Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH EKSIPIEN

EKSIPIEN MUKOADHESIF

Disusun oleh:

Anggi Maulida Dewi 1706034193

Damayanti 1706974340

Puteri Almadhiya S. N. 1706034426

R. Zulfa ‘Alawiyyah 1706974561

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK, NOVEMBER 2019

DAFTAR ISI

1
DAFTAR ISI 2
BAB I PENDAHULUAN 3
1.1 Latar Belakang 3
1.2 Rumusan Masalah 3
1.3 Tujuan 3
BAB II PEMBAHASAN 4
2.1 Pengertian dan Karakteristik Mukoadhesi 4
2.2 Mekanisme Mukoadhesi 5
Electronic Theory 5
Adsorption Theory 5
Wetting Theory 5
Diffusion Theory 6
Fracture Theory 7
2.3 Klasifikasi Mucoadhesive 7
Solid Mucoadhesion 7
Semi-solid Mucoadhesion 10
Liquid Mucoadhesion 11
2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi mukoadhesi 12
Faktor polimer mukoadhesif 12
Faktor lingkungan 12
Faktor fisiologis 13
2.5 Keuntungan dan Kerugian Mucoadhesive Drug Delivery System 13
2.6 Contoh-Contoh Eksipien 14
Pektin 14
Alginat 14
Asam Hialuronat 15
Chitosan 16
Polycarbophil 18
Carbopol 19
Carboxymethylcellulose Sodium (CMC-Na) 20
Carrageenan 21
Hydroxypropyl Methylcellulose (HPMC) 21
Guar Gum 22
Gelatin 23
BAB III PENUTUP 24

2
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Eksipien memegang peranan penting dalam suatu formulasi. Bahan ini bersama
Active Pharmaceutical Ingredient membentuk suatu bentuk sediaan. Eksipien berfungsi
sebagai pelindung zat aktif, penambah massa, dan dapat digunakan untuk memperbaiki
bioavailabilitas dari obat itu sendiri. Seiring perkembangan sistem penghantaran obat pada
dekade belakangan ini, salah satunya menggunakan teknologi mukoadhesif. Beberapa
keunggulan dari sistem penghantaran mukoadhesif in ketika diaplikasikan dibandingkan
sistem penghantaran obat lain antara lain, dapat meningkatkan kepatuhan pasien
mengkonsumsi obat karena bentuk sediaannya dapat diterima dengan baik oleh pasien,
meningkatkan efikasi obat, dan dapat mengurangi efek samping obat.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah definisi dan karakteristik eksipien mukoadhesif dalam sediaan farmasi?


2. Apa saja dan bagaimana mekanisme dari mukoadhesi?
3. Apa saja klasifikasi dari eksipien mukoadhesif?
4. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi mukoadhesi?
5. Apa saja keuntungan dan kerugian dari penggunaan eksipien mukoadhesif?
6. Apa saja contoh-contoh eksipien mukoadhesif?

1.3 Tujuan

1. Untuk memahami definisi dan karakteristik eksipien mukoadhesif dalam sediaan


farmasi.
2. Untuk memahami mekanisme-mekanisme mukoadhesif.
3. Untuk memahami klasifikasi dari eksipien mukoadhesif.
4. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi mukoadhesi.
5. Untuk mengetahui keuntungan dan kerugian dari penggunaan eksipien mukoadhesif.
6. Untuk mengetahui contoh-contoh dari eksipien mukoadhesif.

3
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Karakteristik Mukoadhesi

Mukosa adalah membran pada tubuh yang bersifat semipermeabel dan


mengandung musin. Mukus merupakan sekret jernih dan kental serta melekat,
membentuk lapisan tipis, berbentuk gel kontinyu yang menutupi dan beradhesi pada
permukaan epitel mukosa. Didalam mukus terdapat musin yang mengandung
glikoprotein yang memungkinkan untuk polimer dapat menempel dan mengalami
penetrasi. Mukus terdiri dari glikoprotein, lemak, garam, dan sekitar 95% air sehingga
merupakan sistem yang sangat hidrofilik. Mukus glikoprotein adalah protein dengan berat
molekul tinggi yang memiliki unit oligosakarida (L-fucose, D-galactose, N-asetil-D-
glukosamin, N-asetil-D-galaktosamin dan asam Sialat). (Tandel, 2017)
Mukoadhesif berasal dari kata mukosa dan adhesi. Mukosa adalah membran
pada tubuh yang bersifat semipermeabel dan mengandung musin. Sedangkan adhesi
merupakan gaya molekuler pada area kontak antar elemen yang berbeda agar dapat
berikatan satu sama lain. Sehingga mukoadhesif adalah sistem pelepasan obat dimana
terjadi ikatan antara polimer alam atau sintetik dengan substrat biologi yaitu
permukaan mukus. Sistem mukoadhesif dapat menghantarkan obat menuju site-spesific
melalui ikatan antara polimer hidrofilik dengan bahan dalam formulasi suatu obat, dimana
polimer tersebut dapat melekat pada permukaan biologis dalam waktu yang lama.
Biasanya sistem mukoadhesif digunakan untuk sediaan lepas terkendali yang dimana
tujuannya untuk memperpanjang waktu tinggal obat di saluran cerna dan mengatur
pelepasan obat.
Eksipien mukoadhesif adalah makromolekul hidrofilik yang mengandung banyak
kelompok pembentuk ikatan hidrogen. Hal ini dikarenakan adanya gugus pembentuk
ikatan hidrogen (hidroksil, karboksil atau amina) pada molekul-molekul akan lebih
menyukai adhesi. Mereka membutuhkan kelembaban untuk diaktifkan dan akan melekat
secara spesifik ke banyak permukaan.
Karakteristik dari eksipien - eksipien mukoadhesi adalah: (Singh, J., et al., 2011)
● Polimer dan hasil degredasi tidak boleh bersifat toksik dan tidak terabsorpsi
saluran cerna
● Tidak mengiritasi membran mukosa
● Sebaiknya membentuk ikatan non kovalen yang kuat dengan permukaan sel
epitel musin

4
● Melekat dengan cepat pada sebagian besar jaringan dan berlangsung pada sisi
yang spesifik.
● Mudah dalam penyatuannya dengan obat dan tidak menghalangi
pelepasannya.
● Dapat bekerja bersama dengan obat dan tidak mengalami hidrasi yang
berlebihan pada pelepasan obat
● Polimer-polimer tidak terurai pada penyimpanan atau selama waktu
penyimpanan sediaan
● Harganya murah sehingga bila dibuat sediaan tetap kompetitif

