Anda di halaman 1dari 116

PREPARASI DAN KARAKTERISASI SUBMIKRO PARTIKEL

KITOSAN DAN NATRIUM ALGINAT PEMBAWA PATI


BENGKUANG DAN UJI PENCERAH KULIT
SECARA IN VIVO

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


Sarjana Farmasi (S.Farm.) di bidang studi Farmasi
Fakultas MIPA

Oleh :

AGUSTIN MAYANG PUTRI


08061381419077

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018
i
HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI

Judul Skripsi : PREPARASI DAN KARAKTERISASI SUBMIKRO


PARTIKEL KITOSAN DAN NATRIUM ALGINAT
PEMBAWA PATI BENGKUANG DAN UJI PENCERAH
KULIT SECARA IN VIVO
Nama Mahasiswa : AGUSTIN MAYANG PUTRI
NIM : 08061381419077
Jurusan : FARMASI

Telah disetujui disidangkan pada tanggal Oktober 2018

Inderalaya, Oktober 2018


Pembimbing:
1. Dr.rer.nat. Mardiyanto, M.Si., Apt. (...................................................)
NIP. 197103101998021002

2. Rennie Puspa Novita, M.Farm. Klin, Apt.. (...................................................)


NIPUS. 198711272013012201
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH

Nama Mahasiswa : Agustin Mayang Putri


NIM :08061381419077
Fakultas/Jurusan : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam/Farmasi

Menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri dan
karya ilmiah ini belum pernah diajukan sebagai pemenuhan persyaratan
untuk memperoleh gelar kesarjanaan strata satu (S1) dari Universitas
Sriwijaya maupun perguruan tinggi lain. Semua informasi yang dimuat
dalam skripsi ini yang berasal dari penulis lain baik yang dipublikasikan
atau tidak telah diberikan penghargaan dengan mengutip nama sumber
penulis secara benar. Semua isi dari skripsi ini sepenuhnya menjadi
tanggung jawab saya sebagai penulis.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Inderalaya, Oktober 2018


Penulis,

Agustin Mayang Putri


NIM. 08061381419077
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Sriwijaya, yang bertanda tangan di bawah


ini:
Nama Mahasiswa : Agustin Mayang Putri
NIM : 08061381419077
Fakultas/Jurusan : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam/Farmasi
Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui untuk


memberikan kepada Universitas Sriwijaya “hak bebas royalti non-
ekslusif” (non-exclusively royalty-free right) atas karya ilmiah saya yang
berjudul: “Preparasi dan Karakterisasi Submikro Partikel Kitosan dan
Natrium Alginat Pembawa Pati Bengkuang dan Uji Pencerah Kulit Secara
In Vivo” beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan hak bebas
royalti non-ekslusif ini Universitas Sriwijaya berhak menyimpan,
mengalihmedia/memformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data
(database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir atau skripsi saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan
sebagai pemilik hak cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.

Inderalaya, Oktober 2018

Penulis,

Agustin Mayang Putri


NIM. 08061381419077
HALAMAN PERSEMBAHAN DAN MOTTO

(Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha


Penyayang)

Saya persembahkan skripsi ini kepada almamater, keluarga tersayang,


Serta teman-teman seperjuangan Farmasi

“Karena sesungguhnya, sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila


kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh
(urusan) yang lain, dan hanya kepada Rabb-mulah hendaknya kamu berharap”
(QS. Al-Insyirah : 5-8)

Motto:

Sesuatu yang belum dikerjakan, seringkali tampak mustahil


kita baru yakin kalau kita telah berhasil melakukannya dengan
baik.

-Evelyn Underhill-

Failure only happens when we give up


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa Ta‟ala


karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis akhirnya dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi yang berjudul “Preparasi dan Karakterisasi Submikro Partikel
Kitosan dan Natrium Alginat Pembawa Pati Bengkuang dan Uji Pencerah Kulit
Secara in vivo”. Shalawat beserta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi besar
Muhammad Shallallahu 'alaihi Wasallam. Penyusunan skripsi ini dilakukan untuk
memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) pada
Jurusan Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Sriwijaya.
Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan
dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini, penulis
menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. Papa dan Mama tercinta, Agus Syafri, S.Ag dan Putrimawati, S.PdI, yang
telah sabar dan tak henti-hentinya menyemangati, memberikan doa,
dukungan moral maupun materil kepada penulis dalam menyelesaikan
perkuliahan hingga selesai.
2. Adik-adikku tersayang, Ari Julian, Adnia Rianti, Annisa Dhea, Algia
Permata, dan sepupu kecilku Regis Duta yang selalu memberikan keceriaan
saat penulis merasa jenuh serta dukungan yang tiada henti membuat penulis
bersemangat menyelesaikan penelitian.
3. Rektor Universitas Sriwijaya, Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, serta Ketua Jurusan Farmasi yang telah menyediakan
sarana dan prasana selama perkuliahan dan penelitian hingga selesai.
4. Bapak Dr.rer.nat. Mardiyanto, M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing
pertama yang telah meluangkan waktu, serta memberikan ilmu, bimbingan,
kepercayaan dan saran yang membangun kepada penulis selama penelitian
dan penyusunan skripsi ini hingga selesai.
5. Bapak Yosua Maranatha Sihotang, S.Farm., M.Si., Apt. dan Ibu Rennie
Puspa Novita, S.Farm., M.Klin., Apt. selaku dosen pembimbing kedua yang
telah meluangkan waktu dan memberikan ilmu, motivasi, kepercayaan, doa,
saran, dan nasihat kepada penulis selama penelitian hingga penyusunan
skripsi ini selesai.
6. Ibu Laida Neti Mulyani, M.Si., selaku dosen pembimbing akademik atas
bimbingan serta saran yang telah diberikan kepada penulis selama
perkuliahan hingga penyusunan skripsi selesai.
7. Ibu Najma Annuria Fithri, S.Farm., M.Sc., Apt., Ibu Laida Neti Mulyani,
M.Si., Ibu Annisa Amriani, S.Farm.,M.Farm., Apt., selaku dosen pembahas
atas masukan dan saran yang telah diberikan kepada penulis selama
penyusunan skripsi.
8. Seluruh dosen, staf, dan analis laboratorium Jurusan Farmasi atas segala
bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis selama
perkuliahan, penelitian, hingga penyusunan skripsi ini selesai.
9. Teman satu tim bimbingan, penelitian, dan revisian Ines Medya, Sheni
Herdina, Farannisa atas segala kesabaran, bantuan, saran, dan nasihat yang
telah diberikan kepada penulis dari awal pengerjaan proposal, penelitian,
seminar hasil, hingga penyusunan skripsi ini selesai.
10. Sahabat Buket Hey Gengs (Irmee, Ridi, nenek coeg) atas suka, duka, tawa,
canda, dan haru selama kuliah dan pengerjaan buket yang mengajarkanku
banyak hal, mulai dari hal konyol sampai hal yang dramatis. Senang bisa
mengenal dan dekat dengan kalian.
11. Teman sekamar Magda Della atas semua dukungan, nasihat, dan saran yang
membuat warna dalam menjalani perkuliahan.
12. Pendengar curhat setia sekaligus best partner wisata kulinerku Punpun coeg
atas segala canda, tawa, semua bantuan, dan dukungan yang telah diberikan
kepada penulis hingga penyusunan skripsi ini selesai.
13. Teman penghilang penat disaat galau (kak Gj dkk) yang setia menghibur di
setiap keadaan.
14. Teman-teman seperjuangan Farmasi 2014 atas segala dukungan, motivasi,
suka, duka selama perkuliahan yang telah dilewati, sukses terus untuk kita
semua.
15. Kakak-kakak Farmasi UNSRI 2011, 2012, 2013 dan adik-adik Farmasi
UNSRI 2015, 2016, dan 2017 atas kebersamaan dan bantuan kepada penulis
serta kakak-kakak analis dan admin jurusan (kak Tawan, kak Putri, kak Isti,
kak Fitri, kak Ria, kak Adi, dan kak Erwin) yang telah memberikan ilmu
dan bantuan sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan ini dengan
baik.
16. Sahabat-sahabatku dari SMA (Ayan, Lindut, Dikong, Bik Dai, Ismulee, Fik,
Mbak Din) yang selalu mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan
skripsi, memberi dukungan dan motivasi kepada penulis hingga penulisan
skripsi ini selesai.
17. Teman-teman satu tim PORPROV BABEL yang tidak bisa disebutkan satu
persatu atas dukungan dan arahan kepada penulis untuk semangat
menyelesaikan skripsi ini. Kalian alasan terbaikku untuk cepat
menyelesaikan studi.
18. Teman atlet POMNAS (kak Adit, Lendo, mbak Dina, mbak Oyan, Bone,
pak Jon, pak Somakim, Wulan, Sonya, Xena, Alivia, Surya, Adit, Genta)
atas keceriaan, saran dan dukungan kepada penulis selama perkuliahan.
19. Seluruh atlet akademi catur SUMSEL dan cerpenis dunia mayaku atas saran
dan masukan kepada penulis selama menjalani perkuliahan.
20. Seluruh atlet, pelatih, dan wasit PERCASI yang tidak bisa disebutkan satu
persatu atas motivasi kepada penulis sehingga bersemangat dalam
menyelesaikan skripsi ini.
21. Semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan atas segala bantuan yang
telah diberikan kepada penulis. Begitu banyak kekurangan yang penulis sadari,
oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan dimasa depan. Harapan penulis, semoga skripsi ini bermanfaat untuk
kemajuan ilmu pengetahuan dan ilmu kefarmasian pada khususnya.
Inderalaya, Oktober 2018
Penulis,

