Oleh :
SAIFUL ASRORI
NIM : 103.900.32
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan Konsep paradigma sehat di dalam pembangunan kesehatan adalah
pembangunan kesehatan yang lebih memprioritaskan
upaya promotif dan preventifdibandingkan kuratif dan rehabilitatif. Program imunisasi
merupakan salah satu upayapreventif yang telah terbukti sangat efektif menurunkan angka
kesakitan dan angka kematian serta kecacatan pada bayi dan balita (Ditjen Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan Depkes RI, 2009).
Vaksin merupakan komponen utama dalam program imunisasi dimana
ketersediaannya harus terjamin sampai ke sasaran. Sesuai dengan PP 38 tahun 2007 tetang
kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonomi dan Peraturan Menteri
Kesehatan No. 439/ MENKES/ PER/ VI/ 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri
Kesehatan No. 1575/ MENKES/PER/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Depkes, antara
lain menyebutkan bahwa kewenangan pemerintah pusat menyediakan obat
esensial tertentu dan obat sangat esensial untuk pelayanan kesehatan dasar. Selain itu pemerintah
juga menjamin ketersediaan bahan imunisasi yang aman, bermutu, efektif, terjangkau, dan
merata bagi masyarakat untuk upaya pengendalian penyakit menular melalui imunisasi (Undang
- Undang Kesehatan RI No. 36/09).
B. Perumusan Masalah
1. Masalah
Masalah yang ditemukan dari latar belakang di atas adalah masih ditemukannya
penyimpanan vaksin di instansi kesehatan yang menggunakan kulkas rumah tangga, dimana hal
ini dapat membuat vaksin lebih cepat rusak dan kehilangan potensi sehingga akan berbahaya jika
diberikan kepada sasaran karena dapat menyebabkan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI).
2. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan masalah tersebut, penulis ingin mengetahui apakah pola distribusi vaksin yang
dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Lampung sudah sesuai dengan Pedoman Pengelolaan
Vaksin yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pola distribusi vaksin
dari Dinas Kesehatan Provinsi Lampung ke Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung.
2. Tujuan khusus
Secara khusus, tujuan penelitian ini adalah
a. mengetahui kualitas penyimpanan vaksin di Dinas Kesehatan Provinsi Lampung;
b. mengetahui kualitas pendistribusian vaksin dari Dinas Kesehatan Provinsi Lampung ke Dinas
Kesehatan Kota Bandar Lampung;
c. mengetahui kualitas penyimpanan vaksin di Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung;
d. mengetahui kualitas pendistribusian vaksin di Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan tentang pola distribusi
vaksin dari Dinas Kesehatan Provinsi Lampung Ke Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung.
2. Bagi Dinas Kesehatan Provinsi Lampung dan Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung, penelitian
ini dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi tentang pola pendistribusian vaksin yang selama ini
dilakukan agar menjadi lebih baik lagi.
3. Secara akademik, penelitian ini bermanfaat untuk menambah khasanah tentang bagaimana
pendistribusian vaksin yang seharusnya dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Ke Dinas
Kesehatan Kota yang ada di kotanya dan bagaimana pola distribusi vaksin yang sudah dilakukan
oleh Dinas Kesehatan Povinsi Lampung ke Dinas Kesehatan Kota yang ada di Kota Bandar
lampung.
4. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat menambah pengetahuan masyarakat tentang terjamin
tidaknya kualitas vaksin yang diterima oleh masyarakat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjaun Pustaka
1. Vaksin
a. Sejarah Vaksin
Menurut Mandal (2010), penemuan vaksin merupakan penemuan yang sangat penting dan berarti
di dunia kesehatan. Penemuan ini merupakan penemuan paling suksesdan merupakan langkah yang baik
untuk mencegah penyakit dan menyelamatkan nyawa. Hal ini terutama berlaku untuk anak - anak di
seluruh dunia. Selama paruh terakhir abad ke-20, semua penyakit yang dulunya terlalu
umum berubah menjadi langka di dunia sejak ditemukannya vaksin. Ratusan juta nyawa dan miliaran dolar
dalam pengeluaran kesehatan masyarakat pun telah diselamatkan dengan luas vaksinasi yang berhasil
dilakukan.
