Anda di halaman 1dari 5

Laboratory Work Report

Department of Pharmacology and Therapy


Faculty of Medicine, Tadulako University

Name of student : A.ALIFA NOVITA SARI Day, Date : JUM’AT, 8/5/2020


Student ID Number : N10119009 Time : 12.31 PM
Group : 1 (SATU) Instructor :

Data completeness and bar chart


Title : Dose Effect Relationship (max 20) ……….

Answering the questions


Results: (max 80) ...……..
-----------------------------------------+
Total (max 100) = ………..

Amount of saliva before and after injection of neostigmine (all groups) (10)

No of rat from Amount of saliva (mg)


each group Before After injection of neostigmine at dose
injection of
neostigmine Dose I Dose II Dose III
(0.025µg/gBW) (accumulation (accumulation
dose; 0.05µg/gBW) dose; 0.1µg/gBW)
Group 1 2.5 5.1 7.8 11.2
… 2 4.0 4.7 8.8 10.5
Group 3 2.3 5.6 6.9 12.2
… 4 3.0 4.4 7.2 11.5
Group 5 3.2 3.3 6.7 11.0
… 6 3.0 4.3 8.2 12.5
Group 7 3.1 5.2 7.7 12.2
… 8 2.2 4.3 7.9 11.9
Group 9
… 10
Mean 2.9125 4.6125 7.65 11.625
SD 0.54 0.66 0.65 0,65

Please make a bar chart of the mean amount of saliva before and after injection of neostigmine!
Compare the mean amount of saliva between before injection and after injection neostigmine on
each dosage. (10)

12

10

8
Before
6 After

0
Dose 1 Dose 2 Dose 3

1
Questions:

1. Which dose has greatest salivation effect? Why? Which one is significant? (10)

Dengan menghambat proses pemecahan asetilkolin, obat ini secara tidak langsung menstimulasi baik
reseptor muskarinik (kelenjar air liur dan nodus sinoatrial ) maupun reseptor nikotinik. Tidak seperti f
sostigmin, neostigmin merupakan senyawa nitrogen kuartener sehingga lebih polar dan tidak masuk ke
susunan saraf pusat. Efek obat ini terhadap otot rangka lebih besar daripadaefek f sostigmin, dapat
menstimulasi kontraksi otot bahkan sebelum lumpuh.9 Neostigmin mempunyai durasi kerja singkat,
biasanya 30 menit sampai 2 jam.9 Neostigmin berikatan dengan sisi anionik asetilkolinesterase. Obat ini
memblok tempat aktif asetilkolinesterase sehingga enzim ini tidak dapat merusak molekul asetilkolin.
Kejadian ini mengakibatkan ambang rangsang lebih cepat tercapai untuk membentuk impuls baru.
Dosis rekomendasi maksimal neostigmine ialah 0,08 mg/kgBB (dapat sampai di atas 5 mg pada
dewasa). Neostigmin umumnya dalam kemasan 10 mL pada konsentrasi 1 mg/mL, tersedia juga pada
konsentrasi 0,5 mg/mL dan 0,25 mg/mL.
Efek neostigmin (0,04 mL/kgBB) umumnya muncul dalam 5-10 menit, puncaknya pada 10 menit dan
berlangsung lebih dari 1 jam.Jika pemulihan tidak muncul 10 menit setelah pemberian 0,08 mL/kgBB,
fungsi kontraksi selanjutnya dipengaruhi oleh pemberian pelumpuh otot sebelumnya dan intensitas
blokade. Pada praktek sehari-hari, digunakan dosis 0,04mg/kgBB jika masih terdapat kelumpuhan otot
ringan hingga sedang dan dosis 0,08 mg/kgBB jika kontraksi otot telah terjadi. Pasien anak dan usia
lanjut umumnya lebih sensitif, sehingga onsetnya lebih cepat dan membutuhkan dosis lebih kecil; durasi
kerja obat ini diperpanjang pada pasien geriatrik. Efek samping muskarinik diminimalkan dengan
pemberian antikolinergik sebelumnya atau bersamaan. Onset kerja glikopirolat (0,2 mg glikopirolat per 1
mg neostigmin) sebanding dengan neostigmin dan lebih jarang menyebabkan takikardi daripada atropin
(0,4 mg atropin per 1 mg neostigmin).
Neostigmin dosis tinggi dapat menyebabkan blokade chanel dari asetilkolin, sehingga dosis yang
memiliki efek air liur terbesar dan yang signifikan adalah pemberian dosis dengan jumlah dosis besar
pula.

