Anda di halaman 1dari 42

UNIVERSITAS INDONESIA

Hubungan HIF-1α dengan Anemia pada


Pasien Luka Kaki Diabetes

PROPOSAL PENELITIAN TESIS

dr Sessy Arie M, M.Biomed, SpB


1906451880

Pembimbing
dr. Patrianef, SpB(K)V

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM STUDI SUBSPESIALIS ILMU BEDAH
BEDAH VASKULAR DAN ENDOVASKULAR
JAKARTA
2021

Universitas Indonesia
DAFTAR ISI

BAB I............................................................................................................................1
1.1 Latar belakang................................................................................................1
1.2 Rumusan masalah...........................................................................................2
1.3 Pertanyaan penelitian.....................................................................................3
1.4 Hipotesis.........................................................................................................3
1.5 Tujuan penelitian............................................................................................3
1.6 Manfaat penelitian..........................................................................................3
BAB II..........................................................................................................................5
2.1 Luka kaki diabetes..........................................................................................5
2.2 Anemia.........................................................................................................11
2.3 Hypoxia-inducible factor-1α (HIF-1α).........................................................14
2.4 Hubungan HIF-1α dan anemia pada luka kaki diabetes...............................18
2.5 Kerangka teori..............................................................................................20
2.6 Kerangka konsep..........................................................................................21
BAB III.......................................................................................................................22
3.1 Desain penelitian..........................................................................................22
3.2 Tempat dan waktu penelitian.......................................................................22
3.3 Populasi dan sampel.....................................................................................22
3.4 Variabel........................................................................................................28
3.5 Definisi operasional......................................................................................28
3.6 Dummy table................................................................................................29
3.7 Rencana pengolahan dan analisis data.........................................................29
3.8 Pelaporan data..............................................................................................30
3.9 Jadwal penelitian..........................................................................................30
3.10 Alur kerja......................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................32

ii

Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Berdasarkan data International Diabetes Federation (IDF) menyebutkan sedikitnya
terdapat 463 juta orang berusia 20—79 tahun yang mengalami diabetes melitus (DM) di
seluruh dunia pada tahun 2019 dengan prevalensi mencapai 9,3% dari seluruh total
penduduk. Di Asia Tenggara, prevalensi DM mencapai 11,3% dan menempati peringkat
ke-3, setelah wilayah Arab-Afrika Utara dan Pasifik Barat. Tingginya angka prevalensi
Asia Tenggara disumbangkan oleh jumlah penderita DM di Indonesia yang mencapai
10,7 juta. Indonesia menempati peringkat ke-7 di antara 10 negara dengan jumlah
penderita DM terbanyak.1 Tingginya jumlah penderita DM berkontribusi terhadap
semakin meningkatnya jumlah penderita yang mengalami komplikasi berupa luka kaki
diabetes. Insidensi luka kaki diabetes di seluruh dunia mencapai 9,1 hingga 26,1 juta
pasien setiap tahunnya.2 Sedangkan prevalensi luka kaki diabetes di seluruh dunia
adalah 6,3% dan di Asia sebanyak 5,5%.3,4 Sebanyak 15-34% pasien DM dapat
mengalami luka kaki diabetes.2,5
Luka kaki diabetes merupakan komplikasi paling sering yang dialami oleh pasien DM
tidak terkontrol. Komplikasi tersebut muncul akibat kontrol gula darah yang buruk,
keadaan neuropati perifer, penyakit arteri perifer atau peripheral arterial disease
(PAD), dan perawatan kaki yang buruk. Luka kaki diabetes dapat memperparah
keadaan pasien hingga terjadi osteomielitis dan amputasi tungkai. Di Amerika Serikat,
sekitar 5% pasien DM memiliki luka kaki diabetes dan sekitar 1% pasien luka kaki
diabetes mengalami amputasi. Bahkan, diabetes menjadi penyebab amputasi
nontraumatik paling sering pada tungkai. Luka kaki diabetes juga menjadi penyebab
rawat inap terbanyak dibandingkan komplikasi DM lainnya. 6 Di RSCM, jumlah
amputasi pada pasien luka kaki diabetes sepanjang 2008—2012 mencapai 128 pasien. 7
Pada penelitian Simbolon dkk, terdapat 105 pasien luka kaki diabetes di RSCM
sepanjang 2016—2018. Sebanyak 1 pasien dilakukan penjahitan aproksimasi, 31 pasien
dilakukan split thickness skin graft (STSG), 5 pasien amputasi, 5 pasien meninggal
dunia, 5 pasien menolak tindakan medis, dan 58 pasien dilakukan rawat jalan. 8
Penelitian kohort di Inggris menunjukkan bahwa mortalitas luka kaki diabetes mencapai

Universitas Indonesia
5% dalam 12 bulan pertama, dan meningkat menjadi 42% dalam 5 tahun. Pasien luka
kaki diabetes juga memiliki risiko kematian 2,5 kali lebih tinggi dibandingkan pasien
DM tanpa luka kaki diabetes.9 Sehingga pasien luka kaki diabetes memiliki lebih
banyak morbiditas, kualitas hidup yang lebih rendah, masalah psikososial, hingga
tingginya ketergantungan pada tenaga kesehatan.10,11
Penelitian Icer dkk, pada 2017 menemukan bahwa anemia berpengaruh terhadap
kejadian amputasi pada pasien luka kaki diabetes.12 Sebuah studi tinjauan sistematis dan
meta analisis menyimpulkan bahwa terdapat asosiasi yang jelas antara munculnya
anemia dengan luka kaki diabetes, derajat keparahan anemia juga beruhubungan dengan
derajat keparahan luka kaki diabetes, serta anemia dapat menjadi prediktor amputasi dan
mortalitas.13,14 Proporsi reamputasi pada pasien luka kaki diabetes di RSCM sepanjang
2008—2012 mencapai 58,7%. Tingginya proporsi reamputasi ditemukan pada pasien
dengan karakteristik anemia, yaitu sebanyak 46 pasien (97,8%).7 Anemia pada pasien
luka kaki diabetes berdampak pada transpor oksigen yang berkurang ke jaringan dan
terjadi hipoksia. Sehingga menyebabkan gangguan proses penyembuhan luka dan
kontrol infeksi yang buruk.14,15
Keadaan hipoksia kronik dapat mengganggu proses penyembuhan luka. Akan tetapi,
hipoksia akut justru dibutuhkan untuk merangsang penyembuhan luka dengan cara
dimediasi oleh faktor transkripsi homeostasis oksigen, yaitu hypoxia-inducible factor-1
(HIF-1).16 Salah satu bentuk heterodimernya, adalah HIF-1α yang bermanfaat dalam
proses angiogenesis, perubahan metabolisme, proliferasi, migrasi, dan kelangsungan
hidup sel. Sayangnya, pada pasien DM terjadi keadaan hiperglikemia yang
menyebabkan degradasi HIF-1α dan menurunkan fungsi kerjanya.17 Keadaan ini akan
menghambat proses penyembuhan luka kaki diabetes (menghambat granulasi,
vaskularisasi, regenerasi epidermal, dan rekrutmen prekursor endotel). 18 Kegagalan
proses penyembuhan luka diabetes akan berujung pada amputasi tungkai. Oleh karena
itu, status anemia dan gangguan ekspresi HIF-1α sama-sama menjadi prediktor
amputasi tungkai. Namun, hingga kini belum ada studi yang menjelaskan hubungan
antara keduanya.
Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara ekspresi
HIF-1α dengan anemia pada pasien luka kaki diabetes di RSCM.

Universitas Indonesia
1.2 Rumusan masalah
Anemia pada pasien luka kaki diabetes diketahui dapat meningkatkan mortalitas,
morbiditas, lama rawat, dan kejadian amputasi tungkai. Ekspresi HIF-1α pada pasien
DM dengan luka kaki diabetes diketahui dapat terganggu akibat keadaan hiperglikemia
sehingga menghambat proses penyembuhan luka yang berujung amputasi tungkai.
Anemia dan HIF-1α sama-sama menjadi faktor prediktor terjadinya amputasi tungkai,
tetapi belum ada penelitian yang membahas hubungan antara keduanya.

1.3 Pertanyaan penelitian


Apakah terdapat hubungan antara ekspresi HIF-1α dan anemia pada pasien luka kaki
diabetes di RSCM?

1.4 Hipotesis
Terdapat hubungan antara ekspresi HIF-1α dan anemia pada pasien luka kaki diabetes
di RSCM.

1.5 Tujuan penelitian


1.5.1 Tujuan umum
Diketahui hubungan antara ekspresi HIF-1α dan anemia pada pasien luka kaki diabetes
di RSCM.

1.5.2 Tujuan khusus


 Diperoleh data karakteristik pasien luka kaki diabetes yang mengalami anemia
di RSCM.
 Diperoleh data analisis hubungan antara nilai HIF-1α dan anemia pada pasien
luka kaki diabetes di RSCM.

1.6 Manfaat penelitian


1.6.1 Manfaat untuk bidang keilmuan
Memberikan gambaran hubungan antara HIF-1α dan anemia yang terjadi pada
pasien luka kaki diabetes sehingga dapat dilakukan tindakan untuk mengatasi

Universitas Indonesia
anemia agar dapat menurunkan risiko amputasi tungkai dan mortalitas pada
pasien, serta meningkatkan proses penyembuhan luka.

1.6.2 Manfaat untuk pelayanan kesehatan


 Penyelenggara pelayanan
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan pemeriksaan
kadar hemoglobin dan ekspresi HIF-1α pada pasien dengan luka kaki diabetes.
 Dokter
Hasil penelitian dapat menjadi acuan bagi spesialis bedah vaskular untuk
mempertimbangkan anemia dan HIF-1α sebagai faktor yang dapat meningkatkan
risiko amputasi dan mortalitas.

1.6.3 Manfaat untuk pasien


 Pasien yang menjadi subjek penelitian tidak mendapatkan manfaat langsung dari
penelitian ini.
 Pasien yang akan datang dapat mengetahui risiko amputasi dan mortalitas
berdasarkan kadar hemoglobin dan HIF-1α.