Vaksin pertama yang dikembangkan adalah vaksin cacar oleh Edward Jenner, dokter dari Inggris,
di Berkeley. Ia menemukan bahwa orang yang minum susu dari sapi cacar relatif kebal terhadap penyakit
cacar. Dia mengambil eksudat dan sekresi dari cowpox Pustul di sebelah dairymaid Sarah Nelmes dan
dimasukkan ke dalam tubuh laki-laki berusia 8 tahun James Phipps pada 14 Mei 1796.
Hasil vaksinasi efektif karena anak laki-laki tersebut tidak mengidap penyakit cacar bahkan ketika
dia terinfeksi dengan virus cacar kecil enam minggu setelah vaksinasi. Jenner mempublikasikan
penemuannya pada 1798. Meskipun oposisi, tapi vaksinasi segera diterima.
Louis Pasteur mengembangkan penemuan Jenner dengan mengembangkan vaksin rabies
(sekarang disebut antitoxin). Dan di abad ke-19, undang-undang wajib vaksinasi disahkan. Zaman
keemasan pengembangan vaksin tidak datang sampai setelah Perang Dunia II, ketika beberapa vaksin
baru dikembangkan dalam waktu yang relatif singkat. Keberhasilan mereka dalam mencegah penyakit
seperti polio dan campak mengubah sejarah Kedokteran.
Pada tahun 1967, WHO memimpin kampanye imunisasi besar-besaran terhadap cacar. Dalam
sepuluh tahun, penyakit ini telah divaksinasi eksistensi. Virus-liar polio yang setelah beredar luas di hampir
setiap wilayah di dunia, sekarang hadir di hanya segelintir negara, tanpa kasus didiagnosis di Amerika
Serikat sejak tahun 1979. Campak, gondok, rubella, difteri, dan Pertusis dikurangi dari epidemi menakutkan
untuk wabah langka dalam beberapa dekade.
b. Penggolongan Vaksin
Menurut Prof. Dr. Hariyono Suyitno dr. Sp A (K) dalam buku Pedoman Imunisasi di
Indonesia (2008) (Sunarti, 2012 : 45) pada dasarnya vaksin digolongkan menjadi dua jenis
berdasarkan asal antigen (Immunization Essential) (Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Depkes RI, 2009 : 5), yaitu :
Live attenuated (kuman atau virus hidup yang dilemahkan).
Inactivated (kuman, virus atau komponennya yang dibuat tidak aktif).
Sifat vaksin attenuated dan inactivated berbeda sehingga menentukan bagaimana vaksin ini
digunakan. Vaksin hidup attenuated diproduksi di laboratorium dengan cara melakukan
modifikasi virus atau bakteri penyebab penyakit. Vaksin mikroorganisme yang dihasilkan masih
memiliki kemampuan untuk tumbuh menjadi lebih banyak (replikasi) dengan menimbulkan
kekebalan tapi tidak menyebabkan penyakit.
Vaksin hidup dibuat dari virus atau bakteri liar (Wild) penyebab penyakit. Virus atau bakteri
liar ini dilemahkan (attenuated) di laboratorium, biasanya dengan cara pembiakan berulang -
ulang. Misalnya, vaksin campak yang dipakai sampai sekarang, diisolasi untuk mengubah virus
campak liar menjadi virus vaksin dibutuhkan waktu 10 tahun dengan cara melakukan penanaman
pada jaringan media pembiakan secara serial dari seorang anak yang menderita penyakit campak
pada tahun 1954.
Vaksin hidup attenuated bersifat labil dan dapat mengalami kerusakan bila terkena panas
atau sinar, maka harus dilakukan pengelolaan dan penyimpanan dengan baik dan hati - hati. Vaksin
hidup attenuated yang tersedia berasal dari dua mikroorganisme :
Berasal dari virus hidup : Vaksin campak, gondongan (parotitis), rubela, polio, rotavirus, demam
kuning (yellow fever).
Berasal dari bakteri : Vaksin BCG dan demam tifoid oral.
Vaksin Inactivated dapat terdiri atas seluruh tubuh virus atau bakteri atau komponen dari
kedua organisme tersebut. Vaksin komponen dapat berbasis protein atau berbasis polisakarida.
