Anda di halaman 1dari 35

Asuhan Keperawatan Anestesi pada Pasien

dengan Reaksi Alergi


(kasus bedah dengan reaksi alergi thd medikasi / obat anestesi)

By
Raden Sugeng Riyadi S.ST, M.Psi
The error of one moment becomes
the sorrow of
.
whole life
Adverse Drug Reactions (ADRs)

World Health Organization mendefinisikan sebagai reaksi yang tidak


dikehendaki dan bersifat merugikan akibat respon pemakaian obat pada
dosis sesuai anjuran pada manusia untuk keperluan terapi, profilaksis,
diagnosis, maupun untuk modifikasi fungsi fisiologis.

Klasifikasi farmakologis dibagi menjadi dua subtipe:


Reaksi tipe A adalah efek farmakologis yang bisa diprediksi dan
bergantung pada dosis. Kebanyakan ADRs (sekitar 80%) merupakan
reaksi tipe A, termasuk efek toksik, efek samping, efek sekunder dan
interaksi obat.

Reaksi B : reaksi hipersensitivitas yang tidak dapat diprediksi


dan tidak bergantung pada dosis. Reaksi hipersensitivitas ini menyebab
kan timbulnya gejala atau tanda pada dosis yang bisa ditoleransi oleh
orang normal.
Reaksi Alergi (Reaksi Hipersensitivitas)

Reaksi-reaksi dari sistem kekebalan yang terjadi ketika jaringan tubuh


yang normal mengalami cedera/terluka.

Alergi merupakan suatu kondisi reaksi hipersensitivitas yang terjadi


ketika sistem imun bekerja secara berlebihan terhadap bahan yang
umumnya tidak menimbulkan reaksi pada orang normal.
Coombs dan Gell membagi reaksi hypersensivitas menjadi 4 tipe:

Reaksi imun Mekanisme Manifestasi klinis Waktu


untuk
bereaksi
Tipe I (IgE- Kompleks obat-IgE berikatan Anafilaksis, Menit hingga
mediated) pada sel mast dengan pelepasan urtikaria, jam setelah
histamin, mediator inflamasi angioedema, paparan obat
bronkospasme

Tipe II Spesifik antibodi IgG atau IgM Anemia, sitopeni, Bervariasi


(sitotoksik) langsung pada sel-sel yang trombositopeni
terbungkus obat-hapten

Tipe III Deposisi jaringan dari kompleks Serum sickness, 1 – 3 minggu


(kompleks obat-antibodi dengan aktivasi vaskulitis, demam, setelah
imun) komplemen dan inflamasi ruam, arthralgia paparan obat

Tipe IV Presentasi MHC dari molekul Sensitivitas kontak 2-7 hari


(delayed, cell obat terhadap sel T dengan Ruam pada kulit, setelah
mediated) sitokin dan pelepasan mediator kerusakan jaringan paparan obat
inflamasi; dapat berkaitan organ
dengan aktivasi dan pengerahan
eosinofil, monosit, dan neutrofil
Penatalaksanaan Anestesi pd Pasien Dengan Reaksi Alergi

