Anda di halaman 1dari 80

PANDUAN PRAKTIKUM ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI KOMPLIKASI

UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

Kampus Terpadu:
Jl. Siliwangi No. 63 Nogotirto, Gamping, Sleman, Yogyakarta. 55292,
Telepon: (0274) 4469199, Fax.: (0274) 4469204 email: info@unisayogya.ac.id

2022

1
PANDUAN PRAKTIKUM ASUHAN KEPERAWATAN
ANESTESI KOMPLIKASI

Semester GASAL TA 2022/2023

PENYUSUN

Anita Setyowati, S.Tr.Kep

NAMA : ……………..………………….……..
NIM : ……………..…………………..……..

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI


PROGRAM SARJANA TERAPAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘ASIYIYAH YOGYAKARTA
2022

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Identitas Modul
Judul Modul : Panduan Praktikum Asuhan Keperawatan Anestesi Komplikasi
Nama Mata Kuliah : Asuhan Keperawatan Anestesi Komplikasi
Nomer Kode MK/sks : KAN 5030/4 Sks (0,5 Sks Teori, 2,5 Sks Praktikum, 1 Sks
Tutorial)
Bidang Ilmu : Keperawatan Anestesi
Status Mata Kuliah : Wajib/Peminatan

Dosen Penyusun Modul


Nama : Anita Setyowati, S.Tr. Kep
NIP : 9703221910542
Pangkat/ Golongan : - / IIIA
Jabatan Fungsional Akademik : -
Fakultas/ Program Studi : Fakultas Ilmu Kesehatan/Prodi Keperawatan Anestesiologi
Universitas : Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta

Yogyakarta, 20 September 2022

DISETUJUI OLEH Penanggungjawab Mata Kuliah

Anita Setyowati, S.Tr. Kep

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................................ i


HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
KATA PENGANTAR ................................................................................................. iv
BAB I VISI, MISI, DAN TUJUAN ............................................................................ 1
BAB II TINJAUAN MATA KULIAH
A. Deskripsi Mata Kuliah ................................................................................... 2
B. Kegunaan Mata Kuliah ................................................................................. 2
C. Capaian Pembelajaran ................................................................................... 2
D. Bahan Kajian.................................................................................................. 3
E. SasaranBelajar ............................................................................................... 3
F. Petunjuk Belajar ............................................................................................ 3
BAB III PENDAHULUAN
A. Sasaran Pembelajaran yang Ingin Dicapai .................................................... 5
B. Ruang Lingkup .............................................................................................. 5
C. Manfaat ......................................................................................................... 5
D. Uraian Pembahasan ....................................................................................... 5
E. Petunjuk Khusus ........................................................................................... 6
BAB IV MATERI PEMBELAJARAN
A. Praktikum Sliding Scale ................................................................................. 7
B. Praktikum Pemasangan Trakheostomi .......................................................... 10
C. Praktikum Bronchial Toilet ........................................................................... 14
D. Praktikum Perawatan WSD ........................................................................... 16
E. Praktikum Ventilator ...................................................................................... 24
F. Praktikum Penilaian Nyeri CPOT .................................................................. 26
G. Praktikum Pengambilan Darah Arteri ........................................................... 28
H. Praktikum Analisa Gas Darah ....................................................................... 32
I. Praktikum Pemantauan Hemodinamik Invasif ...............................................
J. Praktikum Arterial Lines ................................................................................ 34
K. Praktikum Resusitasi Cairan........................................................................... 45

iv
L. Praktikum TIK ............................................................................................... 47
M. Praktikum Pengkajian SOFA ........................................................................ 60
N. Praktikum Koreksi Elektrolit ......................................................................... 62
O. Praktikum Interpretasi EKG .......................................................................... 67
P. Asuhan Perawatan Anestesi Komplikasi pada gangguan Sistem Respirasi
....................................................................................................................... 80
Q. Asuhan Perawatan Anestesi Komplikasi pada gangguan Sistem Kardiovaskuler
........................................................................................................................ 81
BAB V PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahim

v
Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh
Alhamdulillahirobbil’alaamiin

Puji Syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya berkat
nikmat dan insyah-Nya buku Panduan Praktikum Asuhan Keperawatan Anestesi
Komplikasi untuk semester V ini berhasil tersusun. Tujuan penyusunan buku ini adalah
untuk memudahkan mahasiswa dalam mempelajari penerapan asuhan keperawatan
anestesi komplikasi, sebagai dasar untuk mempelajari ilmu-ilmu di bidang keperawatan
anestesiologi. Buku praktikum ini diberikan pada mahasiswa Program Studi Keperawatan
Anestesiologi Program Sarjana Terapan semester V.
Penyusunan buku praktikum ini sapat diselesaikan dengan baik atas bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan
ucapan terimakasih kepada :
1. Warsiti, S.Kep., M.Kep., Sp.Mat, selaku Rektor Universitas ‘Aisyiyah
Yogyakarta
2. Moh. Ali Imron, selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas ‘Aisyiyah
Yogyakarta
3. dr. Joko Murdiyanto, Sp.An., MPH, selaku Ketua Program Studi Keperawatan
Anestesiologi Program Sarjana Terapan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
‘Aisyiyah Yogyakarta
4. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa buku panduan praktikum ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu diperlukan dsaran dan kritik yang bersifat membangun untuk
perbaikan penyusunan yang akan datang

Wassalamu‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Yogyakarta, 20 September 2022


Penulis

vi
BAB I
VISI, MISI, TUJUAN
PRODI KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI PROGRAM SARJANA TERAPAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

A. VISI
Menjadi Program Studi Keperawatan Anestesiologi Program Sarjana Terapan, pilihan
dan unggul dalam penerapan kesehatan bencana berdasarkan nilai–nilai Islam
Berkemajuan di tingkat Nasional pada tahun 2035.

B. MISI
1. Menyelenggarakan pendidikan, penelitan, pengadian kepada masyarakat dalam
bidang Keperawatan Anestesiologi dengan keunggulan kesehatan bencana
berdasarkan nilai-nilai Islam Berkemajuan.
2. Menyelenggarakan kajian dan pemberdayaan perempuan bidang Keperawatan
Anestesiologi dalam kerangka Islam Berkemajuan

C. TUJUAN
1. Menghasilkan lulusan berakhlak mulia, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi
di bidang keperawatan anestesi, unggul dalam penerapan kesehatan bencana,
profesional, berjiwa entrepreneur, dan menjadi kekuatan penggerak (driving force)
dalam memajukan kehidupan bangsa.
2. Menghasilkan karya-karya ilmiah di bidang Keperawatan Anestesiologi yang
menjadi rujukan dalam pemecahan masalah.
3. Menghasilkan karya inovatif dan aplikatif di bidang keperawatan anestesiologi yang
berkontribusi pada pemberdayaan dan pencerahan.
4. Menerapkan model berbasis praksis pemberdayaan perempuan berlandaskan
nilainilai Islam Berkemajuan, khususnya di daerah mitra rentan bencana.
5. Menghasilkan pemikiran Islam Berkemajuan dan sebagai penguat moral spiritual
dalam implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi

1
BAB II
TINJAUAN MATA KULIAH

A. Deskripsi Mata Kuliah


Asuhan Keperawatan Anestesi Komplikasi merupakan salah satu mata kuliah
di Program Studi Keperawatan Anestesiologi yang ditempuh mahasiswa pada
semester kelima. Modul ini diperuntukkan bagi mahasiswa Prodi Anestesiologi
Program Studi Sarjana Terapan Anestesiolgi Semester V. Modul ini memberikan
pengalaman belajar sebanyak 4 sks dengan rincian: 0,5 SKS Teori (4x2x50 menit),
1 SKS Tutorial (7x2x50 menit) dan 2,5 sks praktikum (2,5 X 14 X 170 menit) yang
ditempuh melalui 35 x pertemuan. Pengalaman belajar meliputi kuliah teori tatap
muka, diskusi, penugasan, praktikum skill lab UNISA

B. Kegunaan Mata Kuliah


Mampu memberikan pemahaman dan penguasaan kepada mahasiswa prodi
Keperawatan Anestesiologi Program Sarjana Terapan mengenai analsisi berpikir
kritis pada pasien komplikasi, menguasai pengelolaan penggunaan serta
pengoperasian alat pada pasien komplikasi, asuhan keperawatan anestesi
komplikasi dengan berbagai sistem.

C. Capaian Pembelajaran
1. Sikap
a. Berperan sebagai warga negara yang bangga dan cinta tanah air,
memiliki nasionalisme serta rasa tanggungjawab pada negara dan
bangsa;
b. Menghargai keanekaragaman budaya, pandangan, agama, dan
kepercayaan, serta pendapat atau temuan orisinil orang lain;
c. Menginternalisasi nilai, norma, dan etika akademik;
d. Memiliki sikap mandiri, fleksibilitas, dan persiten;
2. Pengetahuan
a. Menguasai teknik asuhan keperawatan anestesi, preanestesi,
intraanestesi, pascaanestesi, manajemen nyeri, kegawatdaruratan
dan kritis, serta manajemen bencana;
b. Menguasai teknik asuhan keperawatan anestesi pada berbagai gangguan
sistem tubuh, asuhan keperawatan anestesi di luar kamar operasi dan
asuhan keperawatan anestesi di luar rumah sakit.

2
3. Ketrampilan Umum
a. Mampu menerapkan pemikiran logis, kritis, inovatif, bermutu, dan
terukur dalam melakukan pekerjaan yang spesifik di bidang keperawatan
anestesi serta sesuai dengan standar kompetensi kerja di bidang anestesi;
b. Mampu mengkaji kasus penerapan ilmi pengetahuan dan teknologi yang
memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora sesuai dengan bidang
kepenataan anestesi dalam rangka menghasilkan prototipe, prosedur
baku, desain atau karya seni, menyusun hasil kajiannya dalam bentuk
kertas kerja, spesifikasi desain, atau esai seni, dan mengunggahnya dalam
laman perguruan tinggi.
4. Ketrampilan Khusus
Mampu melakukan pelayanan asuhan kepenataan anestesi dengan
menerapkan pengetahuan, teknologi, dan atau seni dalam bidang kepenataan
anestesi pada peri anestesi, komplikasi anestesi, kegawatdaruratan, dan
kepenataan kritis

D. Bahan Kajian
1. Asuhan Keperawatan Anestesi Kasus Komplikasi sistem kardiovaskuler
2. Asuhan Keperawatan Anestesi Kasus Komplikasi sistem endokrin
3. Asuhan Keperawatan Anestesi Kasus Komplikasi sistem respirasi
4. Asuhan Keperawatan Anestesi Kasus Komplikasi sistem hematologi
5. Asuhan Keperawatan Anestesi Kasus Komplikasi Obstetri ginekologi

E. Sasaran Belajar
1. Mahasiswa mampu memahami dan menguasai asuhan keperawatan anestesi
komplikasi dengan gangguan berbagai
2. Mahasiswa mampu menganalisa dan berpikir kritis pada kasus pasien
komplikasi
3. Mahasiswa mampu memahami dan menguasai penggunaan serta pengoperasian
alat pada pasien komplikasi

F. Petunjuk Belajar
Ada beberapa cara yang dapat dimanfaatkan agar dapat mempelajari modul ini
secara efektif, antara lain:

3
1. Bacalah setiap petunjuk yang terdapat dalam modul ini dengan baik, agar
tidak terjadi kesalahan persepsi terhadap isi modul.
2. Pahamilah setiap indikator keberhasilan yang ingin dicapai sebelum
membaca isi materi.
3. Bacalah isi setiap materi modul dengan teliti.
4. Pahamilah isi setiap materi pokok dengan baik.
5. Kerjakan setiap soal latihan dengan jawaban singkat dan benar.
6. Baca dan pahamilah setiap rangkuman yang diberikan pada akhir materi
pokok.
7. Kerjakan soal-soal evaluasi di akhir materi pokok dengan memilih jawaban
yang tepat dengan cermat dan teliti.
8. Ulangi membaca jika masih ada kesulitan dalam menjawab dan
mengerjakan soal evaluasi

TOPIC TREE (BAHAN KAJIAN) ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI


KASUS KOMPLIKASI

4
BAB III
PENDAHULUAN

A. Sasaran Pembelajaran yang ingin dicapai


a. Mahasiswa mampu memahami dan menguasai asuhan keperawatan anestesi komplikasi
dengan gangguan berbagai sistem
b. Mahasiswa mampu menganalisa dan berpikir kritis pada kasus pasien komplikasi
c. Mahasiswa mampu memahami dan menguasai penggunaan serta pengoperasian alat pada
pasien komplikasi
d. Asuhan Keperawatan Anestesi Kasus Komplikasi Obstetri ginekologi

B. Ruang Lingkup bahan modul


1. Asuhan Keperawatan Anestesi Kasus Komplikasi sistem kardiovaskuler
2. Asuhan Keperawatan Anestesi Kasus Komplikasi sistem endokrin
3. Asuhan Keperawatan Anestesi Kasus Komplikasi sistem respirasi
4. Asuhan Keperawatan Anestesi Kasus Komplikasi sistem hematologi
5. Asuhan Keperawatan Anestesi Kasus Komplikasi Obstetri ginekologi

C. Manfaat mempelajari modul


1. Memberikan kepuasan bagi dosen pembimbing apabila mahasiswa mampu memahami
pembelajaran secara baik.
2. Sebagai bahan ajar praktikum mata kuliah Asuhan Keperawatan Anestesi Komplikasi
3. Sebagai bahan rujukan bagi mahasiswa.
4. Dapat memotivasi mahasiswa.
5. Sebagai latihan dan evaluasi mahasiswa.
6. Dapat membatasi materi sehingga mahasiswa lebih mudah untuk belajar

D. Urutan Pembahasan
1. Praktikum Sliding Scale
2. Praktikum Pemasangan Trakheostomi
3. Praktikum Bronchial Toilet
4. Praktikum Perawatan WSD
5. Praktikum Ventilator
6. Praktikum Penilaian Nyeri CPOT
7. Praktikum Pengambilan Darah Arteri

5
8. Praktikum Analisa Gas Darah
9. Praktikum Pemantauan Hemodinamik Invasif
10. Praktikum Arterial Lines
11. Praktikum Resusitasi Cairan
12. Praktikum TIK
13. Praktikum Pengkajian SOFA
14. Praktikum Koreksi Elektrolit
15. Praktikum Interpretasi EKG
16. Asuhan Perawatan Anestesi Komplikasi pada gangguan Sistem Respirasi
17. Asuhan Perawatan Anestesi Komplikasi pada gangguan Sistem Kardiovaskuler