Vaksin yang berbasis protein termasuk toksaid (toksin bakteri yang inactivated) dan produk sub
unit atau sub-vision. Sebagian besar vaksin berbasis polisakarida terdiri atas dinding sel
polisakarida asli bakteri. Vaksin penggabungan (conjugate vaccine) polisakarida adalah yang
secara kimiawi dihubungkan dengan protein, karena hubungan ini membuat polisakarida tersebut
menjadi lebih paten.
Pembuatan vaksin Inactivated dilakukan dengan cara membiakkan bakteri atau virus dalam
media pembiakkan (persemaian), kemudian dibuat tidak aktif (inactivated) dengan cara
penanaman bahan kimia (biasanya formalin). Untuk vaksin komponen organisme tersebut dibuat
murni dan hanya komponen - komponennya yang dimasukkan ke dalam vaksin (misalnya kapsul
polisakarida dari kuman pneumokokus).
Vaksin Inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka seluruh dosis antigen
dimasukkan dalam suntikan.Vaksin ini tidak menyebabkan penyakit (walaupun pada orang dengan
defisiensi imun) dan tidak dapat mengalami mutasi menjadi bentuk patogenik.
1) Vaksin Polisakarida
Vaksin polisakarida adalah vaksin sub-unit yang inactivated dengan bentuknya yang unik
terdiri atas rantai panjang molekul - molekul gula yang membentuk permukaan kapsul bakteri
tertentu. Vaksin polisakarida murni tersedia untuk tiga macam penyakit, yaitu pneumokokus,
meningokokus, dan Haemophillus influenza tipe B.
2) Vaksin Rekombinan
Antigen vaksin dapat pula dihasilkan dengan cara teknik rekayasa genetik. Produk ini
sering disebut sebagai vaksin rekombinan.
Terdapat tiga jenis vaksin yang dihasilkan dengan rekayasa genetik yang saat ini telah tersedia.
Vaksin hepatitis B dihasilkan dengan cara memasukkan suatu segmen gen virus hepatitis B ke
dalam gen sel ragi. Sel ragi yang telah berubah (modified) ini menghasilkan antigen permukaan
hepatitis B murni.
Vaksin tifoid (Ty 21a) adalah kriteria Salmonella typhi yang secara genetik diubah (modified)
sehingga tidak menyebabkan sakit.
Tiga dari empat virus berada di dalam vaksin rotavirus hidup adalah rotavirus kera rhesus yang
diubah (modified) secara genetik menghasilkan antigen rotavirus manusia apabila mereka
mengalami replikasi.
Berdasarkan sensitivitas terhadap suhu, vaksin juga dibagi menjadi dua, yaitu :
Vaksin sensitif beku (Freeze Sensitive), yaitu golongan vaksin yang akan rusak terhadap suhu
dingin dibawah 0C (beku) seperti :
Hepatitis B.
DPT.
DPT-HB.
DT.
TT.
Vaksin sensitif panas (Heat Sensitive), yaitu golongan vaksin yang akan rusak terhadap paparan
panas yang berlebihan, yaitu :
BCG.
Polio, dan
Campak.
(Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes RI, 2009:5).
2. Pengelolaan Vaksin
Menurut Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes RI (2009), pengelolaan
vaksin meliputi kegiatan perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian, penggunaan,
pencatatan dan pelaporan serta monitoring dan evaluasi. Vaksin hendaknya dikelola secara optimal
untuk menjamin tercapainya tepat jumlah dan jenis obat, penyimpanan, waktu pendistribusian, dan
penggunaan obat, serta terjamin mutunya di unit pelayanan kesehatan.
Dalam pelaksanaan program imunisasi, pengadaan vaksin yang dikelola ditingkat pusat,
provinsi, kabupaten/kota perlu dilaksanakan secara efektif dan efesien sehingga hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan maupun manfaatnya bagi kelancaran
pelaksanaan program imunisasi sehingga Kajadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang tidak
diinginkan tidak akan terjadi. KIPI merupakan suatu kejadian yang disebabkan oleh berberapa
faktor diantaranya menurunnya atau hilangnya potensi vaksin dan rusaknya vaksin. Cara distribusi
dan penyimpanan yang tidak tepat merupakan salah satu penyebab menurunnya atau hilangnya
potensi vaksin yang pada akhirnya dapat menyebabkan KIPI.
a. Pendistribusian Vaksin
Pendistribusian vaksin berdasarkan Pedoman Pengelolaan Vaksin yang dikeluarkan oleh
Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes RI yaitu vaksin alokasi provinsi
didistribusikan langsung dari produsen ke provinsi sesuai alokasi yang tertera dalam kontrak.