Agustin Mayang Putri


NIM: 08061381419077
Preparation and Characterization of Chitosan and Sodium Alginate
Submicron Particles Carrier of Yam bean Starch and Skin Lightening
Testing In Vivo

Agustin Mayang Putri


08061381419077

ABSTRACT

Yam bean (Pachyrhizus erosus (l.) Urban) includes horticultural plants that have
the potential of skin lightening because they contain flavonoid compounds and
whitening agents that can inhibit melanin formation. The making of submicro
particles of chitosan alginate carrying Yam bean starch using ionic gelation
method aims to increase the speed of skin lightening effect due to excessive UV
light on mice exposed to direct sunlight 30 minutes for 7 days. The XRD study
showed changes in the alginate and chitosan particles in the form of crystals to be
amorphous after being submicro particles. Optimum formula of particle submikro
Chitosan alginat carrier of Yam bean starch yields the highest of 82.36% EE% ±
0.001. The results of submicro particle characterization such as diameter, particle
size distribution (PDI), and zeta potential using a particle size analyzer (PSA) are
3071.148 nm; 0.403; and 4.1 mV. The treatment of skin lightening effect test was
differentiated based on variations in submicro particle concentration used in
making gel, 1% for F1, F2 for 2%, and 3% for the F3. In vivo skin lightening test
results showed that the F3 brightened the skin faster than other treatments, (p <
0.05) which showed a significant difference between F3 with negative control and
the positive control.

Keyword: Yam bean (Pachyrhizus erosus (L.)) Urban, Submicro Particles,


Chitosan, Sodium Alginate, UV
Preparasi dan Karakterisasi Submikro Partikel Kitosan dan Natrium Alginat
Pembawa Pati Bengkuang dan Uji Pencerah Kulit Secara In Vivo

Agustin Mayang Putri


08061381419077

ABSTRAK

Bengkuang (Pachyrhizus erosus (L.) Urban) termasuk tanaman


hortikultura yang berpotensi sebagai pencerah kulit karena mengandung
senyawa flavonoid dan whitening agent yang mampu menghambat
pembentukan melanin. Pembuatan submikro partikel kitosan alginat
pembawa pati bengkuang yang menggunakan metode gelasi ionik
bertujuan untuk meningkatkan kecepatan efek pencerah kulit akibat sinar
uv yang berlebih terhadap tikus yang dipaparkan sinar matahari secara
langsung 30 menit selama 7 hari. Studi XRD menunjukkan perubahan
yang terjadi dalam partikel kitosan dan alginat yang berbentuk kristal
menjadi amorf setelah menjadi sediaan submikro partikel. Formula
optimum submikro partikel kitosan alginat pembawa pati bengkuang
menghasilkan %EE tertinggi sebesar 82,36% ± 0,001. Hasil karakterisasi
submikro partikel seperti diameter, distribusi ukuran partikel (PDI), dan
zeta potensial menggunakan alat particle size analyzer (PSA) adalah
3071,148 nm; 0,403; dan 4,1 mV. Perlakuan uji efek pencerah kulit
dibedakan berdasarkan variasi konsentrasi submikro partikel yang
digunakan pada pembuatan gel, 1% untuk F1, 2% untuk F2, dan 3% untuk
F3. Hasil uji pencerah kulit secara in vivo menunjukkan bahwa F3 lebih
cepat mencerahkan kulit dibandingkan perlakuan yang lain, (p<0,05) yang
menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara F3 dengan kontrol
negatif dan kontrol positif.

