Anda di halaman 1dari 28

KASUS FARMAKOLOGI

TOPIK 5 DAN 6 “ANTIBIOTIK”


Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Farmakologi Dasar

Dosen Pengampu :
Nuri Handayani, M. Farm., Apt

DISUSUN OLEH :

Arum Puspitasari (P20630120003)

TINGKAT 1 KELAS A
PRODI DIII FARMASI TASIKMALAYA
POLTEKKES KEMENKES
TASIKMALAYA 2021
POLITEKNIK KESEHATAN KEMKES
TASIKMALAYA JURUSAN FARMASI TASIKMALAYA
PROGRAM STUDI D III FARMASI TASIKMALAYA
TAHUN AKADEMIK 2020/2021

MATA KULIAH FARMAKOLOGI DASAR

TOPIK 5. ANTIBIOTIK GOLONGAN BETA LAKTAM

TUJUAN :
Mahasiswa mampu mampu memahami dan mengkorelasikan Antibiotik golongan beta
laktam pada berbagai penyakit infeksi.

METODE :
Studi kasus dan diskusi

STUDI KASUS :

Kasus 1.
Pasien anak usia 10 bulan (BB 7,7 kg) dirawat di rumah sakit dengan keluhan demam sejak 4
hari yang lalu, batuk berdahak, pilek, sulit untuk makan dan minum. Dari hasil pemeriksaan
pasien didiagnosa mengalami pneumonia. Obat yang diterima pasien yaitu Amoksisilin 3 x
240 mg, Combiven nebu per 6 jam, Sanble plek 4x0,6 mL, KAEN 3B infus.

Pertanyaan :
1. Tentukanlah Subjektif dari kasus diatas !
2. Tentukanlah Objektif dari kasus di atas !
3. Apakah tujuan terapi pada kasus di atas?
4. Bagaimakah mekanisme kerja masing2 obat di atas ?
5. Berapakah dosis lazim masing-masing obat ?
6. Jelaskan terapi non-farmakologi
7. Jelaskan informasi obat yang harus diterima pasien
Jawaban :
Definisi Penyakit Pneumonia
Pneumonia secara klinis didefinisikan sebagi suatu peradangan paru yang
disebabkan oleh mikroorganisme yaitu bakteri, virus, jamur dan parasit, akan tetapi tidak
termasuk yang disebabkan oleh bakteri M.tuberculosis. Pneumonia komuniti atau community
acquired pneumonia (CAP) adalah pneumonia yang didapat di masyarakat. Epidemiologi
pneumonia dapat terjadi di semua negara tetapi data untuk membandingkan hal itu sangat
sedikit terutama di negara berkembang.
Di Amerika Serikat pneumonia menjadi penyebab kematian utama diantara penyakit
infeksi, tiap tahun terdapat 5-6 juta kasus CAP dengan 1,1 juta pasien yang dirawat dan 45
ribu pasien mengalami kematian akibat pneumonia. Di Indonesia berdasarkan data
RISKESDAS tahun 2013 disebutkan bahwa insidens dan prevelens pneumonia sebesar 1,8
persen dan 4,5 persen.
Pneumonia dapat menyerang semua kelompok umur, akan tetapi angka kematian
lebih tinggi pada kelompok usia lebih dari 60 tahun dibandingkan usia 50 tahun yaitu 2-4 kali
lebih tinggi. Sedangkan pada balita pneumonia merupakan penyebab kematian utama 87
balita di dunia, diperkirakan mencapai 2 juta kematian balita akibat pneumonia dari 9 juta
kematian pada balita. Olehkarena tingginya angka kematian akibat pneumonia akan tetapi
sering tidak disadari maka pneumonia mendapat julukan “the forgotten pandemic”.

1. Subjektif dari kasus di atas


Data subjektif diperoleh dari hasil pengkajian terhadap pasien dengan teknik
wawancara, keluarga, konsultan, dan tenaga kesehatan lainnya serta riwayat
keperawatan. Data ini berupa keluhan atau persepsi subjektif pasien terhadap status
kesehatannya.
Berdasarkan kasus diatas pasien anak usia 10 bulan (BB 7,7 kg), diperoleh data
subjektif sebagai berikut:
- keluhan demam sejak 4 hari yang lalu
- batuk berdahak
- pilek
- sulit untuk makan dan minum
2. Objektif dari kasus di atas
Informasi data objektif diperoleh dari hasil observasi, pemeriksaan fisik, hasil
pemeriksaan penunjang dan hasil laboratorium. Fokus dari pengkajian data objektif
berupa status kesehatan, pola koping, fungsi status respons pasien terhadap terapi, risiko
untuk masalah potensial, dukungan terhadap pasien. Karakteristik data yang diperoleh
dari hasil pengkajian seharusnya memiliki karakteristik yang lengkap, akurat, nyata dan
relevan. Data yang lengkap mampu mengidentifikasi semua masalah keperawatan pada
pasien.
Berdasarkan kasus diatas disebutkan bahwa Dari hasil pemeriksaan pasien
didiagnosa mengalami pneumonia, maka dapat disimpulkan data objektif dari kasus di
atas adalah Pneumonia.

3. Tujuan Terapi
Tujuan terapi pada kasus pneumonia yang dialami pasien usia 10 bulan (BB 7,7
kg) adalah eradikasi patogen dan penyembuhan penyakit serta menurunkan mordibitas.
(ISO Farmakoterapi 2013 : 774).
Pendekatan dalam terapi pneumonia yaitu:
- Tetapkan fungsi pernapasan, tanda-tanda sakit sistemik: dehidrasi, sepsis, (koleps)
- Terapi suportif : oksigen, cairan penggantian, bronkodilator, fisioterapi dada, nutrisi
dan pengendalian demam
- Pencegahan dengan vaksin terhadap S.pneumonia dan H. influenzoe
Evaluasi terapi dilakukan dengan penilaian, waktu hilangnya batuk, produk sputum,
adanya gejala. Kemajuan dalam 2 hari pertama, dan lengkap hilang 5-7 hari. Nk:
SDP, ronsen, gas darah.