2.2 Mekanisme Mukoadhesi

Mekanisme mukoadhesi dijelaskan dalam beberapa teori, antara lain electronic


theory, adsorption theory, wetting theory, diffusion theory, dan fracture theory.

a. Electronic Theory

Teori ini menjelaskan adhesi yang terjadi melalui transfer elektron antara
lendir dan sistem mukoadhesif, yang timbul melalui perbedaan dalam struktur
elektroniknya. Transfer elektron antara lendir dan sistem mukoadhesif menghasilkan
pembentukan lapisan ganda muatan listrik (electrical double layer) pada mukus dan
antarmuka mukoadhesif. Hasil dari proses tersebut adalah pembentukan gaya yang
bertanggung jawab untuk menjaga kontak antara kedua lapisan sehingga terjadi
mucoadhesion yang baik.

b. Adsorption Theory

Menurut teori ini, perlekatan terjadi karena gaya tarik permukaan yang bekerja
diantara atom-atom pada kedua permukaan. Dua jenis ikatan kimia dihasilkan dari
gaya tarik menarik ini dapat dibedakan sebagai ikatan kimia primer yaitu ikatan
kovalen yang menghasilkan ikatan permanen dan ikatan kimia sekunder yaitu gaya
Van der Walls, ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik yang menghasilkan ikatan
semi-permanen.

c. Wetting Theory

Wetting theory berlaku pada sistem cair dengan mempertimbangkan energi


permukaan dan antarmuka. Teori ini melibatkan kemampuan cairan untuk menyebar

5
secara spontan ke permukaan sebagai prasyarat untuk terjadi adhesi. Kemampuan ini
dapat diukur dengan menggunakan teknik pengukuran seperti sudut kontak. Semakin
rendah sudut kontak cairan pada permukaan substrat, semakin besar afinitas cairan
terhadap permukaan substrat. Sudut kontak harus sama atau mendekati nol untuk
memberikan kemampuan penyebaran yang memadai.

SAB = γBt ‒ γtA ‒ γAB


Koefisien penyebaran, SAB, dapat dihitung dari perbedaan antara energi
permukaan γBt dan γtA dan energi antarmuka γAB, seperti yang ditunjukkan dalam
persamaan. SAB harus positif agar cairan menyebar secara spontan ke permukaan.
Teori ini menjelaskan pentingnya sudut kontak dan pengurangan energi permukaan
dan antarmuka untuk mencapai jumlah mukoadesi yang baik.

d. Diffusion Theory

Teori difusi menggambarkan keterlibatan ikatan mekanis antara rantai polimer


sistem pengiriman obat dan polimer rantai selaput lendir, yaitu protein glikol. Saat
terjadi kontak, rantai polimer sistem pengiriman obat menembus ke dalam jaringan
glikoprotein. Interdifusi rantai polimer dan mukus harus mencapai kedalaman yang
memadai untuk menciptakan ikatan rekat semi permanen. Dipercayai bahwa gaya
adhesi meningkat dengan tingkat penetrasi rantai polimer. Tingkat penetrasi ini
tergantung pada koefisien difusi, fleksibilitas dan sifat rantai mukoadhesif, mobilitas
dan waktu kontak. Kedalaman interdifusi yang diperlukan untuk menghasilkan ikatan
bioadhesif yang efisien terletak pada kisaran 0,2-0,5 μm. Kedalaman interdifusi rantai
polimer dan mukus ini dapat diperkirakan dengan persamaan berikut:
l = (tDb)½

6
dimana l adalah kedalaman interpenetrasi, t adalah waktu kontak dan Db adalah
koefisien difusi dari mucoadhesive material dalam mukus. Kedalaman penetrasi
tergantung pada koefisien difusi yang mana dipengaruhi oleh ukuran rantai polimer
atau berat molekul dari polimer dan waktu kontak. Namun, kedalaman penetrasi dapat
menurun akibat kepadatan dari ikatan ilang (crosslink). Agar difusi terjadi, penting
bahwa komponen yang terlibat memiliki solubilitas yang baik, yaitu bioadhesif dan
lendir memiliki struktur kimia yang sama. Semakin besar kesamaan struktural,
semakin baik ikatan mukoadhesif.

e. Fracture Theory

Teori fraktur didasarkan bahwa gaya diperlukan untuk melepaskan rantai


polimer dari lapisan mukus adalah kekuatan kekuatan perekat mereka. Teori ini
digunakan untuk pengukuran mekanis mukoadhesi. Pengukuran ini dapat
menganalisis kekuatan yang diperlukan untuk memisahkan dua permukaan setelah
adhesi terbentuk. Gaya, Sm, sering dihitung dalam uji ketahanan terhadap ruptut
dengan rasio gaya detasemen maksimal, Fm, dan total luas permukaan, A0, yang
terlibat dalam interaksi perekat.
Sm = Fm /A0
Teori fraktur hanya berkaitan dengan gaya yang diperlukan untuk memisahkan
dua permukaan dan tidak menghitung kedalaman penetrasi atau interdifusi. Oleh
karena itu, teori ini digunakan dalam perhitungan untuk bahan bioadhesif kaku atau
semi kaku, di mana rantai polimer tidak menembus ke dalam lapisan lendir.

2.3 Klasifikasi Mucoadhesive (Khutoryanskiy, 2014)

a. Solid Mucoadhesion

Tablet, patches atau mikropartikel adalah contoh formulasi padat dengan


polimer adhesif yang membentuk matriks dimana obat didispersikan, atau dimana
obat harus menyebar. Meskipun awalnya kering, pada paparan cairan biologis in vivo

7
(atau pada saat menelan dalam bentuk sediaan oral) proses hidrasi juga akan tetap
terjadi. Adapun proses interaksi tersebut dapat terjadi sebagai berikut.

Gambar 1. Dua tahap dalam Solid Mucoadhesion. Pertama, Contact stage :


kontak pembasahan terjadi antara mucoadhesive dan membran mukus. Kedua,
Consolidation stages: interaksi fisikokimia yang bervariasi terjadi untuk
konsolidasi dan menguatkan adesive, untuk memperpanjang adhesi.

● Fase kontak
Pada tahap kontak, mukoadhesif dan selaput lendir awalnya berkumpul
untuk membentuk kontak. Proses ini terjadi difasilitasi oleh dua permukaan
yang secara fisik disatukan. Misalnya, menempatkan dan menahan sistem
penghantaran pada kornea atau mukosa bukal. Pada lokasi yang lain, kontak
suatu partikel dapat terjadi melalui deposition, seperti yang terjadi pada nasal
dan bronkus. Namun demikian, dalam saluran cerna (selain mulut dan rektum)
tahap kontak memerlukan gerakan peristaltik dan gerakan gastrointestinal
lainnya agar dapat terjadi. Tahap kontak merupakan tahap yang penting dalam

8
proses adhesi. Partikel dapat terhidrasi dan/ atau dilapisi dengan biomolekul,
sehingga secara signifikan mengubah sifat fisikokimia mereka.

● Fase konsolidasi
Agar mucoadhesion berhasil terjadi, adhesi yang kuat atau
berkepanjangan biasanya diperlukan. Sehingga konsolidasi tahap kedua
diperlukan. Setelah dihidrasi oleh keberadaan air atau kelembaban, bahan
mukoadhesif melekat paling kuat pada permukaan kering padat. Kelembaban
secara efektif akan membuat plastis sistem, memungkinkan molekul
mukoadhesif menjadi bebas, sesuai dengan bentuk permukaan dan ikatan
terutama oleh van der Waals yang lebih lemah dan ikatan hidrogen, meskipun
interaksi ion juga dapat terjadi dalam beberapa kasus. Ikatan mukoadhesif,
pada dasarnya, sangat heterogen, sehingga sangat sulit untuk menggunakan
teknik spektroskopi untuk mengidentifikasi jenis ikatan dan kelompok yang
terlibat, meskipun ikatan hidrogen adalah yang berperan penting.

Gambar 2. Teori interpenetrasi; tahap interaksi antara


polimermukoadhesif dan glikoprotein mucin dari gel mucus.

9
Gambar 3. Teori kedua yaitu Teori Dehydrogenasi; air bergerak
cepat antara gel sampai keseimbangan tercapai, afinitas yang kuat
terhadap air; oleh karena itu 'tekanan osmotik' tinggi dan kekuatan
swelling besar .

b. Semi-solid Mucoadhesion

Ini biasanya terdiri dari gel atau salep yang mengandung polimer
mukoadhesif. Salep dan pasta mukoadhesif terdiri dari polimer bioadhesif bubuk yang
dimasukkan ke dalam basis hidrofobik. Salep orabase adalah contoh yang baik untuk
hal ini, di mana karboksimetilselulosa, gelatin dan pektin dimasukkan ke dalam basis
parafin. Biasanya, ini melekat dengan cara yang mirip dengan formulasi kering atau
terhidrasi sebagian, di mana pada pembasahan polimer permukaan swelling dan
membentuk interaksi adesif, tapi dasar hidrofobik dapat membatasi masuknya air dan
menghambat overhydratation.
Gel mukoadhesif yang lebih terkonsentrasi telah terbukti dipertahankan pada
permukaan mukosa untuk periode yang lama. Proses penyebaran dispersi polimer dan
dipertahankan pada mukosa terutama akan bergantung pada energi permukaan zat
padat dan cair (koefisien penyebaran positif) bersama dengan reologi cairan. Retensi
akan tergantung pada lingkungan sambungan perekat dan tekanan yang diberikan
(seperti keberadaan makanan atau pergerakan mukosa).

10
Gamabr 4. Mucoadhesive pada formulasi Ointment

c. Liquid Mucoadhesion

Mucoadhesives dapat dimasukkan ke dalam larutan berair yang dapat


digunakan sebagai sistem pengiriman obat, seperti tetes mata atau obat kumur. Cairan
seluler jelas akan mudah dihilangkan dari permukaan biologis, kecuali diberikan sifat
reologi yang sangat kental atau seperti gel seperti dijelaskan di atas.
Mekanisme terjadinya hal ini adalah adsorpsi polimer pada suatu antarmuka,
di mana polimer secara alami akan terkumpul untuk mengurangi energi permukaan
dan kemudian dapat mengikat oleh pembentukan banyak ikatan lemah. Lendir dalam
air liur dan daerah prekursor deposit secara alami ke permukaan tersebut untuk
memberikan pelumasan dan perlindungan alami, sehingga proses adsorpsi polimer
mukoadhesif menjadi rumit dengan menyerapnya ke dalam gel terhidrasi.

Gamabr 5. Absorbsi polimer dari formulasi larutan dengan membran


mucosal

Pengolongan polimer mukoadhesif menurut Sandri (2015) sebagai berikut:

11
Klasifikasi polimer Keterangan

Sumber Natural Chitosan, asam hialuronat

Agarosa, gelatin, natrium alginat

Various Gums (guar, Hakea, Xanthan, gellan, carrageenan,


pectin, natrium alginat)

Semisintetik Turunan selulosa

(CMC, thiolates-CMC, na-CMC, HEC, HPC, HPMC, MC,


metilhidroksietil selulosa)

sintetik Poly(acrylic acid)-based polymers

(CP, PC, PAA, copolymer asam akrilat dan PEG)

PHPMn, poly(ethylene oxide), PVA, PVP, thiolated polymer

Kelarutan Larut air CP, HEC, HPC (water temperature range: <0-380C), HPMC
dalam air (cold water), PAA, natrium alginate, CMC Na, PVP, MC

Tidak larut air Chitosan (larut dalam dilute aqueous acid), EC, PC

Muatan Kationik Chitosan, triethylated chitosan, aminodextran, dimetilaminoetil


(DEAE)-dextran

Anionik Chitosan-EDTA, CMC, pectin, PAA, PC, natrium alginate,


CMC-Na, Chantan gum, CP, modifikasi Icross-linked
poliakrilat

Non-ionik Hydroxyethyl starch, HPC< poly (etilen oksida), PVA, PVP,


scleroglucan, Eudagrit-NE 30D

Potential kovalen Cyanoacrylate


bioadhesive
force Ikatan hidrogen Acrylates (hydroxylated methacylate, poly (methacrylic acid),
CP, PC, PVA

Interaksi Chitosan
elektrostatik

12
Keterangan: CMC (karboksimetilselulosa), CP(carbopol), EC(Etil selulosa), HEC
(Hydroxyethyl selulosa), HPC (Hydroxypropyl selulosa), HPMC
(hidroksipropilmetilselulosa), MC (metilselulosa), PAA (poly acrylic acid), PC
(Polycarbopil), PEG (poly(etilenglikol)), PHPAm (poly-N-2-hydroxypropyl methacrylamide),
PVA(polivinilalkohol), PVP (polivinilpirolidon)

2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi mukoadhesi

Sistem penghantaran obat mukoadhesi ke mukosa tergantung pada faktor-faktor di


bawah ini (Anil & Sudheer, 2018).

❖ Faktor polimer mukoadhesif


● Berat molekul. Sifat mukoadhesif bergantung pada berat molekul polimer
yang dipilih. Mucoadhesion akan berhasil terjadi jika berat molekulnya sama
dengan 100.000 atau lebih.
● Konsentrasi polimer. Pada konsentrasi optimal polimer mukoadhesif, kekuatan
mukoadhesif akan maksimum. Namun, dalam sistem yang sangat
terkonsentrasi, kekuatan merekat pada mukosa akan melampaui level optimal
dan dapat turun secara signifikan. Hal ini karena molekul coiled menjadi
terpisah dari medium sehingga rantai yang tersedia untuk interpenetrasi
menjadi terbatas.
● Fleksibilitas rantai polimer: Fleksibilitas rantai merupakan faktor penting
untuk interpenetrasi dan keterikatan bahan terhadap mukosa. Untuk polimer
dengan tingkat keterkaitan yang tinggi, mobilitas rantai polimer akan
menurun, yang mengarah pada penurunan kekuatan mukoadhesif.
❖ Faktor lingkungan
● Kekuatan yang diterapkan. Kekuatan adhesi meningkat dengan kekuatan yang
diberikan atau dengan durasi penerapannya. Jika tekanan tinggi diterapkan
untuk jangka waktu yang cukup lama, polimer menjadi mukoadhesif meskipun
mereka tidak berinteraksi dengan mucin.
● pH. Perubahan pH menyebabkan perbedaan dalam tingkat pemisahan
kelompok fungsional dalam urutan karbohidrat atau urutan asam amino
polipeptida, serta dalam polimer.
● Waktu kontak. Waktu kontak antara lapisan bioadhesif dan mukus
menentukan

13
tingkat pengembangan dan interpenetrasi rantai polimer bioadhesif. Kekuatan
bioadhesif bertambah dengan bertambahnya waktu kontak.
● Swelling. Tergantung pada konsentrasi polimer, konsentrasi ion, dan juga
keberadaan air. Hidrasi yang berlebihan akan menghasilkan formasi dari
mukus yang licin tanpa adhesi.
❖ Faktor fisiologis
● Pergantian mucin. Pergantian mucin diperkirakan akan membatasi waktu
tinggal mukoadhesif pada lapisan mukus. Jika kekuatan adhesif tinggi,
mukoadhesif akan terlepas dari permukaan mukosa karena pergantian mucin.
● Keadaan penyakit: Sifat-sifat fisiokimia dari mukus diketahui berubah pada
kondisi penyakit seperti flu biasa, tukak lambung, kolitis ulserativa, fibrosis
kistik, infeksi bakteri dan jamur pada saluran reproduksi wanita.

2.5 Keuntungan dan Kerugian Mucoadhesive Drug Delivery System

Keuntungan dari adalah Mucoadhesive Drug Delivery System sebagai berikut (Anil &
Sudheer, 2018).
● Memperpanjang residence time atau lama waktu tinggal obat di GIT.
● Penargetan & lokalisasi bentuk sediaan di situs-situs spesifik tertentu.
● Peningkatan kepatuhan pasien karena penerapan bentuk sediaan yang mudah
dibandingkan dengan injeksi dan tidak memberikan sensasi yang menyakitkan.
● Pemberian obat sustained-release dapat dicapai dengan menggunakan polimer
mukoadhesif tingkat ‘SR’.
● Dapat menghindari efek samping yang dapat timbul akibat pemberian oral, seperti,
mual dan muntah.
● Pemberian obat mukoadhesif dapat dengan mudah digunakan dalam kasus pasien
yang tidak sadar dan kurang kooperatif.
● Obat-obatan yang memiliki bioavailabilitasnya buruk melalui rute oral, dapat
ditingkatkan bioavailabilitasnya dengan memformulasikan sistem penghantaran
mukoadhesif.
Sedangkan, terdapat pula beberapa kerugiannya adalah sebagai berikut.
● Jika MDDS melekat terlalu ketat karena tidak diinginkan untuk mengeliminasi
sediaan setelah digunakan, maka mukosa bisa terluka.
● Beberapa pasien merasa kurang nyaman.
● Pembatasan makan atau minum.

14
2.6 Contoh-Contoh Eksipien

a. Pektin

Pektin adalah polisakarida heterogen alami, dapat terurai secara hayati,


biokompatibel, tidak beracun yang diekstraksi dari kulit jeruk atau apel pomace.
Pektin berisi rantai linear residu asam a-D-galakturonat (1-4) yang memiliki gugus
karboksil. Pemerian pektin adalah bubuk kasar atau halus, putih kekuningan, dan
tidak berbau. Kelarutannya larut dalam air, tidak larut dalam etanol (95%) dan pelarut
organik lainnya. Terdapat dua mekanisme mukoadhesif pektin yaitu pembentukan
ikatan hidrogen dengan mucin dan interaksi elektrostatik antara molekul pektin dan
mucin. Pektin dicampur dengan mucin akan menghasilkan pembentukan agregat.
Peningkatan konsentrasi pektin dalam media berair menyebabkan peningkatan tolakan
elektrostatik dengan musin. Penolakan ini menyebabkan pelepasan rantai polimer
yang memfasilitasi lebih banyak keterikatan dan adhesi (Chatterjee et al, 2017).
Konsentrasi yang biasa digunakan berkisar antara 1-5% dan pKa dari pektin adalah
2.8-4.1 (Saroj et al, 2013).

b. Alginat

Alginat adalah polimer anionik alami dan biodegradable yang biasanya


diperoleh dari rumput laut coklat. Memiliki toksisitas rendah dan biaya yang relatif
rendah sehingga banyak digunakan dalam berbagai penelitian. Sebagian besar yang
digunakan dalam farmasi adalah bentuk garamnya yaitu natrium atau kalsium alginat.

15
Asam alginat adalah bubuk berserat, tanpa rasa, praktis tidak berbau, putih sampai
kekuningan. Kelarutannya larut dalam alkali hidroksida, menghasilkan larutan kental;
sangat sedikit larut atau praktis tidak larut dalam etanol (95%) dan pelarut organik
lainnya. Asam alginat mengembang dalam air tetapi tidak larut; ia mampu menyerap
200–300 kali berat airnya sendiri. Alginat memiliki sifat mukoadhesif yang baik
karena adanya gugus asam karboksilat yang menyebabkan ikatan H dengan
glikoprotein musin. Dalam pH asam alginat tidak mengembang banyak sehingga
menyebabkan coiling dari rantai polimer. Uncoiling rantai polimer meningkatkan
kemungkinan terjeratnya lapisan mukosa dan karenanya terjadi lebih banyak
mucoadhesion (Chatterjee et al, 2017). Konsentrasi asam alginat yang digunakan
yaitu sekitar 0.5-4% dengan nilai pKa adalah 1.5-3.5 (Kesavan et al, 20101).

c. Asam Hialuronat

Asam hialuronat merupakan biopolimer anionik dengan berat molekul

tinggi terdiri dari unit disakarida dari Asam D-glukuronat dan N-asetil-D-

glukosamin dengan ikatan β (1 → 4) inter glikosidik. Sodium hyaluronate

digunakan sebagai komponen MDDS untuk mengantarkan obat ke otak melalui

pemberian intranasal. Struktur coil acak HA dalam larutan yang mempengaruhi


bioadhesif HA oleh keterikatan dengan lapisan mukosa (Chatterjee et al, 2017). Pada
asam hialuronat tersubstitusi tiol (HA-SH) mukoadhesi ditingkatkan dengan adanya
ikatan disulfida antara gugus sulfhidril dari polimer dan sistein pada mucus (Griesser
et al, 2018). Konsentrasi yang digunakan adalah 0.25-3% dan pKa dari asam
hialuronat yaitu 3-4 (Soo & Seo, 2008).

16
d. Chitosan

Chitosan atau 2-Amino-2-deoxy-(1,4)-b-D-glucopyranan; chitosani


hydrochloridum; deacetylated chitin; deacetylchitin; b-1,4-poly-D-glucosamine; poly-
D-glucosamine; poly-(1,4-b-D-glucopyranosamine) merupakan serbuk tak berwarna
atau serbuk berwarna putih atau kream sampai putih. yang memiliki kelarutan agak
larut air, praktis tidak larut etanol 95 %. Stabil dalam suhu ruangan, dan harus
disimpan pada temperatur 2-8 oC. Chitosan bersifat inkompatibilita dengan senyawa
yang bersifat pengoksidasi kuat. Chitosan merupakan mucoadhesive semisintetik
yang merupakan hasil deasetilasi dari kitin dan bersifat biodegradable. Chitosan juga
merupakan viscosity-enhancing yang sangat baik pada lingkungan asam. Viskositas
akan meningkat dengan peningkatan konsentrasi Chitosan, penurunan temperatur dan
peningkatan derajat deasetilasi. Sebagai muchoadhesif diguanakan dalam konsentrasi
0,5% w/v (Lueßen, 1996).
Mekanisme pelekatan pada mukosa terjadi pada saat chitosan bermuatan
positif pada pH netral, berikatan dengan muatan negatif dari residu asam sialat dari
glikoprotein mucosa.Adapun fungsi lain dari chitosan adalah sebagai coating agent;
disintegrant; film-forming agent; tablet binder; viscosity increasing agent.

17
Chitosan adalah polimer kationik yang sangat cocok untuk penggunaan
formulasi obat mata. Selain mukoadhesif, ia memiliki sifat pembasah yang baik dan
biodegradable, biokompatibel dan memiliki toleransi okuler yang baik. Ini juga
pseudoplastik dan viskoelastik dalam larutan.
Formulasi larutan chitosan dari hidung telah terbukti kurang toksik bagi epitel
bersilia dibandingkan STDHF dan mampu menghasilkan bioavailabilitas absolut 31%
untuk analgesik,morfin-6-glukuronida, pada domba. Selain itu, kitosan telah terbukti
meningkatkan penyerapan insulin melalui hidung (berat molekul 5,8 kDa) pada tikus
dan domba.

18
Chitosan dan turunannya telah menunjukkan mukoadhesi yang nyata dalam
kontak dengan mukosa GI. Absorpsi insulin dalam usus yang dimuat dalam liposom
yang dilapisi kitosan ditunjukkan. Kadar glukosa darah berkurang secara signifikan
setelah pemberian dosis tunggal liposom ini pada tikus.

e. Polycarbophil

Polycarbophil atau Noveon AA-1, Carbopol EX55 merupakan polimer asam


akrilat yang dicrosslinked dengan divinyl glycol. Polycarbophil merupakan bubuk
polimer agak lunak, putih hingga pudar-putih, dengan sedikit bau asetat. Senyawa ini
tidak larut dalam air tapi dapat swelling dengan adanya air sekitar 1000 kali volume
semula. Polycarbophil sangat hygroskopis dan harus dikemas dengan baik dengan
wadah yang tahan korosif. Dengan adanya penambahan cationic polymers, strong
acids, and electrolytes yang tinggi dapat menurunkan viskositas dari gel yang
formulasinya menggunakan basis polycarbophil. Sebagai bahan mucoadhesif,
polycarbophil akan terhidrasi kemudian akan membentuk ikatan hidrogen antara asam
karboksilat tak terionisasi dari polikarbofil dan mucin. Selain sebagai mucoadhesif
bahan ini juga berfungsi sebagai adsorbent; controlled-release agent; emulsifying
agent; suspending agent; tablet binder; thickening agent. Sebagai muchoadhesif
diguanakan dalam konsentrasi 0,25 atau 0,32 % w/v (Lueßen, 1996).
Polycarbophil merupakan bioadhesif yang sangat bagus untuk sediaan buccal,
ophthalmic, intestinal, nasal, vaginal, and rectal applications. Buccal tablets
menggunakan polycarbophil menunjukkan gaya bioadhesif yang tinggi dan
memperlama waktu tinggal, dan terbukti tidak mengiritasi pada percobaan in vivo di
mukosa buccal pada manusia.
Sublingual tablet buprenorphine di formulasikan menggunakan polycarbophil
menunjukkan kekuatan mucoadhesif yang lebih besar dibandingan dengan carbomer.
menunjukkan keberhasilan pengurangan laju pengosongan lambung klorotiazid
menggunakan polimer asam akrilat (polikarbofil) sebagai bioadhesif. Formulasi

19
tersebut dalam bentuk mikropartikel (diameter rata-rata 505 μm) polikarbofil104
dicampur dengan manik-manik albumin susteined release (rasio 3: 7 b / b albumin
terhadap polikarbofil) dimasukkan ke dalam kapsul gelatin. Hasil mereka
menunjukkan bahwa 90 persen dari manik-manik albumin-polycarbophil tetap di
perut setelah 6 jam dan bahwa polycarbophil terikat pada permukaan sel musin-epitel
lambung.
Polycarbophil digunakan pada formulasi azitromisin dengan nama AzaSite /
Durasite® (Inspire Pharmaceuticals). Telah terbukti menunjukkan bioavailabilitas
yang lebih tinggi dibandingkan dengan tetes mata berair konvensional. Dengan
paparan air mata, polikarbofil membengkak dan terjerat dengan mucin pada
permukaan mata. Ikatan hidrogen juga ada antara asam karboksilat tak terionisasi dari
polikarbofil dan mucin.

f. Carbopol

Carbopol atau Acrypol; Acritamer; acrylic acid polymer; carbomera;


Carbopol; carboxy polymethylene; polyacrylic acid; carboxyvinyl polymer; Pemulen;
Tego Carbomer merupakan serbuk yang berwarna putih, halus, bersifat asam,
higroskopis dengan sedikit bau. Carbopol atau Carbomer mengembang dalam air
dan gliserin setelah dinetralisasi dengan etanol 95%. Senyawa ini terdispersi pada
air membentuk dispersi koloidal asam, dan viskositasnya akan meningkat dengan
proses netralisasi atau penambahan basa. Carbopol dengan konsentrasi 4-5% dari
formulasi akan memberikan sifat mucoadhesif. Carbopol sebagai polimer polianionik
yang memiliki banyak gugus karboksil. Muatan anionik ini akan berinteraksi
dengan musin membentuk suatu belitan antara polimer dengan mucin dan
mengembang dalam medium cair serta akibat adanya ikatan hidrogen yang berasal
dari gugus karboksil dari carbomer sehingga menghasilkan sifat mukoadhesif.
Carbomer berubah warna dengan resorsinol dan inkompatibel dengan fenol,

20
kationik polimer, asam kuat, dan elektrolit konsentrasi tinggi. Kegunaan lain dari
carbopol adalah sebagai controlled-release agent; emulsifying agent; emulsion
stabilizer; rheology modifier; stabilizing agent; suspending agent; tablet binder.
Sebagai muchoadhesif digunakan dalam konsentrasi 0,25 atau 0,1 % w/v (Lueßen,
1996).
Sifat mucoadhesive carbopol telah terbukti meningkatkan penyerapan oral
obat yang diserap dengan buruk, termasuk insulin, buserelin obat peptida dan model
obat peptida 9 desglycinamide, vasopresin 8-arginin. Dalam kasus terakhir,
penyerapan di seluruh jaringan usus tikus meningkat 330% oleh polycarbophil.
Sebuah sistem pengiriman mukoadhesif baru telah dikembangkan untuk pengiriman
oral peptida desmopresin asetat.

Studi terbaru menunjukkan bahwa selain efek mukoadhesif mereka, polimer ini juga
dapat meningkatkan ketersediaan hayati oral dengan menghambat enzim yang
menonaktifkan jumlah obat di saluran GI. Kedua polimer telah terbukti sebagai
inhibitor poten dari enzim proteolitik usus trypsin. Penghambatan trypsin ditemukan
tergantung pada waktu penambahan Ca2 + dan baik polycarbophil dan carbomer
menunjukkan kemampuan mengikat Ca2 + yang kuat. Jumlah Ca2 + habis dari
struktur trypsin akan sebanding dengan pengurangan aktivitas enzim.

g. Carboxymethylcellulose Sodium (CMC-Na)

BM: 263.2 g/mol


pKa: 4.3
Sinonim: Carmellose sodium, CMC-Na
Nama kimia: carboxymethyl ether cellulose sodium

21
Kelarutan: Praktis tak larut dalam aseton, etanol (95%), eter dan toluen. Mudah
terdispersi dalam air pada semua temperature, membentuk larutan kolid jernih.
Kelarutannya dalam air bervariasi bergantung derajat substitusinya (DS).
Aplikasi CMC-Na yang digunakan sebagai polimer mukoadhesif dengan
konsentrasi 1-3% pada sistem penghantaran buccal (Prakasam, 2014). CMC-Na
membentuk ikatan hidrogen dengan mucin-type glycoprotein melalui interaksi
karboksil–hidroksil. Mucoadhesive CMC lebih baik dari pada HPMC karena CMC
merupakan polimer anionik sehingga ikatan hidrogen yang terbentuk lebih kuat dan
memiliki gugus karboksil (Fini, 2011 dan Chatterjee, 2017).

h. Carrageenan

Karagenan dibagi menjadi tiga famili berdasarkan posisi gugus sulfat dan ada atau
tidaknya anhidrogalaktosa, yaitu:
a. L-karagenan merupakan polimer non-gel yang mengandung 35% ester sulfat
namun tidak mengandung 3,6- anhidrigalaktosa.
b. I-karagenan merupakan polimer gel yang mengandung 32% ester sulfat dan
30% 3,6-anhidrogalaktosa.
c. K-karagenan merupakan polimer gel yang sangat baik dan mengandung
struktur khusus yang mengandung 25% ester sulfat dan 34% 3,6-
anhidrogalaktosa.
Carrageenan digunakan sebagai polimer mukoadhesif dengan konsentrasi 1,5
% karagenan atau kemampuan sebagai polimer mukoadhesif dapat ditingkatkan
dengan co-processed antara karagenan:gelatin dengan perbandingan 1:1 (Bonferini,

22
2004). Carrageenan digunakan sebagai polimer mukoadhesif pada sistem
penghantaran bukal, vaginal, dan okular. Karageenan memiliki sifat mukoadhesif
pada daerah orofaringeal. Gugus hidroksil yang berperan penting dalam pembentukan
ikatan hidrogen sehingga mempunyai sifat mukoadhesif. Gugus hidrofil ini akan
mengikat air sehingga air akan terjerap pada matriks. Penjerapan air ini dapat
meningkatkan fleksibilitas pada rantai polimer dimana rantai polimer yang
fleksibel dapat membantu dalam penetrasi dan pembelitan rantai polimer dengan
lapisan mukosa sehingga meningkatkan sifat adhesi. Selain itu, gugus hidrofil juga
berfungsi dalam membentuk ikatan hidrogen dengan jaringan biologis dalam hal ini
jaringan epitel pada saluran pencernaan.

i. Hydroxypropyl Methylcellulose (HPMC)

BM: 1261.4 g/mol


pKa: 5.39
Sinonim: Hypromellose
Pemerian: Berupa serbuk putih atau hampir putih, tidak berbau, tidak berasa.
Kelarutan: Larut dalam air dingin, praktis tidak larut dalam kloroform, etanol (95%)
dan eter; namun larut dalam campuran etanol dan klorometana, campuran metanol
dan diklorometana, dan campuran air dan alkohol. Larut dalam larutan aseton
encer, campuran diklorometana dan propan-2-ol, dan pelarut organik lain.
Hidroksipropil metilselulosa (HPMC) merupakan bahan tambahan yang
digunakan sebagai matriks bioadhesive, matriks penyalut, matriks sustained release,
bahan pengemulsi, matriks mukoadhesif, bahan pensuspensi, matriks extended
release, dan matriks dalam modifikasi pelepasan.
HPMC merupakan polimer semisintetis yang bersifat polimer hidrofilik dan
biodegradable yang dapat terdegradasi oleh enzim selulosa. HPMC digunakan dengan
konsentrasi 1-3% sebagai polimer mukoadhesif (Prakasam, 2014). Gugus hidrofilik

23
pada polimer mukoadhesif atau HPMC ini akan berikatan dengan gugus hidroksil
pada mukus dengan membentuk ikatan hidrogen (Fini, 2011). Hal ini menyebabkan
turunnya tegangan permukaan mukus.

j. Guar Gum

Guar gum merupakan suatu polisakarida hidrokolid dengan BM tinggi yang


mengandung galactan dan mannan yang terhubung melalui ikatan glikosida.
Kelarutan dari guar gum yaitu praktis tidak larut di pelarut organik. tetapi di dalam air
dingin dan panas guar gum terdispersi dan mengembang membentuk suatu massa
kental. (Rowe, Raymond., et al. 2009). Konsentrasi yang digunakan untuk menjadi
suatu mukoadhesif adalah 3%. Guar gum memiliki kemampuan swelling yang cukup
baik dan memiliki sifat mukoadhesif yang bagus.
Mekanisme polimer mukoadhesif dari guar gum adalah guar gum
mekanismenya yaitu swelling dan memfasilitasi pembentukan interaksi perekat antara
guar gum dan mukosa dan berkontribusi pada pembentukan lapisan kohesif yang
lebih luas, sehingga menghasilkan waktu yang lama dalam penempelan pada mukosa.
(Shaikh, Pawar & Kumbhar, 2012). Guar gum menghasilkan ikatan hidrogen
dengan musin sehingga mampu menghasilkan efek mukoadhesif. Selain itu,
gugus hidroksil mampu menarik dan menjerap air dari medium sehingga
menyebabkan terbentuknya rantai belitan antara polimer dengan musin sehingga
akhirnya terjadi adhesi antara polimer dengan musin.

24
k. Gelatin

Gelatin memiliki nama lain Glatina; Gelatin; Instagel; Kolatin; Solugel;


Vitagel. pemerian dari gelatin adalah berwarna kuning, praktis tidak berbau dan
berasa, tersedia dalam translucent sheets, granul ataupun serbuk. Berat molekul
gelatin adalah 20.000 - 200.000 bergantung pada banyaknya gugus amin yang terikat
pada struktur. Kelarutannya adalah praktis tak larut pada aseton, kloroform, etanol
(95%), eter dan metanol. Larut dalam gliserin, asam dan basa, namun asam atau basa
kuat dapat mengakibatkan presipitasi. Sedangkan dalam air, gelatin mengembang
dengan kemampuan sebanyak 5-10 kali air. Gelatin dapat larut dalam air dengan
suhu diatas 40°C membentuk larutan koloid, dan membentuk gel pada suhu 35-40°C.
Sistem gel-padat ini bersiat thiksotropik dan heat reversible (dapat kembali ke
bentuk semula dengan pemanasan). (Rowe, Raymond., et al. 2009).
Gelatin dapat digunakan sebagai polimer mukoadhesif dalam konsentrasi 1-
2% pada sistem penghantaran obat GIT, bukal, ocular dan vaginal. Gelatin kering
stabil di dalam udara. Sedangkan, gelatin cair stabil untuk waktu yang lama pada
kondisi tempat penyimpanan yang dingin tapi akan terdegradasi oleh bakteri. Pada
temperature dibawah 50 C, larutan gelatin akan depolimerisasi serta akan menurunkan
kekuatan gel.
Gelatin merupakan material amfoterik akan bereaksi dengan asam dan basa.
Gelatin merupakan protein dan memiliki karakteristik kimia seperti dapat terhidrolisis
oleh enzim proteolitik akibat kandungan asam aminonya. Gelatin juga dapat
bereaksi dengan aldehid dan gula aldehid, polimer anionic dan kationik, elektrolit,
ion logam, plasticizer, pengawet, pengoksidasi kuat dan surfaktan. Selain itu
gelatin dapat mengendap akibat alkohol, kloroform, eter, garam merkuri dan asam
tannat

25
Mekanisme mukoadhesifnya adalah gelatin memiliki sifat anionik yang dapat
membentuk ikatan hidrogen dengan mucin-tipe glikoprotein melalui interaksi
karboksil–hidroksil dan gugus amino. Protein mukus menjadi bersifat polielektrolit
anionik kalau berada dalam bentuk muatan negatif sehingga memberikan kemampuan
interaksi yang lebih baik dengan residu asam amino polimer gelatin, melalui ikatan
ionik antara anion mukus dengan kation polimer gelatin. (Bonferoni et al., 2004 ;
Wang, Tabata, Bi & Morimoto, 2001 )

l. Polyethylene Oxide (PEO)

Polyethylene Oxide (PEO) memiliki nama lain yaitu Polyox; polyoxiante;


polyoxirane; polyoxyethylene. Rumus molekul PEO adalah (CH2CH2O)n. PEO
memiliki berat molekul yang cukup besar yaitu 100.000 - 7.000.000 g/mol yang
dimana berat molekunya memenuhi atau bagus untuk menjadi polimer mukoadhesif.
Kelarutan dari polyethylene oxide adalah larut dalam air dan beberapa pelarut organik
seperti, asetonitril, kloroform, dan alkohol. (Rowe, Raymond., et al. 2009). PEO
memiliki sejumlah sifat penting untuk mukoadhesi yaitu dari kelarutannya dalam air,
hidrofilisitas, berat molekul tinggi, fungsi ikatan hidrogen, dan biokompatibilitas yang
baik.
Mekanisme kerja PEO sebagai polimer mukoadhesi adalah mengikuti teori
difusi (interpenetrasi). Polimer memiliki struktur rantai linier panjang yang membantu
mereka membentuk jaringan interpenetrasi yang kuat dengan mukus. (Dow, 2013)

26
(Yadav, et. al, 2010)

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Mukoadhesif adalah salah satu sistem penghantaran obat yang memanfaatkan
sifat-sifat mucin dalam mukosa saluran cerna. Sistem penghantaran ini dapat
digunakan untuk memformulasikan sediaan lepas terkendali dengan tujuan

27
memperpanjang waktu tinggal obat tersebut di saluran cerna dan mengatur kecepatan
serta jumlah obat yang dilepas. Sistem penghantaran obat mukoadhesif ini dapat
dimanfaatkan untuk mengembangkan sediaan bukal, sublingual, vaginal, rektal,
nasal, okular, serta gastrointestinal.

3.2 Saran
Perlu dipelajari lebih lanjut mengenai eksipien mukoadhesif, fisiologi
mukosa, mekanisme terbentuknya sifat mukoadhesif dengan permukaan jaringan
tubuh, serta manfaat eksipien mukoadhesif pada sistem penghantaran sediaan farmasi.

DAFTAR PUSTAKA

28
Anil, Anjana., & Sudheer, Preethi. (2018). Mucoadhesive polymers: A Review. Krupanidhi
College of Pharmacy: Chikkabellandur. Journal of Pharmaceutical Research, Vol 17.
Aulton, Michael E. (2013). Aulton`s Pharmaceutics : The Design and Manufacture of
Medicines 4th edition. London, UK: Elsevier.
Boddupalli, B. M., et al. (2010). Mucoadhesive drug delivery system: An overview.
Nalgonda: Journal of Advanced Pharmaceutical Technology & Research.
Bonferoni, Maria Cristina, et al. 2004. Carrageenan-Gelatin Mucoadhesive
Systems for Ion-Exchange Base Ophtlamic Delivery: In Vitro and Preliminary In
Vivo Studies. European Journal Pharmaceutics and Biopharmaceutics 57, 465-472.
Chatterjee, B., et al. (2017). Mucoadhesive Polymers and Their Mode of Action: A
Recent Update. Malaysia: JAPS.
Dash, Alekha K,et.al. (2014). Pharmaceutics: Basic Principles and Application to Pharmacy
Practice. Oxford, UK: Elsevier.
Dow (Pharma & Food Solution). (2013). POLYOX Water Soluble Resins Combining
Flexibility with Consistency. Retrieved 1 December 2019, from
http://msdssearch.dow.com/PublishedLiteratureDOWCOM/dh_08e5/0901b803808e546
7.pdf?filepath=dowwolff/pdfs/noreg/326-00108.pdf&fromPage=GetDoc
Fini, A. et al. (2011). Mucoadhesive Gels Designed for the Controlled Release of
Chlorhexidine in the Oral Cavity. Bologna: MDPI.
Fontinele. Laisa Lis., et al. (2018). Design of bucal muchoadhesive tablets: understanding
and development. Journal of Applied Pharmaceutical Science Vol. 8(02). Doi:
10.7324/JAPS.2018.8223.
Griesser, J., et al. (2018). Thiolated Hyaluronic Acid as Versatile Mucoadhesive Polymer:
From the Chemistry Behind to Product Developments-What Are the Capabilities?
Austria: MDPI.
Hillery, Anya M, et.al. (2005). Drug Delivery and Targeting for Pharmacist and
Pharmaceutical Scientist. London dan New York : Taylor & Francis.
Kesavan, K., et al. (2010). Sodium Alginate Based Mucoadhesive System for Gatifloxacin
and Its In Vitro Antibacterial Activity. Austria: SciPharm.
Khutoryanskiy, Vitaliy V. (2014). Mucoadhesive Materials and Drug Delivery System.
UK: Wiley.
Lueßen, H. L., de Leeuw, B. J., Pérard, D., Lehr, C.-M., de Boer, A. (Bert. G., Verhoef,
J. C., & Junginger, H. E. (1996). Mucoadhesive polymers in peroral peptide drug
delivery. I. Influence of mucoadhesive excipients on the proteolytic activity of

29
intestinal enzymes. European Journal of Pharmaceutical Sciences, 4(2), 117–128.
doi:10.1016/0928-0987(95)00042-9
Prakasam, K. & Rama, B. (2014). Evaluation of Cellulose Polymers for Buccal Film
Formulation of Rasagiline. Bangalore: Asian Journal of Pharmaceutical and Clinical
Research.
Ranade, Vasant V. (2004). Drug Delivery Systems 2th edition. USA : CRC Press.
Rowe, Raymond., et al. (2009). Handbook of Pharmaceutical Excipients 6th edition. USA:
RPS Publishing.
Sandri, G., Rossi, S., Ferrari, F., Bonferoni, M. C., & Caramella, C. M. (2015).
Mucoadhesive Polymers as Enabling Excipients for Oral Mucosal Drug Delivery. Oral
Mucosal Drug Delivery and Therapy, 53–88. doi:10.1007/978-1-4899-7558-4_4
Saroj, B., et al. (2013). Formulation, Optimization and Evaluation of Stomach Spesific In-
Situ Gel of Hydrochlorothiazide. Moksha Pub: IRJP.
Singh, J., et al. (2011). https://www.japsonline.com/admin/php/uploads/209_pdf.pdf.
Retrieved 1 December 2019, from
https://www.japsonline.com/admin/php/uploads/209_pdf.pdf
Soo Bok, Lee., & Seo Yeong, Jeong. (2008). Pilocarpine Hydrochloride Loaded Pluronic
F127/hyaluronic Acid Solutions for a Potential Ocular Delivery. Korea: Kyung Hee
University. Biomaterials Research, Vol. 12.
Tandel, H. (2017). A SYSTEMATIC REVIEW ON MUCOADHESIVE DRUG DELIVERY
SYSTEM. World Journal Of Pharmaceutical Research, 337-366. doi:
10.20959/wjpr20179-9281
Wang, J., Tabata, Y., Bi, D., & Morimoto, K. (2001). Evaluation of gastric mucoadhesive
properties of aminated gelatin microspheres. Journal Of Controlled Release, 73(2-3),
223-231. doi: 10.1016/s0168-3659(01)00288-7
Yadav, V. (2010). Mucoadhesive Polymers: Means of Improving the Mucoadhesive
Properties of Drug Delivery System. Retrieved 1 December 2019, from
https://www.researchgate.net/publication/222712279_Mucoadhesive_Polymers_Means
_of_Improving_the_Mucoadhesive_Properties_of_Drug_Delivery_System

30

Anda mungkin juga menyukai