Kata kunci: Bengkuang (Pachyrhizus erosus (L.) Urban), submikro


partikel, kitosan, alginat, sinar uv
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN MAKALAH SEMINAR HASIL ...................... ii
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ............................................................ iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ....................... iv
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS ......................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN DAN MOTTO ................................................ vi
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vii
ABSTRACT ......................................................................................................... x
ABSTRAK ......................................................................................................... xi
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xv
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xvii
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................... xviii
DAFTAR ISTILAH ........................................................................................... xix

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1


1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................... 4
1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 6
2.1 Bengkuang ................................................................................. 6
2.1.1 Taksonomi Bengkuang................................................... 6
2.1.2 Deskripsi dan Morfologi Bengkuang ............................. 7
2.1.3 Kandungan Kimia ......................................................... 7
2.1.4 Efek Farmakologi ........................................................... 8
2.2 Sinar UV dan Lesi Kulit ............................................................. 9
2.2.1 Definisi ........................................................................... 9
2.2.2 Efek Radiasi UV ............................................................ 10
2.2.3 Sunburn .......................................................................... 10
2.3 Kulit ........................................................................................... 11
2.3.1 Struktur Kulit ................................................................. 11
2.3.2 Pigmen Melanin ............................................................. 14
2.3.3 Pembentukan Pigmen Melanin ...................................... 15
2.4 Obat Penghambat Melanin ........................................................ 16
2.5 Gel .............................................................................................. 16
2.6 Teknologi Partikel ...................................................................... 18
2.6.1 Metode Pembuatan Partikel ........................................... 19
2.6.1.1 Polimerisasi Monomer Sintesis .......................... 19
2.6.1.2 Dispersi Polimer ................................................. 19
2.6.1.2.1 Metode Penguapan Pelarut.................. 19
2.6.1.2.2 Emulsifikasi Spontan .......................... 20
2.6.1.2.3 Gelasi Ionik ......................................... 20
2.6.1.2.4 Spray Drying ....................................... 21
2.6.2 Bahan Pembuat Partikel Submikro ................................ 21
2.6.2.1 Kitosan ............................................................... 21
2.6.2.2 Natrium Alginat ................................................. 23
2.6.1 Karakterisasi Partikel ..................................................... 24
2.7.1 Dynamic Light Scattering .................................. 24
2.7.2 Spektrofotometri UV – Vis ................................ 25
2.8 XRD (X-Ray Diffraction) ........................................................... 27
2.8.1 Penafsiran Spektra XRD ................................................ 27
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .......................................................... 29
3.1 Waktu dan Tempat ..................................................................... 29
3.2 Alat dan Bahan ........................................................................... 29
3.2.1 Alat ................................................................................. 29
3.2.2 Bahan.............................................................................. 29
3.3 Metode Penelitian....................................................................... 30
3.3.1 Pengambilan dan Pembuatan Sampel ............................ 30
3.3.2 Skrining Fitokimia ......................................................... 30
3.3.2.1 Uji Senyawa Flavonoid ................................... 30
3.3.3 Preparasi Bahan .............................................................. 31
3.3.3.1 Preparasi Asam Sitrat ...................................... 31
3.3.3.2 Preparasi Kitosan ............................................ 31
3.3.3.3 Preparasi Natrium Alginat............................... 31
3.3.3.4 Preparasi Kalsium Klorida .............................. 31
3.3.4 Formula .......................................................................... 31
3.3.5 Pembuatan Submikro Partikel Pembawa Pati
Bengkuang ..................................................................... 32
3.3.6 Preparasi Larutan Induk Kuarsetin................................. 32
3.3.7 Pengukuran Panjang Gelombang Maksimum ................ 33
3.3.8 Purifikasi dan Penentuan Persen Efisiensi
Emkapsulasi (%EE) ....................................................... 33
3.3.9 Karakterisasi Partikel ..................................................... 34
3.3.10 Karakterisasi X – Ray Diffraction (XRD) ...................... 34
3.3.11 Pembuatan Gel ............................................................... 35
3.3.12 Prosedur Uji Pencerah Kulit Secara In Vivo .................. 35
3.4 Analisis Data .............................................................................. 36
3.4.1 Analisis Data Hasil PSA ................................................ 36
3.4.2 Analisis Data Hasil Uji %EE ......................................... 36
3.4.3 Analisis Perubahan Tingkat Warna Kulit ...................... 36
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 37
4.1 Pembuatan Sampel ..................................................................... 37
4.2 Uji Fitokimia Senyawa Flavonoid ............................................. 40
4.3 Preparasi Bahan .......................................................................... 41
4.4 Pembuatan Submikro Partikel .................................................... 44
4.5 Purifikasi Submikro Partikel ...................................................... 45
4.6 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Kuersetin .............. 46
4.7 Penentuan Persen Efisiensi Enkapsulasi .................................... 46
4.8 Karakterisasi Partikel ................................................................. 48
4.9 Hasil X– Ray Diffraction (XRD) ................................................ 50
4.10 Uji In Vivo .................................................................................. 53
4.11 Analisis Data .............................................................................. 60
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 61
5.1 Kesimpulan ................................................................................ 61
5.2 Saran ........................................................................................... 62

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 63


LAMPIRAN ....................................................................................................... 72
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................... 96
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi formula submikro partikel pembawa pati bengkuang ..... 32


Tabel 2. Formula gel ........................................................................................ 35
Tabel 3. Kelompok uji ..................................................................................... 35
Tabel 4. Persen efisiensi enkapsulasi............................................................... 48
Tabel 5. Hasil uji in vivo .................................................................................. 58
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Tanaman bengkuang dan umbi bengkuang .................................... 6


Gambar 2. Diagram lapisan kulit...................................................................... 13
Gambar 3. Struktur senyawa HPMC ................................................................ 17
Gambar 4. Ilustri matriks nanopartikel dengan metode gelasi ionik ................ 21
Gambar 5. Struktur senyawa kitosan ................................................................ 22
Gambar 6. Struktur senyawa natrium alginat ................................................... 24
Gambar 7. Diagram sinar X.............................................................................. 28
Gambar 8. Reaksi senyawa flavonoid .............................................................. 41
Gambar 9. Susunan atom kristal dan amorf ..................................................... 51
Gambar 10. Spektra XRD kitosan, natrium alginat, dan pati bengkuang .......... 52
Gambar 11. Skema terjadinya pembentukan melanin ........................................ 56
Gambar 12. Alat ukur warna kulit untuk mengukur warna kulit tikus ............... 57
Gambar 13. Grafik rata – rata warna kulit tikus ................................................. 59
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Skema Kerja Umum .................................................................... 72


Lampiran 2. Preparasi Pati Bengkuang ............................................................ 73
Lampiran 3. Skrining Fitokimia ....................................................................... 74
Lampiran 4. Preparasi Bahan ........................................................................... 75
Lampiran 5. Skema Pembuatan Submikro Partikel ......................................... 76
Lampiran 6. Skema Pembuatan Gel ................................................................. 77
Lampiran 7. Skema Uji In Vivo........................................................................ 78
Lampiran 8. Perhitungan Dosis Sediaan .......................................................... 79
Lampiran 9. Uji Fitokimia Senyawa Flavonoid ............................................... 80
Lampiran 10. Sediaan Submikro Partikel .......................................................... 81
Lampiran 11. Panjang Gelombang Maksimum Kuersetin ................................. 82
Lampiran 12. Kurva Kalibrasi Kuersetin ........................................................... 83
Lampiran 13. Penentuan Kadar Flavonoid Total ............................................... 84
Lampiran 14. Perhitungan Persen EE ................................................................ 85
Lampiran 15. Hasil Pengukuran PSA ................................................................ 87
Lampiran 16. Karakterisasi Partikel ................................................................... 88
Lampiran 17. Hasil Uji In Vivo .......................................................................... 90
Lampiran 18. Tabel Hasil Uji In Vivo ................................................................ 92
Lampiran 18. Analisis Data................................................................................ 94
DAFTAR SINGKATAN

