandin
2. Jika cairan filtrasi ini mengalir melalui tubulus, substansi yang tidak
diperlukan tidak akan direabsorpsi sedangkan substansi yang diperlukan
direabsorpsi kembali ke dalam plasma dan kapiler peritubulus.
Mekanisme kerja nefron yang lain dalam membersihkan plasma dan substansi
yang tidak diperlukan tubuh adalah sekresi. Substansi-substansi yang tidak
diperlukan tubuh akan disekresi dan plasma langsung melewati sel-sel epitel yang
melapisi tubulus ke dalam cairan tubulus. Jadi urine yang akhirnya terbentuk
terdiri dari bagian utama berupa substansi-substansi yang difiltrasi dan juga
sebagian kecil substansi-substansi yang disekresi.3
1.6 Prevalensi
GNAPS dapat terjadi pada semua kelompok umur, namun tersering pada
golongan umur 5-15 tahun, dan jarang terjadi pada bayi. Referensi lain
menyebutkan paling sering ditemukan pada anak usia 6-10 tahun. Penyakit ini
dapat terjadi pada laki laki dan perempuan, namun laki laki dua kali lebih sering
dari pada perempuan. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1.
Diduga ada faktor resiko yang berhubungan dengan umur dan jenis kelamin. Suku
atau ras tidak berhubungan dengan prevelansi penyakit ini, tapi kemungkinan
prevalensi meningkat pada orang yang sosial ekonominya rendah, sehingga
lingkungan tempat tinggalnya tidak sehat.3,7,8,11
1.7 Gejala Klinis
Gambaran klinis dapat bermacam-macam. Kadang-kadang gejala ringan
tetapi tidak jarang anak datang dengan gejala berat. Kerusakan pada rumbai
kapiler gromelurus mengakibatkan hematuria/kencing berwarna merah daging dan
albuminuria, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Urine mungkin tampak
kemerah-merahan atau seperti kopi Kadang-kadang disertai edema ringan yang
terbatas di sekitar mata atau di seluruh tubuh. Umumnya edema berat terdapat
pada oliguria dan bila ada gagal jantung. Edema yang terjadi berhubungan dengan
penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG/GFR) yang mengakibatkan ekskresi air,
natrium, zat-zat nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi edema dan
azotemia. Peningkatan aldosteron dapat juga berperan pada retensi air dan
natrium. Dipagi hari sering terjadi edema pada wajah terutama edem periorbita,
meskipun edema paling nyata dibagian anggotaGFR biasanya menurun (meskipun
aliran plasma ginja biasanya normal) akibatnya, ekskresi air, natrium, zat-zat
nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi edema dan azotemia. Peningkatan
aldosteron dapat juga berperan pada retensi air dan natrium. Dipagi hari sering
terjadi edema pada wajah terutama edem periorbita, meskipun edema paling nyata
dibagian anggota bawah tubuh ketika menjelang siang. Derajat edema biasanya
tergantung pada berat peradangan gelmurulus, apakah disertai dnegan payah
jantung kongestif, dan seberapa cepat dilakukan pembatasan garam.1,2,7,8
Pasien atas nama An. M Teguh Adi , jenis kelamin laki-laki, umur 15
tahun, berat badan 45 kg. Pasien datang ke IGD RSUD Ngnjuk pada tanggal 11
Januari 2017 dengan keluhan demam. Pasien demam ada tanggal 09 Januari 2017
dan ibu mengeluh anaknya bengkak di daerah wajah sejak panas turun, bengkak
dirasakan semakin bertambah setiap harinya. Keluhan bengkak seperti ini tidak
pernah dialami pasien sebelumnya. Selain itu keluarga pasien mengatakan pipis
anak berubah menjadi bewarna merah sebelum MRS. Saat ini kencing tidak lagi
bewarna merah. Saat kencing tidak nyeri. Sejak panas turun kencing hanya
sedikit.
Dari hasil anamnesa pada anak T, didapatkan disekitar wajah tampak
edema. Sehingga ada diagnosis banding edema pada anak.
Edema pada anak dibagi menjadi 2 yaitu edema lokal atau edema umum.
Edema lokal contohnya seperti adanya obstruksi pada vena atau penyakit limfatik
atau peningkatan permeabilitas dinding kapiler. Edema umum biasanya
disebabkan karena penurunan pengeluaran air dan natrium (penurunan tekanan
onkotik atau peningkatan tekanan hidrostatik).