Vaksin alokasi pusat diserahkan ke gudang vaksin Depkes RI. Pendistribusian vaksin alokasi
provinsi (terutama BCG) dilakukan secara bertahap (minimal tiga kali pengiriman) dengan interval
waktu dan jumlah yang seimbang dengan memperhatikan tanggal kadaluarsa dan kemampuan
penyerapan. Khusus vaksin DT bisa dilakukan dalam sekali pengiriman. Setiap melakukan
pengiriman vaksin ke provinsi, produsen wajib melaporkan ke Direktorat Bina Obat Publik dan
Perbekkes, Dirjen Binfar dan Alkes. Pengiriman vaksin ke provinsi berdasarkan permintaan resmi
dari Dinas Kesehatan Provinsi yang ditujukan kepada Ditjen P2PL, Direktorat Sepimkesma,
dengan tembusan ke Ditjen Binfar dan Alkes, Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan.
Permintaan pengiriman vaksin harus mempertimbangkan tingkat stok maksimum
kebutuhan dan kapasitas tempat penyimpanan provinsi. Setiap pengiriman vaksin
menggunakan cold box yang berisi kotak dingin cair (cool pack) untuk vaksin TT, DT, Hepatitis
B, dan DPT-HB, kotak beku (cold pack) untuk vaksin BCG dan Campak, serta dry ice untuk vaksin
Polio. Pelarut dan penetes dikemas tanpa menggunakan pendingin. Pengepakan vaksin yang
sensitif pembekuan (DT, TT, Hepatitis B, dan DPT-HB) dilengkapi dengan indikator pembekuan,
vaksin BCG disertai dengan indikator paparan panas.
Setiap pengiriman harus disertai laporan kedatangan vaksin VAR (Vaccine Arrival
Report),copy CoR (Certificate of Release) untuk setiap batch serta SP (Surat Pengantar) untuk
vaksin alokasi provinsi/SBBK (Surat Bukti Barang Keluar) untuk vaksin alokasi pusat.
Distribusi dari Dinkes Provinsi dilakukan atas dasar permintaan resmi dari Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota, dengan mempertimbangkan stok maksimum kebutuhan dan daya
tamping penyimpanan vaksin di kabupaten/kota. Distribusi bisa dilakukan dengan cara dikirimkan
oleh provinsi atau diambil oleh kabupaten/kota.
Distribusi dari kabupaten/kota ke Puskesmas dilakukan atas dasar permintaan resmi dari
Puskesmas dengan menggunakan Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO).
Setiap distribusi vaksin harus mempertimbangkan stok maksimum kebutuhan dan daya tampung
penyimpanan vaksin. Distribusi bisa dilakukan dengan cara dikirimkan oleh kabupaten/kota atau
diambil oleh Puskesmas. Hal - hal yang perlu diperhatikan dalam pendistribusian vaksin :
Pendistribusian vaksin harus memperhatikan kondisi Vaccine Vial Monitor (VVM), tanggal
kadaluarsa (FEFO), dan urutan masuk vaksin (FIFO).
Setiap distribusi vaksin menggunakan cold box yang berisi kotak dingin cair (cool pack) untuk
vaksin TT, DT, Hepatitis B PID,dan DPT-HB, serta kotak beku (cold pack) untuk vaksin BCG,
Campak, dan Polio.
Apabila pendistribusian vaksin dalam jumlah kecil, dimana vaksin sensitif beku dicampur dengan
sensitif panas maka digunakan cold box yang berisi kotak dingin cair (cool pack).