Universitas Indonesia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Luka kaki diabetes


2.1.1 Definisi dan epidemiologi
Luka kaki diabetes merupakan komplikasi paling sering yang dialami oleh pasien DM
tidak terkontrol. Komplikasi tersebut muncul akibat kontrol gula darah yang buruk,
keadaan neuropati perifer, penyakit arteri perifer atau peripheral arterial disease
(PAD), dan perawatan kaki yang buruk. Diperkirakan 15-34% pasien DM berisiko
mengalami luka kaki diabetes dalam hidupnya.2,5,19 Pasien yang menderita DM dan
neuropati tanpa adanya komorbid lain dapat mengalami luka kaki diabetes 7—10%
kasus dalam setahun. Prevalensi ini meningkat menjadi 25—30% pada pasien dengan
faktor risiko tambahan seperti PAD, deformitas kaki, riwayat luka kaki diabetes
sebelumnya, atau amputasi sebelumnya.20 Insidensi luka kaki diabetes di seluruh dunia
mencapai 9,1 hingga 26,1 juta pasien setiap tahunnya.2 Sedangkan prevalensi luka kaki
diabetes di seluruh dunia adalah 6,3%, di Amerika Serikat adalah 15%, dan di Asia
sebanyak 5,5%.3,4,21
Luka kaki diabetes dapat memperparah keadaan pasien hingga terjadi osteomielitis dan
amputasi tungkai sehingga termasuk dalam keadaan serius dan dapat mengancam jiwa.
Di Amerika Serikat, sekitar 5% pasien DM memiliki luka kaki diabetes dan sekitar 1%
pasien luka kaki diabetes mengalami amputasi. Bahkan, diabetes menjadi penyebab
amputasi nontraumatik paling sering pada tungkai. Luka kaki diabetes juga menjadi
penyebab rawat inap terbanyak dibandingkan komplikasi DM lainnya. 6 Di RSCM,
jumlah amputasi pada pasien luka kaki diabetes sepanjang 2008—2012 mencapai 128
pasien.7 Amputasi mayor pasien luka kaki diabetes dalam setahun terjadi pada 5—8%
pasien. Dari seluruh amputasi, sebanyak 85% terjadi akibat infeksi parah atau gangren
pada luka kaki diabetes. DM meningkatkan risiko amputasi 8 kali lipat pada pasien usia
>45 tahun, 12 kali lipat pada pasien usia >65 tahun, dan 23 kali lipat pada pasien usia 65
—74 tahun.20 Pada penelitian Simbolon dkk, terdapat 105 pasien luka kaki diabetes di
RSCM sepanjang 2016—2018. Sebanyak 1 pasien dilakukan penjahitan aproksimasi, 31
pasien dilakukan split thickness skin graft (STSG), 5 pasien amputasi, 5 pasien

Universitas Indonesia
meninggal dunia, 5 pasien menolak tindakan medis, dan 58 pasien dilakukan rawat
jalan.8
Penelitian kohort di Inggris menunjukkan bahwa mortalitas luka kaki diabetes mencapai
5% dalam 12 bulan pertama, dan meningkat menjadi 42% dalam 5 tahun. Pasien luka
kaki diabetes juga memiliki risiko kematian 2,5 kali lebih tinggi dibandingkan pasien
DM tanpa luka kaki diabetes.9 Sehingga pasien luka kaki diabetes memiliki lebih
banyak morbiditas, kualitas hidup yang lebih rendah, masalah psikososial, hingga
tingginya ketergantungan pada tenaga kesehatan.10,11

2.1.2 Patofisiologi
Iskemia, neuropati, dan infeksi merupakan tiga komponen patofisiologi yang menjadi
penyebab terjadinya luka kaki diabetes sehingga sering disebut sebagai trias etiologis
yang dapat dilihat pada gambar 2.1 Neuropati dan iskemia menjadi faktor pencetus luka
kaki diabetes. Kombinasi iskemia dan neuropati menghasilkan efek neuroiskemia.
Keadaan ini meyebabkan disfungsi makrovaskular dan mikrovaskular.20
Pasien DM yang mengalami neuropati sensorik akan kehilangan sensasi pada kakinya,
sehingga rentan mengalami cedera minor yang disebabkan oleh tekanan berlebih, cedera
mekanis, maupun cedera panas. Neuropati motorik secara bertahap juga akan mengubah
biomekanik hingga anatomi kaki. Sehingga akan timbul deformitas kaki, mobilitas
sendi terganggu, dan perubahan distribusi beban pada kaki. Itulah mengapa tata laksana
luka kaki diabetes adalah membatasi beban dan tumpuan, terlepas ada tidaknya keadaan
iskemia. Neuropati otonom perifer atau autosimpatektomi akan membuat keringat
berkurang, mengubah regulasi aliran darah melalui pembukaan arteriovenous shunts
dan malfungsi sfingter prekapiler. Selanjutnya terjadi penurunan aliran darah kaya
nutrisi yang ditandai dengan kulit hangat, kering, dan mudah pecah.20
Luka kaki diabetes rentan mengalami infeksi. Infeksi menjadi komponen patofisiologi
(diantara trias etiologis) yang muncul setelah luka kaki diabetes terbentuk. Infeksi
jarang sekali menjadi penyebab luka kaki diabetes. Justru infeksi yang menjadi faktor
risiko amputasi pada luka kaki diabetes. Risiko tersebut akan meningkat jika terjadi
iskemia atau PAD. Infeksi dapat berkembang menjadi osteomielitis, atau infeksi
jaringan lunak yang menyebar sepanjang tendon pada kaki yang sakit.20

Universitas Indonesia
Gambar 2.1 Jaras patofisiologi luka kaki diabetes.20

2.1.3 Klasifikasi
Terdapat 19 klasifikasi luka kaki diabetes, yaitu Curative Health Services (CHS);
Depth, extent of bacterial colonization, phase of healing, and associated aetiology
(DEPA); Diabetic Foot Risk Assessment (DIAFORA); Diabetic Ulcer Severity Score
(DUSS); Eurodiale; Infectious Diseases Society of America/International Working
Group on Diabetic Foot (IDSA/IWGDF); Lipsky et al; Margolis et al; Meggit-Wagner;
Perfusion, extent, depth, infection, and sensation (PEDIS); Pickwell et al; Size (area,
depth), sepsis, arteriopathy, and denervation (S[AD]SAD); Saint Elian Wound Score
System; Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN); Site, ischaemia,
neuropathy, bacterial infection, area, and depth (SINBAD); Tardivo algorithm;
University of Texas; Van Acker-Peter; dan Wound depth, ischaemia, and foot infection
(WIfI).22
Setiap klasifikasi memiliki tujuan berbeda yang dibagi dalam 3 hal, yaitu tujuan
penelitian, tujuan praktik klinis, dan tujuan audit. Klasifikasi untuk penelitian dapat
menggunakan PEDIS. Klasifikasi untuk praktik klinis dapat menggunakan SINBAD,

Universitas Indonesia
UT, IDSA, dan WIFI. Sedangkan klasifikasi untuk audit dapat menggunakan
SINBAD.23

Universitas Indonesia
Tabel 2.1. Klasifikasi Meggit-Wagner.22
Derajat Lesi
0 Tidak ada lesi terbuka
1 Luka superfisial
2 Luka dalam penetrasi ke tendon atau kapsul sendi
3 Luka dalam dengan abses, osteomielitis, dan sepsis sendi
4 Gangren lokal – punggung kaki atau tumit
5 Gangren pada seluruh kaki, melibatkan > 2/3 kaki

Klasifikasi Meggit-Wagner merupakan klasifikasi yang paling banyak digunakan


berdasarkan perhitungan historis. Klasifikasi ini memiliki enam derajat yang dinilai
berdasarkan kedalaman luka dan viabilitas jaringan. Sayangnya aspek persepsi sensorik,
infeksi, dan iskemia tidak dapat dinilai secara adekuat dengan klasifikasi ini. Klasifikasi
Meggit-Wagner dapat dilihat pada tabel 2.1.22
Klasifikasi PEDIS dirancang oleh IWDGF tahun 2003, dan diperbarui tahun 2007.
Klasifikasi ini digunakan untuk keperluan penelitian klinis. Sehingga tidak dapat
digunakan untuk menilai jenis luka kaki diabetes. Oleh karena itu, dikembangkan
klasifikasi IDSA/IWDGF yang terdiri dari 4 derajat (tabel 2.2).22

Tabel 2.2. Klasifikasi IDSA/IWDGF.22

Derajat Kriteria Klinis


1 Tidak ada gejala sistemik atau lokal infeksi
2 Minimal 2 gejala berikut:
a) Edema lokal atau indurasi
b) Eritema > 0,5 cm di sekitar luka
c) Nyeri tekan lokal
d) Discharge purulen
Infeksi sebatas kulit/subkutan; eritema < 2 cm; tidak ada gejala sistemik
infeksi
3 Infeksi melebihi kulit dan subkutan (tulang, sendi, tendon, atau otot);
eritema > 2 cm; tidak ada gejala sistemik infeksi
4 Ada gejala Systemic Inflammatory Response Syndrome
(SIRS), minimal 2 dari:
a) Suhu > 38 oC atau < 36 oC
b) Denyut jantung > 90 kali/menit
c) Laju napas > 20 kali/menit atau PaCO2 < 32 mmHg
d) Hitung leukosit > 12.000 atau > 10 % batang

Universitas Indonesia
Klasifikasi WIfI terdiri dari 3 komponen, yaitu wound depth (W), derajat iskemia (I)
yang diukur menggunakan ankle brachial pulse index, transcutaneous oxygen tension,
dan toe systolic pressure. Serta adanya infeksi pada kaki (fI). Derajat infeksi dinilai
berdasarkan kriteria IDSA/IWDGF. Setiap komponen dari tiga komponen tersebut
diberi rentang skor 0 hingga 3. Klasifikasi ini merupakan sistem klasifikasi derajat
threatened-limb yang diusulkan pada 2014. Berfokus pada stratifikasi 1-year risk dari
amputasi mayor dan berguna untuk memprediksi kemungkinan kebutuhan
revaskularisasi pada penyembuhan luka dan limb salvage. Tujuan dibuatnya klasifikasi
ini aagr deskripsi tungkai menjadi lebih akurat dan presisi pada pasien dengan
karakteristik yang mirip. Klasifikasi ini pada akhirnya berhasil menunjukkan
kemampuan untuk memprediksi luaran pasien luka kaki diabetes, meliputi kemampuan
penyembuhan, lama penyembuhan, kejadian amputasi tungkai, lower extremities
amputation-free survival, kebutuhan revaskularisasi, penentuan biaya hidup dan status,
serta mortalitas. Deskripsi klasifikasi ini terdapat pada tabel 2.3.22
Tabel 2.3. Klasifikasi WIfI.22