ANOVA : Analysis of Variance


b/v : Berat/Volume
cm : Sentimeter
Da : Dalton
DLS : Dynamic Light Scaterring
g : Gram
kg : Kilogram
L : Liter
LSD : Least Significant Difference
m : Meter
mg : Miligram
ml : Mililiter
mm : Milimeter
mV : Milivolt
nm : Nanometer
PDI : Poly Dispersity Index
ppm : Part per million
PSA : Particle Size Analyzer
r : Correlation Coefficient
rpm : Rotation Per Minute
SPSS® : Statistical Product and Service Solution
UV-Vis : Ultraviolet-Visible
ºC : Derajat Celsius
EE : Efisiensi Enkapsulasi
µl : Mikroliter
52

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Terik matahari di negara yang beriklim tropis mengakibatkan kulit wajah

wanita Indonesia cenderung berwarna kecoklatan dan terlihat kusam. Penelitian

yang telah dilakukan kelompok bisnis kosmetik asal Perancis, L‟Oreal pada tahun

1997 menunjukkan bahwa 85% wanita yang tinggal di kota besar Indonesia

memiliki warna kulit coklat dan 55% diantaranya ingin berwarna kulit cerah.

Protec and Gamble, produk konsumen besar di Amerika juga melakukan studi

yang hampir sama dan menemukan hasil bahwa wanita di Asia ingin

memiliki warna kulit yang putih dan bersih (Ayu, 2012).

Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis sehingga disinari matahari

sepanjang tahun, ini menyebabkan hampir 80% penuaan kulit dipicu oleh sinar

UV. Intensitas matahari yang rendah terjadi pada pukul . pagi dan terus

meningkat hingga pukul . siang, sedangkan dari pukul . . siang

merupakan waktu intensitas matahari terjadi sangat tinggi (Setiati, 2008). Paparan

sinar matahari yang terus menerus akan menyebabkan kulit terlihat kusam, flek

hitam, pigmentasi kulit seperti lentigo dan melasma, eritema bahkan

fotokarsinogenesis (Eva dkk., 2017).

Produk pencerah wajah yang banyak dijual laris di pasaran karena minat

wanita Indonesia untuk memiliki kulit cerah dan bersih sangat tinggi. Kriteria

kulit ini dianggap dapat menunjang penampilan menjadi lebih cantik dan

mempesona. Bahan baku yang berkhasiat sebagai pencerah kulit banyak dicari
52

oleh produsen besar kosmetik, walaupun banyak bahan kimia berbahaya yang ikut

dicampurkan ke dalam proses pembuatannya sehingga badan pengawas obat dan

makanan sering kali menyita ribuan kosmetik berbahaya yang beredar dipasaran.

Produk yang dijual di pasaran pada umumnya berupa sediaan krim, padahal daya

sebar gel lebih baik dibandingkan krim, selain itu sediaan gel ketika digunakan

pada kulit yang terpapar sinar matahari akan lebih membantu menyejukkan kulit

dibandingkan krim. Sediaan krim ini memiliki penetrasi topikal yang kurang baik

karna hanya mampu menembus epidermis kulit dan waktu yang diperlukan untuk

obat berefek relatif lebih lama.

Teknologi partikel seperti submikro partikel dapat digunakan untuk

membantu penetrasi obat ke dalam kulit lebih cepat karna ukuran partikel dari

sediaan lebih kecil sehingga memudahkan obat menembus lapisan-lapisan kulit

dalam waktu yang lebih cepat. Submikro partikel juga membantu sistem pembawa

obat dengan meningkatkankan efek perlindungan obat agar tidak mudah

terdegradasi. Fakta ini menimbulkan ide bagi peneliti untuk membuat inovasi di

bidang kosmetik pencerah wajah yang zat aktifnya berasal dari alam dengan

menggunakan teknologi partikel sehingga aman digunakan dan berefek lebih

cepat. Tanaman yang mempunyai potensi untuk dikembangkan ialah bengkuang

karena selain sebagai bahan makanan, bengkuang dapat dimanfaatkan sebagai

bahan baku kosmetik yang memiliki banyak fungsi salah satunya mencerahkan

kulit (Fadilah, 2008).

Bengkuang (Pachyrhizus erosus (L.) Urb) dapat mencerahkan kulit karena

umbinya mengandung fosfor, vitamin C, vitamin E, dan kalsium, selain itu

kandungan zat ini juga dapat menghilangkan noda di wajah dan melembabkan
52

kulit. Umbi bengkuang juga mengandung air 86 - 90% dan serat sehingga

mempunyai efek pendingin. Menurut hasil penelitian Lukitaningsih (2009),

bengkuang mengandung flavonoid dan saponin yang membantu menghambat

pembentukan melanin akibat radikal bebas. Pati bengkuang yang diperoleh dari

hasil pengendapan air bengkuang bersifat dingin sehingga dapat menyejukkan

lapisan kulit yang telah terkena sinar matahari (Fadilah, 2008).

Submikro partikel merupakan jenis dari teknologi partikel yang bertujuan

mengubah ukuran partikel yang besar menjadi lebih kecil agar memudahkan

absorbsi dari penggunaan suatu obat dan lebih mencapai efektivitasnya (Li et al.,

2008). Polimer dibutuhkan dalam submikro partikel karena bermanfaat sebagai

zat pembawa yang berfungsi membawa zat aktif obat masuk ke dalam sel menjadi

lebih cepat dan efisien. Proses pembuatan submikro partikel pada obat dapat

dijadikan acuan sebagai inovasi baru dalam pembuatan submikro partikel pada

pencerah wajah bengkuang. Kitosan dan alginat memiliki sifat yang

menguntungkan yaitu dapat meningkatkan bioavailability suatu bahan obat, stabil

dalam penggunaan serta dapat bersifat sebagai anti mikroba, tidak toksik, dan

biocompatible sehingga kitosan dan alginat sering digunakan sebagai polimer

untuk produk submikro partikel (Thwala, 2010).

Gel umumnya merupakan suatu sediaan semi padat yang jernih, tembus

cahaya, dan mengandung zat aktif (Ansel, 1989). Kelebihan gel terletak pada efek

pendingin kulit saat digunakan, penampilan sediaan yang jernih dan elegan, tidak

menimbulkan bekas pemakaian dikulit setelah digunakan, mudah dicuci dan daya

lekat yang tinggi tidak menyumbat pori serta memiliki daya sebar yang baik

(Barel et al., 2001). Sifat yang menguntungkan inilah yang akan membuat pati
52

bengkuang sebagai zat aktif gel pencerah wajah dapat dengan mudah

dikombinasikan dengan polimer kitosan dan alginat sehingga akan menghasilkan

suatu produk pencerah wajah yang berkualitas bagus. Preparasi dan karakterisasi

submikro partikel dari kitosan dan alginat pembawa zat pati bengkuang akan

dilakukan dengan memvariasikan konsentrasi zat aktif submikro partikel pada tiga

formula gel yang akan dibuat.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas didapatkan rumusan masalah sebagai

berikut:

1. Bagaimana pola spektra XRD dari interaksi antara pati bengkuang

(Pachyrhizus erosus (L.) Urb.) dengan kitosan dan natrium alginat?