4. Mekanisme kerja masing-masing obat yaitu:


a. Amoksisilin (3 x 240 mg)
Amoksisilin merupakan turunan ampisilin yang hanya berbeda satu gugus
hidroksil dan memiliki spektrum anti bakteri yang sama yaitu berspektrum luas, yang
artinya amoksisilin aktif terhadap beberapa jenis kuman Gram negetif dan kuman
Gram positif. Obat ini direabsorbsi lebih baik bila diberikan per oral dan
menghasilkan kadar yang lebih tinggi dalam plasma darah dan jaringan. Tidak seperti
ampisilin, absorbsinya tidak terganggu dengan adanya makanan dalam lambung.
Amoksisilin digunakan untuk propilaksis endrokarditis juga digunakan pada penyakit
lympe pada anak-anak. (ISO, Farmakoterapi 2013 : 777)
Amoksisilin merupakan turunan ampisilin dan ampisilin termasuk dalam jenis
antibiotik penisilin. Yang mana ampisilin dan turunannya (dalam hal ini termasuk
juga amoksisilin) serta sefaloporin memiliki spektrum-luas. Seperti H. influenzae,
E.coli, P.mirabilis bahkan bakteri yang sulit seperti Pseudomonas. Antibiotik
bakterisid ini tidak dapat dikombinasikan dengan antibiotik bakteriostatik (tetrasiklik,
kloramfenikol, asamfusidat dan eritromisin) karena zat-zat yang disebut terakhir
menghambat pertumbuhan sel dan dindingnya. (Tjay and Rahardja, 2015 : 66)
Mekanisme kerja dari amoksisilin ini adalah dinding sel kuman terdiri dari
suatu jaringan peptidoglikan yaitu polimer dari suatu senyawa amino dan gula yang
saling berikatan satu sama lain (crosslinked) dan dengan demikian memberikan
kekuatan mekanisme pada dinding. Penisilin dan sefalosforin menghalangi sintesa
lengkap dari polimer yang spesifik bagi kuman dan disebut murein. Bila sel tumbuh
dan plasmanya bertambah atau menyerapa air dengan jalan osmosis, maka dinding sel
yang tak sempurna akan pecah dan bakteri musnah. Manusia dan hewan tidak punya
murein maka antibiotik ini tidak toksis terhadap manusia. (Tjay and Rahardja, 2015 :
67)
Amoxicillin adalah derivat-hidroksi (1972) dengan aktivitas sama seperti
ampisilin. Tetapi resorpsinya lebih lengkap (k.I 80%) dan pesat dengan kadar darah
dua kali lipat. PP dan plasma t1/2nya kurang lebih sama (1-2 jam) tetapi difusi ke
jaringan dan cairan tubuh jauh lebih baik, a.l. ke dalam air liur penderita bronchitis-
kronis. Begitu pula kadar bentuk aktifnya dalam kemih jauh lebih tinggi dibandingkan
ampisilin (k.I. 70%) maka lebih layak digunakan pada injeksi saluran kemih. (Tjay
and Rahardja, 2015)
Jadi Amoksiklav bekerja dengan cara menghancurkan peptidoglikan
yang merupakan pelindung dinding sel bakteri. Saat bakteri membelah diri,
amoxicillin bekerja menghambat pembentukan peptidoglikan sehingga bakteri
mengalami lisis dan mati. (Tjay and Rahardja, 2015)

b. Combiven nebu (per 6 jam)


Combivent mengandung bahan aktif ipratropium bromide dan salbutamol
sulfat. Gabungan bahan aktif ini merupakan bronkodilator yang bekerja dengan cara
melebarkan bronkus dan melemaskan otot-otot saluran pernapasan, sehingga aliran
udara ke paru-paru akan meningkat. Combivent tersedia dalam bentuk larutan per unit
dose vial (UDV) yang digunakan dengan nebulizer. (Alodok, 2018) Combivent
memiliki cara kerja dengan membuka saluran udara ke paru-paru serta melakukan
relaksasi atau mengendurkan otot-otot pada saluran napas. (Hello,Sehat 2017)
Salbutamol merupaka derivat-isoprenalin yaitu adrenergikum pertama (1968)
yang pad dosis biasa memiliki daya kerja yang kurang spesifik terhadap reseptor β2.
Selain berdaya bronchodialitis baik salbutamol juga memiliki efek lemah terhadap
stabilisasi mastcell, maka sangat efektif untuk mencegah atau meniadakan serangan
asma. Sekadang ini salbutamol digunakan dalam bentuk dosis-aerosol berhubungan
efeknya pesat dengan efek samping yang lebih ringan dari pada penggunaan per oral.
(Tjay and Rahardja, 2015 : 651)
Ipraptropium merupakan derivat-N-profil dari atropin ini (1974) adalah
antagonis-muskarin dan berkhasiat bronchodilatasi karena menghindari pembentukan
cGMP yang menimbulkan konstriksi. Iproptropin berdaya mengurangi hipersekresi di
bronchi yakni efek mengeringkan dari obat antikolinergika, maka amat efektif pada
pasien yang mengeluarkan banyak dahak. Khususnya digunakan sebagai inhalasi.
Efeknya dimulai lebih lambat (15 menit) dari pada β2 –mimetika (salbutamol). Efek
maksimalnya dicapai setelah 1-2 jam dan bertahan rata-rata 6 jam. Sangat efektif
sebagai obat pencegah dan pemeliharaan, terutama pada bronchitis kronis. Kombinasi
dengan β2-mimetika (salbutamol) memperkuat efeknya (adisi). Responsi secara oral
buruk dan bekerja tracheal setempat dan praktis tidak diserap. (Tjay and Rahardja,
2015
: 652)

c. Sanble Plek (4 x 0,6 mL)


San-B-Plex merupakan obat sirup tetes yang diproduksi oleh Sanbe Farma. San-
B-Plex mengandung Vitamin A, vitamin D, vitamin B1, vitamin B2, vitamin B6,
nicotinamide, dexpanthenol, vitamin C yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi untuk bayi dan anak, meningkatkan daya tahan tubuh anak, dan meningkatkan
nafsu makan anak. (Klik, Dokter)
San-B-Plex ini terdiri dari berbagai vitamin yang diperlukan tubuh, vitamin A
berfungsi sebagai bahan-pangkal untuk pigmen retina rodopsin yang essensial bagi
proses penglihatan dalam keadaan gelap dan kurang cahaya. Vitamin B diperlukan
untuk ko-enzim yang aktif dalam proses metabolisme dan pembentukan energi.
Vitamin C berfungsi pada sistem reduksi-oksidasi yang memegang peranan penting
dalam banyak proses reduksi, sedangkan vitamin D dalam bentuk aktifnya penting
bagi regulasi kadar Ca dan P dalam jaringan tubuh. (Tjay and Rahardja, 2015 : 840)
d. KAEN 3B infus
KA-EN merupakan sediaan infus yang di produksi oleh Otsuka Indonesia.
Sediaan infus ini tersedia dalam bentuk KA-EN 3B dan KA-EN 4B yang digunakan
sebagai larutan intravena untuk mensuplai cairan dan elektrolit. KA-EN 3B
mengandung Na 50 mEq, K 20 mEq, Cl 50 mEq, lactate 20 mEq, glucose 27 g per
liter. KA-EN 4B mengandung NaCl 0.585 g, KCl 0.3 g, Na lactate 0.56 g, dextrose 20
g per liter. KA-EN diindikasikan untuk memelihara keseimbangan elektrolit dan air
untuk pasien yang tidak memperoleh makanan yang tidak cukup. (Klik dokter, 2020)
KA-EN 3B infusi/infusion diindikasikan untuk perawatan darah dan
kehilangan cairan, kadar kalium rendah, dan ketidakseimbangan elektrolit, kadar
nutrisi rendah, Mg rendah, Kalsium rendah dan lain-lain. KA-En 3B Infusi/infusionon
mengandung komposisi bahan aktif yaitu dextrose anhydrous, Potassium Chloride,
Sodium Chloride dan Sodium Lactase. (Pengobatan.org)