E. Petunjuk Khusus
1. Petunjuk bagi Dosen
a. Membantu mahasiswa dalam merencanakan proses belajar.
b. Membimbing mahasiswa dalam memahami bahan kajian dan latihan mahasiswa.
c. Mengorganisasikan kegiatan belajar kelompok.
2. Petunjuk bagi Mahasiswa
a. Bacalah dan pahami materi yang ada pada setiap kegiatan belajar. Bila ada materi
yang belum jelas, mahasiswa dapat bertanya kepada dosen pengampu.
b. Kerjakan setiap tugas terhadap materi-materi yang dibahas dalam kegiatan belajar.
c. Kerjakan latihan-latihan soal dan latih tes formatif yang sudah tercantum dalam
buku panduan praktikum di setiap materinya.
d. Jika belum menguasai level materi yang diharapkan, ulangi lagi ada kegiatan
belajar sebelumnya atau bertanyalah kepada dosen pengampu

6
BAB IV MATERI
MATERI PEMBELAJARAN

Materi Pembelajaran 1

A. Judul Materi :
Sliding Scale
B. Sub capaian Pembelajaran
Mahasiswa mampu menganalisa dan berpikir kritis pada kasus pasien komplikasi
C. Materi

1. Prinsip umum terapi sliding scale :


a. Jumlah karbohidrat yang akan dimakan setiap kali makan telah ditentukan
sebelumnya.
b. Dosis insulin basal (latar belakang) tidak berubah. Anda mengambil dosis
insulin kerja panjang yang sama, tidak peduli berapa tingkat glukosa darahnya.
c. Bolus insulin didasarkan pada kadar gula darah sebelum makan atau sebelum
tidur
d. Dosis insulin campuran didasarkan pada kadar gula darah sebelum makan

2. Slifing scale umum:


a. Insulin kerja panjang (glargine / detemir atau NPH), sekali atau dua kali sehari
dengan insulin kerja pendek (aspart, glulisine, lispro, Reguler) sebelum makan
dan sebelum tidur
b. Insulin kerja panjang (glargine / detemir atau NPH), diberikan sekali sehari
c. Reguler dan NPH, diberikan dua kali sehari
d. Analog insulin pra-campuran, atau short-acting atau Reguler dan NPH,
diberikan dua kali sehari

3. Kekurangan :
a. Metode sliding scale tidak mengakomodasi perubahan kebutuhan insulin
terkait makanan ringan atau stres dan aktivitas.
b. Tetap perlu menghitung karbohidrat.
c. Timbangan geser kurang efektif dalam menutupi gula darah tinggi sebelum
makan, karena koreksi glukosa darah tinggi dan bolus makanan tidak dapat
dipecah.

7
Jika GDS > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, dilakukan sliding scale
setiap 6 jam dengan regular insulin. Sliding Scale pemakaian Insulin :
GDS INSULIN
≥350 RI 20 unit
300 – 350 RI 15 unit
250 – 300 RI 10 unit
200 – 250 RI 5 unit
< 200 RI stop.

8
Materi Pembelajaran 2

A. Judul Materi :
Pemasangan Trakheostomi
B. Sub capaian Pembelajaran
Mahasiswa mampu memahami dan menguasai penggunaan serta pengoperasian alat
pada pasien komplikasi
C. Materi
1. Anatomi Fisiologi Trakea
Trakea merupakan tabung berongga yang disokong oleh cincin kartilago.
Panjang trakea pada orang dewasa 10-12 cm. Trakea berawal dari kartilago
krikoid yang berbentuk cincin meluas ke anterior pada esofagus, turun ke dalam
thoraks di mana ia membelah menjadi dua bronkus utama pada karina. Pembuluh
darah besar pada leher berjalan sejajar dengan trakea di sebelah lateral dan
terbungkus dalam selubung karotis. Kelenjar tiroid terletak di atas trakea di
setelah depan dan lateral. Ismuth melintas trakea di sebelah anterior, biasanya
setinggi cincin trakea kedua hingga kelima. Saraf laringeus rekuren terletak
pada sulkus trakeoesofagus. Di bawah jaringan subkutan dan menutupi trakea di
bagian depan adalah otot-otot supra sternal yang melekat pada kartilago tiroid
dan hioid.

Gambar Saluran pernapasan atas dan Trakea

2. Pengertian
Trakeostomi adalah prosedur pembedahan dengan memasang slang melalui
sebuah lubang ke dalam trakea untuk mengatasi obstruksi jalan nafas bagian atas

9
atau mempertahankan jalan nafas dengan cara menghisap lendir, atau untuk
penggunaan ventilasi mekanik yang kontinu. Trakeostomi dapat digunakan
sementara yaitu jangka pendek untuk masalah akut, atau jangka panjamg
biasanya permanen dan slang dapat dilepas (Marelli,2008:228)
Trakeostomi adalah prosedur dimana dibuat lubang ke dalam trakea. Ketika
selang indweling dimasukkan ke dalam trakea, maka istilah trakeostomi
digunakan (Smeltzer dan Bare,2013:653). Pada awalnya trakeostomi sering
dilakukan dengan indikasi sumbatan jalan napas atas, namun saat ini sejalan
dengan kemajuan unit perawatan intensif, trakeostomi lebih sering dilakukan
atas indikasi intubasi lama (prolonged intubation) dan penggunaan mesin
ventilasi dalam jangka waktu lama.(Dina,2015)
Keputusan untuk melakukan trakeostomi pada Komplikasinya dapat
dilakukan dalam waktu 7 hari dari intubasi.(Charles,2010)

3. Manfaat
Menurut Charles (2010) Trakeostomi memiliki kelebihan apabila dibandingkan
dengan intubasi endotrakeal jangka panjang antara lain:
a. Meningkatkan kenyamanan pasien
b. Kebersihan rongga mulut
c. Kemampuan untuk berkomunikasi
d. Kemungkinan makan secara oral serta perawatan yang lebih mudah dan
aman
e. Memiliki potensi untuk menurunkan penggunaan obat sedasi dan
analgesic sehingga dapat menfasilitasi proses penyapihan dan
menghidari pneumonia akibat ventilator mekanik.

10
4. Indikasi
Menurut novialdi dan surya (2009). Indikasi dasar trakeostomi secara garis besar
adalah :
a. Pintas (bypass) Obstruksi jalan nafas atas
b. Membantu respirasi untuk periode yang lama
c. Membantu bersihan sekret dari saluran nafas bawah
d. Proteksi traktus trakeobronkhial pada pasien dengan resiko aspirasi
e. Trakeostomi elektif, misalnya pada operasi bedah kepala leher
sehingga memudahkan akses dan fasilitas ventilasi.
f. Untuk elektif, misalnya pada operasi bedah kepala leher
g. Untuk mengurangi kemungkinan timbulnya stenosis
subglotis.
5. Indikasi trakeostomi di ICU menurut Charles (2010) antara lain:
a. Mencegah obstruksi jalan nafas atas karena tumor, pembedahan, trauma,
benda asing, atau infeksi
b. Untuk mencegah kerusakan laring di jalan nafas karena intubasi
endotrakeal yang berkepanjangan
c. Untuk memudahkan akses ke jalan nafas untuk melakukan pengisapan
dan pengangkatan sekresi
d. Untuk menjaga jalan napas yang stabil pada pasien yang
membutuhkan dukungan ventilasi mekanis atau oksigenasi prolonged
6. Klasifikasi
Menurut Hadikawarta, Rusmarjono, Soepardi (2004:201-212), trakeostomi
dibagi atas 2 (dua) macam, yaitu berdasarkan letak trakeostomi dan waktu
dilakukan tindakan. Berdasarkan letak trakeostomi terdiri atas letak rendah dan
letak tinggi dan batas letak ini adalah cincin trakea ketiga. Sedangkan
berdasarkan waktu dilakukan tindakan maka trakeostomi dibagi dalam:
a. Trakeostomi darurat (dalam waktu yang segera dan persiapan sarana
sangat kurang)
b. Trakeostomi berencana (persiapan sarana cukup) dan dapat dilakukan
secara baik.
7. Teknik Menurut Novialdi dan Surya (2009:3), berikut teknik trakeostomi :
a. Trakeostomi emergensi

11
Trakeostomi emergensi relatif jarang dilakukan dan penyebab yang
sering adalah obstruksi jalan nafas atas yang tidak bisa diintubasi. Anoksia
pada obstruksi jalan nafas akan meyebabkan kematian dalam waktu 4-5
menit dan tindakan trakeostomi harus dilakukan dalam 2-3 menit. Teknik
insisi yang paling baik pada trakeostomi emergensi adalah insisi kulit
vertikal dan insisi vertikal pada cincin trakea kedua dan ketiga
b. Trakeostomi elektif
Saat ini mayoritas tindakan trakeostomi dilakukan secara elektif atau semi
- darurat. Trakeostomi elektif paling baik dilaksanakan diruang operasi
dengan bentuan dan peralatan yang adekuat.
c. Trakeostomi Dilatasi Perkutaneus
Trakeostomi dilatasi perkutaneus adalah suatu teknik trakeostomi minimal
invasif sebagai alternatif terhadap teknik konvensional. Trakeostomi
dilatasi perkutaneus (TDP) dilakukan dengan cara menempatkan kanul
trakeostomi dengan bantuan serangkaian dilator dibawah panduan
endoskopi. Prosedur ini dikenalkan oleh Pasquale Ciagalia pada tahun
1985. Griggs pada tahun 1990 melakukan modifikasi dengan menggunaan
kawat pemandu dan forsep dilatasi (Griggs Guidewire Dilating Forceps/
GWDF) pada prosedur ini.
8. Komplikasi
Menurut Smeltzer & Bare (2013:654) komplikasi yang terjadi dalam
penatalaksanaan selang trakeostomi dibagi atas:
a. Komplikasi dini
• Perdarahan
• Pneumothoraks
• Embolisme udara
• Aspirasi
• emfisema subkutan atau mediastinum
• kerusakan saraf laring kambuhan atau penetrasi sinding trakea
posterior

b. Komplikasi jangka panjang


• Obstruksi jalan nafas akibat akumulasi sekresi
• Infeksi
• Ruptur arteri inominata

12
• Disfagia
• Fistula trakeoesofagus
• Dilatasi trakea atau iskemia trakea
• Nekrosis

9. Jenis Kanul
Kanul trakeostomi yang ideal harus cukup kaku untuk dapat mempertahankan
jalan nafas namun cukup fleksibel untuk membatasi kerusakan jaringan dan
memberikan kenyamanan pada pasien. Kanul trakeostomi dibagi menjadi 2
bahan yaitu bahan plastik dan bahan metal Secara Komplikasi, kanul trakeostomi
yang terbuat dari bahan plastik lebih disukai dibandingkan bahan bahan logam.
Hal ini disebabkan bahan plastik lebih fleksibel dan nyaman serta sedikit
traumatik ke jaringan sekitarnya.Kanul trakeostomi tersedia dengan kanul dalam
(kanul ganda) dan tanpa kanul dalam.Kanul ganda memiliki kanul dalam yang
dapat menjaga kanul tetap bersih sehinggamencegah sumbatan total kanul (Dina
:2015) Menurut Novialdi dan Surya (2009). Berikut beberapa jenis kanul
trakeostomi adalah:
a. Kanul dengan Cuff
Kanul ini diindikasikan suction Tekanan uadara dalam cuff dipertahankan
20-25 mmHg, jika tekanan cuff lebih tinggi dapat menekan kapiler,
menyebabkan iskemia mukosa dan stenosis trakea. Jika tekanan cuff
lebih rendah dapat menyebabkan mikroaspirasi dan meningkatkan
pneuomonia nosokomial. Kanul ini relative dikontraindikasikan pada
anak-anak usia kurang dari 12 tahun karena adanya resiko kerusakan
perkembangan membran trakea, memiliki cincin trakea yang sempit
terutama sekitar cincin krikoid sehingga kebocoran udaranya minimal.
Kanul ini memberikan jalan nafas yang aman sampai pasien bisa dilepaskan
dari ventilator dan sudah dapat mengeluarkan sekretnya sendiri. Sebagian
besar balon yang digunakan berbentuk barel dengan volume yang tinggi dan
tekanan yang rendah untuk mendistribusikan tekanan dalam balon sehingga
dapat mengurangi ulserasi trakea, nekrosis dan atau stenosis. Komplikasi
dari kanul tipe ini adalah adanya gangguan menelan karena balon akan
menghalangi elevasi laring saat proses menelan sehingga tidak ada proteksi
dari aspirasi sekret.