Erwin.I , Kusuma.D.I. 2012. Inhibitor Asetilkolinesterase untuk Menghilangkan Efek Relaksan Otot
Non-depolarisasi. CDK-193. Vol 39(5). Viewed On 7 mei 2020. From : Google.schoolar.com

2. What is the importance the dose-effect relationship? (10)

- Hubungan Kadar/Dosis (D) dengan Intesitas Efek


D + R DR efek
Menurut teori pendudukan reseptor (receptor occupancy), intesitas efek obat berbanding lurus
dengan fraksi reseptor yang diduduki atau diikatnya, dan intesitas efek maksimal jika seluruh
reseptor diduduki oleh obat.
Hubungan kadar obat dengan besarnya efek terlihat sebagai kurva dosis-intesitas efek (graded
dose-effect curve/DEC). 1/Kd menunjukkan afinitas obat terhadap reseptor, yang artinya
kemampuan obat berikatan dengan reseptornya. Jadi semakin besar K D semakin kecil afinitas obat
dengan reseptornya. E max menunjukkan aktivitas intrinsik/efektivitas obat, yaitu kemampuan
obat-reseptor untuk menimbulkan efek farmakologi.

- Hubungan Dosis Obat dengan Persen Responsif


Telah disebutkan bahwa untuk menimbulkan efek obat dibutuhkan suatu kisaran dosis. Jika
dibuat distribusi frekuensi dari individu yang responsif (dalam %) pada kisaran dosis tersebut maka
akan didapat kurva distribusi normal. Jika kurva distribusi tersebut dibuat kumulatif maka akan
didapat kurva berbentuk sigmoid yang disebut kurva log dosis persen responsif (log DPC). Jadi log
DPC menunjukkan variasi individual dari dosis yang diperlukan untuk menghasilkan suatu efek
tertentu.
Dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50% individu disebut dosis efektif median. Dosis toksik
median 50 adalah dosis yang menimbulkan efek toksik pada 50% individu. Dalam studi farmako
dinamik di laboratorium indeks terapi suatu obat adalah perbandingan antara kedua dosis diatas
dan merupakan standar keamanan suatu obat. Semakin besar indeks terapi semakin aman
penggunaan obat tersebut. Obat ideal menimbulkan efek terapi pada semua pasien tanpa
menimbulkan efek toksik pada seorangpun pasien sehingga yang lebih tepat

Fajri.P., Indijas.S.W., 2016. Modul bahan ajar cetak farmasi, FARMAKOLOGI. Jakarta : Kementrian
Kesehatan RI

2
3. What determines the dose-effect relationship? (10)

Hubungan antara dosis (atau konsentrasi) dan kerja suatu obat dapat diketahui dengan 2 cara, yaitu
menguji frekuensi efek yang timbul pada satu kelompok objek percobaan dengan mengubah-ubah dosis
(Hubungan dosisreaksi, "dose-response relation"), dalam hal ini jumlah objek percobaan yang
menunjukkan efek tertentu akan bertambah sampai maksimum atau dengan mengubah-ubah dosis,
mengukur intensitas kerja pada satu objek percobaan (Hubungan dosis-kerja, "dose-effect relation"),
dalam hal ini intensitas efek yang akan bertambah.

Hubungan dosis – reaksi digunakan untuk menentukan berapa persen dari suatu populasi (misalnya,
pada sekelompok hewan percobaan) memberikan reaksi/efek tertentu terhadap dosis tertentu dari satu
zat. Penyelidikan semacam ini sering dilakukan pada uji toksikologi obat yang potensial pada fase
praklinik dan fase klinik, serta pemeriksaan toksikologi umum dan toksikologi pekerjaan.

Parulian.L. , Listyanti.E. , Hati.A.K., Sunnah.I. 2019. Analisis Hubungan Polifarmasi Dan Interaksi Obat
Pada Pasien Rawat Jalan Yang Mendapat Obat Hipertensi Di Rsp. Dr. Ario Wirawan Periode
Januari-Maret 2019. Indonesian Journal of Pharmacy and Natural Product. Volume 02,
Nomor 02. Viewed On 7 mei 2020. From : jurnal.unw.ac.id

4. What is the role of pharmacokinetics and pharmacodynamic on dose-effect relationship? (10)

Farmakokinetik adalah ilmu yang mempelajari penyerapan (absorbsi) obat, penyebaran (distribusi)
obat, mekanisme kerja (metabolisme) obat, dan pengeluaran (ekskresi) obat. Dengan kata lain,
Farmakokinetik adalah mempelajari pengaruh tubuh terhadap suatu obat.
Hal-hal lain terkait Farmakokinetik adalah sebagai berikut.
a. Waktu Paruh. Waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan sehingga setengah dari obat dibuang dari
tubuh. Faktor yang mempengaruhi waktu paruh adalah absorpsi, metabolism dan ekskresi.Waktu
paruh penting diketahui untuk menetapkan berapa sering obat harus diberikan.
b. Onset, puncak, dan durasi kerja obat. Onset adalah waktu dari saat obat diberikan hingga obat terasa
kerjanya. Waktu onset ini sangat tergantung pada rute pemberian dan farmakokinetik obat. Puncak,
adalah waktu di mana obat mencapai konsentrasi tertinggi dalam plasma. Setelah tubuh menyerap
semakin banyak obat maka konsentrasinya di dalam tubuh semakin meningkat sehingga mencapai
konsentrasi puncak respon. Durasikerjaobat adalah lama waktu obat menghasilkan suatu efek
terapi atau efek farmakologis (Noviani.N. 2017).