5. Dosis lazim masing-masing obat


a. Amoksisilin
Menurut ISO Farmakoterapi buku 1 hal 779, dosis amoksisilin yaitu :
- Dosis dewasa oral 250 – 500 mg tiap 8 jam
- Infeksi saluran nafas berat/berulang 3 gram tiap 12 jam
- Anak-anak dibawah usia 10 tahun 125-250 mg tiap 8 jam. Pada infeksi berat dapat
diberikan 2 kali lebih tinggi
- Terapi oral jangka pendek: abses gigi 3 g, diulang 8 jam kemudian
- Gonore : 2-3 g dosis tunggal ditambah 1 g probenesid
- Otitis pada anak 3-10 tahun : 750 mg 2 x sehari selama 2 hari
- Injeksi i.m. dewasa 500 mg tiap 8 jam sekali, anak-anak 50-100 mg perhari dalam
dosis terbagi
- Injeksi i.v / infus 500 mg tiap 8 jam sekali, dapat dinaikan jadi 1 g tiap 6 jam sekali,
anak-anak 50-100 mg setiap hari dalam dosis terbagi
Dalam buku obat-obatan penting karya Tjay, and Rahardja, 2015 halaman
69-70, Amoksisilin memiliki dosis sebagai berikut:
Oral : 3 dd 375-1000 mg,
Anak-anak <10 tahun : 3 dd 10 mg/kg 3-10 tahun 3 dd 250 mg, 1-3 tahun 3 dd
125 mg, 0-1 tahun 3 dd 100 mg.
Diberikan juga secara i.m/i/v
Sementara dosis amoksisilin dalam ISO indonesia vol. 52 yaitu:
 Dewasa dan anak-anak dengan berat badan > 20 kg 250 – 500 mg setiap 8
jam sekali.
 Anak-anak dengan berat < 20 kg 20 – 40 mg/kg BB sehari dalam dosis setiap
8 jam sekali.

b. Combivent
Combivent produksi Boehringer Ingelhemin (ISO Vol 52, 2019 : 355)
- dosis dewasa akut attact 1-2 unit vial
- Maintenant Treatment 3 – 4 x 1 unit vial dosis sehaari secara nebulasi atau
inhalasi Pemberian dosis tergantung pada keparahan gejala

c. San-B-Plek
Anak : 0-6 mL setiap hari
Bayi : 0,3 mL setiap hari, diminum sesudah makan (Klik, Dokter)

d. KA-EN B2 infus
KA-EN merupakan obat yang termasuk ke dalam golongan obat keras sehingga pada
setiap penggunaannya harus berdasarkan resep dokter. Penggunaan KA-EN injeksi
harus dibantu oleh tenaga ahli medis. Dosis pemberian bersifat individual, umumnya,
dosis untuk dewasa dan anak-anak lebih dari 2 tahun dan berat badan lebih dari 15 kg
adalah 50-100 mL/jam

6. Terapi non-farmakologi
Terapi non-farmakologi pada penyakit pneumonia yang dapat diberikan yaitu
istisrahat, pemberian O2, asupan cairan yang cukup, hidrasi untuk mengencerkan sekresi,
teknik napas dalam untuk meningkatkan ventilasi alveolus dan mengurangi resiko
atelektasis dan perbaikan nutrisi. Perbaikan nutrisi bertujuan untuk meningkatkan daya
tahan tubuh dan memperbaiki fungsi sistem imun agar tubuh mampu mengeradikasi
infektor penyebab patologi tersebut (Depkes RI, 2005)
7. Informasi obat yang harus diterima pasien
Pemberian informasi obat (PIO) kepada pasien merupakan kegiatan pemberian
informasi kepada pasien mengenai obat dan pengobatan dengan harapan memberikan
pemahaman tentang peranan obat pada penyembuhan penyakit. Umumnya pasien akan
menerima informasi obat setelah mereka mendapatkan obat. Adapun informasi yang
didapat diantaranya mencakup: nama obat, bagaimana obat diminum, berapa kali obat
diminum, kapan waktu minum obat, dosis obat, jika obat lupa diminum, kegunaan obat,
efek samping obat dan interaksi obat.
Untuk kasus pasien anak-anak (BB 7,7 kg) dengan diagnosis menderita
pneumonia maka wali pasien harus menerima informasi obat sebagai berikut:

Amoxsiklav (Amoksisilin & Asam Klavulanat) golongan antibiotik


Nama obat : Amoxsiklav
Bagaimana Obat diminum : Sesudah Makan
Berapa kali diminum : 3x1 (240 mg)
Kapan waktu minum : Saat infeksi saluran nafas
Dosis Obat : Anak-anak dibawah usia 10 tahun 125-250
mg tiap 8 jam
Jika obat lupa diminum : Jangan memakan obat 2x lipat dosis
diwaktu yang sama
Kegunaan obat : Membunuh bakteri penyebab infeksi
Efek samping obat : Mual dan muntah terutama pada dosis di
atas 600 mg sehari (klavulanat) yang dapat
diatasi bila tablet di telan bersama
makanan. Efek samping lain yaitu reaksi
alergi, konvulsi, dermatitis, dan lain-lain.
Interaksi Obat :  Dapat meningkatkan konsentrasi
plasma amoksisilin jika diberikan
bersamaan dengan probenecid.
 Dapat meningkatkan reaksi alergi atau
hipersensitivitas jika diberikan
bersamaan dengan penggunaan bersama
allopurinol dan amoksisilin.
 Dapat mengurangi kemanjuran
kontrasepsi estrogen / progesteron oral.

Peringatan  Harap berhati-hati jika Anda


menderita asma, penyakit ginjal,
penyakit hati, mononukleosis, dan
rinitis alergi.
 Beri tahu dokter jika memiliki riwayat
diare yang disebabkan oleh obat
antibiotik.
 Beri tahu dokter jika Anda berencana
untuk melakukan vaksinasi dalam
waktu dekat, sebab amoxicillin dapat
menghambat kerja vaksin, terutama
vaksin tifoid.
 Beri tahu dokter jika akan menjalani
operasi. Dokter akan meminta
konsumsi amoxicillin dihentikan
setidaknya dua minggu sebelum
operasi.
 Jika terjadi reaksi alergi atau overdosis,
segera hubungi dokter.

