Anda di halaman 1dari 14

ASUHAN KESEHATAN KOMUNITAS POPULASI RENTAN

KECACATAN

D
I
S
U
S
U
N
OLEH : KELOMPOK 4

1. EBI WULAN MANALU (032016055)


2. IRA WIDIA MANALU (0320160)
3. NAOMI CARLI OKTAVIS (032016075)
4. PRANDY ANDRE TINDAON (0320160)
5. PUSPITA ZEGA (0320160)
6. RANI HARIANJA (0320160)
7. TISEP FAZRYANTI TELAUMBANUA (032016088)
8. VINSENSIA FREDERIKA NDRURU (032016090)

PROGRAM STUDI NERS TAHAP AKADEMIK


STIKES SANTA ELISABETH MEDAN
TAHUN AJARAN 2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia yang diberikan
pada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan Kesehatan Komunitas
Populasi Rentan :Kecacatan” ini tepat waktu.Dalam penyusunan makalah ini kami tidak lupa untuk
mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak yang telah membantu kami dalam menyusun makalah ini.
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing kami yang telah
memberikan kesempatan, saran serta masukan untuk kami dalam mengikuti dan menyelesaikan tugas
makalah ini.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna baik dari teknik
penulisan maupun materi.Oleh karena itu kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar
kami dapat memperbaikinya.Akhir kata, kami mengucapkan banyak terimakasih dan semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua.

Medan,30 Maret 2019

Penulis

Kelompok 4
DAFTAR ISI

Kata Pengantar………………………………………………………………………………………… 2
Daftar Isi…………………………………………………...…………………………………………... 3
BAB 1 Pendahuluan……………………………………………………...…………………………… 4
1.1 Latar Belakang……………………………………………………………………………………. 4
1.2 Tujuan………………………………………………………………………………........................... 5
BAB2 Pembahasan……………………………………………………………………………………. 6
2.1 Pengertian……………………………………….. ……………………………………….................. 6
2.2 jenis-jenis………….………………………………………………………………………………. 9
2.3 Kebijakan Publik…………………………………………………………………………………… 10
2.4 Strategi Pelaksanaan…………….………………………………………………...………………... 11
2.5 Pengkajian Dan Diagnosa Keperawatan........................................................................................... 12
2.6 Rencana keperawatan dan Intervensi keperawatan………………………………………………... 14
BAB 3 Penutup………………………………………………………………………………………... 14
3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………………....................... 14
3.2 Saran……………………………………………………………………………............................. 14
Daftar Pustaka .. ……………………………........................................................................................ 15
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Populasi berasal dari bahasa latin yaitu populous (rakyat, berarti penduduk). Didalam Pelajaran
ekologi, populasi adalah sekelompok individu yang sejenis. Apabila kita membicarakan
populasi, haruslah disebut jenis individu yang dibicarakan dengan menentukan batas –batas
waktunya serta tempatnya. Jadi, populasi adalah Kumpulan individu sejenis yang hidup pada suatu
daerah dan waktu tertentu. Populasi rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang
mempengaruhi kondisi seseorang atau populasi untuk menjadi sakit atau sehat (Kaakinen, Hanson,
Birenbaum dalam Stanhope & Lancaster, 2004).

Penyandang cacat merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang mempunyai kedudukan,
hak, kewajiban dan peran yang sama dengan masyarakat Indonesia lainnya di segala aspek kehidupan dan
penghidupan. Pengertian penyandang cacat menurut PP no. 36 tahun 2009 adalah seseorang yang
menurut ilmu kesehatan dinyatakan mempunyai kelainan tubuh, dan atau mental yang oleh karenanya
dapat merupakan rintangan atau hambatan baginya untuk melakukan kegiatan selayaknya. Kriteria cacat
tubuh antara lain: anggota tubuh tidak lengkap putus/amputasi tungkai, lengan atau kaki, cacat
tulang/persendian, cacat sendi otot dan tungkai, lengan atau kaki, dan lumpuh. 2 Seseorang yang
mengalami cacat pada masa pertumbuhan akan lebih banyak menunjukkan adanya gangguan emosi dan
reaksi menolak pada kecacatan yang dideritanya sehingga akan lebih sulit dalam mengadakan
penyesuaian di kehidupannya. Kartono (2007) mengemukakan penyandang cacat biasanya merasa malu
dan menderita batinnya, selalu dibayangi ketakutan serta keraguraguan, sehingga timbullah rendah diri.