2. Berapa nilai %EE, PDI, dan zeta potensial dari partikel kitosan natrium

alginat pembawa pati bengkuang (Pachyrhizus erosus (L.) Urb.) yang

dihasilkan dengan metode gelasi ionik?

3. Bagaimana efek pencerah kulit dari submikro partikel pembawa pati

bengkuang (Pachyrhizus erosus (L.) Urb.) yang telah dibuat gel?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu:

1. Mengetahui pola spektra XRD dari interaksi antara pati bengkuang

(Pachyrhizus erosus (L.) Urb.) dengan kitosan dan natrium alginat.

2. Mengetahui nilai %EE, PDI, dan zeta potensial dari partikel kitosan

natrium alginat pembawa pati bengkuang (Pachyrhizus erosus (L.) Urb.)

yang dihasilkan dengan metode gelasi ionik.


52

3. Mengetahui efek pencerah kulit dari submikro partikel pembawa pati

bengkuang (Pachyrhizus erosus (L.) Urb.) yang telah dibuat gel.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada

pembaca dan peneliti tentang aktivitas submikro partikel pati bengkuang yang

dibuat gel sebagai pencerah kulit sehingga dapat membantu masyarakat dalam

memperbaiki penampilan fisik kulit akibat paparan sinar matahari berlebih, nyaman

pada penggunaannya serta memiliki efek pencerah kulit yang lebih cepat

dibandingkan sediaan yang sudah beredar. Informasi mengenai aktivitas dari

sediaan submikro partikel gel pati bengkuang dapat juga digunakan sebagai bahan

referensi selanjutnya yang relevan.


52

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bengkuang (Pachyrhizus erosus (L.) Urban)

2.1.1 Taksonomi Bengkuang (Pachyrhizus erosus (L.) Urban)

Bengkuang (Pachyrhizus erosus (L.) Urban) umumnya berasal dari Meksiko

dan Amerika Tengah, pada mulanya bengkuang tumbuh secara liar. Tumbuhan ini

dibudidayakan di Meksiko dan sekitarnya namun tidak intensif, di Asia

bengkuang pertama kali diperkenalkan di negara Filipina dan negara-negara lain

di Asia Tenggara kemudian masuk ke Indonesia. Menurut Backer and Brink

(1965), bengkuang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Sub kelas : Rosidae

Ordo : Fabales

Famili : Fabaceae

Genus : Pachyrhizus

Spesies : Pachyrhizus erosus (L) Urb.

(a) (b)

Gambar 1. Tanaman bengkuang (a) dan umbi bengkuang (b) (Idbiodiversitas, 2016)
52

2.1.2 Deskripsi dan Morfologi Bengkuang

Bengkuang termasuk tanaman hortikultura yang mempunyai potensi yang

sangat baik untuk dikembangkan. Tumbuhan ini dapat membentuk umbi akar

(cormus) berbentuk bulat atau membulat seperti gasing dengan berat dapat

mencapai 5 kg. Kulit umbinya tipis berwarna kuning pucat dan bagian dalamnya

berwarna putih serta mengandung air yang segar dan memiliki rasa agak manis.

Bengkuang tumbuh baik di daerah tropis dan juga akan tumbuh di daerah

tanah yang tidak berawa. Tanaman yang merambat itu dapat merambat di atas

tanah atau di daerah sekitarnya. Tingginya bisa mencapai 2 sampai 6 meter serta

memiliki batang berbulu. Bengkuang berdaun majemuk dengan anak daun

bertulang daun menyirip dengan ujungnya meruncing. Tangkai bengkuang

berukuran cm dengan bunga berwarna putih hingga violet dan tumbuh

bergerombol (Idbiodiversitas, 2016).

Sistem perakaran pada tanaman bengkuang yaitu sistem perakaran serabut

dan bentuk akar dari bengkuang adalah berbentuk gasing (napiformis) dengan

pangkal akar besar membulat, cabang akar berupa serabut akar yang hanya

terdapat pada ujung akar yang sempit dan meruncing. Akar digunakan sebagai

tempat menyimpan cadangan makanan dan biasanya akar pada tumbuhan ini akan

membesar seiring banyaknya cadangan makanan yang tersimpan. Tanaman ini

membutuhkan lanjaran yang baik tetapi sering kali dibiarkan menjalar diatas tanah

(Idbiodiversitas, 2016).

2.1.3 Kandungan Kimia

Bengkuang termasuk umbi-umbian yang memiliki kandungan air tinggi.

Komposisinya kaya akan vitamin C, kalsium, fosfor dan serat makanan


52

(Sekarindah, 2006). Vitamin yang terkandung dalam bengkuang yang paling

tinggi adalah vitamin C. Flavonoid dan saponin yang terkandung dalam umbi

bengkuang merupakan tabir surya yang alami untuk mencegah radikal bebas yang

menyebabkan kulit rusak (Lukitaningsih, 2009).

Tanaman ini juga mengandung pachyrhizon, rotenon dan vitamin B1,

selain itu umbi bengkuang mengandung inulin yang bermanfaat bagi kesehatan.

Kadar energi yang berasal dari bengkuang cukup rendah (55 kkal/100 gr). Umbi

bengkuang mengandung polifenolat dan sebagian besar polifenol adalah

antioksidan (Karuniawan, 2006).

2.1.4 Efek Farmakologi

Umbi bengkuang (Pachyrhizus erosus (L.) Urb) secara turun temurun

telah digunakan di Indonesia untuk melindungi kulit dari sinar matahari dan

memutihkan kulit. Kandungan agen pemutih (whitening agent) inilah yang dapat

memutihkan dan menghilangkan tanda hitam serta pigmentasi kulit. Kandungan

air pada umbi bengkuang berkisar berfungsi untuk menyegarkan kulit,

selain itu terdapat kandungan senyawa fenol, vitamin C dan saponin yang

berfungsi sebagai sumber antioksidan bagi tubuh (Assaori, 2010).

Kandungan vitamin C pada bengkuang yang tinggi yaitu sebesar 20

mg/100 g. Vitamin C ini berfungsi sebagai penangkal radikal bebas penyebab

kanker dan penyakit degeneratif (Dike, 2011). Zat fenolik pada bengkuang

berfungsi untuk menghambat proses pembentukan melanin akibat sinar UV

matahari. Umbi yang dimiliki bengkuang jika dibuat ukuran partikel kecil dapat

berfungsi sebagai tabir surya fisik. Sifat opaque amilum yang tidak dapat
52

ditembus cahaya tetapi dapat memantulkan sinar, sangat bermanfaat untuk

mencegah penetrasi radiasi sinar ultraviolet pada kulit (Majalah Kesehatan, 2011).