Combivent
Nama obat : Combivent
Bagaimana Obat digunakan : Dengan nebulizer atau inhalasi
Berapa kali diminum : 3-4 dd 2 dosis semprotan dari 20 mcg
Kapan waktu minum : Saat sakit pneumonia atau terasa sesak
Dosis Obat :  1 unit vial dosis sehari secara nebulasi
 Terapi serangan akut: 1 unit dosis, pada
kasus yang parah, jika serangan tidak
dapat diredakan dengan pemberian satu
unit dosis, mungkin diperlukan dua unit
dosis, pada kasus tersebut, pasien harus
segera berkonsultasi dengan dokter atau
menuju ke rumah sakit terdekat;
 Terapi pemeliharaan: satu unit dosis tiga
atau empat kali sehari;
 Overdosis: pemberian sediaan obat
penenang untuk kasus overdosis parah,
penghambat reseptor beta, terutama
selektif beta-1, cocok digunakan
sebagai antidot spesifik, namun,
kemungkinan terjadinya peningkatan
obstruksi bronkus harus diperhitungkan
dan dosis harus disesuaikan dengan
hati-hati pada pasien yang menderita
asma bronkial.
Jika obat lupa diminum : Jangan memakan obat 2x lipat dosis
diwaktu yang sama
Kegunaan obat : Bronkospasmus, yang diikuti dengan
obstruktif pulmonary distase dan serangan
asma akut yang memerlukan lebih dari 1
bronkodilator
Efek samping obat : ESO jarang terjadi, dan biasanya mulut
kering, mual, muntah, sakit kepala, dan
pusing
Interaksi Obat :  Peningkatan risiko
terjadinya hipokalemia, jika digunakan
dengan digoxin dan obat diuretik.
 Penurunan efektivitas Combivent, jika
digunakan bersama obat penghambat
beta.
 Peningkatan efek samping
kardiovaskular, jika digunakan bersama
halotan, trichloroethylene, dan
enflurane.
 Peningkatan efektivitas Combivent, jika
digunakan dengan obat golongan agonis
beta, obat turunan xanthine, serta obat
antikolinergik sistemik.

Peringatan : Insufisiensi hati atau ginjal, segera


konsultasi ke dokter jika mengalami
perburukan dispnea akut, jangan terkena
mata, pemberian inhalasi disarankan
melalui mulut, pasien yang memiliki
kecenderungan glaukoma harus
diperingatkan untuk melindungi matanya
secara khusus ketika pemakaian, pada
kondisi diabetes mellitus diperlukan dosis
lebih tinggi, infark miokard, kelainan
jantung dan vaskular yang parah,
hipertiroid, feokromositoma, glaukoma
sudut sempit, hipertrofi prostat atau pun
obstruksi pangkal uretra, jantung iskemik,
takiaritmia atau gagal jantung, segera
konsul ke dokter jika terjadi perburukan
penyakit jantung, hipokalemia, pasien
dengan sistik fibrosis karena rawan
mengalami gangguan motilitas saluran
cerna, monitor kadar kalium dalam serum
pada penggunaan bersama digoksin,
kehamilan, menyusui.

Kontra indikasi : kardiomiopati obstruktif, hipertrofi,


takiaritmia, hipersensitivitas.

San-B-Plek
Nama obat : San-B-Plek
Bagaimana Obat diminum : Sesudah Makan
Kapan waktu minum : Diberikan bersama makanan
Dosis Obat : Anak 0,6 mL/hari, dan bayi 0,3 mL/hari
Jika obat lupa diminum : Jangan memakan obat 2x lipat dosis
diwaktu yang sama
Kegunaan obat : Suplemen makan bayi dan anak,
merangsang nafsu makan
Efek samping obat : Belum ada efek samping yang dilaporkan
Kontra indikasi : Hipersensitif

KA-EN B2 Infus
Nama obat : KA-EN B2 Infus
Bagaimana Obat digunakan : Diberikan dalam bentuk cairan infus
Kapan waktu minum : Hanya digunakan saat pasien kekurangan
elektrolit
Dosis Obat : Obat Keras. Harus dengan Resep Dokter.
Dosis bersifat individual, disesuaikan
dengan berat badan, usia, dan kondisi
pasien.

Kegunaan obat : Membunuh bakteri penyebab infeksi


Efek samping obat :  Intoksikasi cairan
 Tromboflebitis (peradangan pada
pembuluh darah balik)
 Edema paru, otak, dan perifer

Kontra indikasi : Tidak boleh diberikan pada penderita


gangguan irama jantung, muatan natrium
yang berlebihan, penderita hiperkalemia
(kadar kalium lebih dari normal), oliguria
(pengeluaran urin kurang dari 400
ml/kg/hari pada orang dewasa)

Cara penyimpanan : Simpan pada suhu dibawah 30 derajat


Celcius
DAFTAR PUSTAKA

Sumber: Buku dan Jurnal


Berardi, R.R., et al. 2009. Handbook of Nonprescription Drugs : An Interactive Approach to
Self Care 16th Edition. Washington DC : American Pharmascist Association

ISO, 2019. Antimikroba-Antibiotik, dalam : Informasi Spesialis Obat Indonesia Vol 52. PT.
ISFI Penerbitan : Jakarta
ISO Farmakoterapi. 2013. Infeksi Saluran Pernafasan, dalam : Iso Farmakoterapi buku 1
Cetakan ke 3, PT ISFI Penerbitan : Jakarta
MIMS, 2019. Asthma, dalam : MIMS Petunjuk Konsultasi Edisi 19. Bhuana Ilmu Populer
(Kelompok Gramedia) : Jakarta
Mulyanti Yuli, and Dinar. 2017. Data Subjektif dan Objektif Diagnosis Pasien, dalam :
Bahan Ajar Dokumentasi Keperawatan. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. [e- book]
Mutschler, Ernest. 1991. Saluran Nafas, dalam : Dinamika Obat Farmakologi dan
Toksikologi Edisi Kelima, PT. Penerbit ITB ; Bandung
Nathan, A, 2010. Non-prescription Medicines. USA: Pharmaceutical Press

Salam, Syamsul Hilal. 2016. “Dasar-Dasar Terapi Cairan Dan Elektrolit.” Bahan Kuliah FK
Unhas 2: 1–21.

Salwan, Hasri, Agus Firmansyah, Aswitha Boediarso, Badriul Hegar, Muzal Kadim, Fatima
Safira Alatas, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Palembang, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
and RS Cipto Mangunkusumo. 2008. “Gambaran Kadar Natrium Dan Kalium Plasma
Berdasarkan Status Nutrisi Sebelum Dan Sesudah Rehidrasi Pada Kasus Diare Yang
Dirawat Di Departemen IKA RSCM Alamat Korespondensi” 9 (6).

Tan Hoan Tjay dan Drs. Kirana Rahardja. 2015. Antibiotika & Analgetik Perifer, dalam :
Obat- Obatan Penting, Khasiat, Penggunaan, dan Efek Sampingnya Edisi 7. PT
Elek Media Komputindo Kompas Gramedia : Jakarta

Wahyuni, Desi Sri. 2020. SELL Journal 5 (1): 55.