Berdasarkan data WHO tahun 2010, 10 persen dari jumlah penduduk dunia merupakan penyandang
cacat, kira-kira mencapai 600 juta jiwa. Data dari Kementrian Sosial, penyandang cacat di Indonesia
sebanyak 7 Juta jiwa atau 3 persen dari populasi penduduk Indonesia 238 juta jiwa (tribunbekasi.com).
Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2004 mencatat, jumlah penderita tunadaksa atau cacat
fisik di Indonesia mencapai 1.652.741 jiwa dan diperkirakan jumlahnya telah meningkat
(wartajakarta.com). Kaum difabel di Indonesia sering kali diposisikan sebagai kaum minoritas, baik
secara struktural maupun kultur. Lebih dari itu, mereka juga merupakan kelompok yang selama ini
terpinggirkan di tengah kehidupan bermasyarakat. Mereka 2 terpinggirkan dalam berbagai dimensi mulai
dari ekonomi, pendidikan, akses publik, akses pekerjaan, akses politik dan lainnya. Difabel (different
abilility) lebih familier di masyarakat umum disebut penderita cacat fisik atau penyandang cacat. Istilah
ini diberikan oleh almarhum Mansoer Fakih, seorang tokoh Indonesia yang berjasa memperjuangkan
kaum difabel dengan melakukan perlawanan atas kuasa normalitas (republika.co.id). Kondisi sosial
penyandang cacat pada umumnya dinilai dalam keadaan rentan. Secara ekstern, bahkan masih ada
keluarga yang menyembunyikan anggota keluarganya yang cacat terutama dipedesaan, dan masih
masyarakat yang memandang dengan sebelah mata terhadap keberadaan dan kemampuan para
penyandang cacat. (Gemari, 2009).
1.2 Tujuan
1. Mampu menjelaskan Pengertian Kecacatan
2. Mampu menjelaskan Jenis-jenis Kecacatan
3. Mampu Menjelaskan strategi perawatan Penyandang Kecacatan
4. Mampu Menjelaskan Asuhan Kesehatan Komunitas Populasi Rentan Kecacatan
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Disabilitas

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) penyandang diartikan dengan orang yang
menyandang (menderita) sesuatu. Sedangkan disabilitas merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal
dari kata serapan bahasa Inggris disability (jamak: disabilities) yang berarti cacat atau ketidakmampuan.
Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Hak-Hak Penyandang Disabilitas,
penyandang disabilitas yaitu orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual atau sensorik
dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat
menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak.
(Triutari, 2014)

Disabilitas adalah suatu kehilangan atau ketidaknormalan baik psikologis, fisiologis maupun
kelainan struktur atau fungsi anatomis. Difabel merupakan seseorang yang mempunyai kelainan fisik dan
atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan suatu rintangan dan hambatan baginya untuk
melakukan aktifitas secara layak atau normal.( John C. Maxwell,2006)

Anak dengan disabilitas dapat dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu anak dengan penurunan fungsi
tubuh, keterbatasan dalam beraktivitas dan pembatasan dalam berprestasi. Anak-anak disabilitas termasuk
orang-orang dengan kondisi kesehatan seperti cerebral palsy, spina bifida, distrofi otot,cedera tulang
belakang traumatik, down sindrom, dan anak-anak dengan gangguan pendengaran, visual,
fisik,komunikasi dan gangguan intelektual (WHO, 2012)

2.2 Jenis-jenis Difabel

Terdapat beberapa jenis orang dengan difabel. Ini berarti bahwa setiap penyandang difabel
memiliki defenisi masing-masing yang mana ke semuanya memerlukan bantuan untuk tumbuh dan
berkembang secara baik. Jenis-jenis penyandang difabel:

a. Disabilitas Mental. Kelainan mental ini terdiri dari:

1) Mental Tinggi : Sering dikenal dengan orang berbakat intelektual, dimana selain memiliki
kemampuan intelektual di atas rata-rata individu juga memiliki kreativitas dan tanggung
jawab terhadap tugas (Reefani, 2013).