Peningkatan tekanan hidrostatik contohnya pada penyakit jantung
kongestif. Pada penyakit jantung kongestif, didapatkan kelainan pada jantung
dengan tanda-tanda tergantung dari berat peyakitnya. Tanda-tanda yang biasa
muncul seperti mudah lelah, anoreksia, sesak, gangguan pertumbuhan hingga
edema anasarka. Pada An. T tidak didapatkan gejala-gejala maupun riwayat
penyakit jantung, sehingga diagnosis banding penyakit jantung kongestif dapat
disingkirkan.
Penurunan onkotik juga terjadi pada sindrom nefrotik. Dimana sindrom
nefrotik adalah penyakit ginjal yang sering dijumpai pada anak dengan suatu
kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuri yang mssif,
hipoalbumin, hiperkolesterolemia serta edema. An. T memiliki gejala proteinuria
yang masif dan edema. Tetapi dari hasil anamnesis dan pemeriksaan laboratorium
yang lain tidak mengarah pada sindrom nefrotik maka diagnosis banding ini dapat
disingkirkan.
Retensi Natrium dan penurunan pengeluaran cairan yang menyebabkan
terjadi edema salah satunya terdapat pada penyakit glomerulonefrotis akut (GNA).
Edema pada anak T karena terjadinya mekanisme retensi natrium Na+, edema
pada glomerulonefritis tanpa penurunan tekanan onkotik plasma. Hal ini berbeda
dengan mekanisme edema pada sindrom nefrotik. Edema yang terjadi
berhubungan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG/GFR) yang
mengakibatkan ekskresi air, natrium, zat-zat nitrogen mungkin berkurang,
sehingga terjadi edema dan azotemia. Peningkatan aldosteron dapat juga berperan
pada retensi air dan natrium. Dipagi hari sering terjadi edema pada wajah
terutama edema periorbita, meskipun edema paling nyata dibagian anggota bawah
tubuh ketika menjelang siang. Untuk anak T edema hanya terjadi pada bagian
periorbita.
Selain edema keluhan lain yang dialami oleh anak T adalah kencing
berwarna merah (hematuri) . Kelainan urinalisis seperti hematuria pada pasien
GNA diduga karena kerusakan dinding kapiler glomerulus sehingga menjadi lebih
permeable dan porotis terhadap protein dan sel-sel eritrosit.
TERAPI
Tidak ada pengobatan yang khusus yang mempengaruhi penyembuhan
kelainan di glomerulus.
1. Istirahat total selama 3-4 minggu. Dulu dianjurkan istirahat mutlah selama
6-8 minggu untuk memberi kesempatan pada ginjal untuk menyembuh.
Tetapi penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa mobilisasi penderita
sesudah 3-4 minggu dari mulai timbulnya penyakit tidak berakibat buruk
terhadap perjalanan penyakitnya.
2. Pemberian penisilin pada fase akut. Pemberian antibiotika ini tidak
mempengaruhi beratnya glomerulonefritis, melainkan mengurangi
menyebarnya infeksi Streptococcus yang mungkin masih ada. Pemberian
penisilin ini dianjurkan hanya untuk 10 hari, sedangkan pemberian
profilaksis yang lama sesudah nefritisnya sembuh terhadap kuman
penyebab tidak dianjurkan karena terdapat imunitas yang menetap. Secara
teoritis seorang anak dapat terinfeksi lagi dengan kuman nefritogen lain,
tetapi kemungkinan ini sangat kecil sekali. Pemberian penisilin dapat
dikombinasi dengan amoksislin 50 mg/kg BB dibagi 3 dosis selama 10
hari. Jika alergi terhadap golongan penisilin, diganti dengan eritromisin 30
mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis.
3. Makanan Pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1g/kgbb/hari)
dan rendah garam (1 g/hari). Makanan lunak diberikan pada penderita
dengan suhu tinggi dan makanan biasa bila suhu telah normal kembali.
Bila ada anuria atau muntah, maka diberikan IVFD dengan larutan glukosa
10%. Pada penderita tanpa komplikasi pemberian cairan disesuaikan
dengan kebutuhan, sedangkan bila ada komplikasi seperti gagal jantung,
edemaa, hipertensi dan oliguria, maka jumlah cairan yang diberikan harus
dibatasi.
4. Pengobatan terhadap hipertensi. Pemberian cairan dikurangi, pemberian
sedativa untuk menenangkan penderita sehingga dapat cukup beristirahat.