Sumber : Internet

Alodokter. 2020. Amoksisilin. Tersedia di


https://www.alodokter.com/amoxicillin#:~:text=Peringatan%20Sebelum%20Meng
onsumsi%20Amoxicillin%3A,yang%20disebabkan%20oleh%20obat%20antibiotik
. Diakses pada 07 April 2021

Alodokter. 2020. Combivent. Tersedia di https://www.alodokter.com/combivent Diakses pada


07 April 2021

Halodoc. 2021. San-B-Plex Drops 15 mL. Tersedia di https://www.halodoc.com/obat-dan-


vitamin/san-b-plex-drops-15-ml diakses pada 07 Maret 2021
Klik dokter. 2021. San-B-Plex. Tersedia di https://www.klikdokter.com/obat/san-b-
plex#Efek%20Samping diakses pada 07 April 2021

Klik dokter. 2021. KA-EN Tersedia di https://www.klikdokter.com/obat/ka-en diakses pada


07 April 2021

Pengobatan, 2019. KA-En 3B Infusi/Infusionon in Indonesian. Tersedia di


https://www.pengobatan.org/indonesia-id/ka-en-3b-infusion#uses diakses pada 07
April 2021

PIONAS, 2015. KA-EN 1B. Tersedia di http://pionas.pom.go.id/obat/ka-en-1b-0 diakses


pada 07 April 2021

PIONAS, 2015. Salbutamol + Ipratropium bromida. Tersedia di


http://pionas.pom.go.id/monografi/salbutamolipratropium-bromida diakses pada 07
April 2021

Santoso, Budhi. 2017. Update on Fluid and Nutrition Support in Hospitalized TB Patients.
Tersedia di https://spesialis1.pikr.fk.unair.ac.id/wp-content/uploads/2017/05/Fluid-
and-Nutrition-Therapy-for-Hpt-TB-Patients-dr.Budhi-Santoso.pdf di akses pada 07
April 2021
POLITEKNIK KESEHATAN KEMKES
TASIKMALAYA JURUSAN FARMASI TASIKMALAYA
PROGRAM STUDI D III FARMASI TASIKMALAYA
TAHUN AKADEMIK 2020/2021

MATA KULIAH FARMAKOLOGI DASAR

TOPIK 6. ANTIBIOTIK TETRASIKLIN, MAKROLIDA, KLORAMFENIKOL ,


AMINOGLIKOSIDA DAN STREPTOMISIN

TUJUAN :
Mahasiswa mampu mampu memahami dan mengorelasikan Antibiotik tetrasiklin, makrolida,
klindamisin, kloramfenikol , aminoglikosida dan streptomisin pada berbagai penyakit infeksi.

METODE :
Studi kasus dan diskusi

STUDI KASUS :

Kasus 1 :
Seorang Mahasiswi (19 tahun) datang ke IGD dengan keluhan utama demam sejak 4 hari
yang lalu. Suhu tubuh meningkat pada malam hari. Keluhan lain yang dirasakan pasien yaitu
sakit kepala, mual, akan tetapi tidak muntah, perut terasa sakit dan nafsu makan menurun.
Buang air kecil lancar, belum buang air besar selama 2 hari. Pasien sudah berobat
kepuskesmas 3 hari yang lalu, tetapi keluhannya belum membaik sehingga keluarganya
memutuskan untuk dibawa ke RS.
Hasil pemeriksaan : Kondisi tubuh lemah, Tekanan darah : 100/70 mmHg, Nadi: 88 x/menit.
Nadi : 20 x/menit, Salmonella typhi : +, Suhu: 39,5 °C, BB : 46 kg. Lidah kotor (+). Dari
hasil pemeriksaan dokter, pasien didiagnosa mengalami demam tifoid. Terapi yang didapatkn
pasien yaitu Kloramfenikol, Parasetamol, Vitamin B complek.
Pertanyaan :
1. Tentukanlah Subjektif dari kasus diatas !
2. Tentukanlah Objektif dari kasus di atas !
3. Apakah tujuan terapi pada kasus di atas?
4. Bagaimakah mekanisme kerja masing2 obat di atas ?
5. Berapakah dosis lazim masing-masing obat ?
6. Jelaskan terapi non-farmakologi
7. Jelaskan informasi obat yang harus diterima pasien
Jawaban :

Definisi penyakit demam tifoid

Demam tifoid (typhoid fever, enteric fever) adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi A, B atau C. Salmonella merupakan
mikroorganisme gram negatif yang berbentuk batang, genus bakteri dan suku (tribus)
Salmonellae, famili Enterobactericeae (Ramali and Pamontjak, 2002). Demam tifoid adalah
penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam
lebih dari satu minggu, gangguan pencernaan dan gangguan kesadaran (Anderson et al.,
2003).

Masa tunas demam tifoid berlangsung selama 10-14 hari. Gejala-gejala yang timbul
amat bervariasi. Dalam minggu pertama penyakit, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit
infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual,
muntah, diare atau obstipasi, perasaan tidak enak di perut, batuk dan apistaksis. Pada
pemeriksaan fisis hanya didapatkan suhu badan meningkat. Dalam minggu kedua gejala-
gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif, lidah yang khas (kotor ditengah,
tepi dan ujung merah dan tremor), hepatomegali, meterokmus, gangguan mental berupa
somnolen, stupor, koma, delirium atau psikosis (Prabu, 1996).

1. Subjektif dari kasus di atas


Data subjektif diperoleh dari hasil pengkajian terhadap pasien dengan teknik
wawancara, keluarga, konsultan, dan tenaga kesehatan lainnya serta riwayat
keperawatan. Data ini berupa keluhan atau persepsi subjektif pasien terhadap status
kesehatannya. Berdasarkan kasus diatas seorang mahasiswa (19 Tahun), diperoleh data
subjektif sebagai berikut:
- Demam sejak 4 hari yang lalu
- Suhu tubuh meningkat pada malam hari
- Sakit kepala
- Mual, akan tetapi tidak muntah
- Perut terasa sakit
- Nafsu makan menurun
- Buang air kecil lancar, belum buang air besar selama 2 hari

2. Objektif dari kasus di atas


Informasi data objektif diperoleh dari hasil observasi, pemeriksaan fisik, hasil
pemeriksaan penunjang dan hasil laboratorium. Berdasarkan kasus diatas disebutkan
bahwa hasil pemeriksaan : Kondisi tubuh lemah, Tekanan darah : 100/70 mmHg, Nadi:
88 x/menit. Nadi : 20 x/menit, Salmonella typhi : +, Suhu: 39,5 °C, BB : 46 kg. Lidah
kotor (+). Dari hasil pemeriksaan dokter, pasien didiagnosa mengalami demam tifoid.
Dari hasil pemeriksaan pasien didiagnosa mengalami pneumonia, maka dapat
disimpulkan data objektif dari kasus di atas adalah pasien mengalami demam tifoid.