2) Mental Rendah. Kemampuan mental rendah atau kapasitas intelektual/IQ (Intelligence


Quotient) di bawah rata-rata dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu anak lamban belajar
(slow learnes) yaitu anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) antara 70-90. Sedangkan
anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) di bawah 70 dikenal dengan anak
berkebutuhan khusus.

3) Berkesulitan Belajar Spesifik. Berkesulitan belajar berkaitan dengan prestasi belajar


(achievment) yang diperoleh (Reefani, 2013).
Ciri-ciri atau tanda-tanda anak dengan disabilitas mental : - Ada tiga jenis anak dengan
disabilitas intelektual yaitu ringan (mampu didik), sedang (mampu latih), dan berat (mampu
rawat). - Wajah ceper, jarak kedua mata jauh, hidung pesek, mulut terbuka, lidah besar. -
Kepala kecil/besar/datar. - Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usianya atau semua
harus dibantu orang lain. - Perkembangan bicara/bahasa terlambat atau tidak dapat bicara. -
Kurang atau tidak dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan. - Sering keluar ludah
(cairan) dari mulut.

b. Disabilitas Fisik. Kelainan ini meliputi beberapa macam, yaitu:


1) Kelainan Tubuh (Tuna Daksa). Tunadaksa adalah individu yang mengalami kerusakan di
jaringan otak, jaringan sumsum tulang belakang, dan pada sistem musculus skeletal
(Fitriana, 2013).
Ciri-ciri atau tanda-tanda anak dengan disabilitas tubuh : - Anggota gerak tubuh
kaku/lemah/lumpuh. - Kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna, tidak lentur/tidak
terkendali). - Terdapat bagian anggota gerak yang tidak lengkap/tidak sempurna/lebih
kecil dari biasa. - Terdapat cacat pada alat gerak. - Jari tangan kaku dan tidak dapat
menggenggam. - Kesulitan pada saat berdiri/berjalan/duduk, dan menunjukkan sikap
tubuh tidak normal.

2) Kelainan Indera Penglihatan (Tuna Netra). Tunanetra adalah orang yang memiliki
ketajaman penglihatan 20/200 atau kurang pada mata yang baik, walaupun dengan memakai
kacamata, atau yang daerah penglihatannya sempit sedemikian kecil sehingga terbesar jarak
sudutnya tidak lebih dari 20 derajat (Geniofam, 2010).

Ciri-ciri atau tanda-tanda: - Mata tampak merah. - Bola mata tampak keruh (putih-putih
ditengah), dan kadang-kadang seperti mata kucing (bersinar). - Bola mata bergerak sangat
cepat. - Penglihatan hanya mampu merespon terhadap cahaya, benda ukuran besar dengan
warna mencolok. - Memicingkan mata pada saat terkena sinar matahari. - Melihat obyek,
menonton televisi, membaca buku atau melihat gambar di buku sangat dekat. - Menonton
televisi sangat dekat. - Bila berjalan ditempat yang belum dikenal sering tersandung dan
menabrak. - Pada saat matahari tenggelam tidak bisa melihat jelas (rabun senja). - Sering
membentur-benturkan kepala ke tembok.

Ciri-ciri atau tanda-tanda anak buta total: - Tidak mampu melihat cahaya. - Kerusakan
nyata pada kedua bola mata. - Sering meraba-raba bila mencari sesuatu benda dan jika
berjalan sering menabrak dan tersandung. - Bagian bola mata tampak jernih tetapi tidak bisa
melihat cahaya maupun benda. - Sering menekan bola mata dengan jari

3) Kelainan Pendengaran (Tunarungu). Tunarungu adalah istilah umum yang digunakan


untuk menyebut kondisi seseorang yang mengalami gangguan dalam indera pendengaran
(Smart, 2010).

Ciri-ciri atau tanda-tanda anak dengan disabilitas pendengaran: - Tidak menunjukkan


reaksi terkejut terhadap bunyi-bunyian atau tepukan tangan yang keras pada jarak satu
meter. - Tidak bisa dibuat tenang dengan suara ibunya atau pengasuh. - Tidak bereaksi bila
dipanggil namanya atau acuh tak acuh terhadap suara sekitarnya. - Tidak mampu
menangkap maksud orang saat berbicara bila tidak bertatap muka. - Tidak mampu
mengetahui arah bunyi. - Kemampuan bicara tidak berkembang. - Perbendaharaan kata tidak
berkembang. - Sering mengalami infeksi di telinga. - Kalau bicara sukar dimengerti. - Tidak
bisa memperhatikan sesuatu untuk jangka waktu tertentu. - Kelihatan seperti anak yang
kurang menurut atau pembangkang. - Kelihatan seperti lamban atau sukar mengerti.

4) Kelainan Bicara (Tunawicara), adalah seseorang yang mengalami kesulitan dalam


mengungkapkan pikiran melalui bahasa verbal, sehingga sulit bahkan tidak dapat di
mengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat di mengerti oleh orang lain. Kelainan
bicara ini dapat bersifat fungsional dimana kemungkinan disebabkan karena ketunarunguan,
dan organik yang memang disebabkan adanya ketidaksempurnaan organ bicara maupun
adanya gangguan pada organ motorik yang berkaitan dengan bicara (Reefani, 2013).

2.3 Kebijakan Publik Difabel

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas.


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik,


intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi
dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara
penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
2. Kesamaan Kesempatan adalah keadaan yang memberikan peluang dan/atau menyediakan
akses kepada Penyandang Disabilitas untuk menyalurkan potensi dalam segala aspek
penyelenggaraan negara dan masyarakat.
3. Diskriminasi adalah setiap pembedaan, pengecualian pembatasan, pelecehan, atau
pengucilan atas dasar disabilitas yang bermaksud atau berdampak pada pembatasan atau
peniadaan pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan hak Penyandang Disabilitas.
4. Penghormatan adalah sikap menghargai atau menerima keberadaan Penyandang
Disabilitas dengan segala hak yang melekat tanpa berkurang.
5. Pelindungan adalah upaya yang dilakukan secara sadar untuk melindungi, mengayomi,
dan memperkuat hak Penyandang Disabilitas.
6. Pemenuhan adalah upaya yang dilakukan untuk memenuhi, melaksanakan, dan
mewujudkan hak Penyandang Disabilitas.
7. Pemberdayaan adalah upaya untuk menguatkan keberadaan Penyandang Disabilitas
dalam bentuk penumbuhan iklim dan pengembangan potensi sehingga mampu tumbuh
dan berkembang menjadi individu atau kelompok Penyandang Disabilitas yang tangguh
dan mandiri.
8. Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan untuk Penyandang Disabilitas guna
mewujudkan Kesamaan Kesempatan.
9. Akomodasi yang Layak adalah modifikasi dan penyesuaian yang tepat.

Penyandang Disabilitas memiliki hak:


1. Hidup
2. Bebas Dari Stigma
3. Privasi
4. Keadilan Dan Perlindungan Hokum
5. Pendidikan
6. Pekerjaan, Kewirausahaan, Dan Koperasi
7. Kesehatan
8. Politik
9. Keagamaan
10. Kesejahteraan Social
11. Pelayanan Publik,Habilitasi Dan Rehabilitasi

2.4 Strategi Perawatan Penyandang Difabel


a. Membawa anak ke puskesmas atau rumah sakit terdekat untuk diperiksa tenaga medis.
b. Menindaklanjuti hasil pemeriksaan dari tenaga medis dengan mengikuti petunjuk dan saran
yang diberikan.
c. Memasukkan anak ke sekolah yang sesuai dan kembangkan potensi yang dimiliki anak.
d. Mengajarkan sesuatu secara bertahap dan berulang ulang
e. Memerlukan latihan rutin, dan menggunakan alat bantu untuk mencegah bertambahnya
kecacatan dan memudahkan melakukan kegiatan sehari-hari.
f. Pemakaian obat tidak menjadi satu-satunya cara penanganan, bisa menggunakan pendekatan
kejiwaan dalam upaya perbaikan kondisi anak.
g. Membangun suasana emosi positif dalam mendampingi anak, sehingga secara psikologis anak
merasa dirinya lebih diterima.
h. Memberi perhatian positif dan mengajak anak berperilaku baik.
i. Memberi perintah yang efektif dan langsung ke tujuan.
j. Memberikan penguatan positif (motivasi, pujian, penghargaan) dan negatif (tidak memberikan
hak istimewa).
k. Memberikan kegiatan-kegiatan yang nyata atau fungsional untuk kehidupan sehari hari.
Program dilakukan secara terstruktur dan konsisten. Aktivitas pembelajaran dibagi menjadi
beberapa tahapan dan dilakukan secara berulang-ulang. Pemberian program harus melalui
tahapan yang dipecah/diurai, misalnya untuk mengajar cara menyikat gigi dimulai dari
mengambil sikat gigi, mengambil pasta gigi, membuka tutup pasta gigi, menekan tube pasta
gigi di penutup pasta gigi, menyikat gigi bagian depan, menyikat gigi bagian kiri, menyikat
gigi bagian kanan, menyikat bagian dalam atas depan, dan seterusnya.
l. Guna mengetahui perkembangan anak, orangtua, keluarga harus selalu berkomunikasi dan
melakukan evaluasi bersama-sama dengan guru, konselor, dan pihak-pihak profesional yang
menangani anak.
Laporan Kasus

