Modul Praktikum Keperawatan Medikal Bedah III ini telah disahkan untuk mata
kuliah sebagai berikut :
Menyetujui,
Mengetahui,
Wakil Ketua I
Daryani,S.Kep,NS,M.Kep
NPP/NIDN : 129.115/0625017502
VISI MISI DAN TUJUAN PRODI
PRODI S1 KEPERAWATAN STIKES MUHAMMADIYAH KLATEN
Puji Syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat Rahmat Nya,
Modul Praktikum Keperawatan Medikal Bedah III ini dapat terselesaikan. Modul
ini disusun untuk memberikan gambaran proses pembelajaran selama satu
semester untuk mata ajar Keperawatan Medikal Bedah III. Modul ini diharapkan
menjadi pedoman pembelajaran bagi mahasiswa khususnya dalam hal mata ajar
Keperawatan Medikal Bedah III.
Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada seluruh pihak yang
mendukung dalam terselesaikannya Modul ini. Terakhir, Modul ini belum
sempurna dan masih memiliki banyak kekurangan, penulis mengharapkan
adanya masukan ataupun revisi dan penyempurnaan secara periodik seiring
dengan kemajuan ilmu dan tehnologi serta perkembangan zaman.
Semoga Bermanfaat
Koordinator,
RUMPUN
NAMA KOORDINATOR
Fitri Suciana, S.Kep.Ns.M.Kep Fitri Suciana, S.Kep.Ns.M.Kep Retno Yuli Hastuti, M.Kep.Ns.Sp.Kep.Jiwa
Esri Rusminingsih, S.Kep.Ns.M.Kep
Supardi, M.Sc
Daryani, S.Kep,NS,M.Kep
Mata Kuliah:
Fokus mata ajar ini adalah pada pemenuhan kebutuhan klien dewasa dengan gangguan sistem muskuloskeletal,
integumen, persepsi sensori dan persarafan. Pemberian asuhan keperawatan pada kasus gangguan sistem
DESKRIPSI SINGKAT MATA muskuloskeletal, integumen, persepsi sensori dan persarafan berdasarkan proses keperawatan dengan
KULIAH mengaplikasikan ilmu biomedik seperti biologi, histologi, biokimia,anatomi, fisiologi, patofisiologi, ilmu keperawatan
medikal bedah, ilmu penyakit dalam, farmakologi, bedah, nutrisi dan rehabilitasi. Gangguan dari system tersebut
meliputi gangguan peradangan, kelainan degenerative, trauma, yang termasuk dalam 10 kasus terbesar baik lokal,
regional, nasional dan internasional. Lingkup bahasan mulai dari pengkajian sampai dengan evaluasi asuhan terhadap
klien. Intervensi keperawatan meliputi terapi Modalitas Keperawatan pada berbagai kondisi termasuk terapi
komplementer. Proses pembelajaran dilakukan melalui kuliah pakar, collaborative learning (CL) dan Belajar
Berdasarkan Masalah (BDM),dan praktik laboratorium.
1. Ackley, B. J. & Ladwig, G. B. (2013). Nursing Diagnosis Handbook: An Evidence-Based Guide to Planning Care, 10e.
Mosby elsevier.
REFERENSI 2. Barber B, Robertson D, (2012).Essential of Pharmacology for Nurses, 2nd edition, Belland Bain Ltd, Glasgow
3. Bulechek, G. M. & Butcher, H. K. McCloskey Dochterman, J. M. & Wagner, C. (2012). Nursing Interventions
Classification (NIC), 6e. Philladelphia: Mosby Elsevier
4. Dudek,S. G. (2013). Nutrition Essentials for Nursing Practice, 7th. Lippincott: William Wilkins
5. Johnson, M., Moorhead, S., Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Maas, M. L. & Swanson, S. (2011). N OC and NIC Linkages to
NANDA-I and Clinical Conditions: Supporting Critical Reasoning and Quality Care, 3e. Philladelphia: Mosby Elsevier
6. Lewis S.L, Dirksen S. R, Heitkemper M.M, Bucher L, Harding M. M, (2014). Medical Surgical Nursing, Assessment and
Management of Clinical Problems. Canada: Elsevier.
7. Lynn P. (2011). Taylor's Handbook of Clinical Nursing Skill, China: Wolter Kluwer Health
8. Madara B, Denino VP, (2008). Pathophysiology; Quick Look Nursing, 2nd ed. Jones and Barklet Publisher, Sudbury
9. McCance, K.L. & Huethe, S. E. (2013). Pathophysiology: The Biologic Basis for Disease in Adults and Children, 7e.
Elsevier
10. Moorehead, S., Johnson, M., Maas, M.L. & Swanson, E. (2012). Nursing Outcomes Classification (NOC): Measurement of
Health Outcomes, 5e. Mosby Elsevier.
11. Nanda International. (2014). Nursing Diagnoses 2015-17: Definitions and Classification (Nanda International).
Philladelphia: Wiley Blackwell
12. Silverthorn, D. U. (2012). Human Physiology: An Integrated Approach (6th Edition)
C. Penilian
1. Praktikum 25%
2. Ujian OSCE 25%
A. Pembidaian
1. Pengertian
Pembidaian adalah suatu cara pertolongan pertama pada cedera atau
trauma sistem muskuloskletal untuk mengistirahatan (imobilisasi) bagian
tubuh kita yang mengalami cedera, dengan menggunakan benda yang bersifat
kaku maupun fleksibel sebagai fixator (Lynn P., 2011).
2. Tujuan
a. Mencegah pergerakan tulang yang patah (mempertahankan posisi patah
tulang)
b. Mencegah bertambahnya perlukaan pada patah tulang
c. Mengurangi rasa sakit/nyeri
d. Mengistirahatkan daerah patah tulang (immobilisasi)
(Lynn P., 2011)
3. Indikasi
Indikasi dari pemasangan bidai anatara lain:
a. Pada klien patah tulang terbuka dan tertutup
b. Dislokasi persendian
(Lynn P., 2011)
4. Kontraindikasi
Kontraindikasi dari pemasangan bidai antara lain:
a. Pembidaian baru boleh dilaksanakan jika kondidi saluaran napas,
pernapasan dan sirukulasi penderita sudah distabilkan
b. Jika terdapat gangguan sirkulasi dan atau gangguan persyaragan yang
berat pada distal daerah fraktur
c. Jika ada resiko memperlambat sampainya penderita ke tumah sakit
sebaiknya pembidian tidak perlu dilakukan
(Lynn P., 2011)
5. Syarat Bidai yang Baik
a. Terbuat dari bahan yang kaku
b. Cukup panjang untuk immobilisasi persendian diatas dan dibawah fraktur
c. Cukup luas untuk kesesuaian anggota tubuh secara nyaman
d. Bagian yang menempel dilapisi dengan kapas dan dibalut dengan verban
(Lynn P., 2011)
6. Macam-Macam
a. Bidai Keras (Rigid Splint)
Jenis ini terbuat dari bahan yang keras, umumnya terbuat dari kayu,
alumunium, karton, pastik atau bahan lain yang kuat dan ringan. Bidai ini
merupakan yang paling baik dan sempurna dalam keadaan darurat.