3. Tujuan Terapi
Tujuan terapi pada kasus demam typoid yang dialami pasien mahasiswa (19 tahun)
adalah mempercepat penyembuhan, meminimalkan komplikasi sekaligus untuk mencegah
penyebaran penyakit (Supari, 2006)

4. Mekanisme kerja masing-masing obat yaitu:


a) Kloramfenikol
Kloramfenikol merupakan antibiotik golongan tetrasiklik dengan spektrum
luas, namun bersifat toksis. Obat ini seyogiyanya dicadangkan untuk infeksi berat
akibat Haemophilus influenzoe demam tifoid, meningitis, dan abses otak, bakteremia,
dan infeksi berat lainnya. Karena toksisitasnya obat ini tidak cocok untuk pengobatan
sistemik, kecuali untuk keadaan yang disebutkan diatas. Bentuk tetes mata sangat
bermanfaat untuk konjungtivitas bakterial. Kloramfenikol suksinat dan palminat
dalam tubuh menjadi kloramfenikol yang aktif. (ISO Farmakoterapi Jilid 1, 2013 :
748)
Kloramfenikol semula diperoleh dari sejenis Streptomyces (1947), tetapi
kemudian dibuat secara sintesis. Kloramfenikol di negara barat sejak 1970-an jrang
digunakan peroral untuk terapi manusia, dewasa ini hanya digunakan untuk beberapa
jenis infeksi bila tidak ada kemungkinan yang lain. Penggunaan topikal kloramfenikol
digunakan untuk salep 3% dan tetes/salep mata 0,25 – 1% sebagai pilihan kedua, jika
fusidat atau tetrasiklin tidak efektif. (Tjay and Rahadja, 2013 : 85)
Mekanisme kerja oabt ini yaitu menghambat sintesis protein kuman dengan
cara berikatan dengan ribosom 50 S sehingga menghambat pembentukan rantai
peptida.
Kloramfenikol secara IV menimbulkan kadar yang lebih rendah dalam darah
dibandingkan secara oral. Kloramfenikol bersifat bakteriostatik terhadap kuman Gram
positif dan Gram negatif. Tionfenikol dipakai sebagai kloramfenikol, karena dianggap
lebih aman, namun tidak terdapat cukup bukti untuk ini. Efektifitas kloramfenikol
untuk tiroid juga lebih pasti. (ISO Farmakoterapi Jilid 1, 2013 : 748)
Setelah pemakaian oral, kloramfenikol akan di reabsorbsi dengan cepat dari
usu lebih dari 90% di dalam hati sebagian besar akan mengalami glukuronidasi dan
diekskresi mengalami glukuronidasi dan diekskresi melalui ginjal; bentuk
kloramfenikol yang tidak berubah melalui filtrasi glomelurus, glukoronidanya melalui
sekresi tubulus, dengan waktu paruh 3-5 jam. (Dinamika Obat, 1991 : 652)

b) Paracetamol (Golongan Analgetik Ferifer)


Paracetamol merupakan obat analgetik non narkotik dengan cara kerja
menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat (SSP).
Parasetamol merupakan penghambat biosintesis prostaglandin (PG) yang lemah. Efek
iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada kedua obat ini, demikian juga
gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa. (Mahar Mardjono 1971)

Responsinya dari usus cepat dan praktis tuntas, secara rektal lebih lambat. PP-
nya ca 25%, plasma-t1/2-nya 1-4 jam. Antara kadar plasma dan efeknya tidak ada
hubungannya. Dalam hati zat ini diuraikan menjadi metabolit-metabolit toksis yang
diekskresikan dengan kemih sebagai konjugat-glukuronida dan sulfat.

Semua obat analgetik non opioid bekerja melalui penghambatan


siklooksigenase. Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam
arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat
siklooksigenase secara berbeda. Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih
kuat dari pada aspirin, inilah yang menyebabkan Parasetamol menjadi obat antipiretik
yang kuat melalui efek pada pusat pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai
efek ringan pada siklooksigenase perifer. Inilah yang menyebabkan Parasetamol
hanya menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang.

Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek langsung


prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol menghambat sintesa
prostaglandin dan bukan blokade langsung prostaglandin. Obat ini menekan efek zat
pirogen endogen
dengan menghambat sintesa prostaglandin, tetapi demam yang ditimbulkan akibat
pemberian prostaglandin tidak dipengaruhi, demikian pula peningkatan suhu oleh
sebab lain, seperti latihan fisik. (Aris 2009) Cara kerja dari paracetamol adalah
dengan menekan kemampuan tubuh untuk memproduksi zat yang menyebabkan
peradangan, yaitu prostaglandin. Saat produksi zat tersebut berhasil dikurangi, tubuh
tidak akan merasakan gejala sakit peradangan seperti nyeri dan juga demam.

c) Vitamin B Kompleks
Vitamin B kompleks adalah suatu grup dari beberapa vitamin B, yang
berperan sebagai co-faktor enzim atau prekursor, pada berbagai proses metabolisme
asam amino dan karbohidrat. Vitamin B kompleks terdiri dari gabungan dua atau
lebih vitamin B yang dapat meliputi B1 (Tiamin), B2 (Riboflavin), B3 (Niacin), B5
(Asam pantotenat), B6 (Piridoksin), B9 (Asam folat), dan B12 (Kobalamin).

Vitamin B12 adalah vitamin yang bermanfaat untuk pembentukan protein, sel
darah, dan jaringan. Kebutuhan vitamin B12 harian bisa didapatkan melalui makanan
atau suplemen tambahan. Vitamin B12 secara alami banyak terkandung dalam ikan,
kerang, daging, hati, telur, susu, yoghurt, dan keju. Selain itu, vitamin B12 juga dapat
ditemukan pada sereal yang sudah difortifikasi atau diperkaya dengan vitamin ini.

Efek samping vitamin B kompleks sangat minimal, karena vitamin B


kompleks bersifat larut dalam air, sehingga mudah diabsorpsi oleh usus, tidak
disimpan dalam tubuh, dan sisa vitamin yang tidak diperlukan tubuh akan dikeluarkan
melalui urine. (Tjay, 2007).

5. Dosis lazim masing-masing obat


a) Kloramfenikol
Dosis kloramfenikol dalam buku ISO farmakoterapi jilid 1, 2013 : 749 yaitu:
- Oral, IV atau infus : 50 mg/kg/hari dibagi dalam 4 dosis (pada
infeksi berat seperti septikemia dan meningitis, dosis dapat digandakan, dan segera di
turunkan apabila terdapat perbaikan klinis).
- Anak : Epilogitis hemofilus, meningitis purulenta, 50-
100 mg/kg/hari dalam dosis terbagi
- Bayi dibawah 2 minggu : 25 mg/kg/hari (dibagi kedalam 4 dosis)
- Bayi 2 minggu – 1 tahun : 50 mg/kg/hari (dibagi dalam 4 dosis)
Sementara dalam ISO vol 52 : 91 dosis kloramfenikol adalah :
- Dewasa, anak-anak dan bayi berumur diatas 2 minggu sehari 3-4 x 50mg/BB
- Bayi berumur dibawah 2 minggu 25 mg/BB sehari dalam dosis terbagi

Dalam buku dinamika obat, 1991 : 652 dosis kloramfenikol adalah :