Pengepakan vaksin sensitif beku harus dilengkapi dengan indicator pembekuan.
b. Penyimpanan Vaksin
Berdasarkan Pedoman Pengelolaan Vaksin, tujuan penyimpanan vaksin adalah agar mutu
dapat dipertahankan /tidak kehilangan potensi, aman/tidak hilang, dan terhindar dari kerusakan
fisik. Sarana dan prasarana yang harus disediakan dalam penyimpanan vaksin :
Cool room.
Freezer.
Lemari es.
Cool box.
Cool pack.
Vaccine carrier.
Generator.
Untuk menyimpan vaksin dibutuhkan peralatan rantai vaksin, yaitu seluruh peralatan yang
digunakan dalam pengelolaan vaksin sesuai dengan prosedur untuk menjaga vaksin pada suhu
yang telah ditetapkan, dari mulai vaksin diproduksi di pabrik pembuat vaksin sampai dengan
pemberian vaksinasi pada sasaran Ibu dan Anak. Fungsi dari peralatan rantai vaksin adalah untuk
menyimpan/membawa vaksin pada suhu yang telah ditetapkan sehingga potensi vaksin dapat
terjamin sampai masa kadaluarsanya.
Jenis peralatan rantai vaksin berbeda pada setiap tingkatan administratif sesuai dengan
fungsi dan kapasitas vaksin yang dikelola. Skema berikut ini menggambarkan jenis dan fungsi
peralatan mulai dari pabrik sampai kepada sasaran.
Bentuk top opening pada umumnya adalah freezer yang biasanya digunakan untuk
menyimpan bahan makanan, ice cream, daging atau lemari es untuk penyimpanan vaksin. Salah
satu bentuk lemari es top opening adalah ILR (Ice Lined Refrigerator) yaitu freezer yang
dimodifikasi menjadi lemari es dengan suhu bagian dalam +2C s.d. 8C, hal ini dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan akan volume penyimpanan vaksin pada lemari es. Modifikasi dilakukan
dengan meletakkan kotak dingin cair (cool pack) pada sekeliling bagian dalam freezer sebagai
penahan dingin dan diberi pembatas berupa aluminium atau multiplex atau acrylic plastic.
Perbedaan antara bentuk pintu buka depan dan bentuk pintu buka ke atas adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Perbedaan lemari es/freezer bentuk pintu buka atas dan bentuk pintu buka depan
Bentuk buka dari depan Bentuk buka dari atas
a. Suhu tidak stabil. a. Suhu lebih stabil.
Pada saat pintu lemari es dibuka Pada saat pintu lemari es dibuka
kedepan maka suhu dingin dari ke atas maka suhu dingin dari
atas akan turun ke bawah dan atas akan turun ke bawah dan
keluar. tertampung.
b. Bila listrik padam relatif tidakb. Bila listrik padam relatif suhu
dapat bertahan lama. dapat bertahan lama.
c. Jumlah vaksin yang dapatc. Jumlah vaksin yang dapat
ditampung sedikit. ditampung lebih banyak.
d. Susunan vaksin menjadi mudah d. Penyusunan vaksin agak sulit
dan vaksin terlihat jelas dari karena vaksin bertumpuk dan
samping depan. tidak terlihat dari samping
depan.
(Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes RI, 2009).
Alat pembawa vaksin
Cold box adalah suatu alat untuk menyimpan sementara dan membawa vaksin. Pada
umumnya memiliki volume kotor 40 liter dan 70 liter. Kotak dingin (cold box) ada dua macam :
Alat ini terbuat dari plastik/kardus dengan insulasi poliuretan.
Vaccine carrier/thermos adalah alat untuk mengirim/membawa vaksin dari puskesmas ke
posyandu atau tempat pelayanan imunisasi lainnya yang dapat mempertahankan suhu +2C s.d.
+8C.
b. Mingguan
Bersihkan bagian luar lemari es/freezer untuk menghindari karat (korosif);
Periksa kontak listrik pada stop kontak, upayakan jangan kendor.
c. Bulanan
Bersihkan bagian luar dan dalam lemari es/freezer;
Bersihkan karet seal pintu dan periksa kerapatannya dengan selembar kertas. Bila perlu beri bedak
atau talk;
Periksa engsel pintu lemari es, bila perlu beri pelumas;
Pada lemari es perhatikan timbulnya bunga es pada dinding yang telah dilapisi oleh lempeng
aluminium atau acrylic atau multiplex, bila pada bagian dinding telah timbul bunga es segera
lakukan pencairan;
Pada freezer perhatikan tebal bunga es pada dinding evaporator, bila ketebalan sudah
mencapai 2-3 cm lakukan pencairan bunga es (de-frost).
Pada Freezer
Pindahkan vaksin ke dalam kotak vaksin atau freezer yang lain;
Cabut kontak listrik freezer yang menempel pada stop kontak (Jangan mematikan freezer dengan
memutar termostat);
Selama pencairan bunga es pintu freezer harus terbuka;
Biarkan posisi tersebut selama 24 jam;
Setelah 24 jam bersihkan embun/air yang menempel pada dinding bagian dalam freezer;
Hidupkan kembali freezer dengan memasukkan kontak listrik pada stop kontak, tunggu
sampai suhu mencapai -15C atau sampai suhu freezer kembali stabil (Ditjen Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan Depkes RI, 2009 : 30).
Catatan :
Pergunakan satu stop kontak listrik untuk satu freezer.
Pergunakan satu stop kontak listrik untuk satu lemari es.
B. Kerangka Teori
Pengelolaan Vaksin
- Perencanaan
- Pengadaan
- Pendistribusian dan Penyimpanan
Cold Chain (Rantai Dingin)/Rantai Distribusi Vaksin
- Penggunaan
- Pencatatan dan Pelaporan
- Monitoring dan Evaluasi
C. Kerangka Konsep
Pola distribusi vaksin
Rantai distribusi vaksin/Cold Chain
D. Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Alat Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur Skor Penilaian Ukur
1. Pola Cara yang Checklist Observasi Ya = 1 Baik atau Ordinal
distribusi digunakan oleh Tidak = Tidak Baik
vaksin Dinas Kesehatan 0 berdasarkan
provinsi dalam Pedoman
mendistribusikan Pengelolaan
vaksin ke Dinas Vaksin yang
Kabupaten/ Kota dikeluarkan
untuk oleh Ditjen
mempertahankan Bina
Potensi Kefarmasian
(Kualitas) & Alat
Vaksin sehingga Kesehatan
vaksin tidak Depkes RI
rusak dan tahun 2009
ketersediaan nya
di Dinas
Kabupaten/ Kota
terjaga dengan
baik.
2. Penyimpanan Cara yang Cheklist Observasi Ya = 1 Baik atau Ordinal
vaksin digunakan oleh Tidak = Tidal Baik
Dinas Kesehatan 0 berdasarkan
provinsi dan Pedoman
Dinas Kesehatan Pengelolaan
kabupaten/ kota Vaksin yang
dalam dikeluarkan
menyimpan oleh Ditjen
vaksin untuk Bina
mempertahankan Kefarmasian
Potensi & Alat
(Kualitas) Kesehatan
Vaksin sehingga Depkes RI
vaksin tidak tahun 2009
rusak.
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan metode penelitian
observasional yang digunakan untuk memberikan gambaran tentang suatu keadaan secara objektif
dan bertujuan untuk menjelaskan karakteristik variable penelitian. Objek yang dituju adalah Dinas
Kesehatan Provinsi Lampung, dan Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung.
B. Subjek Penelitan
Subyek penelitian ini adalah Pola Distribusi Vaksin dari Dinas Kesehatan Provinsi
Lampung ke Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung dengan objek penelitiannya adalah pola
distribusi dan penyimpanan vaksin.
C. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Tempat penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Dinas Kesehatan Provinsi Lampung dan Dinas
Kesehatan Kota Bandar Lampung.
2. Waktu Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Maret 2013 s.d. Juni 2013.
D. Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dengan cara melakukan wawancara dan observasi (checklist), dengan
data yang dihasilkan dapat berupa data primer serta didukung dengan data sekunder yang
didapatkan selama penelitian. Objek yang dituju adalah Kepala Gudang Pengelolaan Vaksin Dinas
Kesehatan Provinsi Lampung dan Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung.
E. Pengolahan Data
Untuk mendapatkan data yang baik, maka selanjutnya data diolah dengan cara :
1. Editing/Checking
Hasil wawancara dan observasi yang diperoleh selanjutnya disunting (edit) terlebih dahulu.