10

Universitas Indonesia
2.1.4 Diagnosis
Diagnosis dimulai dari anamnesis yaitu adanya penyakit DM dan pengobatan yang
sedang dijalani, faktor risiko kardiovaskular, aktivitas dan hobi, gaya hidup, merokok,
konsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang, serta komplikasi terkait DM. Komplikasi
tersebut meliputi nefropati, retinopati, dan neuropati. Ditandai dengan adanya gangguan
penglihatan, terdapat terapi pengganti ginjal / renal replacement therapy (RRT), riwayat
edukasi kaki sebelumnya, dan akses yang buruk ke fasilitas kesehatan. Selain itu, perlu
digali faktor risiko terjadinya luka kaki diabetes dan durasi terjadinya luka.20
Selanjutnya adalah pemeriksaan fisik yang dimulai dari inspeksi kaki. Inspeksi
dikerjakan untuk melihat tampilan/karakteristik deformitas pada kaki ataupun
penonjolan tulang. Setelah itu dilakukan palpasi denyut nadi untuk menilai gangguan
vaskular dan tanda-tanda iskemia. Meskipun terjadi gangguan perfusi, kaki yang
iskemia akan tampak berwarna merah muda dan relatif hangat karena terjadi
arteriovenous shunting. Keterlambatan perubahan warna (rubor) atau pengisian ulang
vena lebih dari 5 detik dapat mengindikasikan perfusi arteri yang buruk. Selain itu,
turut dilakukan pemeriksaan neurologis untuk menilai neuropati sensorik mengunakan
monofilamen 10-gram Semmes-Weinstein, garpu tala 128 Hz, tes diskriminasi, sensasi
taktil, dan refleks Achilles.20
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah radiologi meliputi x-ray, CT-scan,
MRI, dan bone scan. Pemeriksaan laboratorium hematologi juga dapat dikerjakan untuk
menilai laju endap darah (LED), hitung jenis leukosit, dan kadar C-reactive protein
(CRP). Pemeriksaan ini berguna untuk mengetahui kemungkinan terjadinya osteomieltis
ataupun infeksi jaringan lunak lainnya.20
Pemeriksaan khusus vaskular noninvasif yang dapat dikerjakan adalah pemeriksaan
ankle brachial index (ABI) untuk mendiagnosis PAD. Untuk memastikan terdapatnya
oklusi dapat digunakan pemeriksaan USG Doppler. Selain itu dapat dikerjakan
pemeriksaan toe pressure, dan transcutaneous oxygen pressure (TcPO2). Hasil
pengukuran ABI, ankle pressure, toe pressure, dan TcPO2 yang rendah menunjukkan
kemungkinan luka kaki diabetes yang tidak dapat disembuhkan. Jika dicurigai terdapat
kalsifikasi ekstensif pada arteri infrapopliteal maka sebaiknya dikerjakan computed
tomography angiography (CT angiografi).20

11

Universitas Indonesia
2.1.5 Tata laksana
Tujuan utama penatalaksanaan luka kaki diabetes adalah mengupayakan penutupan luka
atau penyembuhan luka sesegera mungkin. Beberapa upaya yang dapat dikerjakan yaitu
edukasi, kontrol gula darah, debridement luka, advanced dressing, offloading,
pembedahan, hingga terapi advanced.21
Edukasi yang efektif dapat mencegah luka kaki diabetes hingga 50%. Pasien diedukasi
tentang faktor risiko dan pentingnya merawat kaki, mulai dari rutin melakukan inspeksi,
memantau suhu kaki, menjaga kebersihan kaki sehari-hari, memakai alas kaki yang pas,
dan mengontrol gula darah.21
Kontrol gula darah merupakan faktor metabolik yang paling penting untuk dikerjakan
pada pasien dengan luka kaki diabetes. Meningkatnya kadar gula darah dihubungkan
dengan menurunnya respon inflamasi dan berkurangnya respons tubuh terhadap infeksi.
Pasien dengan gula darah >220 mg/dL berisiko mengalami infeksi 2,7 kali lebih tinggi
daripada pasien dengan gula darah lebih rendah. Selain itu, berkurangnya 1% HbA1C
dihubungkan juga dengan berkurangnya komplikasi mikrovaskular sebeser 25%.
Sedangkan bertambahnya 1% HbA1C berhubungan dengan meningkatnya risiko PAD
sebesar 25—28%.21
Debridement luka bertujuan menghilangkan jaringan nekrotik maupun benda asing dari
luka yang dikhawatirkan dapat menginfeksi luka. Debridement akan menurunkan
jumlah bakteri dan memacu produksi growth factor lokal. Prosedur ini juga bermanfaat
mengurangi tekanan, mengevaluasi dasar luka, dan memfasilitasi drainase luka.
Debridement diharapkan dapat membantu pentupan luka lebih cepat dan mengurangi
kemungkinan risiko amputasi tungkai. Beberapa jenis debridement yaitu pembedahan,
enzimatik, autolitik, mekanik, dan biologis. Diantara jenis-jenis tersebut, pembedahan
menjadi yang paling efektif dalam penyembuhan luka kaki diabetes. Semakin sering
debridement dikerjakan, maka luaran penyembuhan luka juga semakin baik.21
Offloading merupakan teknik untuk memodulasi tekanan dan merupakan komponen
penting dalam penatalaksanaan ulkus neuropatik pasien DM. Offloading yang tepat
diketahui dapat membantu penyembuhan luka kaki diabetes. Beberapa tekniknya yaitu
menggunakan sandal, sepatu, insoles, maupun kaos kaki yang dirancang dalam bentuk
cast. Beberapa jenis cast yaitu total contact cast (TCC), TCC instan, removable cast

12

Universitas Indonesia
walkers (RCW), dan achilles tendon lengthening (ATL). Jenis yang paling efektif
adalah TCC.21
Advanced dressing berperan menyeimbang kelembapan, menjaga permeabilitas
oksigen, dan mendorong proses debridement autolitik sehingga dapat memacu
pertumbuhan jaringan granulasi dan proses reepitelisasi. Pemilihan dressing ditentukan
berdasarkan penyebab luka kaki diabetes, lokasi, kedalaman, jumlah skar atau slough,
eksudat, kondisi tepi luka, infeksi dan nyeri, kebutuhan adhesi, dan kesesuai bentuk
dressing. Jenis-jenisnya meliputi films, hydrogels, hidrokoloid, alginat, foams, dan
dressing mengandung perak.21
Pembedahan memainkan peran penting dalam pencegahan dan penatalaksanaan luka
kaki diabetes. Pembedahan dikerjakan dengan tujuan memperbaiki deformitas pada
tungkai atau plantar. Dengan memperbaiki deformitas, maka dapat memperbaiki
tekanan pada plantar. Selain itu, pembedahan dapat juga dikerjakan untuk melakukan
bypass graft dari arteri femoralis ke arteri plantaris atau prosedur angioplasti perifer
dengan tujuan meningkatkan aliran darah pada kaki yang mengalami iskemia. Jika luka
kaki diabetes sudah mengalami pembentukan jaringan gangren, terjadi infeksi yang
berisiko menjadi sepsis, maka akan dikerjakan prosedur amputasi. Prosedur ini
berimplikasi terhadap kebutuhan membuat kaki atau bagian tungkai fungsional yang
kelak akan dihubungkan ke alas kaki maupun prosthesis pasca amputasi.21
Terapi advanced dapat berupa terapi oksigen hiperbarik, stimulasi elektrik, negative
pressure wound therapy (NPWT), bioengineered skin, dan penggunaan growth
factors.21

2.2 Anemia
2.2.1 Definisi dan klasifikasi
Anemia dideskripsikan sebagai pengurangan proporsi eritrosit dalam darah. Anemia
bukanlah diagnosis, melainkan gejala klinis dari suatu penyakit yang mendasari. Kadar
hemoglobin normal adalah 13,5—18,0 g/dL untuk laki-laki, 12,0—15,0 g/dL untuk
perempuan, dan 11,0—16,0 g/dL untuk anak-anak. Pada perempuan hamil, kadar
hemoglobin bergantung trimester usia kehamilan. Akan tetapi, secara umum kadarnya
lebih dari 10,0 g/dL.24

13

Universitas Indonesia
Anemia adalah keadaan kadar hemoglobin rendah. Berdasarkan World Health
Organization, batas anemia pada laki-laki adalah kadar Hb <13 g/dL dan pada
perempuan adalah <12 g/dL. Etiologi anemia dibagi menjadi hipoproliferatif ketika
hitung retikulosit <2% dan hiperproliferatif ketika hitung retikulosit >2%. Anemia
hipoproliferatif kemudia dapat dibagi berdasarkan ukuran eritrosis atau mean
corpuscular volume (MCV). Anemia diklasifikasikan berdasarkan ukuran eritrositnya
menjadi anemia mikrositik (MCV <80 fl), normositik (MCV 80-100 fl), atau makrositik
(MCV >100 fl).24–26

2.2.2 Anemia pada luka kaki diabetes


Anemia adalah komplikasi yang umum ditemukan pada pasien DM. Terutama pada
pasien DM dengan komplikasi nefropati dan penyakit jantung koroner. Prevalensi
anemia pada pasien DM bervariasi. Pada studi Alsayegh dkk, tahun 2017 di Kuwait,
prevalensi anemia pada pasien DM mencapai 28,5%. 27 Pada studi Thomas dkk, tahun
2006 di Australia, sebanyak 12,7% pasien mengalami anemia saat dilakukan
pemeriksaan awal. Selama 5-tahun pemantauan, jumlah pasien DM yang penurunan
kadar hemoglobin (Hb) sebanyak 12,5%. Anemia dihubungkan dengan gangguan ginjal
maupun penyakit jantung dalam bentuk sindrom kardio-renal. 28 Prevalensi anemia
dilaporkan meningkat pada penelitian pasien DM dengan gangguan ginjal kronik atau
chronic kidney disease (CKD).27
Etiologi anemia pada DM biasanya multifaktorial dan berkaitan dengan komplikasi
lainnya misalnya albuminuria, gagal ginjal, kadar testosteron yang rendah, dan kadar
eritropoetin endogen yang menurun.29 Pasien DM memiliki risiko anemia karena
penyakit kronik, defisiensi zat besi, anemia hemolitik akibat autoimun, maupun anemia
akibat obat-obatan.27
Pasien DM yang menderita luka kaki diabetes lebih berisiko mengalami anemia akibat
infeksi dan inflamasi kronik. Inflamasi dapat menyebabkan anemia karena kemampuan
sel inflamasi, yaitu makrofag, untuk membersihkan zat besi serum dan menyimpannya
dalam bentuk ferritin serum.30 Sehingga mencegah transpor besi menuju bone marrow.
Bukti adanya inflamasi maupun infeksi seringkali terlihat dari keadaan septikemia, hasil
kultur darah yang positif, dan peningkatan kadar C-reactive protein (CRP).31 Penyebab
anemia lainnya adalah keadaan anemia penyakit kronik, nefropati diabetik, dan