- Dosis rata-rata yang dibagi menjadi dosis tunggal yaitu 1,5-3 g secara oral
- Dosis total yang tidak boleh dilampaui adalah 25 g dengan lama pengobatan tidak
boleh lebih dari 2 minggu
- Jangan melakukan pengobatan ulang dengan kloramfenikol

b) Paracetamol
Dalam buku Obat-obatan Penting karya Tjay, and Rahardja, 2015 halaman 318,
disebutkan bahwa dosis paracetamol
 Untuk nyeri dan demam : Oral 2-3 dd 0,5-1 g, maks 4g/hari
 Penggunaan kronik : Maks 2,5 g/hari
 Anak-anak : 4-6 dd 10 mg/kg, yakni rata-rata usia 3-12
bulan 60 mg, 1-4 tahun 120-180 mg, 4-6 tahun
180 mg, 7-12 tahun 240-360 mg, 4-6 x sehari
 Rektal : 20 mg/kg setiap kali, dewasa 4 dd 0,5-1 g,
anak- anak usia 3-12 bulan 2-3 dd 120 mg, 1-4
tahun 2-3 dd 240 mg, 4-6 tahun 4 dd 240 mg
dan 7-12 tahun 2-3 dd 0,5 g.
Sementara dalam buku ISO Indonesia Vol. 52, 2019 dosis paracetamol yaitu:
 Dewasa : Sehari 3-4 kali 1-2 kaplet, atau sesuai
dengan petunjuk dokter
 anak-anak : Sehari 3-4 kali ½ - 1 kaplet

c) Vitamin B Kompleks
Dalam buku ISO vol 52 : 401 dosis vitamin B Kompleks untuk pencegahan dan
pengobatan yaitu 1-2 tablet sehari.
6. Terapi non-farmakologi
Adapun penatalaksanaan terapi non-farmakologi untuk pasien demam tifoid
adalah:

1) Tirah baring absolut (bedrest total)


Penderita yang demam tifoid harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah
komplikasi, terutama pendarahan dan perforasi. Tirah baring minimal 7 hari bebas
panas atau selama 14 hari (Supari, 2006).
2) Diet Diet pada penderita demam tifoid adalah diet tinggi kalori dan protein tetapi
rendah serat untuk mencegah pendarahan (Supari, 2006).
3) Menjaga kebersihan
Bagi penderita penyakit tipes sangat diperlukan kebersihan yang terjaga baik
kebersihan lingkungan atau kebersihan dalam dirinya. Hal ini untuk antisipasi
penyebaran virus tipes yang semakin banyak dan berkembang.
4) Menjaga pola makan
Hal yang memperburuk penyakit tipes adalah pola makan yang salah, seorang
penderita tipes tidak boleh memperbanyak makanan yang mengandung banyak
lemak dan karbohidrat seperti diantaranya makanan yang tinggi karbohidrat: Beras
ketan, beras tumbuk/merah, roti whole wheat (gandum), jagung, ubi, singkong, talas,
dodol dan kue-kue lain yang memiliki rasa manis dan gurih. Selain itu makanan
yang tinggi akan lemak seperti diantaranya: jerohan, hati, otak ayam dan masih
banyak lagi. lebih baik penderita menghindari makanan-makanan tersebut terlebih
dahulu.
5) Memperbanyak minum air putih
Air putih sangat penting bagi penderita penyakit tipes, air putih akan membantu
menjaga kekebalan tubuh dari berbagai serangan virus lain yang dapat memperburuk
penyakit tipes ini. Selain itu dengan mengkonsumsi air putih atau air mineral secara
rutin 8 gelas setiap hari juga akan membantu untuk melarutkan virus tipes yang
terdapat pada usus halus penderita.

7. Informasi obat yang harus diterima pasien


Kloramfenikol
Nama obat : Kloramfenikol
Bagaimana Obat diminum : 1-2 jam sebelum makan
Berapa kali diminum : 3x1
Dosis Obat : Pada typus permulaan 1-2 g (palmitat) lalu 4
dd 500-750 mg p.c Neonati
maksimal 25
mg/kg/hari dalam 4 dosis
Jika obat lupa diminum : Jangan memakan obat 2x lipat dosis diwaktu
yang sama
Kegunaan obat : Mengobati infeksi bakteri terutama menangani
typus
Efek samping obat : Kelainan darah yang reversible dan
irreversible seperti anemia aplastik (berlanjut
leukimia), neuritis perifer, neuritis optik,
eritma multiforme, mual, muntah, diare,
stomatitis, glositis, hemoglobinuria nokturnal
dan
kerusakan sumsum tulang belakang
Interaksi obat :  Penurunan efektivitas chloramphenicol
dalam membasmi bakteri, bila digunakan
bersama rifampicin dan phenobarbital.
 Peningkatan risiko terjadinya efek
samping yang fatal, jika digunakan
bersama obat yang bisa menekan fungsi
sumsum tulang.
 Peningkatan risiko terjadinya efek
samping phenytoin, ciclosporin, dan
tacrolimus.
 Penurunan efektivitas ceftazidime,
cynacobalamin (vitamin B12), dan
beberapa vaksin hidup, seperti vaksin
BCG, vaksin kolera, dan vaksin tifoid.
 Penurunan efektivitas antibiotik lain,
seperti ceftriaxone, dalam mengatasi
infeksi bakteri.
 Peningkatan risiko terjadinya perdarahan,
bila digunakan bersama warfarin.
 Peningkatan efek obat antidiabetes
golongan sulfonilurea,
seperti gliclazide, glipizide,
atau gliquidone, sehingga dapat
terjadi hipoglikemia.
Peringatan :  Jangan menggunakan chloramphenicol
jika Anda memiliki alergi, terutama
terhadap obat ini.
 Harap berhati-hati jika Anda atau keluarga
memiliki riwayat kelainan darah,
seperti anemia aplastik, gangguan sumsum
tulang, penyakit ginjal, dan penyakit liver.
 Beri tahu dokter jika Anda baru
mengalami cedera, menjalani operasi
(termasuk operasi gigi), atau
pengobatan dengan radioterapi dan
kemoterapi.
 Beri tahu dokter jika Anda sedang
mengonsumsi obat lain, terutama obat
yang bisa menaikkan tekanan darah,
produk herba, maupun suplemen.
 Beri tahu dokter jika Anda kan melakuan
vaksinasi terutama dengan vaksin hidup,
seperti vaksin tifoid, kolera, dan BCG.
 Chloramphenicol dapat memengaruhi hasil
uji gula darah. Oleh karena itu,
konsultasikan penggunaan obat ini bila
Anda menderita diabetes.
 Jika pandangan menjadi buram setelah
menggunakan chloramphenicol tetes atau
salep mata, jangan mengemudikan
kendaraan sebelum bisa melihat dengan
jelas kembali.
 Jika terjadi reaksi alergi obat atau
overdosis setelah
menggunakan obat chloramphenicol,
segera temui dokter.
Kontraindikasi :  Wanita hamil, menyusui dan pasien
porfiria, pasien dengan kerusakan sumsum
tulang belakang, penyakit hati yang parah
dan insufisiensi ginjal.