Contoh: bidai kayu, bidai udara, bidai vakum.
b. Bidai Traksi (Traction Splint)
Traction splint berguna untuk immobilisasi dan mengurangi nyeri. Bentuk
ini digunakan untuk fraktur ekstermitas bawah. Contoh: bidai traksi tulang
dalam.
c. Soft Splint
Jenis isi terbuat dari bahan yang lembut seperti splint udara, bantal dan
mitella. Soft spint digunakan untuk fraktur angulasi.
(Lewis S. et al, 2014)
7. Kompllikasi
Jika dilakukan tidak sesuai dengan standar tindakan, beberapa hal berikut bisa
ditimulkan oleh tindakan pembidaian: (Lewis S. et al, 2014)
a. Cedera pembuluh darah, saraf atau jaringan lain disekitar fraktur oleh
ujung fragmen fraktur, jika dilakukan upaya meluruskan atau manipulasi
lainnya pada bagian tubuh yang mengalami fraktur saat memasang bidai.
b. Gangguan sirkulasi atau saraf akibat pembidian yang terlalu ketat.
8. Prinsip Pembidaian
a. Lakukan pembidaian pada bagian badan yang mengalami cedera
b. Lakukan juga pembidaian pada kecurigaan patah tulang, jadi tidak perlu
harus dipastikan dulu ada atau tidaknya patah tulang
c. Melewati minimal 2 sendi yang berbatasan (proksimal dan distal daerah
fraktur)
d. Semua bidai harus diberi bantalan lunak agar tidak merusak jaringan lunak
(otot) sekitarnya
e. Selama pembidaian anggota gerak harus ditopang dangan tangan untuk
menghindari trauma labih lanjut
f. Jika terjadi deformitas (berubah bentuk), lakukan traksi (penarikan) untuk
memulihkan kesejajaran anggota gerak (realignement).
(Lynn P., 2011).
9. Persiapan Alat
a. Perlindung diri (masker/ sarung tangan)
b. Bidai dengan ukuran sesuai kebutuhan
c. Kasa steril dan desinfektan
d. Verban atau mitella
10.Prosedur
a. Bidai pada kasus patah tulang lengan atas
Tulang lengan atas hanya berbentuk tulang panjang. Tanda-tanda patah
pada tulang panjang baik lengan maupun tungkai antara lain nyeri tekan
pada tempat yang pada dan terdapat nyeri sumbu. Nyeri sumbu adalah
rasa nyeri yang timbul akibat tulang itu ditekan dari ujung ke ujung.
Tindakan pertolongan :
1) Pasanglah bidai sepanjang lengan atas dan berikan balutan utnuk
mengikatnya. Kemudian dengan siku terlipat dan lengan bawah
merapat kedada, lengan digantungkan ke leher.
2) Apabila patah tulang terjadi didekat sendi siku biasanya tidak dapat
dilipat, dalam hal ini dipasang juga bidai yang meliputi lengan bawah,
dan biarkan lengan dalam keadaan lurus tanpa perlu digantungkan ke
leher.
B. Pembalutan
1. Pengertian
Pembalutan merupakan suatu tindakan yang dilakukan sebagai cara
mengurangi resiko kerusakan jaringan yang terjadi dan selanjutnya mencegah
maut, mengurangi nyeri, serta mencegah kecacatan dan infeksi. Prinsip
pembalutan adalah untuk menahan sesuatu agati tidak bergesesr dari
tempatnya (Susilowati, 2015).
2. Tujuan
Tujuan pembalutan sebagai berikut: (Lynn P., 2011)
a. Mempertahankan bidai, kasa penutup dan lain-lain
b. Immobilisasi dengan menunjang bagian tubuh yang cedera dan menjaga
agar bagian tubuh yang cedera tidak bergerak
c. Sebagai penekanan untuk menghentikan perdarahan dan menahan
pembengkakan
d. Mempertahankan keadaan asepsis
3. Macam-Macam
a. Plester
Plester biasanya digunakan untuk menutup luka yang telah diberi
antiseptik, juga dapat dipakai merekatkan penutup luka atau difiksasi.
b. Mitella
Pembalut segitiga (mitella) yang terbuat dari segitiga sama kaki, dengan
ukutan panjang kakinya sama-sama 90 cm. Fungsinya untuk
menggantungkan bagian tubuh yang menganggu.
c. Pembalut Pita
Pembalut pita dapat terbut dari kain katun, kain planel, kasa. Ukuran
pembalutan pita bermacam-macam meliputi 2,5cm (untuk membalut jari-
jari), 5 cm (untuk membalut pergelangan tangan dan kaki), 7,5 cm (untuk
membalut kepala, lengan dan betis), 10 cm (untuk membalut paha da
pinggul), dan 15 cm (untuk membalut dada, punggung dan perut).
4. Macam Ukuran Lebar Pembalut
a. 2,5 cm untuk jari-jari
b. 5 cm untuk leher dan pergelangan tangan
c. 7,5 cm untuk kepala, lengan atas, lengan bawah, betis dan kaki
d. 10 cm untuk paha dan sendi pinggul
e. 10 – 15 cm untuk dada, perut, dan punggung
5. Hal-Hal yang Diperhatikan
a. Balutan harus rapi dan menutup luka
b. Balutan tidak perlu longgar karena pembalut akan bergeser terutama pada
bagian yang bergerak. Tetapi juga tidak telalu kencang karena dapat
menganggu peredaran darah atau menyebabkan nyeri. Periksa setiap 15
menit untuk mengetahui balutan terlalu kencang atau tidak.
c. Simpul balutan yang rata agar tidak menekan kulit dan simpul balutan
diletakkan disisi yang tidak mengalami injuri.
6. Alat dan Bahan
a. Mitella
b. Dasi
c. Pembalutan Pita
d. Plester
e. Kassa steril
7. Prosedur
a. Cara Melakukan Pembalutan
1) Menanyakan penyebab luka atau bagaimana luka tersebut terjadi
2) Memperhatikan tempat atau letak yang akan dibalut dengan berdasar
pada masalah berikut:
a) Bagian tubuh yang mana?
b) Apakah ada luka terbuka atau tidak?
c) Bagaimana luas luka?
d) Apakah perlu membatasi gerak bagian tubuh tertentu?
3) Jika ada luka terbuka, maka sebelum dibalut perlu diberi desinfektan
atau dibalut dengan pembalut yang mengandung desinfektan,
demikaian pula jika terjadi dislokasi, maka perlu reposisi.
Memperhatikan bentuk bagian tubuh yang akan dibalut yaitu:
a) Bentuk bulat seperti kepala
b) Bentuk silinder seperti leher
c) Bentuk kerucut seperti lengan bawah dan tungkai atas
d) Bentuk persendian tidak teratur
4) Memilih jenis pembalut yang akan dipergunakan
5) Menentukan posisi balutan dengan mempertimbangkan hal-hal berikut
a) Membatasi pergeseran gerak bagian tubuh yang difiksasi
b) Sesedikit mungkin membatasi gerak bagian tubuh yang lain
c) Mengusahakan posisi balutan yang paling nyaman untuk kegian
pokok pasien
d) Tidak menganggu peredaran darah
e) Balutan diusahan tidak mudah lepas dan kendor
f) Membalut luka/ cedera sesuai dengan jenis pembalut yang dipilih
b. Cara Membalut dengan Pita
1) Berdasarkan pada besar bagian tubuh yang akan dibalut, maka dipilih
pembalut pita dengan ukuran lebar yang sesuai
2) Pembalutan biasanya dibuat beberapa lapis, dimulai dari salah satu
ujung yang dibalutkan mulai dari proksimal bergerak ke distal untuk
menutup sepanajang bagian tubuh yang akan dibalut, kemudian dari
distal ke proksimal dibebatkan dengan arah bebatan saling menyilang
dan tumpang tindih antara bebatan yang satu dengan bebatan
berikutnya.
3) Teknik penggunaan pembalutan pita :
a) Balutan Sirkuler; digunakan untuk membalut bagian tubuh yang
berbentuk silinder
b) Baluran Pucuk Rebung
i) Digunakan untuk membalut bagian tubuh yang berbentuk
kerucut
ii) Balutan angka depan (figure of eight)
iii) Teknik balutan yang dapat digunakan untuk semua bagian
tubuh, terutama pada daerah persendian. Pada kasus terkilir
ligamentum yang sering robek ialah yang terletak, karena itu
kaki diletakkan dirotasi eksterna untuk mengistirahatkan dan
mendekatakan kedua ujung ligamentum tersebut baru kemudian
dibalut.
iv) Balutan Rekurens; balutan ini dapat dilakukan pada kepala atau
ujung jari, misalnya pada luka dipuncak kepala.
A. Body Movement
1. Pengertian
Body Movement adalah usaha mengkoordinasi sistem muskuloskeletal
dan sistem syaraf dalam mempertahankan, postur dan kesejajaran tubuh
selama mengangkat, membungkus, bergerak, dan melakukan aktivitas sehari-
hari (Pottery & Perry, 2010). Body Movement meliputi tiga elemen dasar yaitu:
a. Body Aligment (Postur Tubuh); susunan geometrik bagian-bagian tubuh
dalam hubungannya dengan bagian tubuh yang lain.
b. Balance (Keseimbangan); keseimbangan tergantung pada interaksi antara
pusat gravity, line gravity, dan base of support.
c. Koordinated Body Movement (Gerakan Tubuh yang Terkoordinir); body
movement berinteraksi dalam fungsi muskuloskeletal dan sistem syaraf.
2. Tujuan
Tujuan body movement sebagai berikut; (Pottery & Perry, 2010)
a. Memenuhi kebutuhan dasar manusia dan terjadinya trauma
b. Mempertahankan tingkat kesehatan
c. Mempertahankan interaksi sosial dan peran sehari-hari
d. Mencegah hilangnya kemampuan fungsi tubuh
3. Macam-Macam Body Movement
a. Fleksi
1) Fleksi terhadap ekstensi
Ketika sambungan keluar atau diperpanjang, lem antara bagian-
bagiannya kurangi atau tambah. Flexio mengurangi sudut sendi pada
gambar 2.1). Ekstensi meningkatkan lem saat bagian tubuh bergerak
dari A tertekuk ke posisi lurus. Ini berlaku untuk lutut, siku, dan sendi
pergelangan tangan, seperti yang ditunjukkan.
l. Circumduction
Circumduction adalah bergerak dalam bentuk lingkaran. Istilah lain
menjelaskan gerakan berurutan dari pengusiran, penculikan, ekstensi dan
adduksi, menghasilkan gerakan tipe kerucut pada sambungan manapun
dimana keempat gerakan itu dimungkinkan (misalnya jari, pergelangan
tangan, lengan dan kaki).
B FASE KERJA
1 Mengkaji kemampuan mentoleransi 5
gerakan
2 Menentukan teknik gerakan ROM : 5
pasif/aktif
3 Melakukan gerakan jari-jari
Fleksi & ekstensi 5
Hiperekstensi 5
Abduksi & adduksi 5
Oposisi 5
4 Melakukan gerakan pergelangan tangan
Fleksi & ekstensi 5
Fleksi ulnar &radial 5
5 Melakukan gerakan siku :
Fleksi & ekstensi 5
Pronasi &supinasi siku 5
6 Melakukan gerakan bahu :
Fleksi & ekstensi 5
Abduksi & adduksi 5
Rotasi internal & eksternal 5
C. FASE TERMINASI
1. Melakukan evaluasi 5
2. Menyampaikan rencana tindak lanjut 5
3. Berpamitan 3
BAB III
PENGKAJIAN BARTHEL INDEX
A. Pengertian
Indeks barthel merupakan suatu instrumen pengkajian yang berfungsi
untuk mengukur kemandirian fungsional dalam hal perawatan diri dan mobilitas.
Indeks barthel menggunakan 10 indikator dalam Activity of Daily Living yaitu
makan (feeding), mandi (bathing), perawatan diri (grooming), berpakaian
(dressing), buang air besar (bladder), buang air kecil (bowel), penggunaan toilet,
transfer, mobilitas dan naik turun tangga. Yang mana pengkajian ini dituliskan
dalam bentuk skala angka, ditanyakan langsung kepada pasien ataupun keluarga
terkait kemandirian fungsi dalam mengurus diri sendiri dan mobilitas (Gallo J., &
Paveza G.J. 2006; Kementrian Kesehatan RI, 2017).
B. Tujuan
Pengkajian barthel indeks digunakan untuk menilai tingkat kemadirian
dalam aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS)/ Activity of Daily Living (ADL) dan
dapat digunakan untuk melihat kemajuan pasien penyakit kronis sebelum dan
setelah terapi, serta untuk menentukan berapa besar bantuan perawatan yang
dibutuhkan pasien (Kementrian Kesehatan RI, 2017).
BAB IV
Anamnesa dan Prosedur Diagnostik Sistem Persepsi Sensori:
Snellen Chart, Ischialar Test, Ketajaman Pendengaran
3. Prosedur
a. Penderikta diminta untuk duduk pada jarak 5-6 meter menghadap kartu
snellen. Apabila berkacamat untuk melepas kacamatanya
b. Biasakan memeriksa mata kanan terlebih dahulu
c. Mintalah penderita menutup mata kirinya dengan telapak tangan, tanpa
tekanan. Penderita diminta melihat ke depan dengan santai, tanpa melirik
atau mengerutkan kelopak mata
d. Mintalah penderita mengidentifikasi angka atau huruf atau simbol yang
tertera pada optotip snellen, mulai dari atas sampai ke bawah
e. Bilamana penderita hanya mampu mengenali sampai barisan 20m
sementara jarak penderita adalah 5m, maka visusnya 5/20 (jangan
disingkat menjadi ½). Kalau dari baris itu ada yang salah tambahlah huruf
F (false=salah)
f. Bila tulisan terbesar tidak dapat terbaca, mintalah penderita menghitung
jari yang ada acungkan mulai dari 1m, kemudian semakin mundur hingga
jarak terjauh yang bisa dilihat penderita. Bila penderita menghitung benar
jumlah jari pada jarak 1m, visusnya 1/60 bila pada 2 m visusnya 2/60 dst
sampai maksimal 5/60
g. Bila penderita tidak dapat melihat jari anda dari jarak 1m, lakukan
pemeriksaan dengan lampu senter. Nyalahkan lampu senter didepan
penderita dan mintalah penderita menyebutkan apakah senter menyala
dan dari arah mana. Bila penderita bisa mengenal dengan baik maka
visusnya ditambahkan proyeksi sinar baik.
h. Mengitung jari, goyangan dan berkas cahaya, masing-masing dilihat mata
normal pada jarak 60m, 300m dan tidak tehingga jauhnya, maka tajam
tajam penglihatan ditulisakan 1/60, 1/300, dan 1/∞
i. Bila cahaya tidak dikenal, maka tajam penglihatannya adalah 0 atau tidak
ada persepsi cahaya
j. Lakukan hal yang sama pada mata kiri.
B. Tujuan
Tujuan dilakukan irigasi mata, sebagai berikut: (Sosya, 2011)
1. Mengeluarkan sekret atau kotoran, benda asing, zat kimia dari dalam mata
2. Membersihkan atau mengeluarkan sekret dari selaput konjungtiva
C. Indikasi
Irigasi okuler diindikasikan untuk menangani berbagai inflamasi konjungtiva,
mempersiapkan pasien untuk pembedahan mata dan untuk mengangkat sekret
inflamasi serta digunakan untuk efek antiseptiknya. Irigasi yang dipakai
bergabung pada kondisi pasien. Selain itu indikasi dilakukan irigasi mata adalah
cidera kimiawi pada mata, benda asing dalam mata dan inflamasi mata (Suzanne C
Smeltzer, 2009).
D. Kontraindikasi
1. Trauma pada mata
2. Kemasukkan benda asing
3. Infeksi akut pada mata
4. Cedera dekontaminasi kimia
5. Pembersihan debris dari mata
(Kathleen S Oman, 2008)
G. Prosedur
Tabel 5.1 SOP Irigasi Mata
No. Tindakan Bobot Ya Tidak
TAHAP PRE INTERAKSI
1 Mengucapkan salam 2
2 Memperkenalkan diri 2
3 Menjelaskan tujuan dilakukan irigasi mata 5
4 Menjelaskan prosedur irigasi mata 2
5 Menanyakan kesiapan klien 1
6 Cuci tangan 1
7 Menyiapkan alat dan bahan 2
TAHAP KERJA
1 Membaca basmallah 5
2 Memposisikan pasien tidur dengan kepala 10
miring 45 ke arah yang sakit
3 Memasang handuk diatas perlak 3
4 Meletakkan bengkok dibawah dagu 3
5 Memakai sarung tangan 3
6 Membersihkan garis kelopak mata dan bulu 2
mata dengan kapas basah
7 Membersihkan garis kelopak mata dan bulu 3
mata dengan kapas basah
8 Rengangkan kelopak mata atas dan bawah 10
dengan tekanan pada tonjolan tulang mata
bawah alis
9 Menganjurkan pasien untuk melihat atas 10
sehingga permukaan konjungtiva bawah terlihat
jelas
10 Pegang spuit irigasi 2,5cm diatas kantus dalam 2
Melakukan evaluasi apakah tujuan irigasi sudah
tercapai
11 Mengeringkan kelopak mata dengan bola kapas 5
12 Membaca hamdallah 5
TAHAP TERMINASI
1 Merapikan pasien dan alat 2
2 Menyampaikan hasil dari tindakan 4
3 Mencuci tangan 1
4 Berpamitan 1
SOFT SKILL
1 Senyum 3
2 Ramah 3
3 Menghargai 3
Total
A. Pengertian
Irigasi telinga adalah salah satu prosedur yang dapat dilakukan untuk
membersihkan liang telinga dari impaksi serumen atau mengeluarkan benda
asing telinga yang berukuran kecil. Irigasi telinga adalah suatu tindakan medis
yang bertujuan untuk membersihkan liang telinga luar dari nanah, serumen, dan
benda - benda asing dengan cara memasukkan cairan dalam telinga. Tujuan irigasi
telinga yaitu membersihkan dan atau mengeluarkan benda asing dari dalam mata
(Schwartz SR et al, 2017).
B. Indikasi
1. Mengeluarkan cairan, serumen, bahan-bahan asing dari kanal audiotory
ekternal
2. Mengirigasi kanal audiotory eksternal dengan larutan antiseptik
3. Menghangatkan atau mendinginkan kanal audiotory ekternal
(Schwartz SR et al, 2017).
C. Kontraindikasi
1. Perforasi membrane timpani atau resiko tidak utuh (injurie sekunder,
pembedahan, miringitomo)
2. Terjadi komplikasi sebelum irigasi
3. Temperatur yang ekstrim panas dapat menyebabkan pusing, mual dan muntah
4. Bila ada benda penghisap air dalam telinga, seperti bahan sayuran (kacang),
jangan diirigasi karena bahan-bahan tersebut mengembang dan sulit
berkembang.
(Schwartz SR et al, 2017).
E. Persiapan Alat
1. Cairan yan10cc yang diperlukan sesuai dengan instruksi medis
2. Spuit 10cc steril tanpa jarum
3. Perlak
4. Handuk
5. Kapas Bulat
6. Lida Kapas Steril
7. Kassa Steril
8. Piala Ginjal
9. Pipet
(Kathleen S Oman, 2008)
F. Persiapan Klien
1. Memberitahu dan menjelaskan mengenai prosedur yang akan dilakukan
2. Memasang sampiran
G. Prosedur
1. Perawat mencuci tangan
2. Atur posisi klien tidur miring atau duduk dengan kepala miring dengan posisi
telinga yang akan dirawat dibagian atas
3. Meletakkan perlak kemudian handuk disekitar bahu, letakan piala ginjal
dibawah telinga
4. Mengisi spuit atau pipet dengan cairan yang telah diinstruksikan
5. Masukkan cairan kedalam telinga (daun telinga ditarik ke belakang,
semprotkan cairan secara perlahan
6. Observasi warna dan jumlah cairan yang keluar
7. Atur posisi miring dengan posisi telinga yang dirawat berada di bawah untuk
membantu pengeluaran cairan
8. Telinga ditutup menggunakan kassa steril
9. Membereskan alat-alat dan mencuci tangan
H. Format Penilaian
Tabel 6.1 Format Penilaian Irigasi Telinga
FORMAT PENILAIAN IRIGASI TELINGA
BOBOT NILAI
NO ASPEK YANG DINILAI
YA TIDAK
A FASE ORIENTASI
1 Mengucap salam 2
2 Memperkenalkan diri 2
3 Menjelaskan tujuan 2
4 Menjelaskan langkah prosedur
Menanyakan kesiapan pasien 2
B FASE KERJA
1 Mencuci tangan 2
2 Mengatur posisi pasien
- duduk tegak dengan kepala dimiringkan 3
- tidur miring , telinga yang akan diirigasi berada diatas
3 Meletakkan perlak dan handuk dibawah kepala dan bahu klien 3
4 Mendekatkan bengkok ke telinga yang akan di irigasi 3
5 Memakai sarung tangan 3
6 Membersihkan kanal telinga luar dengan lidi kapas 5
7 Mengisi spuit 10 cc dengan cairan irigasi, keluarkan udara dari 5
spuit
8 Menarik daun telinga ke atas dan kebelakang dengan tangan yang 9
tidak dominan, tangan yang dominan memegang spuit dan
meletakkan di pangkal kanal
9 Mengalirkan secara perlahan menuju dinding kanal posterior dan 9
pertahankan posisi telinga
10 Memiringkan kepala kearah telinga yang diirigasi, sampai cairan 6
habis, mengamati cairan apakah terdapat serumen atau benda asing
BAB VII
PERAWATAN LUKA BAKAR
A. Pengertian
Luka bakar adalah kerusakan pada kulit diakibatkan oleh panas, kimia, atau
radio aktif. Setelah keadaan umum membaik dan telah dilakukan resusitasi cairan
dilakukan perawatan luka. Perawatan tergantung pada karakteristik dan ukuran
dari luka. Tujuan dari semua perawatan luka bakar agar luka segera sembuh rasa
sakit yang minimal. Setelah luka dibersihkan dan di debridement, luka ditutup.
Penutupan luka ini memiliki beberapa fungsi: pertama dengan penutupan luka
akan melindungi luka dari kerusakan epitel dan meminimalkan timbulnya koloni
bakteri atau jamur. Kedua, luka harus benar-benar tertutup untuk mencegah
evaporasi pasien tidak hipotermi. Ketiga, penutupan luka diusahakan semaksimal
mungkin agar pasien merasa nyaman dan meminimalkan timbulnya rasa sakit.
Pilihan penutupan luka sesuai dengan derajat luka bakar.
1. Luka bakar derajat I, merupakan luka ringan dengan sedikit hilangnya barier
pertahanan kulit. Luka seperti ini tidak perlu di balut, cukup dengan
pemberian salep antibiotik untuk mengurangi rasa sakit dan melembabkan
kulit. Bila perlu dapat diberi NSAID (Ibuprofen, Acetaminophen) untuk
mengatasi rasa sakit dan pembengkakan.
2. Luka bakar derajat II (superfisial), perlu perawatan luka setiap harinya,
pertamatama luka diolesi dengan salep antibiotik, kemudian dibalut dengan
perban katun dan dibalut lagi dengan perban elastik. Pilihan lain luka dapat
ditutup dengan penutup luka sementara yang terbuat dari bahan alami
(Xenograft (pig skin) atau Allograft (homograft, cadaver skin) atau bahan
sintetis (opsite, biobrane, transcyte, integra).
3. Luka derajat II (dalam) dan luka derajat III, perlu dilakukan eksisi awal dan
cangkok kulit (early exicision and grafting)
(Sjamsuhidajat & de jong, 2010)
B. Tujuan
Tujuan perawatan luka bakar sebagai berikut;
1. Mencegah atau mengobati syok
2. Mencegah dan mengobati infeksi dan sepsis
3. Mencegah parut hipertropik
4. Mempercepat proses penyembuhan
5. Memperbaiki bagian integritas kulit yang rusak
C. Persiapan Alat
1. Alat pelindung diri (masker, sarung tangan, scort)
2. Set ganti balutan steril
3. Sepuit 10 cc
4. Kasa steril
5. Verband sesuai dengan ukuran kebutuhan
6. Bengkok
7. Obat-obatan sesuai program
8. NaCl 0,9 % / aquades
D. Prosedur
1. Pasien/keluarga diberi penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan.
2. Petugas menggunakan alat pelindung diri (masker, sarung tangan, scort).
3. Mengatur posisi klien di bed tindakan supaya luka dapat terlihat jelas dan
mudah dilakukan perawatan luka.
4. Bila luka bakar tertutup pakaian maka minta ijin untuk membuka pakaian
supaya luka terlihat jelas dan membuka pakaian dengan hati-hati, bila sulit
basahi dengan NaCl 0,9%.
5. Membersihkan luka bakar dengan cara mengirigasi yaitu dengan cara
mengaliri bagian luka menggunakan NaCl 0,9% dengan meletakan bengkok di
bawah luka terlebih dahulu.
6. Melakukan debridement bila terdapat jaringan nekrotik dengan cara
memotong bagian nekrotik dengan mengangkat jaringan nekrotik
menggunakan pinset chirurgis dan digunting dengan gunting chirurgis mulai
dari bagian yang tipis menuju ke bagian tebal.
7. Bila ada bula dipecah dengan cara ditusuk dengan jarum spuit steril sejajar
dengan permukaan kulit dibagian pinggir bula kemudian dilakukan
pemotongan kulit bula dimulai dari pinggir dengan menggunakan gunting dan
pinset chirugis.
8. Mengeringkan luka dengan cara mengambil kasa steril dengan pinset
anatomis lalu kasa steril ditekankan pelan-pelan sehingga luka benar-benar
dalam kondisi kering.
9. Memberikan obat topical (silver sulfadiazin) sesuai luas luka dengan
menggunakan dua jari yang telah diolesi obat tersebut.
10. Menutup luka dengan kasa steril.
11. Memasang plester dengan digunting sesuai ukuran dan ditempelkan di atas
kasa steril.
12. Menjelaskan bahwa perawatan luka telah selesai.
13. Membersihkan alat medis
14. Membersihkan sampah medis
E. Format Penilaian
Tabel 7.1 Format Penilaian Perawatan Luka Bakar
BAB VIII
PEMERIKSAAN NERVOUS CRANIAL DAN REFLEK
A. Pemeriksaan Nervous Cranial
1. Pengertian
Nervus Kranialis (saraf kranialis/ Nervi Craniales) adalah saraf-saraf yang
keluar langsung dari otak dan batang otak. Pada manusia, terdapat 12 pasang
Nervus Kranialis, yaitu: (Fuller G., 2009)
Tabel 8.1 Pemeriksaan Nervous Cranial
No. Nama Jenis Fungsi
I Olfaktorius Sensori Menerima rangsang dari hidung dan
menghantarkannya ke otak untuk
diproses sebagai sensasi bau
II Optik Sensori Menerima rangsang dari mata dan
menghantarkannya ke otak untuk
diproses sebagai persepsi visual
III Okulomotor Motorik Menggerakkan sebagian besar otot mata
IV Troklearis Motorik Menggerakkan beberapa otot mata
V Trigeminus Gabungan Sensori: menerima rangsangan dari wajah
untuk diproses di otak sebagai sentuhan
Motorik: menggerakka rahang
VI Abdusen Motorik Abduksi mata
VII Fasialis Gabungan Sensori: menerima rangsangdari bagian
anterior lidah untuk diproses diorak
sebagai sensasi rasa
Motorik: mengendalikan otot wajah untuk
menciptakan ekspresi wajah
VIII Vestibulokoklearis Sensori Sensori sistem vestbuler: mengendalikan
keseimbangan
Sensori koklea: menerima rangsang untuk
diproses diotak sebagai suara
IX Glosofaringeus Gabungan Sensori: menerima rangsang dari bagian
posterior lidah untuk diperoses diotak
sebagai sensasi rasa
Motorik: mengendalikan organ-organ
dalam
X Vagus Gabungan Sensori: menerima rangsangan dari organ
dalam
Motorik: mengendalikan peorgan-organ
dalam
XI Aksesorius Motorik Mengendalikan pergerakan kepala
XII Hipoglossus Motorik Mengendalikan pergerakan lidah
2. Tujuan
Tujuan pemeriksaan nervus cranial yaitu mengidentifikasi adanya gangguan
saraf kranialis dan menentukan lokasi kelainan (diagnosis topis) (Bahrudin M,
2011).
3. Prosedur
Tabel 8.2 Prosedur dan Penilian Pemeriksaan Saraf Kranial
No. Aspek Nilai Feedback
0 1 2
INTERPERSONAL
1 Membina sambung rasa
Salam, senyum, sapa dan memperkenalkan diri
2 Menjelaskan tujuan pemeriksaan
3 Memberikan instruksi penderita untuk duduk
tegak
4 Cuci tangan
CONTENT
Inspeksi
5 General assessment (laporan hasil inspeksi)
PEMERIKSAAN SARAF KRANIALIS
N.I OLFAKROTIUS
6 Pasien diminta untuk bernapas dengan satu
lubang hidung ditutup (alternatif: dengan
menggunakan tangan pasien)
7 Pemeriksaan mendekakan sampel tes ke
hidung pasien yang tidak ditutup.
Sampel tes sebaiknya tidak mengiritasi, seperti
tembakau, teh, atau kopi
8 Setiap lubang hidung dites bergantian
9 Pemeriksa meminta pasien untuk melakukan
inhalasi yang cukup, lalu meminta pasien untuk
mengindentifikasi sampel tes
N. II OPTIKUS
A. Kaji Tajam Penglihatan
10 Posisikan pasien pada jarak 20 kaki (6 meter)
dari snellen chart (jika pasien memakai
kacamatanya)
11 Periksa dilakukan pada mata terlebih dahulu,
mata kiri ditutup dengan penutup mata
(alternatif: pasien diminta untuk menutup
mata dengan tangannya)
12 Minta pasien untuk membacakan baris huruf
hingga baris huruf terkecil yang masih bisa
dibaca
13 Catat hasil pengukuran tajam penglihatan
dalam bentuk pecahan (misal: 20/20)
14 Ulangi prosedur untuk pemeriksaan mata kiri
Jika pasien tidak dapat melihat huruf terbesar pada snellen chart, maka lakukan
prosedur berikut:
15 Jika pasien tidak dapat melihat huruf terbesar
pada snellen chart, maka pemeriksa
mengangkat satu tangannya dan ekstensikan
dua atau lebih jari, minta pasien untuk
menghitung jari pemeriksa. Catat pada jarak
berapa pasien dapat menghitung jari
pemeriksa
16 Jika pasien tidak dapat menghitung jari
pemeriksa, periksa apakah pasien dapat
melihat gerakan/ lambaian dan dapat
menentukan arah gerakan
17 Jika pasien tidak dapat melihat gerakan tangan,
gunakan pen-light untuk memeriksa apakah
pasien dapat melihat cahaya. Catatan respon
pasien terhadap cahaya: persepsi cahaya,
persepsi arahan cahaya, persepsi tanpa cahaya
B. Lapang Pandang (Konfrontasi)
18 Mintalah pasien duduk dihadapan petugas
pada jarak jangkauan tangan (30-50cm)
19 Minta pasien untuk menutup mata kiri dengan
tangan kirinya
20 Pemeriksaan menutup mata disisi yang sama
dengan mata pasien yang ditutup
21 Minta pasien untuk menatap tepat pada mata
pemeriksa (fiksasi)
22 Mintalah pasien agar memberi respon bila
melihat objek yang digerkkan petugas dimana
mata tetap terfiksasi dengan mata pemeriksa
23 Gerakkan objek (dapat berupa jari pemeriksa
atau pena) dari perifer ke tengah dimulai dari
arah superior, superior temporal, temporal,
temporal inferioer, inferior, inferior nasal,
superior nasal.
C. Funduskopi
24 Pemeriksa memegang oftalmoskop dengan
tangan kanan untuk memeriksa mata kiri
pasien dan tangan
25 Menyalakan oftalmoskop, memegang dengan
menempel pada mata pasien. Lalu perlahan
bergerak maju mendekati pasien dengan
oftalmoskop diposisikan pada sisi temporal
pasien hingga gambaran fundus terlihat
26 Jari telunjuk yang terletak pada pengatur lensa
mengatur besarnya dioptri yang diperlukan
untuk menyesuaikan focus sehingga detail
fundus dapat terlihat jelas (bila diperlukan)
27 Amati gambaran fundus yang terlihat
N. III Okulomotorius
N. IV Troklearis
N. VI Abdusen
A. Gerakan Okular Duksi (Monocular)
28 Duduk berhadapan dengan pasien. Tutup mata
kiri pasien dengan menggunakan telapak
tangan pasien, kepala pasien tegak dan
penglihatan lurus ke depan. Gunakan jari atau
benda (misal: pena) sebagai target fiksasi
tempatkan setinggi mata pasien pada jarak
30cm
29 Minta pasien untuk mengikuti arah jari atau
benda targer fiksasi, pemeriksa menggerakan
jari atau benda target fiksasi sesuai enam
lapangan cardinal
30 Ulangi prosedur untuk mata kiri
B. Gerakan Okular Versi (Binocular)
31 Duduk berhadapan dengan pasien, kepala
pasien tegak dan penglihatan lurus ke depan.
Gunakan jari atau benda (misal: pena) sebagai
targer fiksasi tempatkan setinggi mata pasien
pada jarak 30cm
32 Minta pasien untuk mengikuti arah jari atau
benda terger fiksasi, pemeriksa menggerakan
jari atau benda target fiksasi sesuai enam
lapang cardinal dan gerakan keatas dan
kebawah pada garis tengah
33 Ulangi prosedur pada mata kiri
C. Reflek Pupil
34 Kondisikan kamar pemeriksaan pada keadaan
temaram, minta pasien untuk melihat benda
yang jauh untuk fiksasi
35 Sinar mata kanan secara langsung dengan
menggunakan pen-light dari arah samping atau
bawah
36 Catat respon pupil langsung (direct pupil
reflex)
37 Ulangi prosedur 1-3 untuk mata kiri
38 Ulangi langkah 1 dan 2 pada mata kanan, amati
respon pada mata kiri yang tidak disinari
(indirect pupul reflek). Kecepatan respon dan
ukuran pupil normalnya akan ekuivalen
dengan respon pupil langsung
39 Ulangi langah 1,2, dan 5 pada mata kiri
N. V Trigeminus
A. Uji Sentuhan Ringan dan Nyeri Wajah
40 Pasien diminta untuk menutup mata, dan
memberikan respon pada sentuhan daerah
wajah
41 Pemeriksaan sensasi sentuhan ringan
mengguunakan kapas untuk memberikan
usapan pada satu sisi dahi, setelahnya lakukan
hal yang sama pada posisi yang sama pada dahi
sisi yang lain
42 Lakukan langkah 2 pada daerah pipi dan
rahang
43 Periksa respon pasien, apakah respon pasien
sama pada kedua sisi wajah
44 Lakukan hal yang sama pada pemeriksaan uji
nyeri, pemeriksaan uji nyeri dilakukan dengan
menggunakan pin tajam yang dilakukan
dengan tekanan ringan pada daerah wajah
B. Raba Kontraksi Otot Tmporalis dan Masker
45 Pemeriksa menempatkan jari-jari kedua
tangannya pada otot temporalis pasien
46 Pasien diminta untuk mengatupkan giginya
(menggigit), rasakan kontrakis otot temporalis
pada tangan
47 Lakukan hal yang sama pada pemeriksaan otot
maseter
C. Kekuatan Otot Pterygoideus Medial dan Lateral
48 Pasien diminta untuk menggigit spatel dengan
kuat, kemudian pemeriksa menarik spatel.
Nilai kekuataun otot pterygoideus medial
49 Pasien diminta untuk menggigit spatel dengan
kuat, kemudian pemeriksa menarik spatel.
Nilai kekuatan otot pterygoideus lateral kanan
dan kiri equivalen
50 Jari pemeriksa memberikan tahanan pada
rahang bawah pasien, dan minta pasien untuk
menggerakkan rahang bawah ke kanan dan ke
kiri sesuai dengan arah tahanan pemeriksa.
Nilai apakah kekuatan otot pterygoideus
lateral kanan dan kiri equivalen
D. Reflek Sentakan Rahang
51 Pemeriksaan duduk berhadapan dengan pasien
52 Pasien diminta untuk membuka sedikit
mulutnya
53 Tempatkan ibu jari atau jari telunjuk
pemeriksa pada anterior rahang bawah (dagu).
Pukulkan palu reflek pada ibu jari pemeriksa.
54 Periksa respon pasien
E. Reflek Kornea
55 Pemeriksa menggunakan kapas yang dibentuk
meruncing
56 Pasien diminta untuk melirik ke arah atas dan
ujung runcing kapas ditempatkan dari sisi
lateral mata dan usapkan secara ringan pada
kornea
57 Usapkan pada kornea akan menyebabkan
reflek menutup mata pada kedua mata.
Bandingkan respon reflek kornea pada kedua
bola mata
N. VI Fasialis
A. Tes Fungsi Motorik Otot Wajah Bawah
58 Pasie diminta untuk tersenyum dan
memperlihatkan gigi-gelignya
B. Tes Fungsi Motorik Otot Wajah Atas
59 Pasien diminta untuk menutup kedua matanya
kuat-kuat
60 Pemeriksa mencoba untuk membuka kedua
kelopak mata
61 Minta pasien untuk mengangkat kedua alis
C. Tes Pengecap 2/3 Anterior Lidah
62 Test dilakukan dengan menggunakan 4
substansi rasa: manis (gula), asin (garam),
pahit (kina), asam (cuka). Semua subtansi
disediakan dalam bentuk cairan
63 Pasien diminta untuk menjulurkan lidahnya
64 Pemeriksa meneteskan sampel pada lidah
pasien dengan menggunakan pipet
65 Pasien memberikan respon rasa sesuai dengan
respon rasa yang dirasakan pasien
N. VIII Akustikus
A. Tes Rinne
66 Pemeriksaan menggunakan garpu tala 512 Hz
67 Pemeriksa membunyikan garpu tala secara
lunak lalu menempatkan tangkainya tegak
lurus pada planum mastoid kanan pasien
(belakang meatus akustikus eksternus)
68 Setelah pasien tidak mendengar bunyinya,
segera garpu tala kita pindahkan didepan
meatus akustikus ekternus kanan pasien
69 Lakukan hal yang sama pada telinga kiri
B. Tes Weber
70 Pemeriksaan menggunakan garpu tala 512Hz
71 Pemeriksaan membunyikan garputala secara
lunak, lalu tangkainya kita letakkan tegak lurus
pada dahi tepatdi garis tengah
72 Minta pasien merespon adakah telinga yang
mendengar lebih, ataukah sama keras
N. IX Glossopharingeal
A. Reflek Muntah (Gag Reflek)
74 Pasien diminta untuk membuka mulutnya
lebar-lebar
75 Pemeriksa memberikan stimulasi pada dinding
faring dengan spatel lidah
76 Periksa respon muntah
B. Tes Pengecap 1/3 Posterior Lidah
77 Pemeriksaan pengecapan sama seperti
pemeriksaaa Nervus Fascialis hanya posisi
pemeriksaan pada 1/3 posterior lidah
N. X Vagus
A. Perubahan Bicara
78 Pasien diminta untuk berbicara satu kata atau
satu kalimat
79 Pemeriksa memeriksa bicara pasien, apakah
ada disfoni atau disartria
B. Kontraksi Soft Palatum
80 Pasien diminta untuk membuka mulut dan
berkata “Aaaaa’
81 Pemeriksa memeriksa kontraksi soft palatum
pada kedua sisi sekaligus memeriksa posisi
uvula
C. Menelan
82 Pasien diminta untuk menelan makanan
kecil/air
83 Pemeriksa memeriksa adakah kesulitan dalam
menelan, atau adakah pasien tersedak
N. XI Accessory
A. Pemeriksaan Otot Sternocleidomastoidues
84 Pemeriksaan meletakkan tangan pada pipi
pasien
85 Minta pasien untuk menoleh ke kanan dan ke
kiri melawan tahanan tangan pemeriksa
B. Pemeriksaan Otot Trapezius
86 Pemeriksaan berhadapan dengan pasien
87 Pemeriksaan meletakkan kedua tangan pada
bahu pasien
88 Minta pasien untuk mengangkat kedua bahu
melawan tahanan tangan pasien
89 Pemeriksa menilai kesimetrisan kontraki
kedua otot trapezius pasien
N. XII Hypoglossal
90 Pasien diminta untuk membuka mulut dan
lidah tetap berada pada dasar mulut
91 Pemeriksa memeriksa lidah pasien adakah
fasikulasi atau atropi
92 Pasien diminta untuk menjulurkan lidah
93 Periksa adakah deviasi lidah
PROFESIONALISME
94 Melakukan dengan penuh percaya diri, serta
minimal error
95 Penalaran klinik baik dan bersesusuaian
dengan kasus
96 Memperhatikan aspek kerahasiaan & etika
pemeriksaan kepada pasien
97 Cuci tangan
TOTAL
B. Pemeriksaan Reflek
a. Pengertian
Refleks adalah jawaban terhadap suatu perangsangan. Gerakan yang
timbul namanya gerakan reflektorik. Semua gerakan reflektorik merupakan
gerakan yang bangkit untuk penyesuaian diri, baik untuk menjamin
ketangkasan gerakan volunter, maupun untuk membela diri. Bila suatu
perangsangan dijawab dengan bangkitnya suatu gerakan, menandakan bahwa
daerah yang dirangsang dan otot yang bergerak secara reflektorik terdapat
suatu hubungan (Fuller G, 2009).
Refleks neurologik bergantung pada suatu lengkungan (lengkung
refleks) yang terdiri atas jalur aferen yang dicetus oleh reseptor dan
sistem eferen yang mengaktifasi organ efektor, serta hubungan antara
kedua komponen ini. Bila lengkung ini rusak maka refleks akan hilang.
Selain lengkungan tadi didapatkan pula hubungan dengan pusat - pusat
yang lebih tinggi di otak yang tugasnya memodifikasi refleks tersebut. Bila
hubungan dengan pusat - pusat yang lebih tinggi di otak yang tugasnya
memodifikasi refleks tersebut. Bila hubungan dengan pusat yang lebih
tinggi ini terputus, misalnya karena kerusakan pada sistem piramidal, hal
ini akan mengakibatkan refleks meninggi (Fuller G, 2009).
Bila dibandingkan dengan pemeriksaan - pemeriksaan lainnya,
misalnya pemeriksaan sensibilitas, maka pemeriksaan refleks kurang
bergantung kepada kooperasi pasien. Ia dapat dilakukan pada orang yang
kesadarannya menurun, bayi, anak, orang yang rendah inteligensinya dan
orang yang gelisah. Dalam sehari - hari kita biasanya memeriksa 2 macam
refleks fisiologis yaitu refleks dalam dan releks superfisial: (Fuller G, 2009;
Ginsberg L, 2008).
a. Refleks dalam (refleks regang otot)
Refleks dalam timbul oleh regangan otot yang disebabkan oleh
rangsangan, dan sebagai jawabannya maka otot berkontraksi. Refleks
dalam juga dinamai refleks regang otot (muscle stretch reflex). Nama lain
bagi refleks dalam ini ialah refleks tendon, refleks periosteal, refleks
miotatik dan refleks fisiologis.
b. Refleks superfisialis
Refleks ini timbul karena terangsangnya kulit atau mukosa yang
mengakibatkan berkontraksinya otot yang ada di bawahnya atau di
sekitarnya. Jadi bukan karena teregangnya otot seperti pada refleks
dalam. Salah satu contohnya adalah refleks dinding perut superfisialis
(refleks abdominal).
b. Persiapan Alat
a. Tool
b. Alat Tulis
c. Hammer Refleks
c. Prosedur dan Format Penilaian
Tabel 8.2 Prosedur dan Penilaian Reflek Fisiologis dan Patologis
No. Prosedur Nilai Feedback
I INTERAKSI PERAWAT-PASIEN 0 1 2
1 Senyum, salam, sapa
2 Beritahukan kepada pasien mengenai
tindakan yang akan dilakukan dan
persetujuan tindakan (informed consent)
II PEMERIKSAAN REFLEKS FISIOLOGIS
3 Lakukan pemeriksaan reflek biseps
a. Meminta pasien duduk dengan santai
b. Posisikan lengan bawah pasien antara
fleksi dan ekstnsi serta sendikir
pronasi
c. Letakkan siku pasien pada lengan/
tangan periksa
d. Letakkan ibu jari diatas tendo bisep
kemudian pukulah ibu jari tadi dengan
hammer
Hasil:
Fleksi lengan bawah
4 Lakukan pemeriksaan reflek trisep
a. Posisikan pasien sama dengan posisi
pada pemeriksaan refleks biseps
b. Instruksikan kepada pasien untuk
melemaskan lengan dan relaksasi
sempurna
c. Pukullah tendo yang tewat di fossa
olekranon
Hasil:
Ekstensi lengan bawah
5 Lakukan pemeriksaan reflek patella
a. Posisikan pasien dalam posisi duduk
dengan tungkai menjuntai
b. Raba daerah kanan-kiri tendo patella
terlebih dulu untuk menentukan
daerah yang tepat
c. Pegang paha pasien bagian distal
dengan tangan kiri sedangkan tangan
yang lain memukul tendo patella
dengan palu refleks hammer secara
cepat
Hasil:
Plantarfleksi
III PEMERIKSAAN REFLEK PATOLOGIS
7 Lakukan pemeriksaan reflek babinski
Gores plantar pedis sisi lateral dari tumit ke
kaudal
8 Lakukan pemeriksaan reflek Chaddock
Gores dorsum pedis pada maleolus lateral
ke arah kaudal
9 Lakukan pemeriksaan reflek Gordon
Tekan/ cubit otot gastrocnemius
10 Lakukan pemeriksaan reflek Gonda
Fleksikan jari ke – 4 pedis kemudian
lepaskan secara cepat
11 Lakukan pemeriksaan reflek Oppenheim
Gosok sepanjang tulang tibia dengan
menggunakan jari telunjuk dan jari tengah
12 Lakukan pemeriksaan reflek schaefer
Tekan/cubit tendon achiles dengan ibu jari
dan telunjuk
13 Lakukan pemeriksaan reflek Hoffman
Tromner
1. Pegang tangan pada pergelangan, jari-
jari difleksikan
2. Jepit jari tengah pasien diantara
telunjuk dan jari tengah pemeriksa
3. Gores dengan kuat jaei tengah dengan
menggunakan ibu jari
IV PROFESIONALISME
18 Melakukan dengan penuh percaya diri
19 Melakukan dengan kesalahan minimal
TOTAL
DAFTAR PUSTAKA
Ackley, B. J. & Ladwig, G. B. (2013). Nursing Diagnosis Handbook: An Evidence-Based
Guide to Planning Care, 10e. Mosby elsevier.
Barber B, Robertson D, (2012).Essential of Pharmacology for Nurses, 2nd edition,
Belland Bain Ltd, Glasgow
Lynn P. (2011). Taylor's Handbook of Clinical Nursing Skill, China: Wolter Kluwer
Health
Lewis S.L, Dirksen S. R, Heitkemper M.M, Bucher L, Harding M. M, (2014). Medical
Surgical Nursing, Assessment and Management of Clinical Problems. Canada: Elsevier.
Potter, Perry. (2010). Fundamental Of Nursing: Consep, Proses and Practice. Edisi 7.
Vol. 3. Jakarta : EGC.
Madara B, Denino VP. 2008. Pathophysiology Second Edition. London : Jones and
Bartlrtt Publisher Inc.
Smeltzer, S, & Bare. 2009. Brunner & Suddarths Textbook of Medical Surgical Nursing.
Philadelpia : Lippin cott
Syamsuhidayat R, Wim, De Jong. 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Sujiono, 2011. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Fuller, G., 2009. Paduan Praktis Pemeriksaan Neurologis. Jakarta : EGC.