14

Universitas Indonesia
malnutrisi.27 Anemia penyakit kronik dapat terjadi dalam 3 cara, yaitu pertama terkait
kadar besi serum yang tidak mencukupi, kedua terkait reseptor Epo-Epo, dan ketiga
terkait prekursor eritroid. Eritropoietin (Epo) dapat meningkatkan survival dan
proliferasi sel prekursor eritroid dengan cara mengirimkan sinyal intraseluler untuk
mencegah terjadinya apoptosis. Pada anemia terkait inflamasi kronik, terjadi
peningkatan sitokin proinflamasi, terutama TNF-α, IL-1, dan IL-6 yang dapat
menurunkan kadar Hb dalam darah.32
Pada studi Gezawa dkk, tahun 2019 di Nigeria, prevalensi anemia pada pasien luka kaki
diabetes mencapai 53,6% (180 pasien).30 Insidensi anemia beragam, pada studi Chuan
dkk, mencapai 66,9% dari seluruh pasien luka kaki diabetes. Sedangkan pada studi lain
berada pada rentang 59,3% hingga 61,8%.33–35
Terdapat studi yang menyebutkan bahwa anemia berhubungan dengan PAD 30 dan
adapula yang menemukan bahwa anemia tidak berhubungan dengan PAD pada pasien
luka kaki diabetes.33 Anemia juga dapat dihubungkan dengan proses penyembuhan yang
buruk, risiko amputasi, dan peningkatan mortalitas pada pasien luka kaki diabetes.
Penyembuhan luka membutuhkan aliran darah yang adekuat untuk menyuplai
kebutuhan oksigen dan nutrisi dalam proses perbaikan jaringan. Permasalahan
terganggunya distribusi oksigen ditambah PAD dapat memicu terjadinya gangren yang
berujung amputasi tungkai.30 Beberapa penyebab anemia pada luka kaki diabetes dapat
dilihat pada gambar 2.2.35

15

Universitas Indonesia
Gambar 2.2 Mekanisme-mekanisme yang berkontribusi terhadap anemia pada luka kaki
diabetes.35

Anemia dihubungkan dengan luaran penyembuhan luka yang buruk pada luka kaki
diabetes. Anemia bersama dengan kontrol gula darah yang buruk menjadi faktor risiko
utama terjadinya luka kaki diabetes.36 Bahkan pada studi Yesil dkk,37 Yusof dkk,38 dan
Sun dkk,39 menemukan adanya hubungan antara kadar hemoglobin yang rendah
terhadap peningkatan risiko amputasi tungkai. Penelitian Icer dkk, pada 2017
menemukan bahwa anemia berpengaruh terhadap kejadian amputasi pada pasien luka
kaki diabetes.12 Sebuah studi tinjauan sistematis dan meta analisis menyimpulkan bahwa
terdapat asosiasi yang jelas antara munculnya anemia dengan luka kaki diabetes, derajat
keparahan anemia juga beruhubungan dengan derajat keparahan luka kaki diabetes,
serta anemia dapat menjadi prediktor amputasi dan mortalitas.13,14 Proporsi reamputasi
pada pasien luka kaki diabetes di RSCM sepanjang 2008—2012 mencapai 58,7%.
Tingginya proporsi reamputasi ditemukan pada pasien dengan karakteristik anemia,
yaitu sebanyak 46 pasien (97,8%).7 Pada penelitian Simbolon dkk, terdapat 105 pasien
luka kaki diabetes di RSCM sepanjang 2016—2018. Sebanyak 1 pasien dilakukan
penjahitan aproksimasi, 31 pasien dilakukan split thickness skin graft (STSG), 5 pasien
amputasi, 5 pasien meninggal dunia, 5 pasien menolak tindakan medis, dan 58 pasien
dilakukan rawat jalan.8 Anemia pada pasien luka kaki diabetes berdampak pada transpor
oksigen yang berkurang ke jaringan dan terjadi hipoksia. Sehingga menyebabkan
gangguan proses penyembuhan luka dan kontrol infeksi yang buruk.14,15
Namun, pada penelitian Wright dkk, tahun 2014 di Inggris, tidak berhasil membuktikan
bahwa anemia berhubungan dengan penyembuhan luka yang buruk pada 5 pasien
mereka. Anemia juga tidak berhubungan dengan risiko amputasi maupun peningkatan
mortalitas.35 Hasil serupa juga dilaporkan pada penelitian Ugwu dkk, tahun 2019 di
Nigeria, yang menunjukkan bahwa anemia tidak dapat dijadikan sebagai prediktor
amputasi tungkai pada populasi Nigeria. Temuan ini diduga karena pasien-pasien
anemia biasanya segera mendapat transfusi darah selama masa perawatan. Sehingga
berdampak pada proses penyembuhan luka kaki diabetes dan berkurangnya risiko
amputasi.40

16

Universitas Indonesia
2.3 Hypoxia-inducible factor-1α (HIF-1α)
2.3.1 Definisi
Hypoxia-inducible factor (HIF) adalah faktor transkripsi yang menjadi master regulator
respons seluler pada keadaan hipoksia. HIF akan mengoordinasikan proses transkripsi
untuk memastikan adapatasi fungsi, metabolisme, dan vaskular terhadap keaadaan
keterbatasan oksigen.41 Salah satu heterodimer HIF adalah HIF-1α yang diekspresikan
dan dapat dideteksi pada sistem imun bawaan maupun adaptif. Meliputi makrofag,
neutrofil, sel dendritik, dan limfosit.42
HIF-1α dijaga kestabilannya oleh iron-dependent enzymes prolylhydroxylases (PHD).
PHD bergantung dengan ketersediaan oksigen. Ketika oksigennya cukup, maka PHD
akan aktif dan menghidroksilasi HIF-1α. Lalu ditandai dan selanjutnya mengalami
proses degradasi proteasomal yang dimediasi oleh von Hippel-Lindau tumor suppressor
protein (VHL)-dependent ubiquitination. Selain PHD, terdapat factor inhibiting HIF
(FIH) yang fungsinya adalah menghambat HIF dengan cara menghidroksilasi residu
asparaginil di HIF-1α. Contoh asparaginil adalah asparagin 803. Akibatnya, terjadi
pemutusan interaksi protein antara HIF-1α transactivaction domain (CAD) dengan
koaktivator P300. Ikatan CAD dan koaktivator P300 membentuk kompleks
transkripsional yang efektif. Namun karena ikatan tersebut diputus, maka kompleksnya
tidak jadi terbentuk. Ketika konsentrasi oksigen tidak cukup, PHD dan FIH menjadi
inaktif, sehingga kadar HIF-1α akan terakumulasi.41,42
HIF-1α juga memiliki jaras persinyalan yang tidak bergantung pada ketersediaan
oksigen. Regulasi HIF-1α melibatkan heat shock protein (HSP) 90. HSP berperan
merespons stress selular, dan berfungsi sebagai protein chaperone yang memfasilitasi
konformasi, lokalisasi, dan fungsi diversitas protein. HSP90 dapat menghambat
degradasi HIF-1α di jaras oxygen-independent sehingga jumlah HIF-1α dapat
terakumulasi.43
Hubungan antara HIF-1α dengan hipoksia dan inflamasi dirangkum melalui gambar 2.3.
Keadaan hipoksia akan meningkatkan respon imun. Selain itu, hipoksia juga berperan
sebagai stimulus penanda inflamasi. Hipoksia akan menjaga kestabilan seluler HIF-1α
yang menghasilkan efek sinergis antara keadaan hipoksia dan inflamasi. Pada sel
myeloid seperti neutrofil dan monosit, aktivitas HIF-1α akan memberikan efek
proinflamasi yang bertujuan untuk melawan patogen. Sebaliknya, pada sel T, sel epitel

17

Universitas Indonesia
pulmonal, sel epitel interstisium, dan miosit, aktivitas HIF-1α justru memberikan efek
antiinflamasi. Efek antiinflamasi dihasilkan melalui jaras adenosis dengan cara
meningkatkan availabilitas progenitor adenosine triphosphate (ATP) dan adenosine
diphosphate (ADP). Selain itu, terjadi upregulasi converting enzyme CD39 dan CD73
untuk meningkatkan produksi adenosine, dan meningkatkan ekspresi reseptor adenosin
2A dan 2B (A2A dan A2B). Perlu diketahui bahwa proses upregulasi CD73 dan
reseptor adenosin bersifat HIF-1α dependent.42,43

Gambar 2.3. Hubungan antara HIF-1α dengan hipoksia dan inflamasi.43

2.3.2 HIF-1α pada penyembuhan luka kaki diabetes


Penyembuhan luka merupakan proses yang kompleks dan melibatkan banyak mediator,
mulai dari growth factors, sitokin, dan kemokin, serta komponen matriks ekstraseluler
dan berbagai komponen seluler lain. Proses penyembuhan luka dibagi dalam tiga
tahapan. Pada tahap awal, ditandai dengan homeostasis dan inflamasi. Tahap intermedia
ditandai dengan proliferasi fibroblast dan keratinosit, migrasi, angiogenesis, serta
deposisi matriks. Tahap akhir, ditandai dengan proses remodelling dan reepitelisasi.17,44
Terganggunya penyembuhan luka kaki diabetes ditandai dengan penurunan
angiogenesis, berkurangnya rekrutmen bone marrow-derived endothelial progenitor
cell (EPC), serta berkurangnya proliferasi fibroblast dan keratinosit. 45 Kini, berbagai
bukti ilmiah telah menunjukkan bahwa terdapat faktor yang mendasari melambatnya

18

Universitas Indonesia
penyembuhan luka kaki diabetes, yaitu meningkatnya keadaan hipoksia dan
terganggunya respon seluler terhadap keadaan hipoksia tersebut.17,46
Pada proses penyembuhan luka HIF-1α berperan dalam mengaktifkan proses
angiogenesis melalui transkripsi beberapa faktor angiogenik meliputi vascular
endothelial growth factor (VEGF), angiopoietin 2, dan fibroblast growth factor 2. HIF-
1α juga meningkatkan motilitas EPC dan meningkatkan rekrutmen EPC ke lokasi luka
sehingga berkontribusi ke neurovaskularasi yang akan mempercepat penyembuhan luka.
Proses ini dimediasi oleh gen target HIF-1α yaitu stromal cell-derived factor 1 (SDF-1)
yang merupakan sebuah kemokin, serta dilanjutkan oleh reseptor selulernya yaitu CXC
receptor type 4 (CXCR4). HIF-1α juga memainkan peran penting pada migrasi
keratinosit dengan cara meregulasi ekspresi laminin-332 dan interaksinya ke integrin
dengan mengaktivasi HSP90. Selain itu, HIF-1α diketahui juga meningkatkan
kemampuan bakterisidal sel myeloid dengan membantu peningkatkan produksi faktor
defensive yang terdiri dari protease granula, peptide antimikroba, nitrit oksida, dan
TNF-α. HIF-1α juga mampu mengaktivasi ekpresi gen-gen lain yang dapat
meningkatkan potensi penyembuhan luka kaki diabetes, misalnya transporter glukosa
GLUT1 dan GLUT3, enzim glikolitik yaitu laktat dehidrogenase, gen yang memodulasi
fungsi mitokondria seperti phosphoinositide-dependent kinase 1, serta komponen
matriks ekstraseluler misalnya fibronectin dan kolagen tipe 1.17
Peran HIF-1α pada penyembuhan luka kaki diates dikonfirmasi dengan terganggunya
angiogenesis dan penurunan rekrutmen EPC yang dapat diamati pada mencit. 17,47,48
Keadaan hipoksia yang parah pada penyembuhan luka kaki diabetes di model mencit
menunjukkan perlambatan proses penyembuhan. Pasien-pasien luka kaki diabetes juga
diketahui memiliki kadar HIF-1α yang rendah. Rendahnya HIF-1α dihubungkan dengan
keadaan hiperglikemia yang memicu proses degradasi HIF-1α. Upaya stabilisasi kadar
HIF-1α ternyata dibutuhkan untuk membantu proses penyembuhan luka kaki diabetes. 17
Upaya stabilisasi HIF-1α tersebut dapat dilakukan dengan cara menghambat degradasi
HIF-1α oleh PHD.18 Cara populer yang dilakukan adalah dengan memberikan
farmakologi seperti dicarbonyl metabolite methylglyoxal (MGO),49 atau pemberian
antioksidan α-tochoperol.50 Peningkatan ekspresi HIF-1α diketahui memberikan
manfaat perbaikan respons vaskular pasca iskemia tungkai di model hewan uji
diabetes.17,51,52

19

Universitas Indonesia
2.3.3 Cara memeriksa HIF-1α
Pemeriksaan HIF-1α dilakukan menggunakan metode enzyme-linked immunosorbent
assay (ELISA). Pertama, dilakukan pengambilan jaringan dari bagian luka pada kaki
pasien DM. HIF-1α bersifat sangat mudah terdegradasi pada lingkungan cukup oksigen.
Jaringan akan dilisiskan memakai larutan buffer (dapar), yaitu HIF-1α cell extraction
buffer (H-CEB). Larutan ini terdiri dari campuran 50 mM Tris (pH 7,4), 300 mM NaCl,
10% (w/v) gliserol, 3 mM EDTA, 1 mM MgCl2, 20 mM (β-glycerophosphate), 25 mM
Naf, dan 1% Triton X-100. Degradasi dapat dicegah dengan mencampur complete
protease inhibitor dan 1 mM fenilmetasulfonil fluorida ke dalam larutan H-CEB.
Larutan H-CEB juga dilakukan proses degassing terlebih dahulu dengan cara dilakukan
bubbling gas nitrogen pada dasar tabung reaksi menggunakan pipet selama 3 menit.
Setelah itu, pipet ditarik dan tabung berisi larutan dipastikan tertutup rapat untuk
menghindari udara yang masuk. Selanjutnya, larutan dilakukan pembekuan dalam
nitrogen cair.18,53
Larutan H-CEB yang sudah siap akan dicampurkan langsung ke jaringan. Jaringan
selanjutnya dilakukan homogenisasi. Terdapat tiga cara homogenisasi yaitu metode
sonication, grinding, dan bead-beating. Metode bead-beating merupakan metode
terbaik karena dapat menunjukkan HIF-1α dengan jelas, variabilitas hasil yang rendah,
dan mampu menjaga kestabilan HIF-1α. Caranya adalah dengan memasukan larutan
jaringan ke tabung yang telah berisi manik-manik dan larutan H-CEB hasil degassing.
Lalu dilakukan homogenisasi pada kecepatan 6000 rotation per minute (rpm) x 15 detik
x 2 siklus. Ekstrak hasil homogenisasi ditambahkan sodium dodecyl sulfate (SDS) 1%,
dilakukan vortex. Terakhir, spesimen dilakukan penjernihan dengan cara disentrifugasi
pada 13 ribu G selama 10—15 menit pada suhu 2o sampai 8o Celsius.53
Ekstrak lalu dilakukan pengukuran menggunakan metode ELISA untuk menilai
absorbansi atau densitas optik / optical density (OD). Besar nilai OD setiap plat sumur
diukur memakai mesin absorbance reader pada panjang gelombang 450 nm. Setiap plat
sumur berisi larutan standar dengan konsentrasi diketahui, dan larutan uji dengan
konsentrasi belum diketahui. Konsentrasi HIF-1α masing-masing larutan uji diperoleh
dari hasil perbandingkan dengan konsentrasi HIF-1α pada larutan standar berdasarkan
nilai OD setiap plat sumur.53

20

Universitas Indonesia
2.4 Hubungan HIF-1α dan anemia pada luka kaki diabetes
Anemia pada pasien luka kaki diabetes berdampak pada transpor oksigen yang
berkurang ke jaringan dan terjadi hipoksia. Sehingga menyebabkan gangguan proses
penyembuhan luka dan kontrol infeksi yang buruk.14,15 Keadaan hipoksia kronik dapat
mengganggu proses penyembuhan luka. Akan tetapi, hipoksia akut justru dibutuhkan
untuk merangsang penyembuhan luka dengan cara dimediasi oleh faktor transkripsi
homeostasis oksigen, yaitu hypoxia-inducible factor-1 (HIF-1).16 Salah satu bentuk
heterodimernya, adalah HIF-1α yang bermanfaat dalam proses angiogenesis, perubahan
metabolisme, proliferasi, migrasi, dan kelangsungan hidup sel. Sayangnya, pada pasien
DM terjadi keadaan hiperglikemia yang menyebabkan degradasi HIF-1α dan
menurunkan fungsi kerjanya.17 Keadaan ini akan menghambat proses penyembuhan
luka kaki diabetes (menghambat granulasi, vaskularisasi, regenerasi epidermal, dan
rekrutmen prekursor endotel).18 Kegagalan proses penyembuhan luka diabetes akan
berujung pada amputasi tungkai. Oleh karena itu, status anemia dan gangguan ekspresi
HIF-1α sama-sama menjadi prediktor amputasi tungkai. Namun, hingga kini belum ada
studi yang menjelaskan hubungan antara keduanya.
Pemberian inhibitor HIF prolyl hydroxylase (HIF-PH) inhibitors secara oral diketahui
memiliki potensi untuk meningkatkan efektivitas eritropoesis. Bentuk molekul oral
terkecil dari PH inhibitor, yaitu GSK1278863, diketahui dapat menstabilkan HIF dan
dapat memodulasi produk dari gen pengontrol HIF termasuk eritropoietin (EPO).
Sejumlah uji klinis telah mengonfirmasi bahwa PH inhibitor memiliki kemampuan
untuk menginduksi produksi EPO endogen yang akan meningkatkan efektivitas
eritropoesis. Bahkan, HIF juga mempengaruhi homeostasis serum besi dan
bioavailabilitasnya melalui modulasi hepsidin.54
Pada penelitian Hsieh dkk, tahun 2007, pada resus macaques, ditemukan bahwa
penghambatan HIF-prolyl hydroxylase atau HIF-PH dapat menginduksi eritropoietin
endogen, eritrositosis, dan ekspresi hemoglobin fetal (HbF).55 Beberapa studi lainnya
yang juga membahas inhibitor HIF-PH menunjukkan bahwa stabilisasi HIF-1α baik in
vitro maupun in vivo dapat mengindukasi produksi EPO pada hepar, ginjal, dan otak
tikus. Hal ini dapat dijelaskan bahwa penurunan kadar oksigen diketahui akan
meningkatkan jaras HIF dan dapat memberikan stabilisasi HIF-1α yang berujung

21

Universitas Indonesia
induksi EPO. Sehingga wajar jika pemberian inhibitor HIF-PH yang menjaga stabilitas
HIF-1α juga dapat meningkatkan kadar hemoglobin. 55–57 Secara umum, hipoksia
disebutkan sebagai pengindukasi mayor sintesis EPO di ginjal. Sehingga selanjutnya
terjadi sintesis erythoferrone (ERFE) oleh eritroblas. ERFE akan memediasi supresi
hepsidin hepar untuk memobilisasi besi sebagai bahan baku eritropoesis.58
Meningkatnya kadar HIF tidak hanya meningkatkan ekspresi EPO, teteapi juga
memberikan upregulasi pada gen-gen lain yang berperan dalam eritropoesis. Selain
karena keadaan hipoksia, pemberian inhibitor HIF-PH juga dapat meningkatkan HIF.
Sehingga memperbaiki keadaan anemia dan meningkatkan penggunaan serum besi pada
penelitian menggunakan model hewan tikus anemia. Hasil serupa juga diperoleh pada
penelitian menggunakan rhesus macaques. Peningkatan kadar hemoglobin dan
efektivitas eritropoesis juga ditemukan pada pasien anemia dengan chronic kidney
disease (CKD).59,60
Oleh karena itu, diharapkan keadaan hipoksia maupun pemberian inhibitor HIF-PH
dapat meningkatkan ekspresi HIF-1α agar selanjutnya mampu memperbaiki keadaan
anemia pada pasien. Apabila anemia teratasi, maka suplai oksigen ke jaringan juga akan
meningkat. Sehingga dapat mendukung proses penyembuhan luka kaki diabetes.

22

Universitas Indonesia
2.5 Kerangka teori

Gambar 2.4. Kerangka teori

Hiperglikemia akan didiagnosis sebagai DM. DM memiliki komplikasi neuropati dan


angiopati yang berkembang menjadi luka kaki diabetes. Pada luka kaki diabetes, terjadi
anemia yang menyebabkan suplai oksigen berkurang ke jaringan. Pada luka kaki
diabetes juga terjadi proses hipoksia. Kedua keadaan ini akan membuat HIF-1α stabil
sehingga dapat mengaktifkan proses angiogenesis yang bermanfaat dalam penyembuhan
luka kaki diabetes. HIF-1α juga dapat menginduksi eritropoesis sehingga dapat
meningkatkan kadar hemoglobin.54–57

23

Universitas Indonesia
2.6 Kerangka konsep

Gambar 2.5. Kerangka konsep

Pada luka kaki diabetes dapat ditemukan keadaan anemia. Anemia menyebabkan
hipoksia sehingga mengaktifkan HIF-1α yang bermanfaat dalam proses angiogenesis
untuk penyembuhan luka kaki diabetes. HIF-1α juga diketahui dapat menginduksi
eritropoesis. Oleh karena itu, diduga terdapat hubungan antara anemia dengan HIF-1α
pada pasien luka kaki diabetes.

24

Universitas Indonesia
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Desain penelitian


Desain penelitian ini adalah observasional analitik jenis potong lintang atau cross-
sectional. Data penelitian diperoleh berdasarkan data sekunder dari penelitian dr.
Patrianef SpB(K)V yang berjudul Perbandingan Konsentrasi HIF-1α, Ekspresi
VEGF, dan Jumlah Vaskularisasi Jaringan pada Kaki Luka Diabetik yang
Menjalani Amputasi dan Nonamputasi.
Data yang dikumpulkan dari pasien meliputi jenis kelamin, usia, dan tingkat pendidikan.
Pasien juga dilakukan pemeriksaan klinis ankle brachial index (ABI), dan pemeriksaan
darah perifer lengkap, serta kada glukosa darah. Hasil biopsi jaringan dari kaki pasien
luka kaki diabetes akan dilakukan pemeriksaan konsentrasi HIF-1α menggunakan
metode ELISA. Pengambilan biopsi jaringan dilakukan saat tata laksana definitif berupa
amputasi atau debridement.

3.2 Tempat dan waktu penelitian


Penelitian dilakukan di Divisi Bedah Vaskular dan Endovaskular, Departemen Medik
Ilmu Bedah FKUI/KSM Bedah RSCM berlangsung selama 3 bulan pada Agustus—
Oktober 2021.

3.3 Populasi dan sampel


1. Populasi target
Seluruh pasien dengan diagnosis luka kaki diabetes yang menjalani pengobatan di
Divisi Bedah Vaskular dan Endovaskular, Departemen Medik Ilmu Bedah serta
Divisi Metabolik Endokrin, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI/RSCM.
2. Populasi terjangkau
Pasien luka kaki diabetes yang berobat di RSCM.
3. Sampel
Sampel diambil menggunakan metode purposive sampling yaitu peneliti mengambil
data dari seluruh pasien yang masuk dalam populasi target.

25

Universitas Indonesia
3.3.1 Besar sampel
Data yang akan digunakan oleh peneliti adalah data numerik dari hasil pemeriksaan
HIF-1α melalui pemeriksaan ELISA dan kadar hemoglobin yang diperoleh dari
pemeriksaan darah perifer lengkap. sehingga rumus yang digunakan adalah sebagai
berikut:

{ }
2
(Za+ Zb)
+3
N= 1+r
0.5 ln ⁡( )
1−r

N = Jumlah sampel
Za = Tingkat kepercayaan 95% (1,96)
Zb = Kekuatan penelitian 80% (0,84)
r = Kekuatan korelasi (-0,522), berdasarkan studi Darwin dkk.61

Berdasarkan perhitungan tersebut, peneliti mendapatkan bahwa besar sampel yang


peneliti dapat gunakan adalah paling sedikit 27 pasien.

3.3.2 Kriteria inklusi dan eksklusi


1. Kriteria inklusi

● Laki-laki dan perempuan dewasa dengan diagnosis luka kaki diabetes yang

menjalani perawatan di RSCM, baik di ruang rawat penyakit dalam ataupun


ruang rawat bedah

● Telah terdiagnosis DM tipe 2

● Telah dilakukan tindakan amputasi atau debridement dilanjutkan rawat inap

● Memiliki luka kaki diabetes dengan indikasi tindakan amputasi, termasuk pasca

perawatan di ruang rawat


2. Kriteria eksklusi

● Riwayat keganasan pada daerah luka kaki diabetes

26

Universitas Indonesia
● Pasien dengan penyakit ginjal kronik / chronic kidney disease (CKD)

● Pasien dengan penyakit penyerta meliputi vaskulitis, autoimun, atau sepsis.

3.3.3 Pendataan dan seleksi subjek


Subjek pada penelitian ini adalah pasien dengan diagnosis luka kaki diabetes yang
memenuhi seleksi berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Selanjutnya, subjek terpilih
akan memperoleh penjelasan tujuan penelitian dan diminta mengisi kesediaan sebagai
subjek penelitian pada lembar informed consent. Tanda tangan dapat dilakukan oleh
perwakilan keluarga jika pasien tidak bisa melakukannya sendiri.
Data subjek dikumpulkan terdiri dari data demografis yaitu jenis kelamin dan usia.
Selain itu dilakukan anamnesis meliputi:
1. Lama penyakit DM
2. Lama penyakit luka kaki diabetes
3. Antibiotik yang digunakan (jika ada)
4. Obat anti diabetes yang digunakan (oral atau injeksi insulin)
5. Gejala angiopati/PAD (nyeri tungkai)
6. Gejala neuropati (baal, kesemutan, dan kulit kering mudah pecah)
7. Penyakit komorbid (hipertensi, CKD, dan lainnya)
8. Faktor risiko (merokok, gaya hidup, dan nutrisi, aktivitas fisik, dan lainnya).

Pasien juga dilakukan pemeriksaan fisik yang terdiri dari:


1. Tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, laju pernapasan, suhu)
2. Nilai ABI (dengan USG merk “Mindray” dan “General Electrics”)
3. Evaluasi klasifikasi luka kaki diabetes (skor PEDIS)
4. Evaluasi infeksi (kriteria SIRS, skor DFI)
5. Evaluasi neuropati (skor Toronto)

Berikutnya, pasien dilakukan pemeriksaan penunjang melipui:


1. Darah perifer lengkap (Hb, hematokrit, leukosit, trombosit)
2. Kadar gula darah sewaktu
3. HbA1c

27

Universitas Indonesia
3.3.4 Pengambilan dan penyimpanan jaringan sampel
Seluruh subjek penelitian dipersiapkan sebelum dilakukan pengambilan jaringan
sampel. Jaringan yang diambil berasal dari tindakan amputasi atau debridement,
sehingga tidak ada tindakan invasif tambahan pada pasien. Pengambilan jaringan
dilakukan dari sisi luar luka, pada batas aringan yang sakit dan vital.

Gambar 3.1. Pengambilan sampel jaringan sisi luar luka.62

Alat yang dibutuhkan untuk melakukan pengambilan jaringan yaitu scalpel disposable
ukuran 15 atau 11, forsep jaringan ujung 1 mm denga/tanpa gigi, gunting jaringan lurus
atau bengkok ukurn 4,5—9”, tabung Eppendorf ukuran 5 mL yang didinginkan pada
suhu -80oC, dan formular pemeriksaan patologi anatomi. Tahapan pengambilan sampel
adalah sebagai berikut:62–64

1. Dilakukan biosi insisional pada saat tindakan amputi atau debridement.


2. Jaringan diambil dari tepi luka sisi luar jaringan berukuran 2 cm x 1 cm meliputi
sebagian jaringan luka dan kulit sekitar.
3. Jaringan dipegang dngan forsep jaringan
4. Jaringan dipisahkan enggunakan gunting jaringan atau scalpel.
5. Hasil biopsi dibagi menjadi dua sampel sama rata. Sampel pertama untuk
pemeriksaan ELISA, dan sampel kedua untuk pemeriksaan IHK.

28

Universitas Indonesia
6. Sampel pertama disimpan dalam tabung Eppendorf 5 mL tanpa larutan buffer
dan dapat langsung dilakukan pembekuan cepat memakai es kering atau
coolbox. Setelah itu dikirimkan ke Departemen Biokimia dan Biologi Molekular
FKUI-RSCM, disimpan dalam suhu -80oC pada keadaan normoksia.
7. Sampel kedua disimpan dalam tabun Eppendorf 5 mL yang telah terisi formalin
10%. Setelah itu dikirimkan ke Departemen Patologi Anatomi FKUI-RSCM dan
disimpan dalam suhu ruang (~37oC).

Persiapan larutan reagen

1. Reagen pendeteksi A (antibodi deteksi) dan B (antibodi konjugat sekunder)


diencerkan menggunakan assay diluent dengan perbandingan 1:100.
2. Setelah kristal terbentuk pada larutan buffer pencuci pekat, hangatkan pada suhu
ruang dan aduk perlahan hingga kristal larut. Selanjutnya, larutan buffer pencuci
pekat sebanyak 30 mL diencerkan menggunakan air distilasi/deionized hingga
mencapai volume 750 mL.

Persiapan larutan standar

Larutan standar dilarutkan dengan 1 mL pengencer sampel. Proses pelarutan ini


menghasilkan stock solution sebanyak 10 ng/mL. Larutan standar kemudian didiamkan
minimal 15 menit dengan sesekali diaduk perlahan sebelum dilakukan pengenceran
serial. Pengencer sampel diapakai sebagai standar nol (0 ng/mL) dan standar yang tidak
diencerkan diapakai sebagai acuan standar tertinggi (10 ng/mL).

Gambar 3.2. Rasio Pengenceran Larutan Standar HIF-1α.65

29

Universitas Indonesia
Pemeriksaan ELISA62

1. Masukan sebanyak 100 µL larutan standar, blanko, atau sampel ke setiap sumur.
Tutup dengan plat penutup. Inkubasi pada suhu 37℃ selama 2 jam.
2. Buang cairan dari setiap sumur, jangan dicuci. Masukkan 100 µL larutan Reagen
Pendeteksi A. Tutup dengan plat penutup. Inkubasi pada suhu 37℃ selama 1
jam. Larutan Reagen Pendeteksi A akan tampak berawan. Hangatkan dengan
suhu ruangan dan aduk pelan hingga larutan tampak rata.
3. Aspirasi setiap sumur dan cuci, ulangi prosesnya tiga kali untuk total tiga kali
pencucian. Cuci dengan mengisi setiap sumur memakai larutan buffer pencuci
(sekitar 400 µL) menggunakan pipet multikanal, dan diamkan selama 1–2 menit.
Setelah pencucian terakhir, buang larutan pencuci yang masih tersisa dengan
cara diaspirasi.
4. Masukkan 100 µL larutan Reagen Pendeteksi B (antibodi konjugat sekunder) ke
setiap sumur. Tutup dengan plat penutup baru. Inkubasi pada suhu 37 ℃ selama
1 jam. Hindarkan dari paparan cahaya.
5. Ulangi proses aspirasi/cuci selama 5 kali seperti pada langkah ketiga.
6. Masukkan 90 µL larutan substrat ke setiap sumur. Tutup dengan plat penutup
baru. Inkubasi pada suhu 37 ℃ selama 15–30 menit. Hindarkan dari paparan
cahaya.
7. Masukkan 50 µL Larutan Penghenti (stop solution) ke setiap sumur. Jika
perubahan warna tidak merata, ketuk perlahan plat untuk memastikan
pengadukan yang menyeluruh.
8. Baca nilai absorbansi cahaya dari setiap sumur dalam satu waktu dengan
menggunakan microplate reader pada panjang gelombang 450 nm.