,
Epidemiologi
•Kejadian alergi obat yang dilaporkan ± 7,8% (pada populasi umum)
dan 39% (pada populasi bedah).
•Insidensi kejadian mulai dari 1/13000 prosedur bedah (di bawah
anestesi umum, regional dan lokal) hingga 1/6500 general anastesi
dengan penggunaan pelemas otot.
Gejala umum alergi
Gejala Alergi Obat
antara lain:
Ruam kemerahan atau bentol pada kulit.
Gatal.
Demam.
Bengkak.
Sesak napas atau napas berbunyi.
Hidung beringus.
Batuk.
Mata gatal dan berair.
Selain gejala yang disebutkan di atas, reaksi alergi berat atau anafilaksis dapat disertai dengan:
Jantung berdetak dengan cepat.
Saluran pernapasan dan tenggorokan menyempit, sehingga sulit bernapas.
Gelisah dan cemas.
Pusing.
Hilang kesadaran atau pingsan.
Tekanan darah turun drastis.
Pada kondisi yang sangat serius dan mengancam nyawa, gejala dapat disertai dengan:
Kulit berwarna kemerahan dan nyeri.
Kulit bagian luar mengelupas.
Kulit terlihat melepuh.
Demam.
Ruam atau lenting menyebar ke mata, mulut, dan area kelamin.
Faktor Risiko Alergi Obat
Tidak semua orang berisiko mengalaminya. Beberapa faktor risikonya adalah:
Peningkatan paparan terhadap suatu obat, misalnya karena penggunaan
berulang, dalam waktu yang panjang, atau dengan dosis yang tinggi.
Keturunan. Jika terdapat anggota keluarga yang alergi terhadap suatu obat,
seseorang akan lebih berisiko mengalaminya.
Memiliki alergi jenis lain, misalnya alergi makanan.
Memiliki alergi terhadap obat-obatan yang lain, misalnya seseorang yang alergi
terhadap penisilin juga akan alergi dengan amoxicillin.
Mengidap penyakit tertentu, seperti HIV atau infeksi virus Epstein-Barr.
Diagnosis Alergi Obat
Diagnosis dilakukan melalui beberapa langkah, antara lain:
Riwayat perjalanan alergi obat, riwayat alergi lainnya, dan riwayat alergi
pada keluarga. Pemeriksaan fisik yang berkaitan dengan gejala alergi, meliputi
ruam kemerahan, lenting, serta memeriksa keadaan saluran napas dan jantung
pengidap. Pemeriksaan laboratorium meliputi tes kulit (skin test) dan tes darah. 
Pengobatan Alergi Obat
Antihistamin
Tubuh membuat histamin ketika alergen masuk ke dalam tubuh. Pelepasan
histamin dapat memicu gejala alergi seperti pembengkakan, gatal, atau iritasi.
Antihistamin memblokir produksi histamin dan dapat menenangkan gejala
reaksi alergi. Antihistamin bisa berupa pil, tetes mata, krim, dan semprotan
hidung. 
Kortikosteroid
Kondisi ini dapat menyebabkan pembengkakan saluran udara dan gejala serius
lainnya. Kortikosteroid dapat membantu mengurangi peradangan yang
menyebabkan masalah ini. 
Bronkodilator
Jika alergi menyebabkan mengi atau batuk, dokter mungkin
merekomendasikan bronkodilator. Obat ini membantu membuka saluran udara
dan membuat pernapasan lebih mudah. Bronkodilator tersedia dalam bentuk
cairan dan bubuk untuk digunakan dalam inhaler atau nebulizer.
Pencegahan Alergi Obat
Pencegahan terbaik adalah menghindari masalah obat tsb. Pastikan bahwa
alergi diidentifikasi dengan jelas dalam catatan medis. Beri tahu juga penyedia
layanan kesehatan lainnya, seperti dokter gigi atau spesialis medis lainnya. 
Gunakan identitas yang menunjukkan alergi obat. Hal ini bisa berupa gelang
peringatan medis yang mengidentifikasi alergi. Informasi ini dapat memastikan
perawatan yang tepat dalam keadaan darurat
Etiologi reaksi alergi :

.Neuromuscular blocking agents (NMBA)