2.2 Sinar UV dan Lesi Kulit

2.2.1 Definisi

Pemaparan sinar matahari yang berlebihan pada kulit dapat berdampak

buruk karena sinar matahari mengandung sinar ultraviolet (UV). Ultraviolet

merupakan suatu radiasi elektromagnetik yang mempunyai panjang gelombang

lebih pendek daripada sinar violet yang berkisar dari nm (Soebaryo,

. Spektrum dari sinar UV dapat dibedakan menjadi tiga yaitu: UV A (

400 nm), UV ( nm , sedangkan UV diabsorbsi oleh lapisan ozon

(Shae, 1991).

Sinar UV A dapat menyebabkan kulit hitam (tanning) karena pelepasan

melanin serta menstimulasi melanogenesis meskipun lebih lemah daripada UV B.

Hampir 50% sinar UV A berpenetrasi sampai ke dermis sehingga dapat

menyebabkan penuaan kulit (Lee and Kaplan, 1992). UV B juga dapat

menyebabkan tanning dan berperan dalam menyebabkan kulit terbakar (sunburn)

serta pembentukan kanker kulit (Poskitt et al., 1979). Sebagian besar sinar UV B

diabsorpsi oleh epidermis dan dapat menstimulasi melanogenesis yang paling

tinggi (Willis and Cylus, 1977).

Efek toksik radiasi UV yang terdapat pada sinar matahari merupakan

masalah kesehatan yang serius. Efek akut utama yang terjadi oleh radiasi UV pada

kulit manusia normal dapat berupa inflamasi (eritema), tanning, dan imunosupresi

lokal ataupun sistemik, sedangkan efek kronik dari radiasi UV dapat

menyebabkan penuaan, imunosupresi, dan fotokarsinogenesis. Paparan sinar UV


52

yang berlebihan dan terus-menerus akan menyebabkan kerusakan protein, lipid,

dan asam nukleat sehingga menghasilkan radikal bebas yang akan merusak sel-sel

lainnya (Matsumura, 2003).

2.2.2 Efek Radiasi UV

Aliran darah manusia di dalam pembuluh darah kulit berkisar 500

ml/menit dan kurang lebih dari 45% radiasi sinar UV pada panjang gelombang

365 nm dapat diserap sampai ke pleksus-pleksus vena dan arteri di dermis,

akibatnya seluruh komponen selular di dalam pembuluh darah dapat terpajan oleh

radiasi UV (Kumakiri, 1977). Sel mast pada kulit berperan penting dalam

mekanisme terjadinya sunburn melalui dikeluarkannya substansi-substansi

vasoaktif. Sel mast yang terdapat pada lapisan atas dermis melepaskan mediator-

mediator yang menginduksi vasodilatasi dan mensintesis prostadglandin,

histamin, tumor necrosis factor (TNF), serotonin, dan leukotrien setelah terpajan

sinar UV (Voltenen, 1966).

2.2.3 Sunburn

Kulit yang terpapar sinar UV akan mengalami kemerahan dan sering

disebut dengan kulit terbakar (sunburn) atau eritema, hal ini disebabkan karena

panjang gelombang yang pendek pada UVB mengakibatkan dilatasi dari arteri dan

vena pada lapisan dermis, sehingga warna kulit tampak kemerahan dan terlihat

pada permukaan kulit atau membran. Faktor yang mempengaruhi terjadinya

dilatasi adalah efek langsung dari UV terhadap endotel pembuluh darah.

Pelepasan mediator-mediator inflamasi, dan sekresi substansi-substansi vasoaktif

dari sel mast juga merupakan efek langsung dari UV (Fitzpatrick and Freedberg,

2008). Eritema muncul jam setelah terpapar sinar matahari dan mencapai
52

intensitas maksimum jam kemudian dan tetap memerah selama jam.

Tahapan eritema dibagi dalam tiga fase, yaitu memerahnya kulit, pengerutan kulit,

dan pelepasan sel epidermis (Zubaidah, 1998).

2.3 Kulit

2.3.1 Struktur Kulit

Kulit merupakan salah satu organ dalam tubuh karena terdiri dari jaringan

yang memiliki fungsi spesifik. Kulit adalah pelindung dan penutup yang menjaga

organ-organ tubuh tetap bersatu dan merupakan salah satu organ tubuh terbesar

(Tortora, 1990). Kulit terdiri atas tiga lapisan, yaitu lapisan epidermis, dermis, dan

hipodermis. Epidermis merupakan lapisan luar tipis kulit. Lapisan ini terdiri atas

lima lapisan, yaitu stratum germinativum atau stratum basale, stratum spinosum,

stratum granulosum, stratum lusidum, dan stratum korneum (Peckham, 2014).

Stratum basale berisi beberapa jenis sel, yaitu sel-sel punca yang

membelah dan memperbaharui populasi sel serta menghasilkan sel anak

(keratinosit). Sel ini membelah 3 – 6 kali sebelum bergerak ke atas menuju

stratum spinosum. Melanosit, sel-sel penghasil pigmen (melanin). Jumlah

melanosit sama pada setiap orang, namun aktivitasnya jauh lebih tinggi pada

orang berkulit gelap (Peckham, 2014).

Lapisan yang terdiri dari beberapa lapis keratinosit dan beberapa sel

langerhans ialah startum spinosum. Keratinosit dapat mengubah ekspresi keratin

saat berdiferensiasi. Sel-sel Langerhans merupakan sel penyaji antigen khusus (sel

dendritik) yang menyusun sekitar 3 – 6 % sel pada lapisan stratum spinosum. Saat

sel ini terpapar oleh benda asing atau antigen, sel-sel ini bermigrasi keluar epitel

dan menuju kelenjar getah bening regional untuk menginisiasi respons imun.
52

Keratinosit yang telah bergerak ke atas dan selanjutnya berdiferensiasi

menjadi sel bergranul dimiliki oleh stratum granulosum yang terletak pada bagian

atas stratum spinosum. Lapisan ini berisi. Sel-sel ini menekan lipid khusus pada

granula intraselular menuju celah antar sel-sel mati (skuama) pada lapisan di

atasnya. Saat bergerak ke atas, sel-sel ini mulai kehilangan nukleus dan organel

sitoplasmanya, kemudian mati. Sel-sel mati menjadi „skuama‟ berkeratin dari

lapisan teratas.

Sel-sel yang berisi lapisan keratin yang kuat yang berikatan silang, pada

bagian dalam terikat pada lipid khusus, dan pada bagian luar membentuk sawar

anti-air yang kuat dan skuama akhirnya mengelupas. Skuama adalah sel-sel mati

yang menjadi datar dan tampak seperti pengelupasan kulit yang merupakan isi

dari lapisan teratas dan terluar, stratum korneum. Stratum lusidum, lapisan ini

merupakan lapisan kelima yang kadang-kadang ditemukan pada kulit tebal di

antara lapisan stratum granulosum dan stratum korneum. Lapisan ini tipis dan

transparan serta sulit teridentifikasi pada potongan histologis rutin (Peckham,

2014).