Pada hipertensi dengan gejala serebral diberikan reserpin dan hidralazin.
Mula-mula diberikan reserpin sebanyak 0,07 mg/kgbb secara
intramuskular. Bila terjadi diuresis 5-10 jam kemudian, maka selanjutnya
reserpin diberikan peroral dengan dosis rumat, 0,03 mg/kgbb/hari.
Magnesium sulfat parenteral tidak dianjurkan lagi karena memberi efek
toksis.
5. Bila anuria berlangsung lama (5-7 hari), maka ureum harus dikeluarkan
dari dalam darah dengan beberapa cara misalnya dialisis pertonium,
hemodialisis, bilasan lambung dan usus (tindakan ini kurang efektif,
tranfusi tukar). Bila prosedur di atas tidak dapat dilakukan oleh karena
kesulitan teknis, maka pengeluaran darah vena pun dapat dikerjakan dan
adakalanya menolong juga.
6. Diurektikum dulu tidak diberikan pada glomerulonefritis akut, tetapi
akhir-akhir ini pemberian furosemid (Lasix) secara intravena (1
mg/kgbb/kali) dalam 5-10 menit tidak berakibat buruk pada
hemodinamika ginjal dan filtrasi glomerulus (Repetto dkk, 1972). Bila
timbul gagal jantung, maka diberikan digitalis, sedativa dan oksigen.
Komplikasi
1. Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagian
akibat berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi
ginjal akut dengan uremia, hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hidremia.
Walau aliguria atau anuria yang lama jarang terdapat pada anak, namun
bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum kadang-kadang di perlukan.
2. Ensefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena hipertensi.
Terdapat gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-
kejang. Ini disebabkan spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan
edemaa otak.
3. Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki basah,
pembesaran jantung dan meningginya tekanand arah yang bukan saja
disebabkan spasme pembuluh darah, melainkan juga disebabkan oleh
bertambahnya volume plasma. Jantung dapat membesar dan terjadi gagal
jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di miokardium.
4. Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis
eritropoetik yang menurun.
Pengukuran laju filtrasi glomelurus (LFG) dengan cara pengukuran
klirens kreatinin atau memakai rumus berikut:
LFG= (140 umur) x BB
72 x kreatinin plasma (mg/dl)
LFG anak T = 5625
100,08
LFG = 56,20 ml/menit
Berdasarkan hasil uji fungsi ginjal pada anak A, menunjukkan hasil yang
tidak normal dimana menurut National Kidney Fondation 2002 angka tersebut
mulai menunjukkan gangguan ginjal tingkat 2. Seperti yang ditunjukkan pada
tabel di bawah ini :
Tabel Tingkatan penyakit gagal ginjal kronik dengan tanda dan gejala
BAB IV
KESIMPULAN
Pada laporan ini, pasien atas nama An. M Teguh Adi , umur 15 tahun
dengan BB 45 kg, MRS di RSUD nganjuk pada tanggal 11 Januari 2017 dengan
keluhan bengkak di sekitar wajah sejak 2 hari sebelum MRS. Selain itu bengkak
diikuti dengan pipis berwarna merah kecoklatan, sebelum MRS. Pemeriksaan
fisik yang dapat ditemukan antara lain adanya edema periorbita.
Hasil pemeriksaan laboratorium berupa darah lengkap yang telah
dilakukan saat MRS (11 Januari 2017) yaitu Hematokrit 35.8 % , Hemoglobin
12.5 g/dl, Leukosit 11.5 , Trombosit 245, Albumin 3.40 g/dl, Urea 74. 9 mg/dl,
Serum creatinin 1.43 mg/dl, dan Cholesterol 148 mg/dl. Hasil laboraturium
berupa urin lengkap pada tanggal 11 Januari 2017 bakteri 1.1 / uL, bilirubin urin
negatif, silinder 4.52 /uL,epitel urin 17.0 /uL, bakteri 1.1 /uL.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
lainnya yang mendukung, maka disini saya mendiagnosis pasien dengan GNAPS.
Selanjutnya pada pasien ini dilakukan terapi berupa bedrest total, infuse
D5 1/4 1500cc/24 jam, inj lasix 3 x 25mg, captopril 3 x 22,5 mg PO, Erytromicin
30 mg/kg BB/hari ,dan diet rendah garam.
DAFTAR PUSTAKA