•Natural rubber latex
•Antibiotik
•Anesthesia induction agents
•Anestesi lokal
•NSAIDS
•Protamin
•Plasma volume expanders (koloid)
•Radiocontrast media
•Antiseptik
Neuromuscular blocking agents (NMBA)
•Bertanggung jawab atas 60% reaksi alergi selama
anestesi umum.
•Dapat menginduksi dua jenis reaksi obat:
•mekanisme imunologis: yang melibatkan reaksi
termediasi IgE
•stimulasi nonimunologis: sel mast dengan
konsekuensi pelepasan histamin (reaksi anafilaktoid)
Musculo relaxan: atrakurium, mivakurium dan
d-tubo-curarine
Natural rubber latex
•Komponen protein lateks bertanggung jawab atas sebagian besar
penyebab reaksi alergi terhadap lateks.
•Penting untuk mengidentifikasi individu yang berisiko
untuk anafilaksis perioperatif
•secara genetik memiliki kecenderungan (atopik)
•mereka yang sering bersentuhan dengan paparan lateks
(pasien dengan beberapa prosedur bedah, tenaga kesehatan, orang-
orang dengan paparan lateks di tempat kerja).
•"Sindrom buah-lateks“ telah diamati terjadinya reaktivitas silang
dengan banyak protein nabati yang mirip dengan yang ditemukan
pada lateks. contohnya: buah tropis (kiwi, pisang, alpukat) dan chestnut.
Antibiotik
•Semua jenis antibiotik berpotensi menyebabkan reaksi alergi
dan anafilaksis.
•Penisilin dan β-laktam lainnya bertanggung jawab atas 70%
reaksi anafilaksis yang diinduksi antibiotik pada saat
perioperatif.
• Antibiotik yang diaplikasikan secara lokal (seperti: bacitracin
dan beberapa antimikotik) juga dapat menyebabkan reaksi
alergi yang berpotensi mengancam jiwa.
.
Bahan atau zat induksi anestesi
•Reaksi alergi dan anafilaksis setelah penggunaan thiopental jarang
terjadi (1 / 25000 administrasi).
• faktor risiko: paparan sebelumnya dan jenis kelamin perempuan.
•Propofol dapat menginduksi pelepasan histamin langsung dari sel mast,
meskipun jarang menjadi penyebab reaksi alergi pada saat
induksi anestesi.
•reaksi alergi pada orang alergi kedelai tidak pernah didokumentasi
kan setelah penggunaan propofol, meskipun beberapa literatur mengutip
alergi minyak kedelai sebagai kontraindikasi untuk penggunaan propofol.
•Bahan atau zat induksi lainnya (ketamin, benzodiazepin, etomidat)
jarang sekali menjadi penyebab reaksi alergi.
.
Anestesi lokal (AL)
•Jarang menjadi pemicu reaksi alergi
•Dilaporkan insiden dugaan alergi terhadap anestesi lokal:
hingga 30%.
•Alergi sejati saat anestesi lokal lebih sering terlihat dengan
anestesi lokal tipe ester. (Golongan ester (-COOC-) Terdiri dari
kokain, benzokain (amerikain), ametocaine, prokain (novocaine),
tetrakain (pontocaine), kloropokain (nesacaine).
.
.

tetrakain
Protamin
Protamin sulfat adalah obat yang mampu membalikkan efek dari
heparin. Obat ini biasanya digunakan pada kasus overdosis heparin,
namun bila digunakan berlebih juga dapat memberi efek antikoagulan
•Protein berat rendah yang diekstraksi dari sperma ikan.
•Berasal dari garam yang stabil dalam membentuk heparin,
mengakibatkan hilangnya aktivitas antikoagulannya.
•Dapat memancing pelepasan histamin langsung
•menyebabkan hipotensi berat dan terkadang fatal dan bronkospasme.
•Pasien yang berisiko:
•seseorang yang alergi terhadap makanan laut
•pria setelah vasektomi (karena mengembangkan antibodi yang
bersirkulasi terhadap spermatozoa)
•Perhatian utama selama periode perioperatif, karena tidak ada obat
alternatif untuk pembalikan aksi antikoagulan heparin.
.
.
Ekspander volume plasma (koloid)
•Larutan sintetik koloid mampu menghasilkan reaksi
anafilaksis.
•Secara umum, dekstran molekul rendah tidak dapat
menginduksi pembentukan antibodi
•tetapi dapat bereaksi silang dengan antibodi yang terbentuk
sebagai respons terhadap polisakarida yang berasal dari
bakteri.
•Hydroxyethil starch (HES) telah diidentifikasi sebagai agen
penyebab alergi dengan pajanan sebesar 0,006%.
•Anafilaksis karena albumin jarang terjadi
.
Hypertermia maligna
Kondisi peningkatan suhu tubuh akibat reaksi parah terhadap obat-obatan
anestesi tertentu yang digunakan selama prosedur operasi atau perawatan
invasif lainnya. Ini bisa menyebabkan Demam  tinggi, otot kaku, kejang,
bahkan gangguan jantung.

Angka kejadian hipertermia maligna adalah 1 : 15,000 pada anak-anak


sedangkan pada orang dewasa terdapat 1 : 40,000.2 Pasien yang
mengalami krisis hipertermi maligna biasanya pernah menerima paparan
dari obat-obat anastesi umum tanpa menimbulkan gejala sebelumnya, hal
ini terjadi sekitar 50% dari kasus
Obat Anestesi Pemicu hipertermi
Maligna
Halotan, enfluran, isofluran, desfluran, sevofluran, dan succinylcholine.
Desfluran dan sevofluran adalah pemicu kurang kuat, menghasilkan
onset yang lebih bertahap terhadap terjadinya hipertermi maligna.