Pada hari minggu Tanggal 03 maret 2019, kami mengunjungi SLB Kota B, Hasil
pengamatan terhadap perilaku anak tuna netra dan cara bimbingan guru SLB terhadap siswa
dengan tunanetra. Pada saat berkunjung sedang di adakan kegiatan membuat sate dan cara
memanggang sate. Asuhan keperawatan yang dilakukan pada anak dengan tunanetra,
meliputi: pengkajian, diagnose keperawatan, rencana tindakan, implementasi dan evaluasi.

2.5 Pengkajian dan Diagnosa


a. Identitas klien: Umur: 13 tahun, jenis kelamin: laki-laki kelas: 5 SD.
b. Riwayat kesehatan: menurut cerita klien ini seperti yang dituturkan oleh ibunya, dia
menderita kelainan mata dimana kedua kelopak matanya tidak bisa membuka dan bola
mata kecil dari sejak lahir, mejelang besar anak tidak mampu mnelihat apa-apa. c.
Keadaan umum: tampak berpenampilan gempal, tinggi 90 cm dengan berat badan 40 kg
dan berpakaian bersih.
d. Riwayat sosial: Kedua orang tua masih hidup dan hidup bersama dengan kedua orang
tuanya. Saat kesekolah di antar jemput oleh ibunya. Sejak kecil selalu di bantu ibunya
untuk melakukan aktifitas sehari hari, saat ini klien mampu mengganti pakaian sendiri,
dan mandiri terhadap kebutuhan eliminasi. Kebutuhan makan disediakan oleh ibunya,
klien mampu makan dan minum sendiri.
e. Kemampuan kemandirian: Ketersedian baju ganti oleh orang tuanya, klien bisa
memakai baju sendiri. Klien masih minta bantuan untuk mengenali tempat eliminasi yang
ada di samping kelas. klien mampu mengganti pakaian sendiri, dan mandiri terhadap
kebutuhan eliminasi.
f. Pada pemeriksaan berfocus pada mata: tampak kedua bola mata kecil, kelopak mata
atas tidak bisa di buka hanya ada kernyitan,kedua kornea mata tampak keputihan, tidak
bisa mengidentifikasi objek di depan matanya.

Data Diagnosa
DS:Ibu pasien mengatakan adanya Gangguan (persepsi sensori) penglihatan
kelainan mata dimana kedua kelopak total berhubungan dengan cacat sejak lahir
matanya tidak bisa membuka dan bola
mata kecil dari sejak lahir menjelang
besar anak tidak mampu melihat apa-
apa
DO:Anak berumur 13 tahun, jenis
kelamin laki-laki kelas 5 SD tampak
kedua bola mata kecil, kelopak mata
atas tidak bisa dibuka hanya ada
keryitan kedua kornea mata tampak
putih tidak bisa mengidentifikasi
objek di depan matanya.
DS:ibu pasien mengatakan sejak kecil Defisit kemandirian berhubungan dengan
selalu dibantu oleh ibunya untuk keterbatasan aktifitas fisik
melakukan aktifitas sehari-hari.
Kebutuhan menuju tempat eliminasi
masih dibantu.
DO: pasien harus dibantu dalam
mengenali tempat tempat tertentu

2.6 Rencana Asuhan keperawatan

Diagnosa Keperawatan Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)


Gangguan persepsi sensori
Vision compensation Pencapaian komunikasi:
gangguan penglihatan
behavior Defisit penglihtan
cacat lahir Kriteria hasil: 1. Kaji reaksi pasien
1.Memakai huruf braile terhadap gangguan
2.memakai penglihatan
penyinaran/cahaya yang 2. Ajak pasien untuk
sesuai menentukan tujuan
dan belajar melihat
dengan cara yang
lain
3. Deskripsikan
lingkungan sekitar
paien
4. Jangan
memindahkan
sesuatu diruangan
pasien tampa
memberi informasi
pada pasien
5. Sediakan huruf braile
6. Informasikan letak
benda-benda yang
selalu digunakan
pasien
Manajemen lingkungan
1. Ciptakan lingkungan
yang aman pada
pasien
2. Pindahkan benda-
benda berbahaya
bagi lingkungan
pasien
3. Tempatkan benda
benda yang dapat
dijangkau oleh
pasien.
Defisit kemandirian Mandiri dalam self care: Self care Assistance : ADLs
berhubungan dengan activity daily of living 1. Monitor kemampuan
keterbatasan aktifitas fisik (ADLs): klien untuk
perawatan diri nyang
Kriteria hasil mandiri
1. Menyatakan 2. Monitor kebutuhan
kenyamanan klien untuk alat-alat
terhadap kemampuan bantu kebersihan
untuk melakukan diri, berpakaian
ADLs berhias,toileting dan
2. Dapat melakukan makan.
ADLs dengan 3. Sediakan bantuan
bantuan. sampai klien mampu
secara utuh untuk
melakukan self-care
4. Dorong klien untuk
melakukan aktivitas
sehari-hari yang
normal sesuai
kemampuan yang
dimiliki
5. Ajarkan klien atau
keluarga untuk
mendorong
kemandirian utuk
memberikan bantuan
hanya jika pasien
tidak mampu untuk
melakukan-nya.
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Penyandang cacat merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang mempunyai kedudukan,
hak, kewajiban dan peran yang sama dengan masyarakat Indonesia lainnya di segala aspek kehidupan dan
penghidupan. Pengertian penyandang cacat menurut PP no. 36 tahun 2009 adalah seseorang yang
menurut ilmu kesehatan dinyatakan mempunyai kelainan tubuh, dan atau mental yang oleh karenanya
dapat merupakan rintangan atau hambatan baginya untuk melakukan kegiatan selayaknya. Kriteria cacat
tubuh antara lain: anggota tubuh tidak lengkap putus/amputasi tungkai, lengan atau kaki, cacat
tulang/persendian, cacat sendi otot dan tungkai, lengan atau kaki, dan lumpuh. 2 Seseorang yang
mengalami cacat pada masa pertumbuhan akan lebih banyak menunjukkan adanya gangguan emosi dan
reaksi menolak pada kecacatan yang dideritanya sehingga akan lebih sulit dalam mengadakan
penyesuaian di kehidupannya. Kartono (2007) mengemukakan penyandang cacat biasanya merasa malu
dan menderita batinnya, selalu dibayangi ketakutan serta keraguraguan, sehingga timbulah rendah diri.

3.2 Saran

Semoga dengan adanya makalah kita ini,kita dapat lebih mudah dalam memahami apa itu
Disabilitas dan dapat kita aplikasikan dalam praktek lapangan langsung dengan klien yang mengalami
disabilitas.

DAFTAR PUSTAKA
Millati, Sofiana.(2016) Social-Relational Model Dalam Undang-Undang P Penyandang
Disabilitas Sofiana Millati .Journal Of Disability Studies, Vol. 3, No. 2,Jakarta.
Salim, I. (2016). Perspektif Disabilitas Dalam Pemilu 2014 Dan Kontribusi
Gerakan Difabel Indonesia Bagi Terbangunnya Pemilu Inklusif Di
Indonesia. The Politics : Jurnal Magister Ilmu Politik Universitas
Hasanuddin, 1(2), 127–156.
Anne Marie W.H, Albert P. Chaki, Dan Ruth Mlay. Occupational Therapy Synergy B
Between Comprehensive Community Based Rehabilitation Tanzania And Heifer I
International To Reduce Poverty. Diakses 07 November 2015, Dari African Journal
Of Disability.

Anda mungkin juga menyukai