13
b. Kanul tanpa cuff
Tipe ini biasanya digunakan untuk pasien yang tidak membutuhkan ventilasi
tekanan positif jangka lama, tidak adanya resiko aspirasi seperti pada
pasien yang mengalami kelumpuhan pita suara, tumor kepala dan leher,
gangguan neuromuskular, anak- anak dan neonatus.
c. Fenestrated tubes Kanul ini mempunyai lobang tunggal atau multiple
pada lengkungan kanul. Kanul ini tersedia dengan atau tanpa balon
d. Extended tube tracheostomy
Kanul ini lebih panjang. Biasanya digunakan pada pasien dengan
pembesaran kelenjar tyroid atau pasien yang mengalami penebalan jaringan
lunak leher, trakeomalasia, stenosis trakea pada level yang rendah,
khypoidosis. Kanul ini tersedia dengan atau tanpa anak kanul

14
Materi Pembelajaran 3

A. Judul Materi :
Broncial toilet
B. Sub capaian Pembelajaran
Mahasiswa mampu memahami dan menguasai penggunaan serta pengoperasian alat
pada pasien komplikasi
C. Materi
1. Pengertian
Suctioning atau penghisapan merupakan tindakan untuk mempertahankan
jalan nafas sehingga memungkinkan terjadinya proses pertukaran gas yang
adekuat dengan cara mengeluarkan sekret pada klien yang tidak mampu
mengeluarkannya sendiri (Timby, 2009). Tindakan suction merupakan suatu
prosedur penghisapan lendir, yang dilakukan dengan memasukkan selang
catheter suction melalui selang endotracheal (Syafni, 2012).
Bronchial Toilet Bronchial toilet adalah upaya untuk menjaga hygiene
bronchial yang terdiri dari satu atau kombinasi dari tindakan : Terapi inhalasi,
terapi aerosol, bronchodilator, nafas dalam dan batuk efektif, fisioterapi dada,
postural drainage dan tindakan penghisapan lendir (suctioning).
Suctioning Endotracheal Suctioning Endotracheal adalah tindakan
membersihkan jalan nafas melalui jalan nafas buatan ETT/ Tracheostomi kanul
dengan menggunakan kateter suction dan alat penghisap.
Dapat disimpulkan hisap lendir merupakan tindakan untuk
mempertahankan kepatenan jalan nafas dengan mengeluarkan sekret pada klien
yang tidak mampu mengeluarkannya sendiri dengan memasukkan catheter
suction ke endotracheal tube sehingga memungkinkan terjadinya proses
pertukaran gas yang adekuat.
2. Tujuan :
a. Mempertahankan jalan nafas tetap bebas
b. Memperbaiki ventilasi pernafasan
c. Memperbaiki oksigenasi dan mencegah hipoksia
d. Mencegah infeksi yang disebabkan akumulasi sekret
e. Mengambil sekret untuk pemeriksaan diagnostic

15
3. Indikasi :
a. Pasien yang menggunakan jalan nafas buatan ETT / Tracheostomi baik pada
pasien yang pernafasannya masih dibantu ventilator maupun sudah spontan
b. Pasien dengan retensi sputum
c. Di duga adanya infeksi jalan nafas
4. Kontra Indikasi :
a. Bronchospasme
b. Pasca bedah dini trepanasi
c. Oedema paru dengan PEEP yang tinggi > 10 cm H2O
5. Indikasi
Pasien memerlukan suctioning adalah adanya : a. Perubahan tanda – tanda vital (
seperti meningkatnya / menurunnya heart rate, frekuensi nafas) b. Sesak nafas c.
Gelisah d. Terlihat adanya sekret di jalan nafas e. Terdengar suara sekret baik secara
langsung maupun pada pemeriksaan auskultasi f. Bunyi alarm ventilator yang
disebabkan tekanan jalan nafas meningkat.
6. Komplikasi
Dalam melakukan tindakan hisap lender perawat harus memperhatikan
komplikasi yang mungkin dapat ditimbulkan, antara lain yaitu (Kozier & Erb, 2002)
1) Hipoksemia
2) Trauma jalan nafas
3) Infeksi nosokomial
4) Respiratory arrest
5) Bronkospasme
6) Perdarahan pulmonal
7) Disritmia jantung
8) Hipertensi/hipotensi
9) Nyeri
10) Kecemasan

7. Persiapan alat
a. Alat penghisap lengkap dengan : Regulator, slang penyambung, botol penampung
b. Oksigen dengan perlengkapannya O2 sentral /O2 tabung
c. Bag and Mask / Ambu bag dengan selangnya
d. Kateter suction steril
e. Sarung tangan steril

16
f. Kasa steril 2 – 3 lembar
g. Aqua steril
h. Air bersih dalam botol
i. Stetoscope
8. Peralatan Suction
o TABUNG OKSIGEN /OKSIGEN SENTRAL - MESIN SUCTION /
SUCTION SENTRAL
Pelaksanaan
a. Mencuci tangan
b. Jelaskan pada pasien tentang tindakan yang akan dilakukan
c. Auskultasi suara nafas untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan
penghisapan dan mengetahui lokasi penumpukan sekret
d. Atur regulator dengan kekuatan menghisap : - Dewasa : 80 – 120
mmHg = 106 – 160 mbar = 0,10 – 0,6 bar - Anak : 60 – 80 mm Hg =
80 – 106 mbar = 0,08 – 0,10 bar - Bayi : 35 – 45 mm Hg = 40 – 60
mbar = 0,04 – 0, 6 bar Catatan : - 1 bar = 1000 mbar ,
1 mbar =0,75 mmHg,
1 mmHg = 1,36 cm H2O
e. Kaji / observasi pada monitor EKG : Irama jantung, nadi , tekanan
darah, saturasi oksigen ) sebelum, selama dan sesudah tindakan
suctioning
o AUSKULTASI SEBELUM SUCTION & EVALUASI SUARA NAFAS
SEBELUM MENGAHIRI SUCTION - MONITORING VITAL SIGN,
SEBELUM, SELAMA & SESUDAH SUCTION
Pada pasien yang menggunakan ventilator
I.OPEN SYSTEM
a. Oksigenasi dengan oksigen 100 % selama 1 – 2 menit Hal ini bisa
dilakukan dengan menggunakan Bag and Mask atau pasien tetap
menggunakan ventilator
b. Lepaskan ETT / tracheostomy kanul dari Bag and Mask atau ventilator
c. Lakukan penghisapan sekret dengan teknik aseptik menggunakan sarung
tangan dan kateter suction steril yang mempunyai diameter 1/3 dari
diameter lumen ETT atau tracheostomy kanul

17
UKURAN SUCTION Tidak lebih dari ½ diameter ETT/TC (Bersten et
al. 2003) Diameter tracheal tube x 3 2 Contoh : ETT no. 8 8 x 3 = 24/2
= 12 FG suction cath
d. Masukan kateter suction kedalam ETT atau tracheostomi kanul dalam
posisi tidak menghisap secara perlahan – lahan sampai notok / terasa ada
hambatan lalu tarik 1 cm, kemudian keluarkan kateter dalam posisi
menghisap sambil diputar.
e. Lakukan penghisapan dengan waktu tidak boleh lebih dari 10 – 15 detik
f. Kateter diusap dengan kasa steril lalu dibilas dengan aqua steril
g. Sebelum melakukan penghisapan berikutnya, lakukan oksigenasi lagi
dengan Oksigen 100 %
h. Penghisapan dilakukan berulang – ulang sampai bersih
i. Tindakan suctioning bisa juga dilakukan bersamaan dengan tindkan
fisioterapi nafas yang terdiri dari : Clapping, Vibrating, postural
drainage.
j. Penghisapan nasopharyngeal, maupun oropharingeal dilakukan setelah
penghisapan melalui ETT / tracheostomy kanul selesai.( Diyakinkan
dengan auskultasi suara nafas sudah bersih )
k. Bilas kateter suction yang telah digunakan untuk nasopharyngeal
maupun oropharingeal dengan air bersih.
l. Kembalikan pernafasan pasien pada ventilator, atur prosentase oksigen (
FiO2) sesuai yang diberikan sebelum suction. 13. Yakinkan ventilator
sudah dalam posisi “ON”

II. Closed System ( Tanpa melepas pasien dari ventilator / sumber oksigen)
Pada prinsipnya hamper sama dengan metode diatas, hanya pada saat
penghisapan pasien tetap terpasang ventilator dan penghisapan dilakukan
melalui Elbow konektor dengan menggunakan cateter suction khusus.
Pada pasien yang sudah lepas ventilator ( nafas spontan ) tapi masih
menggunakan tracheostomi kanul
1. Atur posisi pasien sesuai kondisi
2. Auskultasi suara nafas
3. Berikan Nebulizer + O2 8 liter / menit selama 15 – 20 menit

18
4. Lakukan fisioterapi nafas yang terdiri dari : - Latihan nafas dalam dan
batuk efektif - Clapping, vibrating, postural drainage
5. Berikan oksigen dengan menggunakan masker transfaran khusus untuk
tracheostomi dengan flow 8 liter / menit, biarkan psien bernafas 8 – 10
x pernafasan .
Catatan : Pada pasien yang nafas dan batuknya belum adekuat dan pada
pasien yang tidak sadar,secara berkala Bagging harus tetap dilakukan
untuk mengembangkan alveoli supaya tidak terjadi atalektasis
6. Lakukan penghisapan dengan teknik aseptic ( caranya sama dengan
pasien yang masih menggunakan ventilator )
7. Sebelum melakukan penghisapan berikutnya berikan oksigen lagi dan
biarkan pasien bernafas selama kurang lebih 1-2 menit ( minimal 8-10
kali pernafasan )
Lakukan penghisapan berulang – ulang sampai bersih

19
Materi Pembelajaran 4

A. Judul Materi :
Perawatan WSD
B. Sub capaian Pembelajaran
Mahasiswa mampu memahami dan menguasai penggunaan serta pengoperasian alat
pada pasien komplikasi
C. Materi
1. Pengertian
Water Seal Drainage (WSD) adalah suatu prosedur untuk mengeluarkan cairan
atau udara dari dalam rongga pleura dengan menggunakan slang kecil diameter
G14– G18, dengan air sebagai katup pembatas. Drainasechest tube terdiri
dari insersi perkutan selang yang kecil atau besar yang biasanya terbuat dari
silikon atau polyurethane ke dalam rongga pleura. Prosedur ini dikerjakan pada
pasien dengan penyakit pada paru dan pleura. Indikasi utamanya adalah pasien
dengan pneumotoraks, emfiema, efusi pleura berulang, complicated
parapneumonic effusion, hemotoraks, pasien yang menjalani pleurodesis, dan
setelah pembedahan toraks. Pada trauma thoraks WSD dapat berarti :
a. Diagnostik : menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau
kecil, sehingga dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum
penderita jatuh dalam shok.
b. Terapi : Mengeluarkan darah,cairan atau udara yang terkumpul di rongga
pleura. Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga "mechanic of
breathing", dapat kembali seperti yang seharusnya.
c. Preventif : Mengeluarkan udara atau darah yang masuk ke rongga pleura
sehingga "mechanic of breathing" tetap baik.

2. Indikasi pemasangan WSD


a. Indikasi pemasangan WSD
• Hematotoraks
• pneumotoraks

b. Indikasi pemasangan WSD pada pneumothoraks karena trauma tajam atau


trauma tembus thorak
• Sesak nafas atau gangguan nafas

20
• Bila gambaran udara pada foto toraks lebih dari seperempat rongga
torak sebelah luar
• Bila ada pneumotorak bilateral
• Bila ada tension pneumotorak setelah dipunksi
• Bila ada haemotoraks setelah dipunksi
• Bila pneumotoraks yang tadinya konservatif pada pemantauan
selanjutnya ada perburukan
3. Macam-macam WSD
a. Single bottle Water Seal System
Ujung akhir pipa drainase dari dada pasien dihubungkan ke dalam satu
botol yang memungkinkan udara dan cairan mengalir dari rongga pleura
tetapi tidak mengijinkan udara maupun cairan kembali ke dalam rongga dada.
Secara fungsional, drainase tergantung pada gaya gravitasi dan mekanisme
pernafasan, oleh karena itu botol harus diletakkan lebih rendah. Ketika jumlah
cairan di dalam botol meningkat, udara dan cairan akan menjadi lebih sulit
keluar dari rongga dada, dengan demikian memerlukan suction untuk
mengeluarkannya.
Sistem satu botol digunakan pada kasus pneumothoraks sederhana
sehingga hanya membutuhkan gaya gravitasi saja untuk mengeluarkan isi
pleura. Water seal dan penampung drainage digabung pada satu botol dengan
menggunakan katup udara. Katup udara digunakan untuk mencegah
penambahan tekanan dalam botol yang dapat menghambat pengeluaran cairan
atau udara dari rongga pleura. Karena hanya menggunakan satu botol yang
perlu diingat adalah penambahan isi cairan botol dapat mengurangi daya hisap
botol sehingga cairan atau udara pada rongga intrapleura tidak dapat
dikeluarkan.

21
b. Two bottle system
System ini terdiri dari botol water-seal ditambah botol penampung cairan.
Drainase sama dengan system satu botol, kecuali ketika cairan pleura
terkumpul, underwater seal system tidak terpengaruh oleh volume drainase.
Sistem dua botol menggunakan dua botol yang masing-masing berfungsi
sebagai water seal dan penampung. Botol pertama adalah penampung
drainage yang berhubungan langsung dengan klien dan botol kedua
berfungsi sebagai water seal yang dapat mencegan peningkatan tekanan
dalam penampung sehingga drainage dada dapat dikeluarkan secara optimal.
Dengan sistem ini jumlah drainage dapat diukur secara tepat.

c. Three bottle system


Pada system ini ada penambahan botol ketiga yaitu untuk mengontrol jumlah
cairan suction yang digunakan. Sistem tiga botol menggunakan 3 botol yang
masing-masing berfungsi sebagai penampung, "water seal" dan pengatur;
yang mengatur tekanan penghisap. Jika drainage yang ingin, dikeluarkan
cukup banyak biasanya digunakan mesin penghisap (suction) dengan tekanan
sebesar 20 cmH20 untuk mempermudah pengeluaran. Karena dengan mesin
penghisap dapat diatur tekanan yang dibutuhkan untuk mengeluarkan isi
pleura. Botol pertama berfungsi sebagai tempat penampungan keluaran dari
paru-paru dan tidak mempengaruhi botol "water seal". Udara dapat keluar
dari rongga intrapelura akibat tekanan dalam bbtol pertama yang merupakan
sumber-vacuum. Botol kedua berfungsi sebagai "water seal" yang mencegah
udara memasuki rongga pleura. Botol ketiga merupakan pengatur hisapan.
Botol tersebut merupakan botol tertutup yang mempunyai katup atmosferik
atau tabung manometer yang berfungsi untuk mengatur dan mongendalikan

22
mesin penghisap yang digunakan.