Jenis metode ELIS yang dipakai pada pemeriksaan ini adalah sandwich ELISA.
Penelitin menggunakan Human HIF-1α ELISA kit untuk menilai konsentrasi HIF-1α.
Prinsip pemeriksaan ini adalah protein yang diinginkan (HIF-1α) diikat dengan capture
antibody. Capture antibody selanjutkan akan diikat kembali oleh detection antibody.
Ikatan tersebut lalu diperkuat memakai zat pewarna khusus. Metode ini memiliki
sensitivitas dan spesifisitas lebih baik daripada metode ELISA lainnya. Metode ini
paling sering digunakan untuk pengukuran konsentrasi dalam bentuk numerik.63

30

Universitas Indonesia
3.4 Variabel
3.4.1 Variabel independen
Variabel independen adalah kadar hemoglobin
3.4.2 Variabel dependen
Variabel dependen adalah konsentrasi HIF-1α
3.4.3 Variabel perancu
Variabel perancu adalah usia, jenis kelamin.

3.5 Definisi operasional


Tabel 3.1. Definisi operasional
No Variabel Definisi Cara pengukuran Skala Ukur
1 Luka kaki Luka menahun yang Diagnosis ditetapkan Kategorik
diabetes merupakan komplikasi kronik oleh DPJP (Bedah
dari diabetes melitus. Pada Vaskular)
penelitian ini, luka yang
dimaksud adalah luka yang
terdapat pada kaki.
2 Hypoxia Faktor transkripsi yang Pemeriksaan dilakukan Numerik
Inducible berperan sebagai regulator sel pada jaringan biopsi
Factor-1α untuk beradaptasi dalam dengan metode ELISA
(HIF-1α) kondisi hipoksia pada level dengan menggunakan
selular. “Human HIF-1α ELISA
Kit”
3 Kadar Jumlah absolut hemoglobin Pengambilan sampel Numerik
hemoglobin dari pemeriksaan darah perifer darah vena dilakukan
lengkap saat pasien datang ke
IGD. Dinyatakan dalam
satuan mg/dL
4 Gula darah Pengukuran glukosa darah Pengambilan sampel Nuemrik
sewaktu (GDS) pada satu waktu tertentu darah vena dilakukan
(sembarang), subjek tidak saat pasien pertama kali
sedang berpuasa. GDS datang ke RS.
meningkat (hiperglikemia)
jika >200 mg/dL.
5 Usia Umur sesuai rekam medis Rekam Medis Numerik
(tahun)
6 Jenis kelamin Jenis kelamin berdasarkan Rekam Medis Nominal
rekam medis

31

Universitas Indonesia
3.6 Dummy table

Tabel 3.2. Dummy table karakteristik demografis


dan klinis pasien luka kaki diabetes
Variabel Jumlah subjek (n= ) persentase
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Usia
Kadar glukosa darah
Kadar hemoglobin
Konsentrasi HIF-1α

Tabel 3.3. Dummy table korelasi konsentrasi HIF-1α dan kadar hemoglobin
Konsentrasi HIF-1α
Rerata (SB) r p
Kadar hemoglobin

3.7 Rencana pengolahan dan analisis data


3.7.1 Pengolahan data
Seluruh data hasil pemeriksaan dilkumpulkan, disusun dalam array, diedit, diberi kode,
dan dilakukan pengolahan data menggunakan perangkat lunak Statistical Package for
the Social Sciences (SPSS) versi 26.

3.7.2 Analisis dan interpretasi data

● Analisis univariat

Setelah data terkumpul, akan dilakukan uji normalitas Saphiro-Wilk. Ini karena
penelitian bersifat analitik dan menggunakan jumlah subjek ≤50. Bila hasil yang
didapatkan normal (p >0,05), maka data akan disajikan dalam bentuk rerata dan
simpang baku, namun bila hasil yang didapatkan tidak normal, maka akan disajikan

32

Universitas Indonesia
dalam bentuk median. Data profil demografis dan hasil pemeriksaan akan dianalisis
secara deskriptif.

● Analisis bivariat

Bila data terdistribusi normal, maka analisis data dilanjutkan dengan menggunakan uji
korelasi Pearson dan apabila tidak normal maka akan dilanjutkan dengan uji Spearman.
Hasil uji memiliki korelasi kuat jika nilai koefisien korelasi r semakin mendekati satu
dan dikatakan signifikan jika p <0,05.

3.8 Pelaporan data


Laporan dihadirkan dalam bentuk hasil penelitian tesis dan artikel ilmiah yang akan
dipublikasikan melalui jurnal kedokteran.

3.9 Jadwal penelitian


Tabel 4. Tabel jadwal penelitian
Agustus 2021 September 2021 Oktober 2021
Proposal
Pengumpulan data
Analisis data
Diskusi
Penyusunan laporan

33

Universitas Indonesia
3.10 Alur kerja

Pasien terdiagnosis luka kaki diabetes di


RSCM yang memenuhi kriteria inklusi

Pengumpulan data: usia, jenis kelamin, kadar


hemoglobin, dan kadar glukosa darah.

Biopsi jaringan luka kaki diabetes

Pengukuran konsentrasi HIF-1α dengan


metode ELISA

Seluruh data dianalisis di SPSS versi 26

Kesimpulan

Gambar 1. Alur Kerja

3.11 Kaji etik


Penelitian dilaksanakan setelah mendapatkan ijin dari Komisi Etik Penelitian FKUI
dengan nomor KET-417/UN2.F1/ETIK/PPM.00.02/2021. Penelitian ini juga telah
mendapatkan persetujuan dari bagian penelitian Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
nomor (Diisi sesuai nomor etik dari penelitian dr. Patrianef)

34

Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

1. Infodatin. Tetap produktif, cegah, dan atasi diabetes melitus. Jakarta: Pusat Data
dan Informasi Kemenkes RI; 2020. p1–2 p.
2. Armstrong DG, Boulton AJM, Bus SA. Diabetic Foot Ulcers and Their
Recurrence. N Engl J Med. 2017;376(24):2367–75.
3. Geraghty T, LaPorta G. Current health and economic burden of chronic diabetic
osteomyelitis. Expert Rev Pharmacoecon Outcomes Res. 2019;19(3):279–86.
4. Zhang X, Sun D, Jiang GC. Comparative efficacy of nine different dressings in
healing diabetic foot ulcer: A Bayesian network analysis. J Diabetes.
2019;11(6):418–26.
5. Mutluoglu M, Uzun G, Turhan V, Gorenek L, Ay H, Lipsky BA. How reliable
are cultures of specimens from superficial swabs compared with those of deep
tissue in patients with diabetic foot ulcers? J Diabetes Complications.
2012;26(3):225–9.
6. Oliver TI, Mutluoglu M. Diabetic Foot Ulcer. In Treasure Island (FL); 2021.
7. Sitompul Y, Budiman B, Soebardi S, Abdullah M. Profil Pasien Kaki Diabetes
yang Menjalani Reamputasi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Tahun 2008 -
2012. J Penyakit Dalam Indones. 2014;2:9.
8. Simbolon PW, Ibrahim H. Risk Factors that Influence Hospital Length of Stay in
Diabetic Foot Ulcer with Negative Pressure Wound Therapy at RS. dr. Cipto
Mangunkusumo. New Ropanasuri J Surg. 2020;5(1):20–4.
9. Walsh JW, Hoffstad OJ, Sullivan MO, Margolis DJ. Association of diabetic foot
ulcer and death in a population-based cohort from the United Kingdom. Diabet
Med. 2016;33(11):1493–8.
10. Goodridge D, Trepman E, Embil JM. Health-related quality of life in diabetic
patients with foot ulcers: literature review. J wound, ostomy, Cont Nurs Off
Publ Wound, Ostomy Cont Nurses Soc. 2005;32(6):368–77.
11. Skrepnek GH, Mills JLS, Lavery LA, Armstrong DG. Health Care Service and
Outcomes Among an Estimated 6.7 Million Ambulatory Care Diabetic Foot
Cases in the U.S. Diabetes Care. 2017;40(7):936–42.
12. İçer M, Durgun HM. Factors Affecting Amputations in Patients with Diabetic

35

Universitas Indonesia
Foot Ulcer Referring To the Emergency Units. Dicle Med J. 2017;44(1):91–7.
13. Yammine K, Hayek F, Assi C. Is there an association between anemia and
diabetic foot ulcers? A systematic review and meta-analysis. Wound Repair
Regen. 2021;29(3):432–42.
14. Kow RY, Low CL, Ruben JK, Zaharul-Azri MZ, Lim BC. Predictive Factors of
Major Lower Extremity Amputations in Diabetic Foot Infections: A Cross-
sectional Study at District Hospital in Malaysia. Malaysian Orthop J.
2019;13(3):45–52.
15. Costa RHR, Cardoso NA, Procópio RJ, Navarro TP, Dardik A, de Loiola
Cisneros L. Diabetic foot ulcer carries high amputation and mortality rates,
particularly in the presence of advanced age, peripheral artery disease and
anemia. Diabetes Metab Syndr. 2017;11 Suppl 2:S583–7.
16. Ruthenborg RJ, Ban J-J, Wazir A, Takeda N, Kim J-W. Regulation of wound
healing and fibrosis by hypoxia and hypoxia-inducible factor-1. Mol Cells.
2014;37(9):637–43.
17. Catrina S-B, Zheng X. Disturbed hypoxic responses as a pathogenic mechanism
of diabetic foot ulcers. Diabetes Metab Res Rev. 2016;32 Suppl 1:179–85.
18. Botusan IR, Sunkari VG, Savu O, Catrina AI, Grünler J, Lindberg S, et al.
Stabilization of HIF-1alpha is critical to improve wound healing in diabetic mice.
Proc Natl Acad Sci U S A. 2008;105(49):19426–31.
19. Singh N, Armstrong DG, Lipsky BA. Preventing foot ulcers in patients with
diabetes. JAMA. 2005;293(2):217–28.
20. Lepäntalo M, Apelqvist J, Setacci C, Ricco J-B, de Donato G, Becker F, et al.
Chapter V: Diabetic Foot. Eur J Vasc Endovasc Surg. 2011;42:S60–74.
21. Yazdanpanah L, Nasiri M, Adarvishi S. Literature review on the management of
diabetic foot ulcer. World J Diabetes. 2015;6(1):37–53.
22. Monteiro-Soares M, Boyko EJ, Jeffcoate W, Mills JL, Russell D, Morbach S, et
al. Diabetic foot ulcer classifications: A critical review. Diabetes Metab Res Rev.
2020;36(S1):e3272.
23. Game F. Classification of diabetic foot ulcers. Diabetes Metab Res Rev. 2016;32
Suppl 1:186–94.
24. Turner J, Parsi M, Badireddy M. Anemia. In Treasure Island (FL); 2021.