Apabila lembar checklist/observasi pengisiannya tidak lengkap, maka checklist/observasi tersebut
dilakukan ulang atau dikeluarkan (droup out).
2. Pengolahan
Dari hasil editing/checking di atas, kemudian data primer yang didapatkan dari observasi
nantinya dikumpulkan dalam tabel dan disimpulkan. Pengolahan data checklist yang dihasilkan
dari wawancara nantinya diberikan sistem penilaian, yaitu untuk jawaban Ya diberikan score 1,
dan untuk jawaban Tidak diberikan score 0.
Rumus :
Nilai % =
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Data yang di dapat dalam penelitian dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 3. Hasil Penilaian Checklist Dinas Kesehatan Provinsi Lampung
Kuesioner Tingkat
No. Variabel Penelitian
(%) Kualitas
Kuesioner Tingkat
No. Variabel Penelitian
(%) Kualitas
1. Distribusi 80 % Baik
2. Penyimpanan 84,21 % Baik
B. Pembahasan
1. Distribusi
Berdasarkan data pada tabel 3 di atas, dapat dilihat bahwa pendistribusian vaksin di
Dinas Kesehatan Provinsi Lampung kualitasnya adalah Baik dengan presentase penilaian 100%
yang artinya pendistribusian vaksin di Dinas Kesehatan Provinsi Lampung sudah sesuai dengan
Pedoman Pengelolaan Vaksin yang Dikeluarkan Oleh Ditjen Bina Kefarmasian & Alat Kesehatan
Depkes RI tahun 2009. Sementara itu, dari data pada tabel 4, dapat lihat bahwa pendistribusian
vaksin di Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung kualitasnya adalah Tidak Baik karena
presentase penilaian yang di dapatkan hanya 80% yang artinya pendistribusian vaksin di Dinas
Kesehatan Kota Bandar Lampung tidak sesuai dengan Pedoman Pengelolaan Vaksin yang
Dikeluarkan Oleh Ditjen Bina Kefarmasian & Alata Kesehatan Depkes RI tahun 2009.
2. Penyimpanan
Berdasarkan data pada tabel 3 di atas, dapat dilihat bahwa penyimpanan vaksin di
Dinas Kesehatan Provinsi Lampung kualitasnya adalah Baik dengan presentase penilaian 100%
yang artinya penyimpanan vaksin di Dinas Kesehatan Provinsi Lampung sudah sesuai dengan
Pedoman Pengelolaan Vaksin yang Dikeluarkan Oleh Ditjen Bina Kefarmasian & Alat Kesehatan
Depkes RI tahun 2009. Sementara itu, dari data pada tabel 4, dapat lihat bahwa penyimpanan
vaksin di Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung kualitasnya adalah Tidak Baik karena
presentase penilaian yang di dapatkan hanya 84,21% yang artinya penyimpanan vaksin di Dinas
Kesehatan Kota Bandar Lampung tidak sesuai dengan Pedoman Pengelolaan Vaksin yang
Dikeluarkan Oleh Ditjen Bina Kefarmasian & Alata Kesehatan Depkes RI tahun 2009.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Pendistribusian vaksin di Dinas Kesehatan Provinsi Lampung kualitasnya adalah BAIK dengan
presentase penilaian 100 % yang artinya pendistribusian vaksin di Dinas Kesehatan Provinsi
Lampung sudah sesuai dengan Pedoman Pengelolaan Vaksin yang Dikeluarkan Oleh Ditjen Bina
Kefarmasian & Alata Kesehatan Depkes RI tahun 2009. Sedangkan pendistribusian vaksin di
Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung kualitasnya adalah Tidak Baik karena presentase
penilaian yang diperoleh hanya 80% yang artinya pendistribusian vaksin di Dinas Kesehatan Kota
Bandar Lampung tidak sesuai dengan Pedoman Pengelolaan Vaksin yang Dikeluarkan Oleh Ditjen
Bina Kefarmasian & Alata Kesehatan Depkes RI tahun 2009.
2. Penyimpanan vaksin di Dinas Kesehatan Provinsi Lampung kualitasnya adalah BAIK dengan
presentase penilaian 100 % yang artinya penyimpanan vaksin di Dinas Kesehatan Provinsi
Lampung sudah sesuai dengan Pedoman Pengelolaan Vaksin yang Dikeluarkan Oleh Ditjen Bina
Kefarmasian & Alata Kesehatan Depkes RI tahun 2009.
Sedangkan penyimpanan vaksin di Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung kualitasnya adalah
Tidak Baik karena presentase penilaian yang diperoleh hanya 84,21% yang artinya
penyimpanan vaksin di Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung tidak sesuai dengan Pedoman
Pengelolaan Vaksin yang Dikeluarkan Oleh Ditjen Bina Kefarmasian & Alata Kesehatan Depkes
RI tahun 2009.
3. Pola distribusi vaksin di Dinas Kesehatan Provinsi Lampung kualitasnya adalah BAIK dengan
rata - rata presentase penilaian 100 % yang artinya pola distribusi vaksin di Dinas Kesehatan
Provinsi Lampung sudah sesuai dengan Pedoman Pengelolaan Vaksin yang Dikeluarkan Oleh
Ditjen Bina Kefarmasian & Alata Kesehatan Depkes RI tahun 2009. Sedangkan pola distribusi
vaksin di Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung kualitasnya adalah Tidak Baik karena rata -
rata presentase penilaian yang diperoleh hanya 82,11% yang artinya pola distribusi vaksin di Dinas
Kesehatan Kota Bandar Lampung tidak sesuai dengan Pedoman Pengelolaan Vaksin yang
Dikeluarkan Oleh Ditjen Bina Kefarmasian & Alata Kesehatan Depkes RI tahun 2009.
B. Saran
1. Pola distribusi vaksin di Dinas Kesehatan Provinsi Lampung sudah baik dan sudah sesuai dengan
Pedoman Pengelolaan Vaksin yang dikeluarkan oleh Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Depkes RI. Namun, perlu adanya pengawasan yang lebih ketat lagi agar dapat mempertahankan
kondisi vaksin tersebut.
2. Pola distribusi vaksin di Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung baik dari segi pendistribusian
maupun penyimpanan kualitasnya Tidak Baik, sehingga perlu adanya upaya serius untuk lebih
meningkatkan lagi kualitas vaksin yang tersedia di Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung baik
dari segi pendistribusian maupun dari segi penyimpanan vaksin. Peningkatan kualitas
pendistribusian dapat dilakukan khususnya pada pendistribusian vaksin dalam jumlah kecil
dimana bila vaksin sensitif beku dicampur dengan sensitif panas sebaiknya digunakan cold
box yang berisi kotak dingin cair (cool pack). Sedangkan peningkatan kualitas vaksin dari segi
penyimpanan dapat dilakukan dengan menyimpan vaksin polio di freezer pada suhu -15C s.d. -
25C, menyimpan pelarut dan dropper (pipet) pada suhu kamar dan terlindung dari sinar matahari
langsung, dan tidak menyusun vaksin terlalu rapat dalam lemari es/freezer agar ada sirkulasi udara
dan menyusun vaksin berdasarkan prinsip FEFO.
3. Perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut tentang pola distribusi vaksin yaitu pola distribusi
vaksin di puskesmas. Hal ini karena ketidak sesuaian pendistribusian maupun penyimpanan vaksin
biasanya lebih banyak terjadi di puskesmas. Peneliti sendiri tidak melakukan penelitian di
puskesmas karena tidak adanya izin dari Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung untuk melakukan
penelitian di puskesmas karena sedang ada masalah internal di lingkup Dinas Kesehatan Kota
Bandar Lampung yang membuat pelayanan terhadap masyarakat menjadi terhambat. Oleh karena
itu, peneliti sangat mengharapkan ada yang melanjutkan penelitian ini khususnya untuk pola
distribusi vaksin di puskesmas dan juga pola distribusi vaksin di lingkup swasta. Selain itu perlu
juga dilakukan penelitian tentang obat - obat lainnya yang mungkin pada pola distribusinya juga
memerlukan cold chain (rantai dingin).
http://asrorysaiful.blogspot.co.id/2013/10/karya-tulis-ilmiah.html