4. Perawatan WSD (Water Seal System)


a. Tujuan
Mencegah infeksi pada insersi slang WSD dengan desinfeksi dan
penggantian kasa tiap hari.
b. Merawat selang dan botol WSD
Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari, diukur output cairan. Dilihat
adakah gelembung udara. Klem slang pada dua tempat dengan kocher pada
setiap membersihkan botol WSD. Perhatikan sterilitas botol dan slang harus
tetap steril. Jangan sampai slang tertarik dari dinding dada.
c. Pasca pemasangan WSD
1) Penderita diletakkan pada posisi setengah duduk (+ 30°)
2) Seluruh sistem drainage : pipa-pipa, botol, harus dalam keadaan rapi,
tidak terdapat kericuhan susunan, dan dapat segera dilihat.
3) pipa yang keluar dari rongga thoraks harus difiksasi ke tubuh dengan
plester lebar, jingga mencegah goyangan.
4) Dengan memakai pipa yang transparan, maka dapat dilihat keluarnya
sekret. Harus dijaga bahwa sekret keluar lancar. Bila terlihat
gumpalan darah atau lainnya, harus segera diperah hingga lancar
kembali.
5) Setiap hari harus dilakukan kontrol foto torak AP untuk melihat :
a) keadaan paru
b) posisi drain
c) lain kelainan (emphyema, bayangan mediastonim)
6) Jumlah sekrit pada botol penampungan harus dihitung

23
a) banyaknya sekrit yang keluar (tiap jam – tiap hari)
b) macamnya sekrit yang keluar (pus,darah dan sebagainya)

7) Pada penderita selalu dilakukan fisioterapi napas


8) Setiap kelainan pada drain harus segera dikoreksi.

d. Pasca pemasangan WSD selalu dimintakan fisioterapi


1) Untuk batuk efektif dan penderita harus latihan membatuk-batukkan
2) Untuk nafas dalam (inspirasi dan ekspirasi)
3) Untuk nafas dada terutama bagian atas

e. Pemberian analgetik untuk mengurangi nyeri


Fiksasi selang yang kuat untuk mencegah tertarik atau bergesernya slang
menganggu bergeraknya pasien, sehingga rasa sakit di bagian masuknya
slang dapat dikurangi pada saat pasien bergerak.
f. Ukur banyaknya cairan suction
Bila ada perdarahan, ukur dalam 24 jam setelah pasca pemasangan WSD,
umumnya 500–800 cc. Jika perdarahan dalam 1 jam melebihi 3 cc/kg/jam,
harus dilakukan toraksotomi. Jika banyaknya hisapan bertambah/berkurang,
perhatikan juga secara bersamaan keadaan pernapasan

24
Materi Pembelajaran 5

A. Judul Materi :
Ventilator
B. Sub capaian Pembelajaran
Mahasiswa mampu memahami dan menguasai penggunaan serta pengoperasian alat
pada pasien komplikasi
C. Materi
1. Pengertian
Ventilasi mekanik dengan alatnya yang disebut ventilator adalah suatu alat
bantu mekanik yang berfungsi memberikan bantuan nafas pasien dengan cara
memberikan tekanan udara positif pada paru-paru melalui jalan nafas buatan.
Ventilasi mekanik merupakan peralatan “wajib” pada unit perawatan intensif atau
ICU. ( Corwin, Elizabeth J, 2001).
Ventilasi mekanik adalah suatu alat bantu mekanik yang berfungsi
memberikan bantuan nafas pasien dengan cara memberikan tekanan udara positif
pada paruparu melalui jalan nafas buatanadalah suatu alat yang digunakan untuk
membantu sebagian atau seluruh proses ventilasi untuk mempertahankan oksigenasi
( Brunner dan Suddarth, 2002).
2. Tujuan Pemasangan Ventilator
a. Mengurangi kerja pernapasan
b. Meningkatkan tingkat kenyamanan pasien
c. Pemberian MV yang akurat
d. Mengatasi ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi
e. Menjamin hantaran O2 ke jaringan adekuat
3. Indikasi Pasien
a. Pasien dengan gagal nafas
Pasien dengan distres pernafasan gagal nafas, henti nafas (apnu) maupun
hipoksemia yang tidak teratasi dengan pemberian oksigen merupakan
indikasi ventilasi mekanik. Idealnya pasien telah mendapat intubasi dan
pemasangan ventilasi mekanik sebelum terjadi gagal nafas yang sebenarnya.
Distres pernafasan disebabkan ketidakadekuatan ventilasi dan atau
oksigenasi. Prosesnya dapat berupa kerusakan paru (seperti pada
pneumonia) maupun karena kelemahan otot pernafasan dada (kegagalan
memompa udara karena distrofi otot).

25
b. Insufisiensi jantung
Tidak semua pasien dengan ventilasi mekanik memiliki kelainan pernafasan
primer. Pada pasien dengan syok kardiogenik dan CHF, peningkatan
kebutuhan aliran darah pada sistem pernafasan (sebagai akibat peningkatan
kerja nafas dan konsumsi oksigen) dapat mengakibatkan jantung kolaps.
Pemberian ventilasi mekanik untuk mengurangi beban kerja sistem
pernafasan sehingga beban kerja jantung juga berkurang
c. Disfungsi neurologist Pasien dengan GCS 8 atau kurang yang beresiko
mengalami apnu berulang juga mendapatkan ventilasi mekanik. Selain itu
ventilasi mekanik juga berfungsi untuk menjaga jalan nafas pasien serta
memungkinkan pemberian hiperventilasi pada klien dengan peningkatan
tekanan intra cranial.
d. Tindakan operasi Tindakan operasi yang membutuhkan penggunaan anestesi
dan sedative sangat terbantu dengan keberadaan alat ini. Resiko terjadinya
gagal napas selama operasi akibat pengaruh obat sedative sudah bisa
tertangani dengan keberadaan ventilasi mekanik.
4. Kriteria Pemasangan VM
Seseorang perlu mendapat bantuan ventilasi mekanik (ventilator) bila :
a) Frekuensi napas lebih dari 35 kali per menit.
b) Hasil analisa gas darah dengan O2 masker PaO2 kurang dari 70 mmHg.
c) PaCO2 lebih dari 60 mmHg
d) AaDO2 dengan O2 100 % hasilnya lebih dari 350 mmHg.
e) Vital capasity kurang dari 15 ml / kg BB.
Ventilasi mekanik merupakan modalitas terapi non farmakologi yang dapat
dimanfaatkan dalam perawatan pasien dengan kondisi gagal jantung selama
perioperatif pembedahan umum dan kardiak. Pengaturan yang sesuai dengan
kebutuhan masing-masing pasien dapat memberikan keuntungan dengan
mengurangi beban jantung dan konsumsi oksigen dari otot pernapasan. Selain itu
pengaturan ventilasi mekanik yang minimal juga dapat mengurangi risiko
barotrauma atau volutrauma tanpa mengurangi pengisian volume jantung.

26
Materi
Materi Pembelajaran 6

A. Judul Materi
Penilaian Nyeri CPOT
B. Sub Capaian Pembelajaran
Mahasiswa mampu menganalisa dan berpikir kritis pada kasus pasien komplikasi
C. Materi
Penurunan kesadaran adalah ketidaksiagaan seseorang terhadap diri dan
sekitarnya. Masalah keperawatan yang sering terjadi pada pasien dengan penurunan
kesadaran adalah perubahan perfusi jaringan, gangguan pernafasan, hambatan
mobilitas fisik, gangguan aktivitas menelan, hambatan komunikasi dan nyeri.
Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
yang berhubungan dengan adanya atau potensi rusaknya jaringan atau keadaan yang
menggambarkan kerusakan jaringan tersebut. Pada pasien dengan penurunan
kesadaran mengalami ketidakmampuan untuk melaporkan nyeri sendiri secara verbal
maka perlu dilakukan observasi perilaku nyeri dan gejala fisiologis menjadi indikator
penting untuk menilai nyeri pada pasien.
Critical Care Pain Observation Tool (CPOT) merupakan alat ukur nyeri yang
direkomendasikan untuk mengukur nyeri pada pasien dengan penurunan kesadaran.
CPOT adalah sebuah skala sikap yang disarankan oleh para ahli untuk menilai nyeri
pada pasien-pasien kritis yang tidak dapat berkomunikasi secara verbal. CPOT
dikembang oleh Gelines (dkk) pada tahun 2006.

Petunjuk Penilaian Nyeri dengan CPOT (Gelinas, 2006)


1. Amati pasien selama satu menit
2. Kemudian pasien harus diamati selama mendapatkan tindakan pengobatan untuk
mendeteksi perubahan yang terjadi
3. Pasien harus diamati sebelum dan pada puncah tindakan pengobatan untuk
menilai apakah pengobatan efektif atau tidak dalam menghilangkan nyeri
4. Amati nilai CPOT setelah dilakukan tindakan pengobatan.

Pasien dilakukan pengkajian nyeri pada saat pasien istirahat dan pada saat
prosedur yang menyakitkan (nociceptive) yaitu perubahan posisi (repositioning).
Pengkajian nyeri dilakukan menggunakan BPS yang berdasarkan pada tiga domain

27
: ekspresi wajah, gerakan ekstremitas atas, dan kepatuhan dengan ventilasi mekanik
(compliance ventilated). Pada pasien yang sama kemudian dilakukan pengkajian
nyeri dengan CPOT yang berdasarkan pada empat domain: ekspresi wajah, gerakan
tubuh, ketegangan otot, dan kepatuhan dengan ventilasi mekanis untuk pasien
dengan intubasi dan vokalisasi untuk pasien ekstubasi. Pasien dinilai 0, 1, atau 2
pada empat domainnya, CPOT memberikan nilai keseluruhan dari 0 (tidak ada rasa
sakit) sampai 8 (sakit maksimum) (Gelinas, Fillion, et al, 2006). Total skor CPOT
adalah 8 (semakin tinggi skor yang didapat mengindikasikan tingkat nyeri yang
dialami pasien).

28
FORM PENGKAJIAN NYERI CPOT (CRITICAL CARE PAIN OBSERVATION
TOOL)

Indikator Deskripsi Nilai


Ekspresi wajah Tidak ada ketegangan otot (rileks) 0
Menerutkan kening, alis menurun, pengencangan orbit
1
dan levator (tegang)
Wajah menengadah ke atas dan kelopak
mata tertutup rapat 2

Gerakan tubuh Tidak bergerak sama sekali (tidak ada pergerakan) 0


Menunjukkan gerakan lambat dan gerakan
hati-hati menyentuh lokasi nyeri (melindungi daerah 1
nyeri)
Menarik tube, mencoba duduk, menggerakkan tungkai,
tidak mengikuti perintah, memukul staf/mengamuk, 2
mencoba turun dari tempat tidur (gelisah)

Ketegangan otot Tidak ada tahanan terhadap gerakan pasif (rileks) 0


(Di evaluasi dengan Ada tahanan terhadap gerakan pasif (tegang, kaku) 1
fleksi pasif pada Tahanan kuat pada saat digerakkan atau tidak dapat
lengan atas dilakukan gerakan tersebut (sangat tegang atau kaku) 2
pasien)
Penyesuaian Alarm tidak berbunyi, pernafasan normal (toleransi
0
terhadap ventilator terhadap ventilator)
(pasien dengan Alarm berbunyi namun berhenti sendiri (batuk namun
ETT) 1
toleransi)
Blocking ventilasi, alarm sering berbunyi
(menolak ventilator, menangis) 2
Atau Berbicara dengan nada suara biasa atau tidak
bersuara sama sekali 0
Vokal (pada pasien Mendesah, mengerang 1
tanpa ETT)
Menangis, tersedu-sedu 2
Total
Sumber: (Marmo & Fowler, 2010)

Catatan:
Skor 0 : tidak nyeri
Skor 1-2 : nyeri ringan
Skor 3-4 : nyeri sedang
Skor 5-6 : nyeri berat
Skor 7-8 : nyeri sangat berat

29
Materi
Materi Pembelajaran 7

D. Judul Materi
Pengambilan Darah Arteri
E. Sub Capaian Pembelajaran
Mahasiswa mampu menganalisa dan berpikir kritis pada kasus pasien komplikasi
F. Materi
a. Definisi
Sistem respirasi sangat berperan pada pertukaran gas dan pengaturan
asam basa tubuh, aktivitas metabolisme akan mempengaruhi produksi
karbondioksida (CO2) dan selanjutnya akan mempengaruhi keasaman (pH)
tubuh. Pemeriksaan Analisa gas darah (AGD) adalah pemeriksaan yang
bertujuan mengukur fungsi primer paru dan keseimbangan asam basa dalam
darah. Fungsi primer paru terutama digambarkan dengan PaO2 dan PaCO2
sedangkan keseimbangan asam basa digambarkan dengan pH darah. Indikasi
dilakukan pemeriksaan AGD ialah ; untuk melakukan penilaian terhadap
adekuasi ventilasi (PaCO2), asam basa darah (pH dan PCO2), status
oksigenasi (PaO2, SaO2) serta kapasitas angkut oksigen darah (PaO2,
HbO2). Pemeriksaan AGD juga diindikasikan untuk menilai respons
pengobatan dan evaluasi diagnostik (terapi oksigen invasive maupun non
invasive) dan untuk moitoring keparahan dan perkembangan penyakit.
Analisa gas darah arteri dilakukan ketika dibutuhkan informasi tentang status
asam-basa klien. Kontraindikasi : keadaan fibrinolisis sistemik, seperti pada
terapi trombolitik merupakan keadaan kontraindikasi relatif.
b. Tujuan :
Tujuan dilakukan analisa gas darah adalah untuk mengetahui :
• pH darah
• Tekanan parsial Karbon Dioksida (PCO2)
• Bikarbonat (HCO3-)
• Base excess/deficit
• Tekanan Oksigen (PO2)
• Kandungan Oksigen (O2)
• Saturasi Oksigen (SO2)

30
c. Faktor-faktor yang berkontribusi pada nilai-nilai analisa gas darah yang
abnormal
• Obat-obatan dapat meningkatkan pH darah: sodium bikarbonat
• Kegagalan untuk mengeluarkan semua udara dari spuit akan
menyebabkan nilai PaCO2 yang rendah dan nilai PaO2 meningkat
• Obat-obatan yang dapat meningkatkan PaCO2 : aldosterone,
ethacrynic acid, hydrocortisone, metolazone, prednisone, sodium
bicarbonate, thiazides.
• Obat-obatan yang dapat menurunkan PaCO2 : acetazolamide,
dimercaprol, methicillin sodium, nitrofurantoin, tetracycline,
triamterene.
• Obat-obatan yang dapat meningkatkan HCO3-: alkaline salts,
diuretics
• Saturasi oksigen dipengaruhi oteh tekanan parsial oksigen dalam
darah, suhu tubuh, pH darah, dan struktur hemoglobin.
d. Lokasi Pengambilan Darah Arteri
Pengambilan sampel darah arteri lebih sulit dibandingkan sampel darah vena
karena pembuluh darahnya lebih dalam dan tidak terlihat/teraba dengan
komplikasi yang lebih berat. Arteri radialis merupakan pilihan pertama
karena paling dangkal, memiliki kolateral (arteri ulnaris), dan mudah
perabaannya. Pilihan arteri berikutnya adalah arteri brachialis dan arteri
dorsalis pedis, sedangkan arteri femoralis merupakan pilihan terakhir.
Sebenarnya pengambilan sampel dari arteri femoralis lebih mudah karena
ukuran arteri lebih besar, tapi beresiko menyebabkan perdarahan yang sering
tidak diketahui karena lokasinya tertutup selimut.
Sebelum pengambilan darah dari arteri radialis, harus dilakukan modified
Allen test untuk menentukan apakah arteri ulnaris dapat memberikan
sirkulasi kolateral ke tangan.
Modified Allen test
a. Pasien diminta untuk menggenggam, tekan arteri ulnaris dan arteri
radialis dengan 2 jari pada masing-masing arteri
b. Pasien diminta membuka genggamannya, amati telapak tangan pasien
menjadi pucat

31
c. Lepas tekanan pada arteri ulnaris, bila telapak tangan pasien menjadi
kemerahan, maka tes positif, darah bisa diambil
e. Prosedur pengambilan darah arteri
a. Siapkan spuit 3 cc atau spuit khusus untuk AGD yang sudah
preheparinized. Jumlah antikoagulan 0,2 mL heparin .
b. Bersihkan daerah arteri yang akan ditusuk dengan kapas-alkohol 70%
dan biarkan kering
c. Posisi tangan hiperekstensi pd pergelangan, diganjal handuk gulung
atau bantal kecil
d. Tusuk pada yang denyutnya paling menonjol dengan sudut 45–60o
(90 o untuk a. femoralis)
e. Hisap darah secukupnya lalu cabut jarum beserta sempritnya dan
segera tutup ujung jarum dengan karet, dan semprit dibolak-balik
beberapa kali agar darah bercampur heparin
f. Setelah jarum dicabut, tekan daerah itu dengan kapas atau kassa
kering 3-5 menit
g. Segera dikirim ke laboratorium dalam waktu kurang dari 15 menit
atau diletakkan ke dalam wadah berisi es (atau wadah pendingin lain
dengan suhu 1–5°C) untuk meminimalkan konsumsi oksigen oleh
leukosit.

