Anda di halaman 1dari 23

Rhinitis

Definisi
Rhinitis alergi merupakan inflamasi membrane
mukosa hidung yang disebabkan oleh paparan
terhadap materi alergenik (Dipiro et.al, 2005)
Anatomi Hidung

Anatomi Hidung Bagian Luar

Anatomi Hidung Bagian Dalam


Patofisiologi
• Paparan pertama, alergen masuk selama inhalasi 
limfosit menghasilkan IgE
• Paparan kedua, IgE berikatan dengan sel mast yang
telah berinteraksi dengan allergen  memicu
diproduksinya mediator inflamasi, seperti histamine,
leukotriene, prostaglandin, triptase, dan kinin 
Vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas vascular
serta meningkatkan produksi secret.
(Dipiro, 2005).
Faktor Resiko
• Terpapar Alergen
• Terpapar polusi
• Infeksi bakteri atau virus
• Memiliki hewan peliharaan
• Genetik
• Nutrisi
(Wang, 2005).
Gejala
• Demam (terkadang)
• Rinorea (Hidung berlendir)
• Bersin
• Hidung tersumbat
• Gatal pada hidung, mata atau telinga
(Dipiro, 2005).
Diagnosa
1. Riwayat medis ( Gejala, pajanan sebelumnya,
hasil terapi sebelumnya, penggunaan obat
sebelumnya serta riwayat keluarga
2. Uji Laboratorium
• Tes alergi
• Pemeriksaan mikroskopis untuk menentukan
jumlah eosinophil
(Dipiro, 2005).
TERAPI RINITIS ALERGI
Tujuan:
• Meminimalkan atau mencegah gejala
• Meminimalkan atau menghindari efek samping obat

TERAPI NON FARMAKOLOGI

Avoid the triggers

Alergi tidak dapat disembuhkan secara permanen. Namun, 3. Menghindari perabot rumah tangga yang terbuat dari
alergi dapat di cegah atau dikurangi gejalanya dengan cara kain berbulu. Jika terpaksa, gunakan alat penghisap
sebagai berikut: debu dengan filter yang cukup untuk menyaring
1. Menghindari hewan peliharaan (misalnya: kucing, tungau.
anjing atau burung) berkeliaran di dalam rumah karena 4. Hindari asap rokok dan bau-bauan menyengat.
bulu dan serpihan kulitnya merupakan allergen.
2. Mengganti sprei dengan rutin (seminggu 2 kali). Sprei (Kemenkes RI, 2018).
harus dicuci dengan bersih dan disetrika dengan suhu
yang cukup panas karena beberapa spora jamur tidak
terbunuh oleh detergen.
TERAPI FARMAKOLOGI
• Antihistamin
• Dekongestan
• Nasal corticosteroids
• Immunotherapy

(Wells et al., 2015).

Algoritma Pengobatan Rinitis Alergi


TERAPI FARMAKOLOGI
ANTIHISTAMIN
• Mekanisme
Antihistamin bekerja dengan cara memblok histamin di dalam darah. Antihistamin dibagi menjadi 2
kategori:
1. Antihistamin non selektif  efek samping sedasi
2. Antihistamin selektif  tidak atau kurang menyebabkan efek samping sedasi
• Efek terapi
Mengurangi gejala, hipersekresi kelenjar hidung, saliva dan lakrimal. Antihistamin menghambat
peningkatan permeabilitas kapiler, pembentukan wheal-and-flare dan gatal-gatal.
• Efek samping
Mengantuk, mulut kering, sulit berkemih, sembelit. Efek samping lain: hilang nafsu makan, mual, muntah
dan tekanan epigastrum.
• Cara penggunaan
Antihistamin lebih efektif bila diminum 1 hingga 2 jam sebelum terpapar alergen (antisipasi). Antihistamin
harus digunakan dengan hati-hati pada pasien yang cenderung mengalami retensi urin dan peningkatan
tekanan intraokular, hipertiroidisme dan penyakit kardiovaskular.
TERAPI FARMAKOLOGI
DEKONGESTAN
• Mekanisme
Dekongestan oral dan topikal merupakan agen simpatomimetik yang bekerja pada reseptor adrenergik di
mukosa hidung sehingga menimbulkan vasokontriksi, mengecilkan pembengkakan mukosa dan
meningkatkan ventilasi nafas.
• Efek terapi
Dekongestan bekerja dengan baik ketika dikombinasikan dengan antihistamin untuk mengatasi hidung
tersumbat.
• Efek samping
Efek samping sistemik berupa takikardia, palpitasi, gelisah, tremor, insomnia, serta hipertensi pada pasien
yang memiliki faktor predisposisi. Efek samping ltopikal berupa rasa terbakar, pedas, bersin, dan keringan
pada mukosa hidung.
• Cara penggunaan
Dekongestan topikal efektif mengatasi hidung tersumbat pada pemakaian > 3-5 hari. Dekongestan harus
digunakan hanya ketika benar-benar diperlukan (misalnya pada waktu tidur) dan dalam dosis yang sekecil
dan sesering mungkin. Durasi terapi harus dibatasi , yaitu 3 sampai 5 hari.
TERAPI FARMAKOLOGI
NASAL CORTICOSTEROIDS
• Mekanisme
Mengurangi peradangan dengan menghalangi pelepasan mediator, menekan kemotaksis neutrofil,
menyebabkan vasokonstriksi ringan dan menghambat reaksi fase akhir yang dimediasi sel mast.
• Efek terapi
Kortikosteroid intranasal meringankan bersin, rinore, pruritus dan hidung tersumbat dengan efek samping
minimal. Agen-agen ini adalah pilihan yang sangat baik untuk rinitis persisten
• Efek samping
Bersin, pedas, sakit kepala, epistaksis dan infeksi langka Candida albicans.
• Cara penggunaan
Saluran hidung yang tersumbat harus dibersihkan dengan irigasi dekongestan atau salin terlebih dulu
sebelum pemberian nasal corticosteroids untuk memastikan penetrasi semprotan memadai. Respons
puncak muncul sekitar 2 hingga 3 minggu. Dosis dapat dikurangi setelah respons tercapai.
TERAPI FARMAKOLOGI
IMMUNOTHERAPY
• Mekanisme/ Efek terapi
Imunoterapi adalah proses penyuntikan antigen secara lambat dan bertahap untuk memunculkan gejala
alergi pada pasien dengan maksud meningkatkan toleransi terhadap alergen ketika paparan alami terjadi.
• Efek samping
Indurasi dan pembengkakan di tempat injeksi. Reaksi yang lebih parah (urtikaria umum, bronkospasme,
laringospasme, kolaps pembuluh darah, dan kematian akibat anafilaksis) jarang terjadi. Reaksi yang parah
diobati dengan epinefrin, antihistamin dan kortikosteroid sistemik.
• Cara penggunaan
Secara umum, imunoterapi diberikan sekali atau dua kali seminggu. Konsentrasi dapat ditingkatkan sampai
dosis maksimum yang dapat ditoleransi atau dosis rencana tertinggi tercapai. Dosis pemeliharaan
dilanjutkan dengan cara meningkatkan interval secara perlahan selama beberapa tahun , tergantung pada
respon klinis.
KASUS RINITIS ALERGI
Pasien perempuan (24 tahun) datang ke apotek ingin membeli obat flu. Setelah berdiskusi dengan
apoteker diketahui bahwa keluhan utama yang dirasakan pasien adalah bersin berulang mencapai
10 kali pada pagi hari serta rinore (hidung berair). Pasien mengatakan bahwa gejala tersebut
biasanya berlangsung saat pasien terpapar debu dan dingin. Selain itu, pasien mengatakan bahwa
pada musim penghujan, seperti sekarang, gejala tersebut bertambah parah hingga harus
menghirup nafas melalui mulut karena hidung tersumbat. Keluhan tambahan lainnya yaitu mata
dan hidung gatal. Apa rekomendasi yang diberikan apoteker untuk keluhan pasien tsb.?
Keluhan:
• Bersin berulang mencapai 10 kali pada pagi hari
• Rinore (hidung berair)
• Hidung tersumbat
• Mata dan hidung gatal

Pilihan terapi:
Antihistamin  efektif untuk meredakan bersin, gatal,
rinore dan gejala lain pada mata.
Dekongestan  efektif untuk mengatasi hidung tersumbat.