36

Universitas Indonesia
25. Lambert J-F, Beris P. Pathophysiology and differential diagnosis of anaemia. In:
Disorders of erythropoiesis, erythrocytes, and iron metaolism. Paris: European
School of Hematology; 2019. p. 109–41.
26. Honda Y, Watanabe T, Otaki Y, Tamura H, Nishiyama S, Takahashi H, et al.
Gender differences in the impact of anemia on subclinical myocardial damage
and cardiovascular mortality in the general population: The Yamagata (Takahata)
study. Int J Cardiol. 2018;252:207–12.
27. Alsayegh F, Waheedi M, Bayoud T, Al Hubail A, Al-Refaei F, Sharma P.
Anemia in diabetes: Experience of a single treatment center in Kuwait. Prim Care
Diabetes. 2017;11(4):383–8.
28. Thomas MC, Tsalamandris C, MacIsaac RJ, Jerums G. The Epidemiology of
Hemoglobin Levels in Patients With Type 2 Diabetes. Am J Kidney Dis.
2006;48(4):537–45.
29. McGill JB, Bell DSH. Anemia and the role of erythropoietin in diabetes. J
Diabetes Complications. 2006;20(4):262–72.
30. Gezawa ID, Ugwu ET, Ezeani I, Adeleye O, Okpe I, Enamino M. Anemia in
patients with diabetic foot ulcer and its impact on disease outcome among
Nigerians: Results from the MEDFUN study. PLoS One. 2019;14(12):e0226226–
e0226226.
31. Richards T. Anaemia in hospital practice. Br J Hosp Med (Lond).
2012;73(10):571–5.
32. Shareef AM, Ahmedani MY, Waris N. Strong association of anemia in people
with diabetic foot ulcers (DFUs): Study from a specialist foot care center.
Pakistan J Med Sci. 2019;35(5):1216–20.
33. Chuan F, Zhang M, Yao Y, Tian W, He X, Zhou B. Anemia in Patients With
Diabetic Foot Ulcer: Prevalence, Clinical Characteristics, and Outcome. Int J
Low Extrem Wounds. 2016;15(3):220–6.
34. Ekpebegh CO, Iwuala SO, Fasanmade OA, Ogbera AO, Igumbor E,
Ohwovoriole AE. Diabetes foot ulceration in a Nigerian hospital: in-hospital
mortality in relation to the presenting demographic, clinical and laboratory
features. Int Wound J. 2009 Oct;6(5):381–5.
35. Wright JA, Oddy MJ, Richards T. Presence and characterisation of anaemia in

37

Universitas Indonesia
diabetic foot ulceration. Anemia. 2014;2014:104214.
36. Hokkam EN. Assessment of risk factors in diabetic foot ulceration and their
impact on the outcome of the disease. Prim Care Diabetes. 2009 Nov;3(4):219–
24.
37. Yesil S, Akinci B, Yener S, Bayraktar F, Karabay O, Havitcioglu H, et al.
Predictors of amputation in diabetics with foot ulcer: single center experience in a
large Turkish cohort. Hormones (Athens). 2009;8(4):286–95.
38. Yusof NM, Rahman JA, Zulkifly AH, Che-Ahmad A, Khalid KA, Sulong AF, et
al. Predictors of major lower limb amputation among type II diabetic patients
admitted for diabetic foot problems. Singapore Med J. 2015;56(11):626–31.
39. Sun J-H, Tsai J-S, Huang C-H, Lin C-H, Yang H-M, Chan Y-S, et al. Risk
factors for lower extremity amputation in diabetic foot disease categorized by
Wagner classification. Diabetes Res Clin Pract. 2012;95(3):358–63.
40. Ugwu E, Adeleye O, Gezawa I, Okpe I, Enamino M, Ezeani I. Predictors of
lower extremity amputation in patients with diabetic foot ulcer: findings from
MEDFUN, a multi-center observational study. J Foot Ankle Res. 2019;12:34.
41. Semenza GL. Oxygen sensing, homeostasis, and disease. N Engl J Med.
2011;365(6):537–47.
42. Palazon A, Goldrath AW, Nizet V, Johnson RS. HIF transcription factors,
inflammation, and immunity. Immunity. 2014;41(4):518–28.
43. Kiers HD, Scheffer G-J, van der Hoeven JG, Eltzschig HK, Pickkers P, Kox M.
Immunologic Consequences of Hypoxia during Critical Illness. Anesthesiology.
2016;125(1):237–49.
44. Eming SA, Martin P, Tomic-Canic M. Wound repair and regeneration:
mechanisms, signaling, and translation. Sci Transl Med. 2014;6(265):265sr6.
45. Brem H, Tomic-Canic M. Cellular and molecular basis of wound healing in
diabetes. J Clin Invest. 2007;117(5):1219–22.
46. Catrina S-B. Impaired hypoxia-inducible factor (HIF) regulation by
hyperglycemia. J Mol Med (Berl). 2014;92(10):1025–34.
47. Zhang X, Liu L, Wei X, Tan YS, Tong L, Chang R, et al. Impaired angiogenesis
and mobilization of circulating angiogenic cells in HIF-1alpha heterozygous-null
mice after burn wounding. Wound repair Regen Off Publ Wound Heal Soc

38

Universitas Indonesia
[and] Eur Tissue Repair Soc. 2010;18(2):193–201.
48. Zhang X, Sarkar K, Rey S, Sebastian R, Andrikopoulou E, Marti GP, et al. Aging
impairs the mobilization and homing of bone marrow-derived angiogenic cells to
burn wounds. J Mol Med (Berl). 2011;89(10):985–95.
49. Bento CF, Fernandes R, Ramalho J, Marques C, Shang F, Taylor A, et al. The
chaperone-dependent ubiquitin ligase CHIP targets HIF-1α for degradation in the
presence of methylglyoxal. PLoS One. 2010 Nov;5(11):e15062.
50. Katavetin P, Miyata T, Inagi R, Tanaka T, Sassa R, Ingelfinger JR, et al. High
glucose blunts vascular endothelial growth factor response to hypoxia via the
oxidative stress-regulated hypoxia-inducible factor/hypoxia-responsible element
pathway. J Am Soc Nephrol. 2006 May;17(5):1405–13.
51. Kajiwara H, Luo Z, Belanger AJ, Urabe A, Vincent KA, Akita GY, et al. A
hypoxic inducible factor-1 alpha hybrid enhances collateral development and
reduces vascular leakage in diabetic rats. J Gene Med. 2009;11(5):390–400.
52. Sarkar K, Fox-Talbot K, Steenbergen C, Bosch-Marcé M, Semenza GL.
Adenoviral transfer of HIF-1alpha enhances vascular responses to critical limb
ischemia in diabetic mice. Proc Natl Acad Sci U S A. 2009;106(44):18769–74.
53. Park SR, Kinders RJ, Khin S, Hollingshead M, Antony S, Parchment RE, et al.
Validation of a hypoxia-inducible factor-1 alpha specimen collection procedure
and quantitative enzyme-linked immunosorbent assay in solid tumor tissues.
Anal Biochem. 2014;459:1–11.
54. Brigandi RA, Johnson B, Oei C, Westerman M, Olbina G, de Zoysa J, et al. A
Novel Hypoxia-Inducible Factor-Prolyl Hydroxylase Inhibitor (GSK1278863)
for Anemia in CKD: A 28-Day, Phase 2A Randomized Trial. Am J Kidney Dis.
2016;67(6):861–71.
55. Hsieh MM, Linde NS, Wynter A, Metzger M, Wong C, Langsetmo I, et al. HIF
prolyl hydroxylase inhibition results in endogenous erythropoietin induction,
erythrocytosis, and modest fetal hemoglobin expression in rhesus macaques.
Blood. 2007;110(6):2140–7.
56. Safran M, Kim WY, O’Connell F, Flippin L, Günzler V, Horner JW, et al. Mouse
model for noninvasive imaging of HIF prolyl hydroxylase activity: assessment of
an oral agent that stimulates erythropoietin production. Proc Natl Acad Sci U S

39

Universitas Indonesia
A. 2006;103(1):105–10.
57. Siddiq A, Ayoub IA, Chavez JC, Aminova L, Shah S, LaManna JC, et al.
Hypoxia-inducible factor prolyl 4-hydroxylase inhibition. A target for
neuroprotection in the central nervous system. J Biol Chem.
2005;280(50):41732–43.
58. Renassia C, Peyssonnaux C. New insights into the links between hypoxia and
iron homeostasis. Curr Opin Hematol. 2019;26(3):125–30.
59. Myllyharju J. HIF prolyl 4-hydroxylases and their potential as drug targets. Curr
Pharm Des. 2009;15(33):3878–85.
60. Raichoudhury R, Spinowitz BS. Treatment of anemia in difficult-to-manage
patients with chronic kidney disease. Kidney Int Suppl. 2021;11(1):26–34.
61. P MD, Kalim H, S DW, Sudoyo AW, Fatchiyah F. Ekspresi Hypoxia-Inducible
Factor-1α menginduksi Ekspresi Eritropoietin Intraseluler, dan Vascular
Endothelial Growth Factor pada Penderita Kanker Payudara dengan Anemia. J
Kedokt Brawijaya. 2012;27(2):77–82.
62. Alavi A, Niakosari F, Sibbald RG. When and how to perform a biopsy on a
chronic wound. Adv Skin Wound Care. 2010;23(3):132.
63. Brisbane North PHN. Biopsy in Wound Care. Brisbane North PHN. Brisbane:
Brisbane North PHN; 2014.
64. QML Pathology. Skin Biopsies: Technical Detail [Internet]. QML Pathology.
2016 [cited 2021 Aug 1]. Available from:
http://prod.qml.com.au/contentassets/fe559452ef9f4aefa027c4bf84f9702
9/186_q_biopsiestechnical_oct16.pdf
65. HIF-1 elisa kit: Human Hypoxia-inducible factor 1 ELISA Kit [Internet].
MyBioSource. 2019 [cited 2021 Aug 1]. Available from:
https://www.mybiosource.com/hif-1-human- elisa-kits/hypoxia-inducible-factor-
1/282197

40

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai