TOKSISITAS OBAT
PENDAHULUAN
JALUR PENDISTRIBUSIAN
METABOLISME SENYAWA TOKSIK
6.3.1. Toksisitas hati
6.3.2. Toksisitas paru-paru
6.3.2. Toksisitas ginjal
KESEIMBANGAN ANTARA JALUR TOKSIFIKASI DAN DETOKSIFIKASI
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KERACUNAN
6.5.1. Komposisi Senyawa Toksik
6.5.2. Dosis dan Konsentrasi
6.5.3. Jalur Penyebaran dan Metabolisme
6.5.4. Kondisi Kesehatan
6.5.5. Usia, Genetik dan Jenis Kelamin
6.5.6. Faktor Lingkungan
PENDAHULUAN
Suatu zat dinyatakan sebagai racun jika ia dapat menimbulkan kerja yang
merusak. Dalam prakteknya, senyawa yang disebut racun hanyalah jika resiko
kerusakan yang ditimbulkannya relatif besar. Yang harus dicamkan adalah “semua zat
adalah racun. Hanya dosislah yang membuat suatu zat bukan racun” hal ini
diungkapkan oleh Paracelsus.
Pada masa lalu keracunan karena kesehatan cukup berarti. Saat ini toksikologi
semacam iuni sudah jauh berkurang dibandingkan dengan resiko yang mungkin timbul
akibat senyawa kimia ataupun lingkungan yang sudah terpengaruh zat-zat kimia.
Berbeda dengan zaman dulu, keracunan akut umumnya terjadi karena logam berat
(timbal, air raksa, thallium) atau metaloid (arsen, antimon). Saat ini keracunan yang
sering terjadi karena penggunaan obat terutama obat tidur dan obat penenang.
Disamping toksisitas akut, terdapat juga toksisitas kronis yang terjadi dalam jangka
panjang, dikarenakan terjadinya peningkatan yang trus menerus senyawa toksik dalam
jumlah kecil, kejadian ini banyak dipicu dengan meningkatnya pencemaran lingkungan
dan penggunaan obat.
77
Ada beberapa kemungkinan untuk menggolongkan toksikologi. Antara lain
dapat dibedakan atas :
o Efek toksik akut, yang langsung berhubungan dengan pengamblan zat
toksik
o Efek toksik kronis, yang pada umumnya zat dalam jumlah sedikit
diterima oleh tubuh dalam jangk awaktu yang lama sehingga akan terakumulasi
mencapai konsentrasi toksik dan dengan demikian menyebabkan terjadinya gejala
keracunan.
Yang mempunyai arti penting yaitu toksisitas jangka panjang (kronis). Yang
dimaksud di sini adalah efek toksik yang baru dapat dipastikan setelah periode laten
yang cukup panjang, misalnya kerja mutagenik dan karsinogenik.
Pembagian lain toksikologi dapat dilakukan berdasarkan jenis zat dan keadaan
pada saat kerja toksik terjadi. Berdasarkan ini toksisitas dibagi atas :
o Toksikologi obat,
o Toksikologi bahan makanan,
o Toksikologi pestisida
o Toksikologi industri
o Toksikologi lingkungan,
o Toksikologi kecelakaan
o Toksikologi perang, dan
o Toksikologi penyinaran.
JALUR PENDISTRIBUSIAN
Distribusi obat ke berbagai jaringan dalam tubuh tergantung pada beberapa
faktor termasuk kelarutan dalam lemak dari obat. Suatu obat yang sangat lifofilik akan
dilokalkan dala mkonsentrasi tertinggi dalam jaringan denga kandungan lemak tinggi
seperti jaringan adiposus dan otak. Karena dalam banyak hal metabolisme
menyebabkan obat menjadi kurang larut dalam lemak, maka metabolisme akan
mengubah distribusi obat dari jaringan padat lemak ke jaringan padat air seperti darah
dan ginjal.
Suatu contoh dari hal ini adalah distribusi analgetik narkotik morfin. Morfin
sangat lipofilik dan tidak dapat langsung diekskresikan karena dengan cepat ia diserap
ke dalam jaringan padat lemak termasuk otak. Namun, morfin mengalami konjugasi
fase kedua dengan asam glukoronida dalam hati, membentuk metabolit morfin-3-
78
glukuronida. Metabolit ini larut dalam air dan tidak dapat langsung masuk ke otak,
konjugsinya siap diekskresikan. Karena itu metabolisme hepatik dalam contoh ini
mencakup akses morfin ke otak dan karenanya mengurangi respon farmakologis dengan
mendistribusi ulang dari tempat kerja obat.
Lipofilitas obat dapat mempengaruhi laju awal aksi obat secara radikal.
Misalnya diamorfin atau lebih dikenal dengan heroin, memasuki otak jauh lebih cepat
daripada morfin karena lipofilitasnya yang lebih tinggi, dan karenanya memiliki awal
aksi yang lebih cepat. Sekali di dalam otak, heroin dimetabolismekan segera menjadi
morfin, dan efek farmakologisnya (sebagian besar analgesia) dapat diobservasi.
79
metabolit antara yaitu formaldehid dan asam format yang dapat memnetuk senyawa
yang lebih toksik. Berikut beberapa senyawa yang dapat dimetabolisme menjadi
senyawa yang lebih toksik.
Metabolisme o 201
80
Parasetamol memerlukan aktivasi metabolik untuk menunjukkan toksisitasnya.
Hal ini diduga dipengaruhi oleh reaksi awal hidroksilasi-N yang dikatalisis oleh enzim-
enzim oksidase hepatik fungsi campur (gambar 6.1), dan penyusunan kembali kimiawi
berukutnya pada hidroksilamin menghasilkan elektrofil reaktif yang lalu berikatan
kovalen dengan makromolekul hepatik sebagi awal nekrosis hepatik. Harus ditekankan
bahwa perantara reaktif dari parasetamolmungkin didetoksifikasi secara enzimatik oleh
konjugasi dengan glutation (dikatalisis oleh S-transferase).
81
kemampuan untuk mengaktifkan secara metabolik obat dan bahan kimia yang tidak
berbahaya menjadi metabolit yang beracun.
Met ob 198
Dalam contoh yang pertama, diperkirakan bahwa isoenzim sitokrom P-450 yang
berbeda mengkatalisis dua reaksi oksidasi yang pertama diatas, dan karenanya jumlah
dan reaktivitas relatif dari isoenzim ini sebagian akan menentukan respon biologis. Jadi
jelas bahwa konsentrasi dan keaktifan enzim sitoplasmik sulfotransferase merupakan
penentu utama atas toksisitas hepatik 2-asetiaminofluoren. Oelh karena itu, spesies
seperti babi guinea (marmut) yangmemiliki keaktifan sulfontransferase hepatik yang
rendah, kebal terhadap kanaker hati yang disebabkan 2-asetilaminofluoren.
82
Penanganan kasus keracunan yang disebabkan senyawa sangat beracun harus dilakukan
dengan cepat dan dengan terencana. Penanganan pertama terdisri atas: menjaga agar fungsi vital
seperti pernafasan dan sirkulasi tetap ada, serta menghindari absorpsi racun lebih lanjut.
Pertolongan lebih lanjut adalah berupa, mempercepat eliminasi racun yang sudah masuk ke
dalam organ tubuh, dan menormalkan kembali fungsi tubuh yang terganggu dengan
penanganan simptomatik.
83
kimia dari yang paling lemah, yaitu: inhalasi > intaperitonial > subkutan >
intramuskular > intradermal > oral > topikal.
Metabolisme dari senyawa toksik pada umumnya sama dengan senyawa
nontoksik. Biasanya senyawa toksik dimetabolisme menjadi senyawa yang lebih polar
(kurang toksik) yang dapat dieksresi oleh ginjal dengan cepat. Namun situasi ini tidak
selamanya berjalan, beberapa senyawa dimetabolisme menjadi senyawa dengan
aktivitas tetap bahkan lebih aktif. Salah satu contoh adalah metanol, yang pertama kali
dioksidasi menjadi senyawa antara, formaldehid dan asam formiat, untuk membentuk
senyawa yang lebih toksik.
84
Faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi efek toksik suatu obat atau
senyawa kimia, diantaranya adalah: temperatur, tempat tinggal, dan lingkungan sekitar.
Terdapat beberapa obat dapat memberikan efek lebih kuat dalam temperatur lingkungan
tertentu, seperti obat antikolinergik dapat menjadi lebih toksik pada lingkungan yang
lebih hangat.
Beberapa senyawa yang terdapat di lingkungan dapat menjadi inhibitor terhadap
efek toksik suatu senyawa. Senyawa tertentu dapat menyebakan induksi aktivitas enzim
mikrosomonal hati. Kelebihan enzim mikrosomonal akan menyebabkan metabolisme
menjadi lebih kuat dan ini justru akan menimbulkan efek toksik dari obat.
PUSTAKA
Ganiswara, S.G., (ed), Farmakologi dan Terapi, Gaya Baru, Jakarta, 1995.
Gringauz, A., Introduction to Medicinal Chemistry: How Drugs Act and Why, Wiley-
VCH. Inc. 1997.
Gibson, G and Skett, P., Pengantar Metabolisme Obat, (Iis AisyahB), UI Press, Jakarta,
1991.
Mutschler, E., Dinamika Obat, Buku Ajar Farmakologi dan Toksikologi, (Mathilda B,
dkk), Penerbit ITB, Bandung, 1986
85