Lapisan dermis merupakan lapisan di bawah epidermis yang jauh lebih

tebal daripada epidermis. Matriks kulit mengandung pembuluh-pembuluh darah

dan saraf yang menyokong dan memberi nutrisi pada epidermis yang sedang

tumbuh (Anderson, 1996). Fungsi untuk proteksi, sensasi, dan termoregulasi juga

dimiliki oleh lapisan dermis. Saraf, pembuluh darah, dan fibroblas yang

menyekresi matriks ekstraselular, dan serat (kolagen dan elastin) serta berisi

kelenjar keringat (pada bagian tepi dengan hipodermis), yang membuka keluar
52

menuju permukaan kulit terdapat pada lapisan ini. Kolagen dan elastin

memberikan kekuatan dan daya regang pada kulit (Peckham, 2014).

Kelenjar keringat dan jaringan adiposa merupakan isi dari lapisan

hipodermis. Jaringan adiposa ini penting untuk fungsi metabolisme seperti

produksi trigliserida dan vitamin D. Lapisan hipodermis atau lapisan subkutan

adalah kelanjutan dermis atas jaringan ikat longgar, berisi sel-sel lemak di

dalamnya. Lapisan ini merupakan bantalan untuk kulit, isolasi untuk

mempertahankan suhu tubuh dan tempat penyimpanan energi (Anderson, 1996).

Arteri yang menyuplai kulit ditemukan di lapisan dalam pada hipodermis.

Ketika terjadi kondisi dingin, aliran darah menuju kapiler superfisial pada kulit

dikurangi untuk mempertahankan suhu inti tubuh. Kondisi dapat berbalik apabila

kondisi panas terjadi, maka aliran darah ke kulit meningkat dan darah pada kapiler

superfisial mengalami pendinginan oleh evaporasi keringat pada permukaan kulit

(Peckham, 2014).

Gambar 2. Diagram lapisan kulit (Lia, 2010)


52

Warna kulit tergantung pada tiga komponen menurut derajat yang

bervariasi. Jaringan yang memiliki warna inheren kekuningan akibat dari

kandungan karoten. Hemoglobin beroksigen dalam dasar kapiler dari dermis dapat

memberinya warna kemerahan, dan warna kecoklatan sampai kehitaman adalah

akibat jumlah pigmen melanin yang bervariasi, dan dari ketiga substansi berwarna

ini hanya melanin yang dihasilkan di kulit. Melanin adalah produk dari melanosit

(Junquiera, 2003).

2.3.2 Pigmen Melanin

Warna kulit merupakan karakteristik yang dipengaruhi oleh banyak faktor.

Gen, gizi, dan faktor lingkungan bisa memainkan peran dalam warna kulit. Salah

satu komponen paling penting dari kulit yang memberikan kontribusi adalah

pigmen melanin. Pigmen ini adalah pigmen yang diproduksi oleh sel yang dikenal

sebagai melanosit pada kulit manusia. Pigmen ini tergantung pada genetik yang

membuat dari individu. Melanin datang dalam dua bentuk dasar dan dapat

berkisar dari merah kekuningan sampai coklat gelap (Sridianti, 2013).

Eumelanin adalah bentuk paling umum dari melanin dan berwarna

kecokelatan. Bentuk dasar lainnya disebut pheomelanin yang menghasilkan warna

coklat kemerahan dan sering dikaitkan dengan bintik-bintik dan rambut merah.

Produksi melanin pada individu tersebut ditentukan oleh beberapa faktor seperti

paparan radiasi UV, genetik, dan ukuran melanosit (Sridianti, 2013). Perbedaan

warna kulit tidak berhubungan dengan jumlah melanosit tetapi disebabkan oleh

jumlah granul-granul melanin yang ditemukan dalam keratinosit (Sonny, 2013).


52

2.3.3 Pembentukan Pigmen Melanin

Melanin dibentuk oleh melanosit dengan enzim tirosinase yang

memainkan peranan penting dalam proses pembentukannya. Sebagai akibat dari

kerja enzim tironase, asam amino tirosin diubah menjadi 3,4 dihidroxyferil alanin

(DOPA) dan kemudian menjadi dopaquinone, dan dikatalis menjadi dopachrome

oleh enzim tirosinase, pada proses berikutnya diubah menjadi 5,6-dihydroxyindole

(DHI) dan 5,6-dihydroxyindole-2-carboxylic acid (DHICA) dan terbentuklah

eumelanin atau melanin yang berwarna coklat kehitaman. Eumelanin yang

terbentuk akan dikirim menuju keratinosit epidermal, hal ini lah yang

menyebabkan pigmentasi kulit (Baumann, 2009).

Pembentukan enzim tirosinase terjadi di dalam ribosom kemudian dikirim

ke dalam lumer retikulum endoplasma kasar. Melanosit akan diakumulasi dalam

vesikel yang dibentuk oleh kompleks golgi. Pembentukan granul melanin yang

matang terjadi pada empat tahapan yang dapat dibedakan yaitu pada tahap

pertama dimulai dengan sebuah vesikel dikelilingi oleh membran dan

menunjukkan awal proses dari aktivitas enzim tirosinase dan pembentukan

substansi granul halus pada bagian perifernya (Junquiera, 2003).

Untaian-untaian padat elektron memiliki suatu susunan molekul tirosinase

yang rapi pada sebuah matrik protein. Vesikel (melanosom) berbentuk oval dan

memperlihatkan pada bagian dalam filamen-filamen dengan jarak sekitar 10 nm

atau garis lintang dengan jarak sama. Melanin disimpan dalam matriks protein.

Peningkatan pembentukan melanin membuat struktur halus agak sulit terlihat.

Granul melanin matang dapat terlihat dengan mikroskop cahaya dan melanin
52

secara sempurna mengisi vesikel. Granul yang matang berbentuk elips, dengan

panjang μm dan diameter , μm (Alya, .

2.4 Obat Penghambat Melanin

Penghambatan sintesis melanin dilakukan dengan menghambat kerja

enzim tirosinase. Obat yang biasanya digunakan dan mampu menghambat enzim

tersebut adalah hidrokuinon, asam kojik, asam azelaik, ekstrak bengkuang, dan

arbutin (Zhai, 2009). Produksi melanin juga dapat dihambat dengan asam askorbat

dan glutation, selain itu terdapat pula obat yang mempunyai efek toksisitas

melanosit selektif seperti merkuri, isopropil katekol, dan N-asetil sistein yang

menyebabkan kerusakan melanosit dan akibatnya, melanin tidak dapat disintesis.

Obat yang mempunyai efek supresan pada melanogenesis non selektif yaitu

kortikosteroid dan indometasin. Obat tersebut bekerja dengan menekan proses

melanogenesis (Zhai, 2009).

2.5 Gel

Definisi gel adalah suatu sistem semi padat dimana pergerakan dari

medium pendispersi terbatas oleh jalinan tiga dimensi dari partikel atau molekul

dari fase terdispersi (Gennaro, 2001). Gel umumnya merupakan suatu sediaan

semi padat yang jernih, tembus cahaya dan mengandung zat aktif, merupakan

dispersi koloid dan mempunyai kekuatan yang disebabkan oleh jaringan yang

saling berikatan pada fase terdispersi (Ansel, 1989).