Farmakodinamik adalah bagian dari ilmu farmakologi yang mempelajari efek biokimia dan fisiologi
obat, serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk meneliti efek
utama obat, mengetahui interaksi obat dalam sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek
dan respons yang terjadi. Farmakodinamik lebih focus membahas dan mempelajari seputar efek obat-
obatan itu sendiri di dalam tubuh baik dari segi fisiologi maupun biokimia terhadap berbagai organ
tubuh, serta mekanisme kerja obatobatan di dalam tubuh manusia. Farmakodinamik juga sering disebut
dengan aksi atau efek obat.
Sehubungan dengan obat, dikenal 2 macam efek, yaitu efek normal dan efek abnormal.Efek normal ialah
efek yang timbul pada sebagian besar (kebanyakan individu); dan efek abnormal ialah efek yang timbul
pada sebagian kecil individu atau kelompok individu tertentu.Kedua macam efek tersebut dapat terjadi
pada dosis lazim yang dipergunakan dalam terapi (Noviani.N. 2017).

Interaksi obat berdasarkan mekanisme farmakokinetik adalah interaksi yang terjadi apabila satu obat
mengubah absorbsi, distribusi, metabolisme dan eksresi obat lain. Salah satu contoh interaksi farmako
kinetik adalah interaksi antara obat digoxin dan spironolaktone. Dengan mekanisme spironolaktone dapat
melemahkan efek positif dari digoxin. Interaksi farmakodinamik terjadi ditingkat reseptor dan meng-
akibatkan perubahan efek obat yang bersifat sinergis apabila efeknya menguatkan atau antagonis apabila
efeknya mengurangi. Salah satu contoh interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara digoxin dan
furosemide dengan mekanisme furosemide dapat menyebabkan gangguan elektrolit, sehingga
mempengaruhi digoxin menginduksi terjadinya aritmia, interaksi tersebut termasuk interaksi
farmakodinamik dengan onset lambat.

Noviani.N., Nurilawati.V. 2017. Bahan Ajar Keperawatan Gigi FARMAKOLOGI. Jakarta : Kementrian
Kesehatan RI.
Parulian.L. , Listyanti.E. , Hati.A.K., Sunnah.I. 2019. Analisis Hubungan Polifarmasi Dan Interaksi Obat
Pada Pasien Rawat Jalan Yang Mendapat Obat Hipertensi Di Rsp. Dr. Ario Wirawan Periode
Januari-Maret 2019. Indonesian Journal of Pharmacy and Natural Product. Volume 02,
Nomor 02. Viewed On 7 mei 2020. From : jurnal.unw.ac.id

3
5. What is concentrate-effect (response) relationship? (10)

Hubungan antara dosis suatu obat dan respons yang terlihat secara klinis mungkin rumit. Dalam system
in vitro yang terkelola baik, hubungan antara konsentrasi dan efek suatu obat sering sederhana dan dapat
digambarkan dengan ketepatan matematis. Kita akan menganalisis kesederhanaan awal ini dengan
membayangkan hubungan ini karena hubungan ini sebenarnya mendaari semua hubungan yang lebih
rumit antara dosis dan efek yang timbul jika obat diberikan pada pasien.
Pada hewan atau pada pasien, respons terhadap dosis suatu obat yang rendah biasanya meningkat dan
berbanding langsung dengan meningkatnya dosis. Namun, dengan mrningkatkan dosis, peningkatan
respons akan berkurang, dan akhirnya dosis dapat mencapai tingkat yang yang tidak dapat mengalami
peningkatan respins lebih lanjut. Dalam system in vitro atau system ideal.

Harmita., Radji.M. 2008. Buku Ajar Analisis Hayati. Edisi 3. Jakarta : EGC

6. Describe the relationship of dose and therapeutic levels to the role of the drug receptor? (10)

Dengan mengetahui mekanisme interaksi obat, farmasis dapatmenentukan langkah yang tepat dalam
pengatasan masalah tersebut. Farmasis dapat menentukan suatu jenis interaksi obat dapat diatasi sendiri,
atau memerlukan diskusi dengan klinis/dokter. Langkah pertama dalam penatalaksanaaninteraksi obat
adalah waspada terhadap pasien yang memperoleh obat-obat yang mungkin dapat berinteraksi dengan
obat lain terutama apabila diketahui interaksi obat menunjukkan signifikansi levelpertama.