Kombinasi oral dekongestan dan antihistamin  rasional


karena mekanisme aksi yang berbeda. Pasien harus
membaca label obat dengan hati-hati untuk menghindari
duplikasi terapeutik (Wells et al., 2015).
Algoritma Pengobatan Rinitis Alergi
Setirizine  obat keras namun
termasuk dalam DOWA No. 2
SETIRIZINE HCL
Mekanisme
Setirizine HCl bekerja dengan cara memblok histamin di dalam darah. Histamin dapat menimbulkan gejala bersin, gatal, mata
berair dan pilek (Drugs.com, 2018).
Indikasi:
Rinitis menahun, rinitis alergi seasonal, konjungtivitis, pruritus, urtikaria idiopati kronis (Pionas, 2015).
Kontraindikasi:
Hipersensitif terhadap obat dan komponennya, kehamilan dan menyusui (Pionas, 2015).
Perhatian:
Dapat mengganggu kemampuan mengemudi atau menjalankan mesin. Hamil, anak < 2 tahun (IAI, 2016).
Interaksi:
Alkohol (IAI, 2016).
Efek Samping:
Sakit kepala, pusing, mengantuk, agitasi, mulut kering, rasa tidak nyaman di perut, reaksi hipersensitif seperti reaksi kulit dan
angioudem (Pionas, 2015).
Dosis:
Dewasa dan anak diatas 6 tahun: 10mg/hari pada malam hari bersama makanan (Pionas, 2015).
Gol.
Obat T

Pseudoefedrin HCl
Mekanisme
Pseudoefedrin bekerja dengan cara mengecilkan pembuluh darah di saluran hidung. Pembuluh darah yang melebar
dapat menyebabkan hidung tersumbat (hidung tersumbat) (Drugs.com, 2018).
Indikasi:
Mengurangi gejala hidung tersumbat, bersin, rinorea, lakrimasi yang berkaitan dengan rinitis alergi dan flu (Pionas,
2015).
Kontraindikasi:
Selama 1-2 minggu setelah terapi MAO hendaknya hati-hati jika harus diberikan pada penderita gejala kelainan jantung
(IAI, 2016).
Perhatian:
Hipertiroidisme, diabetes melitus, penyakit jantung iskemik, hipertensi, gangguan ginjal, lansia, dapat menyebabkan
retensi akut pada hipertrofi prostat, interaksi dengan penghambat MAO (Pionas, 2015).
Efek Samping:
Takikardia, ansietas, ketegangan, insomnia sering terjadi, juga tremor, aritmia, mulut kering, dan rasa dingin di
ektremitas. (Pionas, 2015).
Dosis:
Dewasa 60 mg 4 kali sehari (Pionas, 2015).
(Pionas, 2015).
Penyimpanan obat
• Kotak obat.
• Tempat yang tidak terjangkau anak-anak.
• Tempat yang tidak terkena sinar matahari langsung.

Informasi penting: Pasien tidak boleh menggunakan dekongestan untuk jangka panjang (> 3 minggu) karena
memiliki efek samping hipertensi, jantung berdebar atau pembesaran prostat (Kemenkes, 2018).

Pasien sebaiknya berobat ke dokter, jika:


• Gejala makin parah
• Pengobatan yang dulunya efektif tidak lagi bekerja
• Gejala tidak merespon terhadap pengobatan (Kemenkes, 2018).

Terapi Non Farmakologi


• Pasien disarankan memakai jaket atau sweater untuk menjaga tubuh tetap hangat.
• Pasien disarankan mandi pagi dengan menggunakan air hangat.
• Pasien disarankan menghindari asap atau bau-bauan menyengat.
• Pasien disarankan mengganti sprei dengan rutin (seminggu 2 kali).
Daftar Pustaka
• Dipiro, J.T., et al. 2005. Pharmacotherapy Handbook. Sixth edition. The Mc. Graw Hill Company. USA.
• Drugs.com. 2018. Cetirizine and pseudoephedrine. Tersedia online di
https://www.drugs.com/mtm/cetirizine-and-pseudoephedrine.html [diakses pada 30 Oktober 2019]
• Ikatan Apoteker Indonesia. 2016. ISO Informasi Spesialite Obat Indonesia Volume 50 Tahun 2016. Jakarta:
Penerbit ISFI
• Kemenkes RI. 2018. Rinitis Alergi. Tersedia online di http://www.yankes.kemkes.go.id/read-rintis-alergi-
4259.html [diakses pada 30 Oktober 2019]
• Pionas. 2015. SETIRIZINE HCL + PSEUDOEFEDRIN. Tersedia online di
http://pionas.pom.go.id/monografi/setirizine-hcl-pseudoefedrin [diakses pada 30 Oktober 2019]
• Wells, B. G., J. T DiPiro., T. L Schwinghammer dan C. V DiPiro. 2015. Pharmacotherapy Handbook, Ninth
Edition. United States: McGraw-Hill Education

Anda mungkin juga menyukai