Paracetamol
Nama obat : Paracetamol
Bagaimana Obat diminum : Sesudah Makan
Berapa kali diminum : 3x1
Kapan waktu minum : prn (bila perlu/bila pasien merasa demam)
Dosis Obat : 0,5 – 1 gram
Jika obat lupa diminum : Jangan memakan obat 2x lipat dosis
diwaktu yang sama
Kegunaan obat : Menurunkan demam
Efek samping obat : Efek samping jarang, kecuali ruam kulit,
kelainan darah, pankreatitis akut
dilaporkan setelah jangka panjang, penting
pada kerusakan hati (dan lebih jarang
kerusakan
ginjal) setelah overdosis.
Interaksi obat :  Resin penukar anion : kolestiramin
menurunkan absorpsi paracetamol
 Antikoagulan: penggunaan paracetamol
dalam waktu yang lama mungkin
meningkatkan warfarin.
 Metoklopramid dan domperidon
mempercepat absorbsi paracetamol
(efek meningkat)
Peringatan :  Penggunaan paracetamol, terutama
dalam jangka panjang, perlu
diperhatikan pada pasien dengan:
Penyakit hepar kronis dekompensata
Hipovolemia berat
Malnutrisi kronis
Defisiensi G6PD
Fenilketonuria
 Konsumsi alkohol dalam jangka waktu
lama
 Pada pasien dengan hipovolemia berat
seperti saat dehidrasi atau kehilangan
darah serta pasien dengan malnutrisi
kronis, diperlukan pengurangan dosis
paracetamol karena akan meningkatkan
risiko kerusakan hepar
 Pada pasien asthma yang dapat dipicu
oleh aspirin, penggunaan paracetamol,
terutama pada produk paten yang
mengandung sulfida pada
komponennya, dapat memicu terjadinya
asthma bahkan menimbulkan reaksi
anafilaksis. Selain sulfit, komponen
pada produk paten paracetamol yang
perlu diperhatikan adalah aspartam
yang jika dimetabolisme akan
menghasilkan fenilalanin yang
berbahaya bagi pasien fenilketonuria

Kontraindikasi : Pasien dengan fenilketonuria


(kekurangan homozigot, fenilalanin
hidroksilase) dan pasien yang harus
membatasi masukan fenilalanin.

Vitamin B Kompleks
Nama obat : Vitamin B Kompleks
Bagaimana Obat diminum : SesudahMakan
Berapa kali diminum : 2 x 1 sehari
Jika obat lupa diminum : Jangan memakan obat 2x lipat dosis
diwaktu yang sama
Kegunaan obat : Mencegah dan mengobati defisiensi
vitamin b kompleks
Efek samping obat : Efek samping vitamin B kompleks jarang
ditemukan. Beberapa efek samping yang
mungkin terjadi adalah diare ringan,
polisitemia vera, thrombosis vaskular perifer,
dan syok anafilaktik. Rasa tidak nyaman atau
nyeri juga
dapat dirasakan pada pemberian intramuskular
Interaksi obat : Kandungan pyridoxine pada vitamin B
kompleks dilaporkan menyebabkan
penghancuran perifer dari levodopa sehingga
mengurangi efektivitasnya
Kontra indikasi : Hipersensitivitas terhadap thiamine atau
komponen lain pada formula
Perhatian : Hati-hati pada pasian yang mendapat
levodopa

:
DAFTAR PUSTAKA

Sumber: Buku dan Jurnal


Berardi, R.R., et al. 2009. Handbook of Nonprescription Drugs : An Interactive Approach to
Self Care 16th Edition. Washington DC : American Pharmascist Association

Derivatif Kusumaningtyas. 2009. “Identifikasi Drug Related Problems ( Drps ) Pada Pasien
Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Wonogiri Tahun
2007 Skripsi Derivatif Kusumaningtyas Fakultas Farmasi.” Universitas Muhammadiyah
Surakarta.

ISO, 2019. Antimikroba-Antibiotik, dalam : Informasi Spesialis Obat Indonesia Vol 52. PT.
ISFI Penerbitan : Jakarta
ISO Farmakoterapi. 2013. Infeksi Saluran Cerna, dalam : Iso Farmakoterapi buku 1 Cetakan
ke 3, PT ISFI Penerbitan : Jakarta
MIMS, 2019. Demam, dalam : MIMS Petunjuk Konsultasi Edisi 19. Bhuana Ilmu Populer
(Kelompok Gramedia) : Jakarta
Mulyanti Yuli, and Dinar. 2017. Data Subjektif dan Objektif Diagnosis Pasien, dalam :
Bahan Ajar Dokumentasi Keperawatan. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. [e- book]
Mutschler, Ernest. 1991.Profilaksis dan terapi penyakit infeksi, dalam : Dinamika Obat
Farmakologi dan Toksikologi Edisi Kelima, PT. Penerbit ITB ; Bandung
Nathan, A, 2010. Non-prescription Medicines. USA: Pharmaceutical Press

Pratama, Enggel Bayu. 2018. “Upaya Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi Pada Anak Dengan
Demam Tifoid.” Journal of Pharmaceutical Science and Medical Research 1 (2):
5. https://doi.org/10.25273/pharmed.v1i2.3034.

Rahmasari, Vani, and Keni Lestari. 2018. “Review: Manajemen Terapi Demam Tifoid:
Kajian Terapi Farmakologis Dan Non Farmakologis.” Farmaka 16 (1): 184–95.

Suwandi, Jhons Fatriyadi, and Jefri Sandika. 2017. “Sensitivitas Salmonella Thypi Penyebab

Tan Hoan Tjay dan Drs. Kirana Rahardja. 2015. Antibiotika & Analgetik Perifer, dalam :
Obat- Obatan Penting, Khasiat, Penggunaan, dan Efek Sampingnya Edisi 7. PT
Elek Media Komputindo Kompas Gramedia : Jakarta
Sumber : Internet

Alodokter. 2021. Chloramphenicol. Tersedia di https://www.alodokter.com/chloramphenicol


Diakses pada 07 April 2021

Alodokter. 2021. Demam tipoid. Tersedia di https://www.alodokter.com/tifus. Diakses pada


07 April 2021

Halodoc. 2021. Vitamin B Compleks IPI 45 Tablet. Tersedia di


https://www.halodoc.com/obat-dan-vitamin/vitamin-b-complex-ipi-45-tablet
diakses pada 07 April 2021

Luthfiyani, Shofa Nisrina. 2020. Paracetamol dalam alomedika. Tersedia di


https://www.alomedika.com/obat/analgesik/analgesik-non-narkotik-
antipiretik/paracetamol/kontraindikasi-peringatan diakses pada 07 Maret 2021
Riawati M.Med.PH. 2021. Obat Vitamin B Kompleks Tersedia di
https://www.alomedika.com/obat/vitamin-dan-mineral/vitamin/vitamin-b-
kompleks/efek-samping-dan-interaksi-obat diakses pada 07 April 2021

Sterno, 2019. Terapi non Farmakologi Penyakit Tipes. Tersedia di


https://www.terapinonfarmakologi.com/2015/01/terapi-non-farmakologi-penyakit-
tipes.html diakses pada 07 April 2021

Anda mungkin juga menyukai