Beberapa alternative penatalaksanaan interaksi obat adalah menghindari kombinasi obat dengan
memilih obat pengganti yang tidak berinteraksi, penyesuaian dosis obat, pemantauan pasien atau
meneruskanpengobatan seperti sebelumnya jika kombinasi obat yang berinteraksi tersebut merupakan
pengobatan yang optimal atau bila interaksi tersebut tidakbermakna secara klinis. Untuk menghindari
kemungkinan interaksi obat farmasis dapat secara aktif memberikan informasi kepada pasien seperti
penggunaan obat yang secara tepat. Melalui pelayanan informasi obat farmasis memegang peranan besar
dalam mencegah timbulnya dampak negative interaksi obat yang tidak hanya mempengaruhi
kemanfaatan dan kemanjuran obat namun lebih jauh dapat mempengaruhi rasa aman serta meningkatkan
biaya yang harus dikeluarkan pasien. Berdasarkan jumlah obat dapat dilihat bahwa semakin banyak obat
yang dikonsumsi maka semakin besar interaksi obat yang terjadi.

Parulian.L. , Listyanti.E. , Hati.A.K., Sunnah.I. 2019. Analisis Hubungan Polifarmasi Dan Interaksi Obat
Pada Pasien Rawat Jalan Yang Mendapat Obat Hipertensi Di Rsp. Dr. Ario Wirawan Periode
Januari-Maret 2019. Indonesian Journal of Pharmacy and Natural Product. Volume 02,
Nomor 02. Viewed On 7 mei 2020. From : jurnal.unw.ac.id

7. The effect of drug based on its time course is divided into 3 effects; immediate effects, delayed effect and
cumulative effect. Please explain those three effects! (20)
- Efek langsung, seperti toksisitas yang terjadi pada dosis tinggi. Dan juga efek langsung yang dapat
terjadi berupa eritema dan kerusakan (Sovia.E. 2019).
- Efek tertunda merupakan efek radiasi yang baru timbul setelah waktu yang lama (bulanan-tahunan)
setelah terkena paparan radiasi, seperti katarak dan terjadinya kanker(Soeprijanto.B. 2017).
- Efek kumulatif merupakan efek sebagai akibat pemberian obat yang berkelangsungan dimana
ekskresi obat relative lambat, sehingga terjadi penumpukan obat dalam tubuh sampai
jumlah/konsentrasi yang tinggi(Joenes.2006).

Sovia.E., Yuslianti.E.R. 2019. Farmakologi Kedokteran gigi Praktis. Yogyakarta : CV Budi Utama

Soeprijanto.B. 2017. Imejing Diagnostik Pada Anomali Kongenital. Sistem traktus urinarius. Surabaya :
Airlangga University Press

Joenes., Zaman.N. 2006. ARS Prescribendi Resep Yang Rasional. Surabaya : Airlangga University press

4
Reference:

Erwin.I , Kusuma.D.I. 2012. Inhibitor Asetilkolinesterase untuk Menghilangkan Efek Relaksan Otot Non-
depolarisasi. CDK-193. Vol 39(5). Viewed On 7 mei 2020. From : Google.schoolar.com

Fajri.P., Indijas.S.W., 2016. Modul bahan ajar cetak farmasi, FARMAKOLOGI. Jakarta : Kementrian
Kesehatan RI

Harmita., Radji.M. 2008. Buku Ajar Analisis Hayati. Edisi 3. Jakarta : EGC

Joenes., Zaman.N. 2006. ARS Prescribendi Resep Yang Rasional. Surabaya : Airlangga University press

Noviani.N., Nurilawati.V. 2017. Bahan Ajar Keperawatan Gigi FARMAKOLOGI. Jakarta : Kementrian
Kesehatan RI

Parulian.L. , Listyanti.E. , Hati.A.K., Sunnah.I. 2019. Analisis Hubungan Polifarmasi Dan Interaksi Obat
Pada Pasien Rawat Jalan Yang Mendapat Obat Hipertensi Di Rsp. Dr. Ario Wirawan
Periode Januari-Maret 2019. Indonesian Journal of Pharmacy and Natural Product. Volume
02, Nomor 02. Viewed On 7 mei 2020. From : jurnal.unw.ac.id

Soeprijanto.B. 2017. Imejing Diagnostik Pada Anomali Kongenital. Sistem traktus urinarius. Surabaya :
Airlangga University Press

Sovia.E., Yuslianti.E.R. 2019. Farmakologi Kedokteran gigi Praktis. Yogyakarta : CV Budi Utama

Anda mungkin juga menyukai