Penggunaan Infus propofol jangka lama dalam perawatan intensif


pediatrik berhubungan dengan komplikasi yang menimbulkan reaksi
seperti hipertermi maligna
Untuk menyingkirkan risiko terjadinya hipertemia maligna,
sebelum operasi dapat ditanyakan apakah adanya riwayat
pasien atau keluarga yang meninggal setelah anastesi
umum atau didapatkan keadaan demam tinggi.

Pasien yang memiliki riwayat tersebut dapat dikelompokkan


ke dalam pasien susceptible terhadap hipertermia maligna.

Penggunaan gelang medis disarankan untuk menghindari


diberikannya obatobat anastesi pemicu krisis hipertermia
maligna.
Tatalaksana Krisis Hipertermia
Malignant Hyperthermia Association of the United States
merekomndasikan sebagai berikut:
a. Langkah awal - Panggil bantuan - Hentikan prosedur operasi segera
- Hentikan pemakaian anestesi segera - Hiperventilasi dengan oksigen 100%,
lebih dari 10 L/menit untuk mengurangi kelebihan CO2. - Ukur suhu tubuh.
- Larutkan 20 mg dantrolen dengan 60 ml air murni steril tiap vial. Satu vial
- dantrolen mengandung 3 g manitol.
- - Berikan dantrolen dengan dosis awal 2,5 mg/kg dengan cepat. Ulangi
- sampai and-tidal CO2 turun. Dosis ulangan dapat ditingkatkan sampai 10
mg/kg bila perlu.
- - Pastikan jalur intravena yang adekuat. - Pastikan pemasangan arteri line. -
Pastikan pemasangan kateter urin.
- - Bila operasi harus dilanjutkan, gunakan teknik/obat anestesi yang tidak
- memicu hipertermi maligna. Infus kontinyu propofal 100-200 mg/kg/menit
- dikombinasi dengan opioid.
b. Pendinginan tubuh untuk mencapai suhu tubuh - Temperatur yang lebih
rendah pada ruang operasi. - Hentikan semua alat penghangat. - Tempatkan
pak es disekitar pasien. - Berikan larutan salin dingin lewat nasogastric tube.
- Irigasi luka pembedahan dengan larutan salin dingin
Reaksi anafilaksis saat preoperatif
•Terjadi pada 1:10.000 - 20.000 prosedur anestesi dan
1: 6500 pada pemberian agen penghambat
neuromuskuler (NMBA)
• Gejala mulai dari urtikaria ringan sampai meninggal
karena syok
anafilaksis (3-10% kematian perioperatif disebabkan
oleh reaksi ini)
•Reaksi yang parah mungkin hanya melibatkan satu
sistem, paling
umum sistem kardiovaskular
•Sekitar 60% dari reaksi hipersensitivitas tipe cepat
yang terjadi
selama anestesi dimediasi oleh IgE
Manajemen perioperatif pada pasien dengan reaksi alergi
sebelumnya
•Semua pasien yang menderita reaksi anafilaksis (terutama selama
anestesi sebelumnya) harus menjalani investigasi alergi-anestesi
menyeluruh.
•Identifikasi pasien yang berisiko mengalami reaksi anafilaksis
dengan pengambilan riwayat secara rinci
•tidak boleh menyebabkan penundaan operasi darurat.
•pasien dengan asma dan riwayat atopik meningkatkan risiko reaksi
alergi terhadap semua bahan/zat yang diberikan selama anestesi
•Hindari atau ganti bahan/zat yang menyebabkan reaksi alergi
sebelumnya (dilaporkan oleh pasien atau didokumentasikan oleh
tes diagnostik sebelumnya).
•Jika reaksi alergi terjadi selama anestesi umum sebelumnya (tanpa
tindak lanjut lebih lanjut) anestesi lokal harus dipertimbangkan
•Dalam kasus di mana anestesi umum tidak dapat dihindari, harus
dilakukan dengan agen yang volatil
•Obat-obatan alternatif harus diberikan kepada pasien yang
melaporkan alergi terhadap antibiotik dan NSAID.
•Lingkungan bebas lateks harus disediakan untuk pasien dengan
risiko alergi lateks.
Syok adalah kondisi yang terjadi saat tidak terdapat cukup
darah dan oksigen yang mengaliri organ serta jaringan di
dalam tubuh. Sebagai akibatnya, tekanan darah
menjadi sangat rendah dan fungsi organ-organ akan
terganggu

Syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab penderita berada


pada keadaan gawat. obat-obat emergensi dan alat bantu resusitasi
gawat darurat serta dilakukan secepat mungkin. Hal ini diperlukan
karena kita berpacu dengan waktu yang singkat agar tidak terjadi
kematian atau cacat organ tubuh menetap
Anafilaksis dicurigai terjadi pada pasien yang telah dianestesi jika timbul
hipotensi atau bronkhospasme secara tiba-tiba,
terutama jika hal tersebut terjadi setelah pemberian suatu
obat atau cairan. Alergi lateks mungkin mempunyai onset
yang lambat, kadang-kadang memerlukan waktu sampai 60 menit untuk
bermanifestasi.
Kardiovaskuler. Hipotensi dan kolaps kardiovaskuler. Takikardi,
aritmia, EKG mungkin memperlihatkan perubahan iskemik.
Henti jantung. 
Sistem Pernapasan. Edema glottis, lidah dan saluran napas dapat
menyebabkan stridor atau obstruksi saluran napas. Bronkospasme – pada yang
berat. 
Gastrointestinal. Terdapat nyeri abdomen, diare atau muntah.
 Hematologi. Koagulopati. 
Kulit. Kemerahan, eritema, urtikaria.
Penatalaksanaan
Hentikan pemberian bahan penyebab dan minta
pertolongan
 Lakukan resusitasi ABC  Adrenalin sangat bermanfaat
dalam mengobati anafilaksis, juga efektif pada bronkospase
dan kolaps kardiovaskuler.
A – Saluran Napas dan Adrenalin
 Menjaga saluran napas dan pemberian oksigen 100%
 Adrenalin. Jika akses IV tersedia, diberikan adrenalin
1 : 10.0000, 0.5 – 1 ml, dapat diulang jika perlu.
Alternatif lain dapat diberikan 0,5 – 1 mg (0,5 – 1 ml dalam
larutan 1 : 1000) secara IM diulang setiap 10 menit jika
dibutuhkan.
B - Pernapasan
 Jamin pernapasan yang adekuat. Intubasi dan ventilasi mungkin
diperlukan
 Adrenalin akan mengatasi bronkospasme dan edema saluran napas
atas.
 Bronkodilator semprot (misalnya salbutamol 5 mg) atau
aminofilin IV mungkin dibutuhkan jika bronkospasme refrakter (dosis muat
5 mg/kg diikuti dengan 0,5 mg/kg/jam).

C - Sirkulasi 
Akses sirkulasi. Mulai CPR jika terjadi henti jantung.

 Adrenalin merupakan terapi yang paling efektif untuk hipotensi berat.


 Pasang 1 atau dua kanula IV berukuran besar dan secepatnya
memberikan infus saline normal. Koloid dapat digunakan (kecuali
jika diperkirakan sebagai sumber reaksi anafilaksis).
 Aliran balik vena dapat dibantu dengan mengangkat kaki pasien atau
memiringkan posisi pasien sehingga kepala lebih rendah.
Manajemen anafilaksis syok:
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada anamnesis pasien
alergi obat adalah
a). Mencatat semua obat yang dipakai pasien termasuk juga obat
yang sebelumnya telah sering dipakai tetapi tidak menimbulkan
gejala alergi obat;
b). Riwayat pemakaian obat masa lampau dan catat bila ada reaksi;
c). Lama waktu yang diperlukan mulai dari pemakaian obat sampai
timbulnya gejala. Pada reaksi anafilaksis gejala timbul segera, tetapi
kadang-kadang gejala alergi obat baru timbul 7 - 10 hari setelah
pemakaian pertama;
d). Mencatat lama pemakaian, riwayat pemakaian obat sebelumnya.
Alergi obat sering timbul bila obat diberikan secara berselang-seling,
berulang-ulang, serta dosis tinggi secara parenteral;
e). Diagnosis alergi obat sangat mungkin bila gejala menghilang
setelah obat dihentikan dan timbul kembali bila pasien diberikan
obat yang sama;
f). Pemakaian obat topikal (salep) antibiotik jangka lama merupakan
salah satu jalan terjadinya sensitisasi obat yang harus diperhatikan.
Asuhan kep. Anestesi
1)Pengkajian;
2)Diagnosa;
3)Perencanaan;
4)Implementasi; dan
5)Evaluasi.
.
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai