Anda di halaman 1dari 21

FARMAKOLOGI MOLEKULER

MAKALAH MEKANISME KERJA OBAT PADA


ENZIM

Disusun oleh :
Dinul Fikri (16190000003)
Nursuhar (17200100002)
Qorinha Afiffah (16190000006)
Rina Nurfitriani (16190000015)

Dosen Pembimbing:
Apt. Errol Rakhmad Noordam, M.Farm

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA MAJU
Jalan Harapan No.50 Rt 2 Rw 7 Lenteng Agung Kec. Jagakarsa Jakarta Selatan
Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta 12610
Telp (021) 78894043
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat
dan karunia-Nya yang begitu besar, kami dapat menyelesaikan makalah ini tanpa
halangan suatu apapun. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
Farmakologi Molekuler.

Karena keterbatasan ilmu pengetahuan yang miliki, maka dalam


pembuatan makalah ini kami berusaha mencari sumber data dari berbagai sumber
informasi terutama dari media internet dan beberapa sumber lainnya. kami
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini.

Sebagai manusia biasa, kami sadar dalam pembuatan makalah ini masih
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
sangat kami harapkan dari pembaca guna perbaikan dimasa mendatang.

Jakarta, April 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka kami mendapatkan beberapa
rumusan masalah, diantaranya :
C. Tujuan
Tujuan dari rumusan masalah adalah sebagai berikut :

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Enzim
Enzim merupakan salah satu target kerja obat pada tingkat molekuler
terbanyak setelah reseptor. Beberapa enzim diantaranyya adalah MAO A dan
MAO B, prostagladin-endoperoksida sintase (COX-1 dan COX-2), serta
iodida-deiodinase yang merupakan enzim sebagai target aksi obat analgesik
dan antiddepresan trisiklik.
B. Struktur Substrat
Enzim sebagai target kerja obat berhubungan dengan struktur substrat
enzim. Sebagian besar obat yang bekerja pada enzim, 60% diantaranya
mengalami katalisis pada lokasi aktif suatu enzim, bereaksi secara kimia
dengan suatu kofaktor, atau mengandung struktur kimia yang berhubungan
dengan substrat. Beberapa antibiotika, termasuk antibiotika golongan
penisilin, sefalosporin, dan, karbapenen, bekerja pada serin tipe D-Ala-D-
Ala-karboksipeptidase dan menunjukkan kesamaan dengan struktur terminal
D-Ala-D-Ala pada peptidoglikan bakteri.
Mekanisme aksi dari reaksi pembentukan dinding sel bakteri dimulai
dari terikatnya polisakarida MurNAc-GlcNAc dengan peptida pertama.
Perhatikan bahwa itu berakhir dalam dua D-Ala residu. Langkah pertama
dalam reaksi transpeptidase melibatkan pengikatan enzim (enzim-OH) sampai
akhir D-Ala-D-Ala dari rantai. Reaksi berlangsung ketika salah satu D-Alanin
residu dilepaskan dan enzim menjadi melekat pada ujung peptida. Pada
langkah kedua, sebuah peptidoglikan yang berdekatan dengan struktur
bercabang secara kovalen terkait dengan peptidoglikan pertama membentuk
ikatan silang antara dua polisakarida. Hampir semua bakteri memiliki dinding
sel dan mereka memiliki enzim transpeptidase yang mengatalisis reaksi ini.
Aktivitas enzim ini dihambat oleh penisilin atau β-laktam seperti antibiotika
golongan penisilin dan sefalosporin.

2
Gambar 2.1. Mekanisme aksi antibiotik golongan penisilin dan
sefalosporin.
Selain itu, semua antibiotika ini menjalani katalisis pada enzim dan
menimbulkan asilasi serin di lokasi aktif. Demikian juga dengan penghambat
B-lactamase (yang digunakan untuk mengatasi resistensi B-lactamase) juga
menimbulkan asilasi B-lactamase pada serin dilokasi aktif. Penghambat
berbasis purin dan pirimidin yang merupakan contoh lainnya termasuk DNA
dan RNA polimerase, fosfodiesterase, ribonukleosida-difosfat reduktase,
adenosin deaminase, IMP dehidrogenase, ksantin oksidase, dan timidilat
sintase. Untuk DNA dan RNA pelomerase, sejumlah obat berbasis
deoksinukleosida dikenal sebagai substrat untuk enzim, namun tidak
mengandung ribitil hidroksil yang sangat diperlukan sehingga dapat
menghambat perpanjangan untai polinukleotida. Jadi, obat-obatan ini
bersaing dengan nukleotida alami. Sulfonamida adalah analog struktural dari
asam p-aminobenzoat (yang merupakan substrat dari dihidropteroat sintase)
dan bertindak sebagai penghambat PABA.
Gambar 2.2 mengilustrasikan biosintesis kolesterol dan bagaimana
mekanisme aksi statin dalam menghambat biosintesis kolesterol. Dengan
menghambat sintesis asam L-mevalonat, statin juga menghambat sintesis
perantara isoprenoid yang penting dalam jalur biosintesa kolesterol seperti
farnesil pirofosfat (FPP) dan geranil-geranil pirofosfat (GGPP). Perantara ini
berfungsi sebagai tempat perlekatan lipid yang penting untuk modifikasi
pasca translasional sejumlah protein yang bervariasi, termasuk subunit g dari
protein G , heme-a, lamin nuclear, dan protein Ras yang mengikat GTP
ukuran kecil sehingga protein isoprenilasi memungkinkan terjadinya
perlekatan kovalen, lokalisasi subseluler, dan lalulintas intraseluler dari
protein terkait membran. Ras dan Rho adalah protein pengikat GTP ukuran
kecil yang bersiklus antara keadaan terikat GPD inaktif dan keadaan aktif.
Gambar 2.2. Biosintesis kolesterol dan mekanisme aksi statin.
C. Penghambat Ireversibel Enzim

3
Penghambat ireversible sama-sama terikat ke suatu enzim
menimbulkan perubahan pada lokasi aktif enzim, dan tidak bisa diubah. Peran
utama dari penghambat ireversible ini diantaranya adalah mengubah residu
asam amino yang diperlukan untuk Aktivitas enzim. Penghambat ireversible
seringkali memiliki gugus fungsional reaktif, seperti aldehida, alkena atau
fenil sulfonat. Gugus elektrofilik ini bisa bereaksi dengan rantai samping
asam amino. Komponen asam amino ini adalah residu yang mengandung
rantai samping nukleofilik seperti gugus hidroksi atau gugus sulfhidril,
misalnya asam amino serine, sistein, teronin, atau tirosin.
Pertama, penghambat ireversible membentuk suatu Kompleks non-
kovalen yang reversibel dengan enzim (EI atau ESI). Kemudian, kompleks
ini bereaksi untuk menghasilkan Kompleks EI* irreversible. Kecepatan
pembentukan EI* ini disebut tingkat inaktiv atau kinact. Pengikatan
penghambat ireversible bisa dihambat melalui persaingan dengan substrat
atau penghambat reversible kedua karena pembentukan EI bisa bersaing
dengan es.
Selain itu, sejumlah penghambat reversible dapat membentuk produk-
produk ireversible dengan mengikat kuat ke enzim sasarannya. Penghambat
yang mengikat kuat ini menunjukkan kinetika yang hampir sama dengan
penghambat ireversible kovalen. Seperti terlihat pada gambar 2.4,
penghambat ini mengikat enzim di dalam suatu kompleks EI afinitas rendah
dan kemudian menjalani pengaturan ulang secara lambat sehingga
membentuk kompleks EI yang terikat sangat kuat. Perilaku kinetik ini disebut
slow-binding (pengikatan lambat). Pengikatan lambat sering melibatkan suatu
perubahan karena enzim 'mereda' di sekitar molekul penghambat. Beberapa
contoh dari penghambat yang mengikat lambat ini diantaranya adalah
metotreksat dan alupurinol
Gambar 2.3. Penghambat reversibel yang membentuk suatu produk
ireversibel.
Gambar 2.4. Kinetika dari penghambat ireversibel.

4
Kebanyakan enzim yang dihambat secara irreversible oleh obat
dimodifikasi secara kovalen oleh obat tersebut. Pada kasus lain, pengikatan
terjadi begitu kuat sehingga penghambat tetap terikat selama beberapa jam
atau bahkan beberapa hari, dan ikatan ini dianggap irreversible secara
fungsional.
1. Penghambat Enzim Siklooksigenase
Penemuan senyawa analgesik yang bekerja dengan cara
menghambat enzim siklo-oksigenase dimulai dari penggunaan secara
empiris Kulit batang tanaman Willow di Mesir pada tahun 1500 sebelum
masehi, kemudian Hipocrates meresepkan obat yang sama untuk nyeri
dan demam sejak 400 Sebelum Masehi. Reverend Edmund Stone pada
tahun 1763 menyatakan bahwa Willow Bark bisa digunakan sebagai
pengganti kulit batang Peru sebagai obat demam. Penggunaan
berdasarkan kesamaan dalam hal rasa pahit.
Gambar 2.5. Tanaman willow yang mengandung salisin sebagai
analgesik.
Gambar 2.6. Biosintesis prostaglandin.
Keterangan:
COX = siklooksigenase, NSAID = obat-obatan antiinflamasi non-steroid,
PGH2 = prostaglandin H2, PGE2 = prostaglandin E2, PGF2 =
prostaglandin F2, PGD2 = prostaglandin D2, PFI2 = prostaglandin I2, dan
TX = tromboksan.
Senyawa aktif dari kulit batang Willow yang berhasil diisolasi
pada tahun 1892 adalah Salisin. Senyawa tersebut dihidrolisis menjadi
glukosa dan alkohol salisiklik. Alkohol salisiklik ini kemudian
dimetabolisme menjadi asam salisiklik. Bagaimana mekanisme aksi
analgesik dengan mekanisme kerja pada enzim? Sebelum menjawab
pertanyaan tersebut, akan lebih baik bila kita terlebih dahulu memahami
patologi nyeri dan bagaimana proses biosintesis prostaglandin.
Rasa nyeri menyebabkan terjadinya kerusakan membran sel
sehingga banyak sel mengalami kerusakan dan menimbulkan inflamasi,

5
vasodilatasi pembuluh darah, dan kenaikan suhu badan. Dimulai dengan
terurainya fosfolipid yang merupakan bagian dari membran sel oleh
enzim fosfolipase C menjadi prekursor asam arakidonat. Asam
arakidonat kemudian mengalami peruraian dengan bantuan enzim
siklooksigenase.
Biosintesis prostaglandin dari asam arakidonat terjadi melalui
aktivitas enzim siklooksigenase. Enzim siklooksigenase terdiri dari dua
isoform yaitu, COX-1 dan COX-2 yang masing masing nemiliki peran
yang berbeda.
Siklooksigenase tipe-1 (COX-1) berperan dalam keadaan
fisiologis, antara lain meningkatkan aliran darah ginjal dan melindungi
mukosa lambung dengan cara menurunkan sekresi asam lambung,
sedangkan COX-2 berperan dalam keadaan patologi seperti inflamasi,
nyeri dan kanker. Obat-obatan anti inflamasi non steroid menghambat
aktivitas kedua enzim siklooksigenase tersebut, sementara penghambat
siklooksigenase-2 (COX-2) selektif hanya menghambat COX-2. Obat
NSAID yang tidak selektif seperti aspirin menghambat COX-1 dan juga
COX-2 sehingga sebagai akibat terhambatnya COX-1 terjadi peningkatan
efek samping obat terutama pada penggunaan jangka panjang, yaitu
dapat menurunkan aliran darah di ginjal dan meningkatkan sekresi asam
lambung.
Gambar 2.7. Perbedaan struktur kimia COX-1 dan COX-2.
Gambar 2.8. Selektivitas NSAID terhadap enzim COX-1 dan
COX-2.
Gambar 2.8 menunjukkan selektivitas NSAID terhadap COX-1 dan
COX-2, gambar histogram ke atas panah NSAID yang lebih selektif
terhadap COX-2, sedangkan gambar histogram ke bawah panah lebih
selektif terhadap COX-2.
Enzim siklooksigenase juga berperan di dalam memelihara
keseimbangan homeostatis pembuluh vaskuler. Hal ini terjadi karena
COX-1 berperan di dalam pembentukan tromboksan A2 yang berfungsi

6
dalam vasokonstriksi dan agregasi platelet, sedangkan COX-2 berperan
dalam pembentukan prostasiklin yang merupakan fasodilator dan
antagonis poten dalam agregasi platelet. Salah satu efek samping dari
penggunaan inhibitor COX-2 selektif adalah meningkatkan risiko
penyakit kardiovaskuler yang dapat menyebabkan tromboemboli melalui
penghambatan sintesis prostasiklin tanpa menghambat tromboksan A2.
2. Penghambat Asetilkolinesterase
Penghambat Asetilkolinesterase adalah obat yang memperpanjang
keberadaan asetilkolin setelah dilepaskan dari ujung saraf kolinergik
dengan cara menghambat asetilkolinesterase dan butilkolinesterase.
Penghambat prostetik memiliki afinitas untuk tempat anionik dari
asetikolinesterase dan mencegah asetilkolin berikatan dengan tempat
tesrsebut. Mereka bekerja secara reversibel, merupakan inhibitor
kompetitif enzim, dan bersifat jangka pendek (short-acting). Sebaliknya,
asam mentransfer inhibitor bereaksi dengan enzim dan membentuk
senyawa menengah. Senyawa antara ini tidak dapat dihidrolisis secepat
enzim asetat yang terbentuk dari asetilkolin. Durasi kerja dari
antikolinesterase sangat bervariasi, tergantung pada satbilitas senyawa
antara. Mereka dibagi menjadi durasi menengah (reversibel) dan long-
acting (ireversibel).
Penghambat asetikolinesterase menghasilkan efek yang sebanding
dengan perangsangan berlebihan dari asetikolin di sistem kolinergik,
yaitu stimulasi respons reseptor muskarinik di efektor otonom, stimulasi
dan kemudian depresi di ganglia otonom dan otot rangka, serta stimulasi
reseptor kolinergik di SSP.
Gambar 2.9. (Diambil dari
http://www.atsdr.cdc.gov/csem/cholinesterase/images/acetylcholinesteras
e.png)
Meskipun peran fisiologis AChE dalam transmisi neuron sudah
diketahui dengan baik, AChE masih menjadi focus perhatian penelitian
obat untuk sasaran pengobatan Miastenia Gravis, glukoma, dan penyakit

7
Alzheimer. Keseimbangan sistem homeostatis kolinergik sangat penting
dalam sistem saraf pusat, sistem saraf perifer dan sambungan
neuromuskuler. Beberapa gangguan seperti Myasthenia Gravis dan
Alzheimer terkait dengan gangguan transmisi kolinergik. Kekurangan
kolinergik ditemukan berhubungan dengan penyakit Alzheimer. Jadi ,
salah satu startegi terapIsnya adalah menghambat aktivitas biologis
AChE untuk meningkatkan kadar asetikolin di dalam otak. Saat ini,
sebagain besar obat yang digunakan untuk pengobatan penyakit
Alzheimer adalah penghambat AChE, termasuk senyawa sintesis takrin,
donepezil, dan rivastigmin, ketiganya telah terbukti dapat memperbaiki
keadaan pasien Alzheimer.
Sejauh ini, ada empat obat yang telah diakui Food and Drug
Administration (FDA) untuk mengobat Alzheimer di Amerika Serikat,
yakni takrin, rivastigmin (E2020), donepezil, dan galantamin,
keempatnya cukup berhasil memperlambat neurodegenerasi pada
penderita Alzheimer.
Gambar 2.10. Senyawa penghambat asetilkolinesterase yang
digunakan untuk penyakit Alzheimer.
3. Penghambat β Laktamase
Bentuk resistensi terhadap antibiotika β-laktam yang paling sering
ditemui adalah hidrolisis β-laktam oleh β-laktamase. Meskipun
intermediate (zat antara) asetil-enzim pada D-Ala-D-Ala karbosipeptidae
cukup stabil selama beberapa jam hingga beberapa hari, zat antara β-
laktamase asetil-enzim melakukan hidrolisis dengan kecepatan 100-4000
s-1. Namun , sejumlah β-laktam (termasuk klavulanat, tazobaktam, dan
sulbaktam) membentuk zat antara asetil-enzim yang stabil secara kinetic
dan menonaktifkan β-laktamase.
Keterangan : Enzim β-Laktamase bereaksi dengan substrat,
menghidrolisis cincin sefalosforin (warna orange) dan mebentuk struktur
antara (dalam kurung). Strukrur antara kemudian disusun ulang untuk

8
membentuk produk yang terpisah donor dan akseptornya. Diadaptasi dari
Zlokarnik et. Al, 1998.
Gambar 2.11. (Diambil dari
http://www.bio.davisdon.edu/courses/molbio/molstudents/spring/2000/ric
e/Fig1,jpg).
Penghambat β-laktamase adalah senyawa-senyawa dengan
aktivitas antibakteri yang terbatas. Kelebihan utamanya adalah dapat
membatasi aksi β-laktamase yang merusak, senyawa-senyawa β-laktam
yang lebih aktif, seperti penisilin dan sefalosforin. Saat ini, tersedia
beberapa β-laktamase, termasuk asam klavulanat dan sulbaktam (yang
diuraikan pertama kali pada tahun 1970-an) dan tazobaktam (suatu
turunan sulbaktam, dan diuraikan pertama kali di awal tahun 1980-an).
Aktivitas penghambat dari inhibitor β-laktamase diarahkan terhadap
enzim-enzim yang dimediasi plasmid, termasuk TEM-1, TEM-2, SHV-1,
dan OXA. Penghambat β-laktamase juga menghambat sejumlah enzim
spectrum luas yang berasal dari enzim-enzim TEM dan SHV, yang baru
muncul beberapa tahun belakangan. Semua penghambat ini dapat
menghasilkan efek yang sinergis melawan galur-galur bakteri yang
menghasilkan β-laktamase.
4. Penghambat DNA Polimerase
DNA Polimerase merupakan suatu target kerja obat yang sangat
penting karena perannya dalam replikasi. Penghambat berbasis
deoksinukloetida ini dikenal sebagai substrat untuk enzim dan
menghentikan pemanjangan untai karena penghambat deoksinukleotida
ini tidak memiliki ribitil hidroksil yang diperlukan untuk ligase ke
nukleotida berikutnya. Dalam hal ini, konsekuensi penghambat yang
ditimbulkan dapat diubah. Salah satu obat yang bekerja terhadap DNA
polimerase adala asiklovir. Selain itu, asiklovir (yang bekerja pada virus
herpes) memang menimbulkan inaktivasi enzim secara ireversirbel,
selain penggabungan nukleotida dan penghentian untai.

9
Asiklovir menimbulkan inaktivasi yang tergantung waktu selama
perputaran katalitik dan enzim yang dinonaktifkan tidak akan diaktifkan
kembali setelah desalting (proses penghilangan garam) di suatu kolom
filtrasi jel. Enzim ini diyakini menjalani suatu perubahan ireversibel yang
menghambat untai yang terpisah dan mengandung nukleotida di
tempatnya.
Gambar 2.12. (Diambil dari
http://www.ppdictionary.com/viruses/acylovir_action.Jpg).

D. Penghambat Reversibel
Penghambat reversibel mengikatkan diri secara non-kovalen ke
enzim. Berbagai jenis penghambatan bisa terjadi, tergantung kepada apa
penghambat tersebut mengikatkan diri. Interaksi non-kovalen antara
penghambat dan enzim termasuk ikatan hydrogen, interkasi hidrofobn dan
ikatan ion. Banyak ikatan lemah ini yang bergabung untuk menghasilkan
pengikatan yang kuat dan spesifik. Bertentangan dengan substrat dan
penghambat ireversibel, penghambat reversibel umumnya tidak menjalani
rekasi kimia saat terikat ke enzim dan bisa dibuka dengan mudah melalui
dilusi atau dialysis.
1. Penghambat Nonkompetitif
Meskipun sebagian besar obat berbasis enzim merupakan
penghambat lokasi aktif, sebagian adalah penghambat nonkompetitif
yang tidak mengikatkan diri di lokasi aktif. Penghambat reserve
transkiptase nonnukleosida (termasuk nevirapine) adalah contoh yang
tepat. Analisis dengan kinetika kondisi pra-stabil menunjukkan bahwa
penghambat non-nukleotida tidak menganggu pengikatan nukleotida atau
mengubah penyesuaian yang disebabkan oleh pengkitan nukleotida.
NNRTI menghambat reproduksi HIV lebih cepat pada siklusnya
daripada analognukleosida-nukleotida atau penghambat protease,
mencegah konversi RNA virus menjadi DNA, mengikatkan diri ke DNA,
mengikatkan diri secara langsung ke reverse transcriptase (RT), serta

10
menghambat aktivitas polymerase DNA yang tergantung RNA maupun
yang tergantung DNA dengan menghancurkan lokasi katalitik enzim.
Aktivitas neviramin tidak bersaing dengan template atau trifosfat
nukleosida, HIV-2, dan polymerase DNA tertentu pada manusia.
Gambar 2.13. (Diambil dari
http://pubs.src.org/en/content/articlelanding/2012/cs/c2c35058k)
NNRTI mengikatkan diri di suatu lokasi alosterik dan aktivitas ini
memperlambat katalis kimia sehingga katalisis kimia menjadi tahap
paling lambat dalam reaksi ini. Sebaliknya, pada enzim yang tak
terhambat, perubahan penyesuaian akibat pengikatan nukleotida adalah
tahap yang paling lambat. Ini merupakan suatu pelajaran dalam desain
obat. Pengetahuan tentang nilai konstan kecepatan mikroskopis
merupakan suatu keunggulan kompetitif bagi para pakar enzimologi
yang sedang mengembangkan penghambat nonkompetitif sebagai obat.
Dua penghambat bisa jadi memiliki KI yang sama, namun jika salah satu
memperlambat katalisis 10 kali lipat lebih dari penghambat lainnya, obat
tersebut dianggap lebih kuat.
2. Penghambat Kompetitif
Penghambat kompetitif adalah senyawa-senyawa yang strukturnya
hampir sama dengan substrat dan bersaing dengan substrat untuk
mendapatkan lokasi aktif suatu enzim lalu membentuk suatu kompleks
penghambat enzim. Jika pengmabat menempati lokasi aktif enzim,
penghambat itu akan mencegah pengikatan substrat dan menghentikan
pembentukan produk metabolic normal. Penghambat mengikat enzim
secar reversibel, oleh sebab itu, persaingan bisa dikurangi hanya dengan
menambahkan substrat. Jika substrat yang ada mencukupi, kemungkinan
molekul penghambat akan terikat menjadi kecil, dan reaksi enzim
menunjukkan Vmax normal. Jika nilai konstan Michaelis-Menten
penghambat kompetitif ada, Km akan naik.
Penghambat kompetitif digunakan dalam terapi untuk mengobati
pasien pada keracunan senyawa methanol. Di dalam tubuh manusia,

11
methanol akan diubah menjadi formaldehid melalui reaksi enzim alkohol
dehydrogenase.
Formaldehid merusak banyak jaringan. Akibat yang sering
ditimbulkan adalah kebutaan akrena mata sangat sensitive terhadap
formaldehid. Terapi keracunan methanol dapat menggunakan infusi
etanol secara intravena, etanol bersaing secara efektif dengan methanol
sebagai suatu substrat untuk alkohol dehydrogenase. Etanol juga
merupakan substrat untuk alkohol dehydrogenase yang membentuk
asetaldehid dan asetat. Infusi etanol secara intravena akan memperlambat
pembentukan formaldehid sehingga sebagian besar etanol dapat dieksresi
secara aman melalui urin
Gambar 2.14. (Diambil dari
http://www.anastheslamcq.com/Images/methanol_metab.gif).
Penggunaan obat–obatan terapi sebagai penghambat enzim tertentu
akan menghambat jalur metabolic yang tidak diinginkan di dalam tubuh.
Oleh sebab itu, obat–obatan ini dinamakan anti metabolit. Obat–obatan
anti bakteri, antivirus, dan antitumor termasuk pada kelompok ini.
Pemberian obat–obatan ini kepada pasien dapat menimbulkan toksisitas
ringan karena tidak banyak jalur metabolit kritis yang khas untuk tumor,
virus, atau bakteri. Oleh sebab itu, obat–obatan yang membunuh
organisme ini biasanya akan membunuh sel inang. Anti metabolit adalah
senyawa dengan perbedaan structural yang akan berbeda dari substrat
alami dan termasuk kepada kelompok penghambat enzim kompotitif.
Obat–obatan sulfa, analog structural dari asam amino, antagonis asam
folat, analog purin, dan pirimidin termasuk pada kelompok penghambat
enzim ini.
3. Sulfonamida
Sulfonamida adalah suatu antibiotika yang berguna dalam
pengobatan infeksi saluran kemih. Sebagai suatu analog structural dari
asam p-aminobenzoat (PABA), sulfonamide dapat menghambat
pertumbuhan bakteri dan memiliki struktur kimia yang mirip dengan

12
PABA. PABA adalah suatu bagian structural dari asam folat yang terdiri
dari pteridin, asam p-aminobenzoat dan asam glutamate. Beberapa jenis
bakteri membutuhkan asam folat untuk pertumbuhan dan pembelahan.
Sebagai analog stuktural dari asam p-aminobenzoat, sulfonamide
adalah suatu penghambat yang kompetitif untuk dihidrofolst sintase
bakteri. Dengan demikian bakteri tidak akan mendapatkan folat yang
dibutuhkan sehingga tidak bisa tumbuh dan membagi. Obat ini sangat
toksik terhadap bakteri yang harus menyintesis asam folatnya sendiri.
Karena manusia membutuhkan folat yang bersumber dari makanan
sulfanilamide tidak berbahaya pada dosis yang dapat membunuh bakteri.
Dihidropteroat difostat+ Asam p-aminobenzoat (PABA)
Gambar 2.15.
4. 6-merkaptopurin (6-MP)
6-merkaptopurin (6-MP) pertama kali dikembangkan oleh Hitchings
dan Elion yang memiliki hipotesis bahwa pengembang analog purin
sintetik dapt menghentikan proliferasi sel kanker. Mereka melakukan
sintesis dari senyawa analog purin, salah satunya adalah 6-MP. Namun 6-
MP terbukti dengan cepat dimetabolisme in vivo sehingga peningkatkan
efektivitas dilakukan dengan penambahan cicin imidazole pada atom
sulfur pada posisi 6. Senyawa yang dihasilkan, azatioprin, lebih aktif dan
memiliki profil kemanan yang lebih baik dari 6-MP. Azatioprin direduksi
secara nonenzimatik dan terdegradasi membentuk 6-MP. Proses ini
melalui serangan gugus nukleofilik oleh senyawa sulfhidril yang terdapat
di eritrosit. Selanjutnya, 6-MP mengalami metabolism melalui salah satu
dari empat jalur metabolism antara lain:
a. Hipoksanti-guanin fosforibosi-transferase (HGPRT) dikonversi
menjadi 6-tioi-mosin-5-monofosfat (TIMP)
b. Tiopurin-metiltransferase (TPMT) merupakan enzim yang
mengatalisis S-metilasi untuk 6-metil merkaptopurin (senyawa aktif)
c. Ksantin-oksidase (XO) mengatalisis oksidasi asam-6-tioric (senyawa
aktif)

13
d. Aldehid oksidade (AO) mengonversi ke dalam bentuk 6-TG
metabolit dihidroksi (senyawa aktif)
Kompetisi secara enzimatik untuk substrat 6-MP adalah sangat kuat
dan akan mengurangi jumlah 6-MP yang akan dikonversi ke TIMP lebih
lanjut. Jalur ini penting kerena dapat menghabat metabolism yang terlibat
dalam degradasi 6-MP, misalnya penggunaan inhibitor ksanti oksidade
(allopurinol) dapat secara dramatis meningkatkan jumlah tersediannya6-
MP untuk dikonversi menjadi bentuk aktif 6-MP diubah menjadi TIMP,
selanjutnya TIMP kemudian diubah menjadi 6-tioguanosin-5 monofosfat
(6-tioguano-sine-5`monophosphate/TGMP). TGMP selanjutnya
dimetabolisme melalui serangkaian enzim reductase untuk membentuk
metabolit 6-TGN, yaitu deoksi-6-tioguanosin-5`-trifosfat
(DGS).kemudian masuk ke dalam DNA sebagai basa palsu dan
menghambat proses siklus sel apoptosis.
Gambar 2.16
Gambar 2.17
Salah satu penghambat enzim kompetitif sebagai obat terapi gout
adalah alupurinol. Gout merupakan penyakit gangguan metabolism yang
ditandai dengan hiperurisemia yang ditandai dengan peningkatkan kadar
asam urat yang tinggi (>6,8 mg/dl(>360 mmol) sampai siambang batas
fisiologis. Gout bermanifestasi sebagai jaringan lunak Kristal
monosodium urat monohidrat yang dapat memicu serangan artritis akut
dengan sakit yang luar biasa. Anti-hiperurisemia merupakan agen
farmakologi dengan target asam urat yang berhasil melalui aktivitas
enzim ksanti oksidase yang merupakan produk akhir dari katabolisme
purin nukleotida
Alupurinol dan metabolit utamanya-oksipurinol bekerja dengan
menghambat aktivitas ksanti oksidase dan juga menekan produksi asam
urat. Alupurinol dan oksipurinol memiliki inti dasar purin. Enzim urikase
mengoksidasi asam urat yang larut sebagai senyawa alantoin yang larut
dan menghasilkan peroksida oksidan sebagai produk

14
sampingannya.hampir semua urat yang beredar akan mngealami
penyaringan di glomerulus dan hanya sebagian kecil(10%) dieksresikan
dalam urin sebagai asam urat.
5. 5-fluoroutasil (5-FU)
5-fluoroutasil (5-FU) adalah suatu analog tiamin yang gugus metil
tterikat pada cicinnya digantikan oleh fluorin. Deoksinukleotida dari
senyawa ini adalah suatu penghambat timidilat sintetase. 5-FU
mengalami biotransformasi menjadi ribosil dan metabolit deoksiribosil
nukleotida. 5-fluoroutasil trifosfat yang dipadukan dalam RNA
mengganggu pengolahan dan fungsi RNA.
Gambar 2.18.
Penggabungan 5-fluoroutasil kedalam deoksiribonukleotida, 5-
fluorodeoksiuridin monofosfat, menimbulkan penghambatan enzim
timidilat sintetase secara inversibel dan membuat sintesis timidilat (TMP)
tidak terjadi . penghambatan pembentukan timidin monofosfat ikut
menghambat sintesis DNA dan penggandaan sel. 5-FU adalah suatu obat
antivkanker yang sangat penting dalam pengobatan berbagai tipr tumor
padat. Sitosin arabinosida, ara-C, juga termasuk pada gugus antagonis
pirimidin. Nukleosida ini merupakan suatu agen khusus dalam
pembagian sel fase-S yang digunakan dalam terapi leukemia non-limfosit
akut dan jarang digunakan dalam pengobatan penyakit hematologi
maligna lainnya. Sitosin arabinosida intrasel dimetabolisasi kedalam
bentuk aktif (yakni ara-CTP) yang menghambat polymerase DNA secara
kompoetitif sehingga sintesis DNA terhambat.
E. Penghambat Nonkompetitif /Campuran
Penghambat nonkompetitif bekerja dengan cara mengurangi aktifitas
enzim. Secara khusus, penghambatan nonkompetitif adalah sejenis
penghambatan campuran. Penghambatan nonkompetitif memiliki afinitas
yang seimbang dengan kompleks enzim substrat dan enzim.
Mekanisme penghambatan nonkompetitif menghambat model suatu
system sedemikian rupa sehingga penghambat dan substrat harus mengikat

15
diri ke enzim pada saat tertentu. Kompleks penghambatan substrat enzim
tidak akan pernah membentuk suatu produk, sementara itu kompleks ini harus
diubah menjadi kompleks substart enzim atau sebagai kompleks
penghambatan enzim.
Mekanisme yang palig lazim digunakan untuk penghambatan
nonkompetitif di antaranya pengikatnya terbalik penghambatan nonkompetitif
ke suatu lokasi alosterik enzim. Penghambatan nonkompetitif ini harus
mengikat secara langsung ke lokasi aktif suatu enzim. Penghambatan
nonkompetitif berbeda dari penghambatan kompetitif karena beberapa hal,
yaitu:
1. Pengikatan penghamabatan nonkompetitif tidak mencegah pengikatan
substart ke enzim seperti yang terjadi pada penghambat kompetitif.
2. Penghambatan nonkompetitif juga mencegah pembentukan produk
3. Penghambatan nonkompetitif akan mengurangi kecepatan maksimum
suatu rekasi enzim tanpa menimbulkan perubahan nyata pada afinitas
pengikatan katalis untuk molekul substart.
F. Contoh Jurnal Internasional

16
BAB III
PENUTUP

(1) Kesimpulan
(2) Saran
Semoga makalah ini berguna bagi pembaca, khususnya mahasiswa.
Namun, alangkah baiknya jika pembaca tidak puas dengan materi yang kami
buat dan bisa lebih memahami materi tentang makalah Farmakologi tentang
Mekanisme Kerja Obat Pada enzim ini.

17
DAFTAR PUSTAKA
1. Bjelakovic, G., Stojanovic, I., Bjelakovic, GB., Pavlovic, D., Kocik, G,
dan Dakovic-Milic, A. Competitive inhibitors of enzymes and their
therapeutic application. Facta Universitatis 9 (2): 201-206, 2002.
2. Geldenhuys, WJ., Youdim, MB., Carrol, RT and Van der Schyft, C. The
emergence of designed multiple ligands for neurodegenerative disorders.
Progress in Neurobiology 94 (4): 347-359,2002
3. Johnson, DS., Weerapana, E dan Crovatt, BI. Strategies for discovering
and derisking covalent, irreversible enzyme inhibitors. Future Med Chem
2 (6): 949-964, 2010.
4. Robertson, JG. Enzyme as a special class of therapeutic target: clinical
drugs and modes of action. Current Opinion in Structural Biology 17:674-
679, 2007.
5. Robertson, JG. Mechanistis Basis of Enzyme-Trageted Drugs.
Biochemistry 44(15): 5561-5570, 2010.
6. Riak-Andersen, M., Almen, MS dan Schioth, HB. Trends in the
Exploitation of Novel Drugs Targets. Nature Revuews 10:579-590, 2011.
7. Shin-Hua Lu, Josephine W Wu, Hsuan-Liang Liu, Jian-Hua Zhao, Kung-
Tien Liu, Chih-Kuang Chuang, Hsin-Yi Lin, Wei-Bor Tsai dan Tih Ho.
The discovery of potensial acetylcholinesterase inhibitors: A combination
ph [hrmacophore modeling, virtual screening, and molecular docking
studies. Journal of Biomedical Science, 18:8, 2011 doi: 10.1186/1423-
0127-18-8).
8. Takemoto, M., Liao, JK. Pleotropic effects of 3-hydroxy-3-methylglutaryl
coenzyme A redyctase Inhibitors Arteioscler Thromb Vasc Biol 21:1712-
1219, 2001.
9. Terketaub, R. Update pn gout: new therapeutic strategies and options.
Diambil dari www.nature.com/nnrheum

18

Anda mungkin juga menyukai