32
Materi Pembelajaran 8

A. Judul Materi :
Interpretasi AGD
B. Sub capaian Pembelajaran
Mahasiswa mampu menganalisa dan berpikir kritis pada kasus pasien komplikasi
C. Materi
1. Pengertian
Analisa gas darah (AGD) adalah prosedur pemeriksaan medis yang bertujuan
untuk mengukur jumlah oksigen dan karbon dioksida dalam darah. AGD juga
dapat digunakan untuk menentukan tingkat keasaman atau pH darah. Sel-sel
darah merah mengangkut oksigen dan karbon dioksida yang juga dikenal
sebagai gas darah ke seluruh tubuh. Saat darah melewati paru-paru, oksigen
masuk ke dalam darah sementara karbon dioksida terlepas dari sel darah dan
keluar ke paru-paru. Dengan demikian pemeriksaan analisa gas darah dapat
menentukan seberapa baik paru-paru dalam bekerja memindahkan oksigen ke
dalam darah dan mengeluarkan karbon dioksida dari darah.
Ketidakseimbangan antara oksigen, karbon dioksida, dan tingkat pH darah
dapat mengindikasikan adanya suatu penyakit atau kondisi medis tertentu.
Sebagai contoh pada gagal ginjal, gagal jantung, diabetes yang tidak terkontrol,
pendarahan, keracunan zat kimia, overdosis obat, dan syok. Gas darah arteri
memungkinkanuntuk pengukuran pH dan juga keseimbangan asam basa,
oksigenasi, kadar karbondioksida, kadar bikarbonat, saturasi oksigen, dan
kelebihan atau kekurangan basa.
Pemeriksaan gas darah arteri dan pH sudah secara luas digunakan sebagai
pegangan dalam penatalaksanaan pasien-pasien penyakit berat yang akut dan
menahun. Pemeriksaan gas darah juga dapat menggambarkan hasil berbagai
tindakan penunjang yang dilakukan, tetapi kita tidak dapat menegakkan suatu
diagnosa hanya dari penilaian analisa gas darah dan keseimbangan asam basa
saja, kita harus menghubungkan dengan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan
data-data laboratorium lainnya. Pada dasarnya pH atau derajat keasaman darah
tergantung pada konsentrasi ion H+ dan dapat dipertahankan dalam batas normal
melalui 3 faktor, yaitu:
a. Mekanisme dapar kimia

33
Terdapat 4 macam dapar kimia dalam tubuh, yaitu:
• Sistemdapar bikarbonat-asam karbonat
• Sistem dapar fosfat
• Sistem dapar protein
• Sistem dapar haemoglobin
b. Mekanisme pernafasan
c. Mekanisme ginjalMekanismenya terdiri dari:
• Reabsorpsi ion HCO3
• Asidifikasi dari garam-garam dapur
• Sekresi ammonia

2. Prosedur Pemeriksaan Analisis Gas Darah


Pada pemeriksaan ini diperlukan sedikit sampel darah yang diambil dari
pembuluh darah arteri yang ada di pergelangan tangan, lengan, atau pangkal paha.
Oleh sebab itu prosedur ini disebut juga dengan pemeriksaan analisa gas darah
arteri. Dokter atau petugas lab pertama-tama akan mensterilkan tempat suntikan
dengan cairan antiseptik. Setelah mereka menemukan arteri, mereka akan
memasukkan jarum ke dalam arteri dan mengambil darah. Mungkin Anda akan
sedikit merasakan sakit saat jarum suntik masuk ke dalam kulit, tapi tentu ini
tidak begitu menyakitkan. Setelah dirasa cukup, kemudian jarum dicabut, dan
luka tusukan ditutup dengan perban. Sampel darah kemudian akan dianalisa oleh
mesin portabel atau mesin yang ada di laboratorium. Sampel darah harus
dianalisis dalam waktu 10 menit dari waktu pengambilan untuk memastikan
hasil tes yang akurat.

3. Langkah-langkah Untuk Menilai Gas Darah.


a. Pertama-tama perhatikan pH, jika menurun klien mengalami asidemia,
dengan dua sebab asidosis metabolik atau asidosis respiratorik; jika
meningkat klien mengalami alkalemia dengan dua sebab alkalosis
metabolik atau alkalosis respiratorik; ingatlah bahwa kompensasi ginjal
dan pernafasan jarang memulihkan pH kembali normal, sehingga jika
ditemukan pH yang normal meskipun ada perubahan dalam PaCO2 dan
HCO3 mungkin ada gangguan campuran.
b. 2. Perhatikan variable pernafasan, PaCO2 dan metabolic, HCO3yang
berhubungan dengan pH untuk mencoba mengetahui apakah gangguan

34
primer bersifat respiratorik, metabolik atau campuran. Gangguan ini bias
diketahui dari PaCO2normal, meningkat atau menurun danHCO3normal,
meningkat atau menurun. Pada gangguan asam basa sederhana, PaCO2
dan HCO3 selalu berubah dalam arah yang sama danpenyimpangan dari
HCO3 dan PaCO2 dalam arah yang berlawanan menunjukkan adanya
gangguan asam basa campuran.
c. Langkah berikutnya mencakup menentukan apakah kompensasi telah
terjadi hal inidilakukan dengan melihat nilai selain gangguan primer, jika
nilai bergerak yang sama dengan nilai primer makakompensasi sedang
berjalan.
d. Buat penafsiran tahap akhir sama ada ia gangguan asam basa sederhana,
gangguan asam basa campuran
Rentang nilai normal
• pH : 7, 35-7, 45
• TCO2 : 23-27 mmol/L
• PCO2 : 35-45 mmHg
• BE : 0 ± 2 mEq/L
• PO2 : 80-100 mmHg
• saturasi O2: 95 % atau lebih
• HCO3 : 22-26 mEq/L

4. Interpretasi Hasil Analisa Gas Darah


a. Interpretasi Hasil Pemeriksaan pH
Serum pH menggambarkan keseimbangan asam basa dalam tubuh. Sumber
ion hidrogen dalam tubuh meliputi asam volatil dan campuran asam seperti
asam laktat dan asam keto.
Nilai normal pH serum:
• Nilai normal : 7.35 -7.45
• Nilai Komplikasi : < 7.25 -7.55

Implikasi Klinik:
• Komplikasinya nilai pH akan menurun dalam keadaan asidemia
peningkatan pembentukan asam
• Komplikasinya nilai pH meningkat dalam keadaan alkalemia
kehilangan asam

35
• Bila melakukan evaluasi nilai pH, sebaiknya PaCO2 dan HCO3
diketahui juga untuk memperkirakan komponen pernafasan
atau metabolik yang mempengaruhi status asam basa

b. Interpretasi Hasil Tekanan Parsial Karbon Dioksida, (PaCO2)


PaCO2 menggambarkan tekanan yang dihasilkan oleh CO2 kyang
terlarutdalam plasma. Dapat digunakan untuk menetukan efektifitas
ventilasi dan keadaan asam basa dalam darah.
• Nilai Normal : 35 -45 mmHg
• SI : 4.7 -6.0 kPa

Implikasi Klinik:
• Penurunan nilai PaCO2 dapat terjadi pada hipoksia, anxiety/
nervousness dan emboli paru. Nilai kurang dari 20 mmHg perlu
mendapatkan perhatiaan khusus.
• Peningkatan nilai PaCO2 dapat terjadi pada gangguan paru atau
penurunan fungsi pusat pernafasan. Nilai PaCO2 >60 mmHg perlu
mendapat perhatian khusus.
• Komplikasinya peningkatan PaCO2 dapat terjadi pada hipoventilasi
sedangkan penurunan nilai menunjukkan hiperventilasi.
• Biasanya penurunan 1 mEq HCO3 akan menurunkan tekanan PaCO2
sebesar1.3 mmHg.

c. InterpretasiHasil Tekanan Parsial Oksigen, (PaO2).


PaO2 adalah ukuran tekanan parsial yang dihasilkan oleh sejumlah oksigen
yang terlarut dalam plasma. Nilai ini menunjukkan kemampuan paru-paru
dalam menyediakan oksigen bagi darah.
• Nilai Normal (suhukamar, tergantung umur):75 -100 mmHg
• SI : 10 -13.3 kPa

Implikasi Klinik:
• Penurunan nilai PaO2 dapat terjadi pada penyakit paru obstruksi
kronik, PPOK, penyakit obstruksi paru, anemia, hipoventilasi akibat
gangguan fisik atau neoromuskular dan gangguan fungsi jantung

36
• Nilai PaO2 kurang dari 40 mmHg perlu mendapatkan perhatian
khusus.
• Peningkatan nilai PaO2 dapat terjadi pada peningkatan
penghantaran O2 oleh alat bantu, contohnyanasalprongs, alat
ventilasi mekanikhiperventilasi dan polisitemia,peningkatan sel
darah merah dan daya angkut oksigen.

d. Interpretasi Hasil Saturasi Oksigen, (SaO2)


Jumlah oksigen yang diangkut oleh hemoglobin, ditulis sebagai persentasi
total oksigen yang terikat pada hemoglobin.
• Nilai Normal : 95 -99 % O2

Implikasi Klinik:
• Saturasi oksigen digunakan untuk mengevaluasi kadar oksigenasi
hemoglobin dan kecakupan oksigen pada jaringan
• Tekanan parsial oksigen yang terlarut di plasma
menggambarkan jumlahoksigen yang terikat pada hemoglobin
sebagai ion bikarbonat

e. Interpretasi Hasil Pemeriksaan Karbon Dioksida, (CO2)

Dalam plasma normal, 95% dari total CO2 terdapat sebagai ion bikarbonat,
5% sebagai larutan gas CO2 terlarut dan asam karbonat. Kandungan CO2
plasma terutama adalah bikarbonat, suatu larutan yang bersifat basa dan
diatur oleh ginjal. Gas CO2 yang larut ini terutama bersifat asam dan diatur
oleh paru-paru. Oleh karena itu nilai CO2 plasma menunjukkan konsentrasi
bikarbonat
• Nilai Normal Karbon Dioksida (CO2) : 22 -32 mEq/L
• SI : 22 -32 mmol/L

Kandungan CO2 plasma terutama adalah bikarbonat, suatu larutan yang


bersifat basa dan diatur oleh ginjal. Gas CO2 yang larut ini terutama yang
bersifat asam dan diatur oleh paru-paru. oleh karena itu nilai CO2 plasma
menunjukkan konsentrasi bikarbonat.

37
Implikasi Klinik:
• Peningkatan kadar CO2 dapat terjadi pada muntah yang parah,
emfisema, dan aldosteronisme
• Penurunan kadar CO2 dapat terjadi pada gagal ginjal akut, diabetik
asidosis dan hiperventilasi
• Peningkatan dan penurunan dapat terjadi pada penggunaan
nitrofurantoin

f. Interpretasi hasil AGD


Ringkasan penilaian keadaan asam-basa memudahkan perawat secara cepat
dalam menganalisis yang disesuaikan atau dibandingkan dengan parameter
pemeriksaan gas arteri.

Jenis Gangguan pH PCO2 HCO3


Asidosis Murni ↓ ↑ N
Respiratorik Terkompensasi sebagian ↓ ↑ ↑
Terkompensasi penuh N ↑ ↑
Asidosis Murni ↓ N ↓
Metabolik Terkompensasi sebagian ↓ ↓ ↓
Terkompensasi penuh N ↓ ↓

Asidosis: respiratorik dan metabolik ↓↓ ↑ ↓


Alkalosis Murni ↑ ↓ N
Respiratorik Terkompensasi sebagian ↑ ↓ ↓
Terkompensasi penuh N ↓ ↓
Alkalosis Murni ↑ N ↑
Metabolik Terkompensasi sebagian ↑ ↑ ↑

Terkompensasi penuh N ↑ ↑
Alkalosis: respiratorik dan metabolik ↑↑ ↓ ↑

38
Parameter Nilai Definisi – Implikasi
Normal
Tekanan parsial oksigen dalam darah arteri
(menurun bersama umur). Pada dewasa 60 tahun:
PaO2 80-100 1. 60-80 mmHg : hipoksemia ringan
mmHG 2. 40-60 mmHg : hipoksemia sedang

7,40 (± 3. mengetahui
Untuk < 40 mmHgapakah
: hipoksemia berat
terjadi asidemia atau alkalemia, yang paling
0,05 pada 2
sering digunakan dalam klinis adalah nilai yang menggunakan 2 standar
pH SD)
deviasi (SD) dari nilai rata-rata.
7,40 (±
40
0,02(±pada
2 1 Kadar ion hidrogen dapat digunakan sebagai
H+ nmol/L atau
SD) pengganti pH.
nEq/L) Tekanan parsial CO2 dalam darah arteri:
PaCO2 40 (± 5,0 1. PCO2< 35 mmHg : alkalosis respiratorik
mmHg) 2. PCO2> 45 mmHg : asidosis respiratorik
Metode klasik untuk memperkirakan (HCO3-): Ukurlah HCO3- +
CO2 terlarut (yang terakhir umumnya sedikit, kecuali pada
CO2 25,5 (± 4,5
mEq/L) asidosis respiratorik).

Perkiraan kadar HCO3- setelah darah arteri yang


teroksigenasi sepenuhnya diseimbangkan dengan CO2 pada keadaan
HCO3-
24 (± 2 dimana PCO2 40 mmHg dan suhu 380C, menghilangkan pengaruh
Standar mEq/L) pernapasan pada kadar HCO3- plasma.

Mencerminkan komponen metabolik murni.


Kelebihan basa 1,2 x deviasi dari 0
Kelebihan 1. Negatif pada asidosis metabolik.
0 (± 2
Basa mEq/L) 2. Positif pada alkalosis metabolik.
3. Dapat menyesatkan pada gangguan asam basa
campuran.
4. Tidak penting pada interpretasi gangguan asam
basa.
Selisih anion (atau delta) mencerminkan perbedaan antara kation tak
terukur (K+, Mg+, Ca2+) dan anion tak terukur (albumin, anion organik,
HPO4, SO4); berguna untuk mengenali tipe asidosis metabolik, nilai 16
Selisih
12 (± 4 sampai 20 menunjukan asidosis disebabkan oleh retensi asam-asam
Anion mEq/L) organik (contohnya: ketoasidosis diabetik)

39
Materi
Materi Pembelajaran 9

A. Judul Materi
Monitoring Hemodinamik Invasif
B. Sub Capaian Pembelajaran
Mahasiswa mampu menganalisa dan berpikir kritis pada kasus pasien komplikasi
C. Materi
a. Tekanan darah
Tekanan arteri langsung dapat diukur dengan memasukkan kanul kedalam
arteri Lokasi penusukan dapat dilakukan di arteri radialis, arteri ulnaris,
arteri brakialis, arteri femoralis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior
dan arteri aksilaris, Kanula melalui transdusor dihubungkan ke manometer
atau unit pencatat gelombang arteri. Dengan teknik kanulasi, tekanan arteri
dapat diukur secara langsung dan terus menerus. Bentuk gelombang arteri
menggambarkan pembukaan dini katub aorta diikuti peningkatan tekanan
intraarteri segera sampai puncak tekanan sistolik tercapai ejeksi ventrikel
maksimal.

b. Tekanan vena sentralis (CVP)

40
Tekanan vena sentralis dapat dipantau dengan menginsersikan kateter ke
dalam vena besar. Penusukan dapat dilakukan melalui vena jugularis
interna, vena subklavia, vena brakhialis dan vena femoralis sampai posisi
ujung kateter diatas pertemuan vena cava superior dengan atrium kanan.
Tekanan vena sentral juga dapat diukur dengan menggunakan lumen
proksimalis kateter arteri pulmonalis. Karena lokasi ujung kateter terpapar
dengan tekanan intratorakal, pola napas akan mempengaruhi hasil
pengukuran, inspirasi dapat meningkatkan atau menurunkan tekanan vena
sentralis, apakah penderita bernapas spontan atau bernapas dengan ventilasi
mekanik. Untuk memastikan posisi ujung kateter tepat atau tidak dapat
dilakukan dengan cara mengamati perobahan tekanan manometer (undulasi)
selama inspirasi, aspirasi darah mudah dilakukan dan foto torak) Penilaian
tekanan vena sentralis dapat dilakukan dengan manometer air (cm H,0) atau
dengan transduser elektrik (mmHg).

c. Kateterisasi arteri pulmonalis

41
Kateter arteri pulmonalis pertamakali dipergunakan oleh Swan dan
Ganz ke dalam praktek di kamar bedah untuk memonitor hemodinamik
pasien yang tidak stabil dan di unit perawatan intensif karena keterbatasan
jalur vena sentralis menilai perobahan dini gagal ventrikel kiri. Pada pasien-
pasien tidak stabil, dengan diketahuinya nilai curah jantung dan tekanan
oklusi arteri Pulmonalis hal ini dapat digunakan memandu terapi
hemodinamik untuk memastikan perfusi organ.
Ada beberapa metode yang kurang invasif dan dapat digunakan
untuk memantau hemodinamik seperti pengukuran curah jantung termodilusi
transpulmoner, analisis kontur denyut nadi, dan pengukuran bioimpedansi
dinding dada. Saturasi oksigen darah atrium kanan dapat juga digunakan
untuk menilai kecukupan pengiriman oksigen jaringan dan ekstraksi oksigen
jaringan, dibandingkan dengan saturasi oksigen vena campur (normal 75 %).
Daily dan Schroeder (1989) menyatakan bahwa dari pemantauan
arteri pulmonalis diperoleh informasi yang sangat penting mengenai
jantung kiri yang sulit didapat dengan cara lain. Penggunaan kateter arteri
Pulmonalis disarankan digunakan untuk menilai indeks jantung, preload,
status volume intravaskuler, dan kadar oksigen vena campur pasien dengan
hemodinamik tidak stabil.
Pada kondisi-kondisi tidak ada penyakit katub mitral, kateter arteri
pulmonalis dapat digunakan menilai tekanan jantung kiri secara langsung
dan relatif lebih aman dibanding jalur atrium melalui torakotomi. Pada gagal
jantung akut, ventrikel kiri lebih mudah gagal karena beban jantung lebih
besar, otot lebih tebal dan perobahan perfusi koroner.

42
Kateter arteri pulmonalis adalah sebuah kateter multi lumen aliran langsung yang
dimasukkan melalui vena sentralis ke jantung kanan menuju aneri pulmonalis.
Lumen proksimal untuk mengukur tekanan atrium kanan, lumen distal untuk
mengukur tekanan arleri pulmonalis, lumen ke tiga untuk mengembangkan balon dan
lumen ke empat untuk mengukur curah jantung dengan cara termodilusi. Kadang kala
ada kateter arteri pulmonalis yang mempunyai lumen ke lima, lumen tambahan yang
digunakan untuk memasukkan alat pacu jantung (pace maker) untuk memacu
ventrikel pada blok AV (atrio ventricular).

43
Materi
Materi Pembelajaran 10
A. Judul Materi
Arterial Lines
B. Sub Capaian Pembelajaran
Mahasiswa mampu menganalisa dan berpikir kritis pada kasus pasien komplikasi
C. Materi
a. Definisi
Arterial Line/arterial cathether Definisi merupakan kanula kecil yang
dimasukkan ke dalam arteri dan dihubungkan dengan alat monitor untuk
memonitor keadaan tekanan darah pasien secara kontinu. Saat darah mengalir
melewati ujung dari kateter, tekanan mekanik dari aliran darah akan dideteksi
dan diubah menjadi gelombang listrik oleh alat monitoring yang dinamakan
transducer

Pengukuran tekanan darah intra arterial ini lebih akurat dibandingkan dengan
pengukuran tekanan darah yang non infasif, terutama pada pasien yang dalam
keadaan sakit kritis. Dengan tindakan ini, dapat dilihat perubahan tekanan
darah pasien secara cepat dan akurat. anulasi arteri ini juga dapat digunakan
sebagai sarana untuk pengukuran/analisa gas darah tanpa perlu melukai
pasien lagi. Pemasangan arterial line ini dapat dilakukan pada beberapa arteri,
seperti arteri radialis, ulnaris, brakialis, aksilaris, tibialis posterior, femoralis,
dan dorsalis pedis, dimana arteri yang paling sering dipakai adalah arteri
radialis, terutama karena letaknya yang lebih superfisial dan mudah untuk

44
dilakukan pemasangan. Arteri yang kedua tersering dipakai adalah arteri
femoralis, karena ukurannya yang lebih besar dan juga pulsasi yang lebih kuat
serta lebih rendahnya resiko thrombosis dan resiko terlepasnya kateter secara
tak sengaja
b. Indikasi
a. Monitoring tekanan darah langsung secara kontinu ( pengukuran
mean arterial pressure lebih akurat daripada pengukuran tekanan
darah melalui sphygmomanometer pada pasien yang obes, sangat
kurus, mengalami luka bakar yang parah pada ekstremitas, atau
memiliki tekanan darah yang sangat rendah).
b. sering dilakukan pengambilan sample darah.
c. sering dilakukan pengambilan sample darah arteri untuk analissa gas
darah.
d. indikasi spesifik
• Tekanan darah pasien tidak stabil
• Antisipasi instabilitas hemodinamik
• Titrasi obat vasoaktif
• Sangat obes (tidak bisa dilakukan pengukuran tekanan darah
secara
c. Kontra indikasi absolut
1) Nadi tidak terbaba
2) Thromboangiitis obliterans (buerger diseasse)
3) Luka bakar derajat 3 pada tempat tempat yang menjadi lokasi
pemasangan kanula
4) Sirkulasi yang inadekuat pada ekstremitas
5) Raynaud syndrome
6) Kontra indikasi relatif
• Antikoagulasi
• Atheroschlerosis
• Koagulopati
• Infeksi pada tempat pemasangan kanula
• Luka bakar derajat 2 dalam pada lokasi pemasangan kanula

45
Materi Pembelajaran 11

A. Judul Materi :
Manajemen syok dan resusitasi cairan
B. Sub capaian Pembelajaran
Mahasiswa mampu menganalisa dan berpikir kritis pada kasus pasien komplikasi
C. Materi
1. Pengertian
Syok atau renjatan dapat merupakan keadaan terdapatya pengurangan yang
sangat besar dan tersebar luas pada kemampuan pengangkutan oksigen serta
unsur- unsur gizi lainnya secara efektif ke berbagai jaringan Shock tidak terjadi
dalam waktu lebih lama dengan tanda klinis penurunan tekanan darah, dingin,
kulit pucat, penurunan cardiac output.
Suatu keadaan dimana terjadi ketidakcukupan aliran darah (hipoperfusi)
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan
2. Tanda -tanda klinis
a. Nadi cepat
b. Kesadaran gelisah-koma
c. Perfusi dingin, basah, pucat
d. Nafas cepat dan dangkal
e. Produksi urine <0,5 cc/kg/jam
3. Jenis syok
a. Hipovolemik
Syok Hipovolemik atau oligemik Perdarahan dan kehilangan cairan yang
banyak akibat sekunder dari muntah, diare, luka bakar, atau dehidrasi
menyebabkan pengisian ventrikel tidak adekuat, seperti penurunan preload berat,
direfleksikan pada penurunan volume, dan tekanan end diastolic ventrikel kanan
dan kiri. Perubahan ini yang menyebabkan syok dengan menimbulkan isi
sekuncup (stroke volume) dan curah jantung yang tidak adekuat.
b. Kardiogenik
Syok Kardiogenik Syok kardiogenik ini akibat depresi berat kerja jantung
sistolik. Tekanan arteri sistolik < 80 mmHg, indeks jantung berkurang di bawah
1,8 L/menit/ m2, dan tekanan pengisian ventrikel kiri meningkat. Pasien sering

46
tampak tidak berdaya, pengeluaran urin kurang dari 20 ml/ jam, ekstremitas dingin
dan sianotik.
Penyebab paling sering adalah 40% lebih karena miokard infark ventrikel
kiri, yang menyebabkan penurunan kontraktilitas ventrikel kiri yang berat, dan
kegagalan pompa ventrikel kiri. Penyebab lainnya miokarditis akut dan depresi
kontraktilitas miokard setelah henti jantung dan pembedahan jantung yang lama
c. Distributif
Bentuk syok septic, syok neurogenik, syok anafilaktik yang menyebabkan
penurunan tajam pada resistensi vaskuler perifer. Patogenesis syok septic
merupakan gangguan kedua system vaskuler perifer dan jantung.
d. Obstruktif
Syok ini merupakan ketidakmampuan ventrikel untuk mengisi selama diastole,
sehingga secara nyata menurunkan volume sekuncup (Stroke Volume) dan
berakhirnya curah jantung. Penyebab lain bisa karena emboli paru masif
4. Tatalaksana Syok
a. Airway, breathing+oksigen
b. Posisi syok
c. Pasang 2 infus jarum besar
d. Ambil sampel darah
e. Pemberian cairan
5. Syok Hipovolemik
Suatu keadaan dimana terjadi ketidakcukupan aliran darah (hipoperfusi)
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan. Syok hipovolemik terjadi
ketika ada kehilangan volume cairan intravaskular. Pada syok hipovolemik,
volume tidak cukup untuk mengisi ruang vaskular. Penyebab paling umum dari
syok hipovolemik adalah hemorraghe (kehilangan darah lengkap yang
berlebihan). Jumlah kehilangan darah yang mengakibatkan syok tergantung pada:
efisiensi mekanisme kompensasi seseorang dan kecepatan kehilangan darah.
Tanda dan gejala dari syok hipovolemik harus dipantau oleh perawat secara
berkala. Sebagai seorang perawat, dia harus mengerti dan memiliki kemampuan
untuk menangani kondisi ini, di setiap tempat/bangsal. Perawat harus memberikan
intervensi yang tepat atau manajemen darurat untuk mengobatinya.

47
Materi
Materi Pembelajaran 12

A. Judul Materi
Tekanan Intra Kranial
B. Sub Capaian Pembelajaran
Mahasiswa mampu menganalisa dan berpikir kritis pada kasus pasien komplikasi
C. Materi
a. Prinsip TIK
Diuraikan pertama kali oleh Profesor Munroe dan Kellie pada tahun 1820.
Mereka menyatakan bahwa pada orang dewasa, otak berada dalam tengkorak
yang volumenya selalu konstan. Ruang intrakranial terdiri atas parenkim otak
sekitar 83%, darah 6%, dan cairan serebrospinal (LCS) 11% . Peningkatan
volume salah satu komponen akan dikompensasi oleh penurunan volume
komponen lainnya untuk mempertahankan tekanan yang konstan (Gambar
2.1).Jaringan otak pada dasarnya tidak dapat dimampatkan, jadi peningkatan
TIK karena pembengkakan otak akan mengakibatkan ekstrusi LCS dan darah
(terutama vena) dari ruang intrakranial, fenomena ini disebut kompensasi
spasial. LCS memegang peranan pada kompensasi ini karena LCS dapat
dibuang dari ruang intrakranial ke rongga spinalis .
b. Pemantauan tekanan intrakranial
Paling banyak digunakan karena pencegahan dan kontrol terhadap
peningkatan TIK serta mempertahankan tekanan perfusi serebral (Cerebral
Perfusion Pressure/CPP) adalah tujuan dasar penanganan cedera kepala. Ada
dua metode pemantauan TIK yaitu metode invasif (secara langsung) dan non
invasive (tidak langsung). Metode yang umum dipakai yaitu intraventrikular
dan intraparenkimal (microtransducer sensor) karena lebih akurat namun
perlu perhatian terhadap adanya risiko perdarahan dan infeksi akibat
pemasangannya. Pemantauan TIK dapat menentukan tindakan yang perlu
dilakukan agar terhindar dari cedera otak selanjutnya, dimana dapat bersifat
irreversibel dan letal.
c. Gejala yang umum dijumpai pada peningkatan TIK
1. Sakit kepala merupakan gejala umum pada peningkatan TIK. Sakit
kepala terjadi karena traksi atau distorsi arteri dan vena dan duramater
akan memberikan gejala yang berat pada pagi hari dan diperberat oleh
aktivitas, batuk, mengangkat, bersin.

48
2. Muntah proyektil dapat menyertai gejala pada peningkatan TIK.
3. Edema papil disebabkan transmisi tekanan melalui selubung nervus
optikus yang berhubungan dengan rongga subarakhnoid di otak. Hal ini
merupakan indikator klinis yang baik untuk hipertensi intrakranial.
4. Defisit neurologis seperti didapatkan gejala perubahan tingkat kesadaran;
gelisah, iritabilitas, letargi; dan penurunan fungsi motorik.
5. Bila peningkatan TIK berlanjut dan progresif berhubungan dengan
penggeseran jaringan otak maka akan terjadi sindroma herniasi dan
tanda-tanda umum Cushing’s triad (hipertensi, bradikardi, respirasi
ireguler) muncul. Pola nafas akan dapat membantu melokalisasi level
cedera.
d. Beberapa kondisi klinis yang harus dinilai pada peningkatan TIK
yaitu:
e.
1. Tingkat kesadaran (GCS)
2. Pemeriksaan pupil
3. Pemeriksaan motorik ocular (perhatian khusus pada nervus III dan VI)
4. Pemeriksaan motorik (perhatian khusus pada hemiparesis
5. Adanya mual atau muntah
6. Keluhan nyeri kepala
7. Vital sign saat itu

49
Materi
Materi Pembelajaran 14

A. Judul Materi
Penilaian SOFA
B. Sub Capaian Pembelajaran
Mahasiswa mampu menganalisa dan berpikir kritis pada kasus pasien komplikasi
C. Materi
a. Definisi
Nilai SOFA (sequential organ failure assesment score) atau skor
penilaian kegagalan organ sekuens adalah sistem yang digunakan untuk
memantau kondisi seseorang selama dirawat di unit rawat intensif (ICU)
untuk menentukan sejauh mana tingkat kegagalan organnya. Nilai SOFA ini
didasarkan pada enam parameter yaitu pernapasan, kardiovaskular, fungsi
hati, koagulasi (pembekuan darah), ginjal dan fungsi neurologis. Penilaian ini
membantu tenaga kesehatan untuk menilai risiko morbiditas dan mortalitas
akibat timbulnya sepsis.
Umumnya dihitung saat pasien masuk dan dinilai ulang setiap 24 jam.
Umumya dipakai untuk pasien yang dirawat secara intensif atau dalam
kondisi penyakit yang berat termasuk sepsis dan Covid-19 yang berat atau
kritis. Penilaian Kelainan Organ Sequential (SOFA) adalah sistem penilaian
yang menilai kinerja beberapa sistem organ dalam tubuh (neurologis, darah,
hati, ginjal, dan menilai kinerja hemodinamika) dan memberikan skor
berdasarkan data yang diperoleh tekanan darah / hemodinamika) dan
memberikan skor berdasarkan data yang diperoleh pada masi. Semakin
tinggi skor nggi skor SOFA, semakin SOFA, semakin tinggi tinggi
kemungkinankemungkinan angka kematiannya (Tracie, 2017).
b. Tujuan
Tujuannya adalah untuk menentukan status pasien selama berada di ICU yang
digunakan sebagai system penilaian untuk menentukan sejauh mana fungsi
organ digunakan sebagai system penilaian untuk menentukan sejauh mana
fungsi organ seseorang atau tingkat kegagalan (Adiputra, 2016). Menurut
Vincent (1998) skor sofa seseorang atau tingkat kegagalan (Adiputra, 2016).
Menurut Vincent (1998) skor sofa dilakukan untuk menilai kegagalan fungsi
organ, menggambarkan urutan dari dilakukan untuk menilai kegagalan fungsi
organ, menggambarkan urutan dari komplikasi, bukan untuk memprediksi

50
mortalitas. Meskipun demikian, ada hubungan komplikasi, bukan untuk
memprediksi mortalitas. Meskipun demikian, ada hubungan antara kegagalan
fungsi organ dan kematian
c. Komponen skor sofa :
1. Pernafasan, dengan menghitung PaO2/ FiO2 2. Sistem saraf, dengan
menggunakan skala GCS
2. Kardiovaskuler, dengan menggunakan MAP dan jumlah kebutuhan
vasopressor 4. Ginjal, dengan menghitung kreatinin atau jumlah urin
yang keluar
3. Hati, dengan menghitung jumlah Billirubin 6. Koagulasi, dengan
menghitung jumlah platelet
d. Pelaksanaan Skor Sofa
Skor SOFA terdiri atas penilaian 6 sistem organ (pernafasan, sistem saraf,
kardiovaskuler, ginjal, hati dan koagulasi). Masing-masing organ mempunyai
nilai antara 0 – 4 berdasarkan derajat disfungsinya, nilai 0 (tidak ada
disfungsi atau gagal organ), nilai 1-2 (disfungsi organ), nilai >2 (gagal organ).

51
Materi Pembelajaran 11

A. Judul Materi :
Interpretasi EKG abnormal
B. Sub capaian Pembelajaran
Mahasiswa mampu menganalisa dan berpikir kritis pada kasus pasien komplikasi
C. Materi
A. Morfologi EKG

52
Ukuran kotak kecil: 1mm dan ukuran kotak besar: 5 mm. Kecepatan kertas pencatatan 25
mm/detik, berarti satu kotak kecil adalah 0,04 detik, satu kotak besar (5 kotak kecil)
adalah
0,20 detik. Amplitudo standar 1 milivolt (mV).

KETERANGAN :
- Gelombang P: aktivasi atrium (depolarisasi atrium)
• Panjang/durasi< 0,12 detik

• Tinggi/amplitudo< 0,3 mV atau < 3 mm

• Selalu positif dilead II dan negatif di lead aVR


- Interval PR: durasi konduksi AV
• Dari awal gelombang P hingga awal kompleks QRS

• Durasi normal 0,12–0,20 detik


- Kompleks QRS: aktivasi ventrikel kanan dan kiri (depolarisasi ventrikel)
• Morfologi bervariasi di antara tiap lead (gambar ada di sub bab interpretasi EKG)

• Gelombang Q defleksi negatif pertama

• Gelombang R defleksi positif pertama

• Gelombang S defleksi negatif setelah gelombang R


- Durasi kompleks QRS: durasi depolarisasi otot ventrikel
• Lebar 0,06–0,12 detik
- Interval PP: durasi siklus atrium
- Interval RR: durasi siklus ventrikel
- Interval QT:durasi depolarisasi dan repolarisasi ventrikel
- Segmen ST
• Dari akhir gelombang S hingga awal gelombang T
• Normal: isoelektrik

- Gelombang T
• Positifdilead I, II, V3–V6 dan negatif di aVR

53
B. Contoh Intepretasi Irama Jantung

1.

* Irama : Teratur
* Heart Rate : 70x/mnt
* Gelombang : P - QRS
* Kesimpulan : Sinus Rithme

2.

* Irama : Teratur

* Heart Rate : 40x/mnt

* Gelombang : P-QRS

* Kesimpulan : Sinus Bradikardi

54
3.

* Irama : Teratur

* Heart Rate : 130x/mnt

* Gelombang : P-QRS

* Kesimpulan : Sinus Takhikardi

4.

* Irama : Tidak Teratur

* Heart Rate : 80x/mnt

* Gelombang : P - QRS

* Kesimpulan : Sinus Arithmia

Gangguan irama jantung atau Aritmia disebabkan karena gangguan


elektrik pada jantung. Gangguan Irama Jantung dapat menyebabkan gejala maupun
tidak bergejala. Terdapat
2 macam aritmia, yaitu denyut jantung pasien dapat dirasakan menjadi sangat lambat
bila kurang dari 60 kali/menit (bradikardi) atau sangat cepat > 100 kali/menit
(takikardi). Denyut jantung yang terlalu lambat atau kurang dari 50 denyut per menit
ditandai dengan badan yang lemas, sering mengantuk atau menguap, keringat dingin
hingga pingsan. Sedangkan denyut jantung yang terlalu cepat ditandai dengan nyeri
dada, sesak napas, keringat dingin, sering berdebar-debar hingga pingsan. Gangguan
irama jantung atau aritmia bisa terjadi pada siapa saja. Hal ini terjadi ketika listrik
jantung mengalami gangguan. Masalah ini pun harus segara diatasi karena bisa

55
berakibat hingga kematian.Aritmia terjadi ketika impuls listrik yang berfungsi
mengatur detak jantung tidak bekerja dengan baik. Hal tersebut dapat disebabkan oleh
beberapa kondisi medis antara lain konsumsi obat tertentu (obat pilek atau obat
alergi), hipertensi, diabetes, gangguan tiroid, kelainan katup jantung dan penyakit
jantung bawaan. Selain kondisi medis, aritmia juga dapat dipicu oleh gaya hidup yang
tidak sehat, seperti tidak dapat mengelola stres dengan baik, kurang tidur, merokok,
konsumsi minuman beralkohol atau berkafein secara berlebihan dan penyalahgunaan
NAPZA. Adapun gejala orang yang memiliki gangguan irama jantung antara lain
pasien kadang merasa terdapat denyut jantung yang hilang atau loncat, pasien dapat
merasa adanya getaran pada dada atau leher, aritmia berat dapat menimbulkan gejala
mudah lelah, kepala pening, pingsan hingga kematian, pada bradikardi dapat
menimbulkan lelah, pening hingga pingsan, merasakan sesak napas maupun nyeri
dada.
Guna menegakkan diagnosis aritmia, dokter biasanya akan menyarankan pasien
untuk melakukan beberapa tes antara lain ekokardiogram untuk mengevaluasi fungsi katup
dan otot jantung serta mendeteksi penyebab aritmia dengan bantuan gelombang suara
ultrasound. Selain itu, elektrokardiogram (EKG) juga perlu dilakukan untuk merekam
aktivitas di dalam jantung dengan menempelkan elektroda pada permukaan kulit di dada.
Langkah selanjutnya adalah melakukan uji latih beban jantung (treadmill test)
menggunakan latihan fisik seperti mengayuh sepeda statis atau berjalan di atas threadmill.
Selain itu, pemeriksaan jantung dilakukan dengan merekam aktivitas jantung selama
melakukan rutinitas setiap hari dengan menggunakan monitor holter serta melakukan studi
elektrofisiologi dengan menggunakan teknik pemetaan penyebaran impuls listrik di dalam
jantung untuk menyetahui lokasi aritmia dan penyebabnya.
Deteksi dini untuk mengetahui kelainan gangguan irama jantung adalah dengan
menghitung nadi per menit. Detak jantung yang normal berkisar antara 60-100 denyut per
menit saat istirahat. Sebagian orang mungkin tidak dapat menghitung detak jantungnya
sendiri. Terlebih lagi apabila denyut nadi di pergelangan tangannya cenderung sulit diraba.
Agar hasil yang didapatkan lebih akurat, jangan sungkan untuk berkonsultasi dengan
dokter kesehatan di fasilitas kesehatan terdekat untuk memastikan ada tidaknya gangguan
irama jantung.

56
Contoh Intepretasi Irama Jantung

2.

3.

4.

57
5.

6.

7.

8.

58
9

10.

11.

12.

59
13.

14.

15.

16

60
17

18.

19.

20.

61
21.

22.

23.

24.

62
25

63
Materi Pembelajaran 15

A. Judul Materi :
Koreksi Elektrolit
B. Sub capaian Pembelajaran
Mahasiswa mampu memahami dan menguasai penggunaan serta pengoperasian alat
pada pasien komplikasi
C. Materi
5. Pengertian
Elektrolit merupakan molekul terionisasi yang terdapat di dalam darah,
jaringan, dan sel tubuh. Molekul tersebut, baik yang positif (kation) maupun yang
negatif (anion) menghantarkan arus listrik dan membantu mempertahankan pH dan
level asam basa dalam tubuh. Elektrolit juga memfasilitasi pergerakan cairan antar
dan dalam sel melalui suatu proses yang dikenal sebagai osmosis dan memegang
peraran dalam pengaturan fungsi neuromuskular, endokrin, dan sistem ekskresi.
Jumlah asupan air dan elektrolit melalui makan dan minum akan dikeluarkan
dalam jumlah relatif sama. Ketika terjadi gangguan homeostasis dimana jumlah
yang masuk dan keluar tidak seimbang, harus segera diberikan terapi untuk
mengembalikan keseimbangan tersebut.
6. Anatomi Cairan Tubuh
Total Body Water ( TBW ) Air merupakan komponen utama dalam tubuh yakni
sekitar 60% dari berat badan pada laki-laki dewasa. Persentase tersebut bervariasi
bergantung beberapa faktor diantaranya:
• TBW pada orang dewasa berkisar antara 45-75% dari berat badan. Kisaran ini
tergantung pada tiap individu yang memiliki jumlah jaringan adipose yang
berbeda, yang mana jaringan ini hanya mengandung sedikit air.
• TBW pada wanita lebih kecil dibanding dengan laki-laki dewasa pada umur
yang sama, karena struktur tubuh wanita dewasa yang umumnya lebih banyak
mengandung jaringan lemak.
• TBW pada neonatus lebih tinggi yaitu sekitar 70-80% berat badan
• Untuk beberapa alasan, obesitas serta peningkatan usia akan menurunjkan
jumlah kandungan total air tubuh TBW dibagi dalam 2 komponen utama yaitu
cairan intraseluler (CIS) dan cairan ekstra seluler (CES) seperti terlihat pada
gambar

64
3. Gangguan Keseimbangan Air dan Elektrolit
Gangguan keseimbangan air dan elektrolit dapat terjadi karena:
• Gastroenteritis, demam tinggi ( DHF, difteri, tifoid )
• Kasus pembedahan ( appendektomi, splenektomi, section cesarea,
histerektomi )
• Penyakit lain yang menyebabkan pemasukan dan pengeluaran tidak seimbang (
kehilangan cairan melalui muntah )
• Berikut tabel yang menggambarkan tentang beberapa gangguan elektrolit.

65
Koreksi Elektrolit

• HYPERNATREMIA
DEFISIT AIR (Pemasukan air << & pengeluaran air >> banyak)
Koreksi :
Normal TBW X 140 = TBWskg X Na+ pasma skg
TBW = Total Body Water
Laki-laki = 60 %
Wanita = 50 %
Normal Na = 135 – 145 meg/lt
Contoh Kasus…
Contoh Kasus…
Misal : Seorang pasien laki-laki, berat badan 70 kg, Na plasma sekarang 160 meg.
TBW = 60 %X 70
(60 % X 70) X 140 = TBW skg X 160
TBW skg (42 X 140) / 160 = 36,75
Defisit air = TBW normal – TBW sekarang
42 lt - 36,75 lt = 5,25 lt.

• HYPONATREMIA
Kelebihan air dari pada Na
Air >> Na
Koreksi : TBW X (Na+ diinginkan – Na+ actual)

Misal : Seorang pasien wanita, berat badan 60 Kg, Na+ sekarang 110 meg/lt, Na+ yg
diinginkan 130 meg/lt
TBW = 50 % x 60
KOREKSI = (50 % x 60) x (130 – 110) = 600 meg/lt
Jika ;1 liter Nacl 0,9 % mengandung 154 meg/lt, maka diperlukan 600/154 lt Nacl 0,9 %
= 3,8 lt Nacl 0,9 %
Jika ; 1 liter Nacl 3 % mengandung 500 meg/lt , maka diperlukan 600/500 lt Nacl 3 % =
1,2 liter Nacl 3 %.
Bila kecepatan koreksi 0,5 meg/lt/jam, maka lama koreksi (130 – 110) X 1 jam = 40 Jam
0,5

66
• HYPOKALEMIA
K+ < 3,5 meg/lt
Pemberian per oral (K>3 meg/lt)
Dosis 75 mg/KgBB
Pemberian perdrip = 0,3 X KgBB X defisit K
Diberikan dalam waktu 24 jam

• HYPERKALEMIA
K+ > 5,3 meg/lt
Pengobatan :
Kserum > 7 meg/lt
EKG : DBN
Therapi : Kayexalat oral/rektal/gr/KgBB
Kserum > 7 meg/lt
EKG : abnormal
Therapi : dianjurkan Bicnat 1-2 meg/KgBB Intra vena 5 – 10 menit.
Atau larutan glukosa 0,5 – 1 gr/KgBB => intravena => 15 – 30 menit + insulin 0,1
IU/KgBB => sub cutan atau intravena => monitor gula darah
Bila ada aritmia => + Ca Glukonas 10 % => 0,5 – 1 ml/KgBB/intravena => 2-5 menit
 Monitor EKG
 Siapkan Dyalisis

• HYPOKALSEMIA
Ca < 8,5 mg/dl
Berat => dengan Ca Glukonas 10 % intravena => 5 – 10 menit => + maintenance 0,3 –
2,0 mg/KgBB/jam
 Vitamin D + Magnesium

• HYPERKALSEMIA
Ca > 11 mg/dl
Cairan intravena - Nacl => dapat menurunkan reabsorbsi kalsium dalam intravena
Deuresis => menurunkan Ca ginjal

HYPOFOSFATEMIA
< 2,5 mg/dl
Kalau < 1 mg/dl => 0,6 – 0,9 mg/KgBB/jam => iv
1 – 1,5 => enteral

67
Petunjuk :

ASKAN 1 (Asuhan Perawatan Anestesi Komplikasi pada gangguan Sistem Respirasi)

Kasus:
Pasien perempuan 37 tahun dengan diagnosis G2P1001 hamil 32 minggu Tunggal
Hidup dengan Asma Berat, yang akan menjalani prosedur SC Greencode . Preoperasi pasien
gravida dengan permasalahan asma berat. Kesadaran somnolen-apatis dengan frekuensi
nafas 28 x/menit, ronchi (+/+) dan wheezing (+/+), SpO2 85% on bagging, dan terdapat
sekret warna merah muda (pasien telah dilakukan resusitasi di triage kebidanan untuk
mengamankan jalan nafas) Durante operasi pasien dilakukan pembiusan dengan general
anestesi inhalasi menggunakan pipa endotrakheal no 7. Selanjutnya pasien diposisikan
supine untuk menjalani prosedur pembedahan. Operasi berlangsung selama 60 menit,
hemodinamik stabil tanpa topangan obat, pasca operasi pasien dirawat di ruang intensif
dengan analgetik morfin 20 mg/ 24 jam dan parasetamol 1000 mg tiap 8 jam intravena.
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan sesak disertai dengan batuk berdahak. Pasien juga mengalami demam hilang timbul.
Riwayat kejang disangkal. 1 jam sebelum operasi pasien mengalami penurunan kesadaran
dan muntah cairan berbuih warna merah muda, sehingga dilakukan tindakan resusitasi untuk
mengamankan jalan nafas. Riwayat alergi obat dan makanan : tidak ada. Riwayat penyakit
sistemik : tidak ada Riwayat operasi : tidak ada Riwayat penyakit lain : Asma (+)
Pemeriksaan Fisik: BB : 80 kg, TB : 160 cm, BMI 31,25 Suhu axilla 36,9°C; VAS sulit
dievaluasi. SSP : Somnolen, Apatis Respirasi. : RR 28 x/menit, ronchi (+/+) dan
wheezing(+/+), SpO2 85% on Bagging. KV : HR 117 x/menit, BP 132/102 mmHg, S1-S2
tunggal, murmur tidak ada.
Teknik Anestesi GA-OTT Pre medikasi : tidak ada Analgetik : Fentanyl 100 mcg iv
Fas. Intubasi : Rocuronium 40 mg iv Induksi : Propofol titrasi sampai pasien terhipnosis
Maintanance : O2 : Air 2:2 lpm, Sevoflurane Medikasi lain : Ketamin 50 mg,
Methylprednisolon 125 mg, Durante operasi: Hemodinamik : TD 61-103/ 40-71; Nadi 110-
126x/menit; SpO2 85-96% Cairan masuk : RL 1000 ml. Cairan keluar : BAK 60 cc,
perdarahan 300 cc Lama operasi : 1 jam Pasca operasi Analgetik : Morfin 20 mg dalam 20
cc NS via syringe pump dengan kecepatan 0,6 cc/jam dan paracetamol 1 gr tiap 8 jam IV
Perawatan : Intensif

68
ASKAN 2 (Asuhan Perawatan Anestesi Komplikasi pada gangguan Sistem Kardiovaskuker)

Kasus :
Seorang perempuan usia 83 tahun, Diagnosis : OS Galukoma Absolut, Out dd Ulkus
Kornea Tindakan : OS Pro Eviserasi + Protesa. MRS : 12 Oktober , pukul 12.39 WIB. Pasein
datang dengan keluhan putih pada bagian tengah bola mata kiri sejak 2 tahun yang lalu.
Pasien mengeluh mata sering berair, merah dan keluar kotoran. Riwayat mata kabur sejak 5
tahun yang lalu. Pasien mengaku pernah melakukan operasi pengangkatan mata kanannya
karena keluhan yang sama sehingga pasien saat ini tidak bisa melihat. Saat ini pasien tidak
memiliki keluhan demam, sakit kepala, mual dan muntah.
Pasien didiagnosis glaukoma dan dijadwalkan untuk dilakukan operasi. Riwayat
alergi obat dan makanan : Pasien tidak memiliki alergi obat maupun makanan Riwayat
pengobatan : Riwayat hipertensi diketahui oleh pasien sejak operasi 2 bulan yang lalu di
Sanglah. Pasien tidak rutin minum obat tensi dan lupa nama obatnya. Riwayat penyakit
sistemik : Riwayat HHD (Hypertensive Heart Disease) dengan hipertensi stage I terkontrol
dengan mengonsumsi amlodipine 1 x 5 mg dan captopril 3 x 12,5 mg. Riwayat operasi :
28/10/2019 OD Pro Eviserasi / RSUP Sanglah / GA-OTT /tanpa komplikasi Riwayat
makan/minum terakhir : 12 Oktober pukul 22.00 WIB. Riwayat sosial : Pasien sebelumnya
adalah seorang lansia yang terbatas dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Riwayat
kebiasaan merokok atau minum alkohol tidak ada
SSP : Kesadaran compos mentis, GCS E4V5M6 Respirasi : Frekuensi 16x/menit,
tipe vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-), SpO2 98% udara ruangan KV : TD 150/90
mmHg, HR 82x/menit, bunyi jantung S1-S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-). Foto
Thorax PA (11/10/) • Cardiomegaly (CTR 61%) dengan aortoschlerosis (ASHD), Pulmo tak
tampak kelainan, Susp lymphadenopathy hilar kanan, Spondylosis thoracolumbalis 6. EKG
(11/10/) a. Normal sinus rhythm, HR 70x/menit, axis normal, ST-T changes tidak ada.
Permasalahan Aktual : SSP : Geriatri Kardiovaskular : Hipertensi Stage I (TD 150/90
mmHg), Kardiomegali (CTR 61%) et causa HHD, Anemia Ringan (HB 9,88 g/dL)
Permasalahan Potensial : Occulocardiac reflex, desaturasi, hipotermia Pembedahan : Lokasi
: Ocular sinistra Posisi : Supine Durasi : 1-2 Jam Kesimpulan : Status Fisik ASA III
Teknik Anestesi: GA-OTT Pre medikasi : Dexamethasone 10 mg IV Dipenhidramine
10 mg IV Midazolam 1 mg IV Analgetik : Fentanyl 200 mcg IV Induksi : Propofol TCI
mode Schnider target effect 1-2 mcg/mL. Maintenance : O2 ; Compressed Air; Propofol TCI
mode Schnider target effect 1-2 mcg/mL; Fentanyl 25 mcg tiap 30 menit Medikasi lain :
Ondansetron 4 mg IV ➢ Durante operasi Hemodinamik : TD 100-150/ 50-80 mmHg, Nadi

69
60-80x/menit, RR 14x/menit, SpO2 99-100% Cairan masuk : Kristaloid 1000 ml Cairan
keluar : perdarahan 10 ml Lama operasi : 1,5 jam. Post Operasi Analgetik : Fentanyl 250
mcg per 24 jam via syringe pump, Parasetamol 500 mg tiap 6 jam PO Perawatan : Ruangan

70
BAB V

PENUTUP

Panduan Panduan Praktikum Asuhan Keperawatan Anestesi Kritis prodi Keperawatan


Anestesiologi Program Sarjana Terapan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas ‘Aisyiyah
Yogyakarta TA /2022 ini merupakan panduan bagi mahasiswa dalam pengembangan
proses belajar mengajar pada mata ajar tersebut. Diharapkan dengan adanya modul
praktikum ini pelaksanaan proses belajar mengajar dapat berjalan lancar, terarah, terpadu,
dan terkendali

71
DAFTAR PUSTAKA

Farhan Ali Rahman, Calcarina Fitriani Retno Wisudarti, Bhirowo Yudo Pratomo. Aplikasi
Klinis Analisis Gas Darah Pendekatan Steward pada Periode Perioperatif. Jurnal
Komplikasi Anestesi Volume 3; Nomor 1; November 2015.
Ariosta, Indranila, Indrayani. Prediksi Nilai Analisa Gas Darah Arteri. 24 September 2017.
Dr Gde M, Dr Tjokorda GAS. Ilmu Anestesia Dan Reanimasi. Indeks 2017.
Edijanto SP, Dr Soetamo. Analisa Asam Basa. B-229.
Farhan AR, Calcarina FRW, Bhisrowo YP. Aplikasi Klinis Analisis Gas Darah
Pendekatan Stewart Pada Periode Perioperatif. Vol 3, No 1 2015.
Sukinem N, Skep G. Interpretasi Analisa Gas Darah. Ministry Of Health Department
Kariadi Hospital Of Semarang Central Jawa, Indonesia 2013.
Corwin, Elisabeth. (2009). Buku Saku PatofisiologiEdisi 3. Jakarta : EGC hal 755-763.
Muttaqin. (2009). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskular dan Hematologi. Jakarta : Salemba Medika hal 497-526.
Andarmoyo, S. (2012). Keperawatan Keluarga Konsep Teori, Proses dan Praktik
Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Santos, C. I. S. E. al. (2009). Respiratory physiotherapy in children with counity acquired
Pnemonia. Revue candiene de la therapie respiratory.
Widiyanto, & S. H. (2012). Pengaruh Pemberian Preoksigenasi Untuk Suction
Endotrakheal Terhadap Saturasi Oksigen di ICU RSUD Prof Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto Margono Soekarjo Hospital.
Sari, Rebbi Permata., Revi Neini Ikbal. (2019). Tindakan Suction Dan Perubahan Saturasi
Oksigen Pada Pasien Penurunan Kesadaran Diruangan Icu Rumah Sakit. Jurnal Ilmu
Kesehatan Volume 3; Nomor 2.
Timby, B.K. (2009). Fundamental Nursing Skills and Concepts. Philadelphia : Lippincot
William &Wilkins.
Syafni, S.R. (2012). Efektifitas Penggunaan Close Suction System dalam Mencegah
Infeksi Nosokomial Ventilator Assosiated Pneumonia pada Pasien dengan Ventilator.
Kozier, B., et al. (2004). Fundamental of Nursing: Concepts, Process, and Practice. (th ed).
New Jersey: Practice-Hall, Inc

LAMPIRAN

Lampiran Format Makalah

72
LAPORAN TUGAS
PENATALAKSANAAN ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI KOMPLIKASI
PADA (Isi sesuai judul yang didapatkan kelopok)

Dosen Pengampu:

Makalah Disusun untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Asuhan Keperawatan Anestesi Komplikasi

Disusun oleh:
Kelompok
Nama Anggota:
1. NIM
2. NIM
3. NIM
4. NIM
dst

PRODI KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI PROGRAM SARJANA TERAPAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA
TA /2022
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang

73
B. Tujuan
C. Manfaat
D. Waktu dan tempat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


(Tulis tinjauan pustaka sesuai dengan judul yang didapatkan)

BAB III PENUTUP


(Tulis kesimpulan yang relevan)

DAFTAR PUSTAKA
(Tulis referensi dari buku/artikel/jurnal ilmiah/prosiding penelitian yang diambil terbit 10
tahun terakhir (2011 – )

74

Anda mungkin juga menyukai