Sediaan gel mempunyai keuntungan diantaranya tidak lengket, mudah

mengering, dan membentuk lapisan film yang tipis sehingga mudah dicuci.

HPM merupakan salah satu basis gel yang dapat menghasilkan gel yang netral,

jernih, tidak berwarna, stabil pada pH , mempunyai resistensi yang baik


52

terhadap serangan mikroba, dan memberikan kekuatan film yang baik bila

mengering pada kulit (Suardi, dkk., 2008).

HPMC tergolong basis gel hidrofilik. Basis gel yang bersifat hidrofilik

memiliki daya sebar yang baik pada kulit, mudah dicuci dengan air,

memungkinkan pemakaian pada bagian tubuh yang berambut dan pelepasan

obatnya baik. Keunggulan basis tersebut dibanding basis lain adalah dapat

menghasilkan gel yang bening, mudah larut dengan air, mudah diaplikasikan pada

kulit, tidak mengiritasi dan nyaman digunakan pada kulit (Anwar, 2012).

Gambar 3. Struktur senyawa HPMC (Sigma-Aldrich, 2018)

Bentuk sediaan gel dipilih karena mempunyai beberapa keunggulan

dibanding jenis sediaan topikal lain. Gel memiliki kemampuan pelepasan obat

yang baik, mudah dibersihkan dengan air, memberikan efek dingin akibat

penguapan lambat di kulit. Keuntungan gel juga mempunyai kemampuan

penyebaran yang baik di kulit serta tidak memiliki hambatan fungsi rambut secara

fisiologis. Sediaan gel juga mempunyai kelebihan lain diantaranya adalah

memiliki viskositas dan daya lekat tinggi sehingga tidak mudah mengalir pada

permukaan kulit (Voight, 1984).

Sifat tiksotropi yang dimilikinya memudahkan pengolesan karena merata

bila dioles, tidak meninggalkan bekas, hanya berupa lapisan tipis seperti film saat

pemakaian, mudah tercucikan dengan air, dan memberikan sensasi dingin setelah
52

digunakan, mampu berpenetrasi lebih jauh dari krim, sangat baik dipakai untuk

area berambut dan lebih disukai secara kosmetika. Gel segera mencair jika

berkontak dengan kulit dan membentuk satu lapisan yang absorpsinya pada kulit

lebih baik daripada krim (Sharma, 2008).

2.6 Teknologi Partikel

Nanopartikel adalah struktur koloidal dengan rentang ukuran

nm. Nanopartikel dibagi menjadi dua kategori yaitu, nanocapsule dan

nonosphere. Nanocapsule merupakan sistem reservoir yang terdiri atas suatu

selaput polimer yang melingkupi satu inti. Nanospheres dibuat dalam bentuk

sistem matriks dan seluruh partikel obat terdispersi di dalam polimer (Rieux dkk.,

2006). Partikel dengan ukuran kecil dapat melewati membran dengan mudah

karena ukuran kapiler lebih besar. Submikro partikel dapat dibuat dengan berbagai

metode, salah satunya dengan dispersi polimer.

Polimer yang digunakan bersifat biodegradable yaitu mudah didegradasi

oleh tubuh. Salah satu contohnya adalah kitosan (Bisht dkk., 2007). Submikro

partikel dapat disiapkan dari berbagai bahan seperti protein, polisakarida, dan

polimer sintetik. Ada beberapa metode dalam pembuatan submikro partikel

diantaranya, pembuatan dispersi polimer, metode evaporasi pelarut, metode

polimerasi, emulsion cross-linked, presipitasi atau koaservasi, dan metode ionik

gelasi. Keuntungan penggunaan submikro partikel dalam sediaan kosmetik yaitu

memperbaiki stabilitas bahan-bahan penyusun kosmetik seperti asam lemak jenuh,

vitamin dan antioksidan, meningkatkan penetrasi bahan-bahan tertentu seperti

vitamin dan antioksidan, meningkatkan efektifitas dan waktu lekat kosmetik pada
52

permukaan kulit dan menghasilkan produk kosmetik yang lebih memuaskan

(Padamwar and Pokharkar, 2006).

2.6.1 Metode Pembuatan Partikel

2.6.1.1 Polimerisasi Monomer Sintesis

Nanopartikel yang terbentuk didapatkan dengan menginduksi reaksi

polimerisasi dari monomer. Tujuan dari induksi reaksi ini adalah agar menjadi

polimer utuh sebagai suatu pembawa. Proses terjadinya reaksi ini yaitu dengan

mendispersikan suatu monomer yang tidak larut air ke dalam fase pendispersi air.

Proses selanjutnya kemudian menginduksi dan memberi pengendali reaksi berupa

inisiator kimia, variasi pH, dan stabilizer (Delie and Blanco-Prieto, 2005).

2.6.1.2 Dispersi Polimer

Pembuatan nanopartikel menggunakan polimer yang memiliki prinsip

presipitasi. Pada dasarnya proses ini dibuat dengan pembentukan emulsi dari fase

organik yang terlarut polimer didalamnya dengan fase air, kemudian untuk

pembentukan partikel, fase organik harus dihilangkan. Terdapat beberapa jenis

metode pada dispersi polimer antara lain metode penguapan pelarut, emulsifikasi

spontan, gelasi ionik, dan spray drying (Delie and Blanco, 2005).

2.6.1.2.1 Metode Penguapan Pelarut

Polimer dilarutkan dalam pelarut organik seperti etil asetat yang

digunakan sebagai pelarut dalam melarutkan obat yang bersifat hidrofobik.

Campuran polimer dan larutan obat lalu diemulsifikasi dalam larutan yang

mengandung surfaktan dan menjadi bentuk emulsi minyak dalam air (o/w).

Setelah terbentuk emulsi yang stabil, pelarut organik kemudian diuapkan dengan

ditekan atau diputar secara terus menerus menggunakan pengaduk magnetik.


52

Ukuran partikel dipengaruhi oleh tipe dan konsentrasi penstabil yang digunakan,

kecepatan homogenizer, dan konsentrasi polimer (Mohanraj and Chen, 2006).

2.6.1.2.2 Emulsifikasi Spontan

Emulsifikasi spontan merupakan metode modifikasi dari penguapan

pelarut. Pelarut pada metode ini yang larut dalam air bersama dengan sejumlah

kecil pelarut organik yang tidak larut air digunakan sebagai fase minyak, karena

difusi spontan dari pelarut menyebabkan turbulensi antarmuka antara dua fase

yang membentuk partikel kecil, maka semakin banyak konsentrasi air yang larut

dalam pelarut, ukuran dari partikel yang dihasilkan akan semakin kecil (Mohanraj

and Chen, 2006).

2.6.1.2.3 Gelasi Ionik

Metode ini melibatkan proses sambung silang antara polielektrolit

dengan adanya pasangan ion multivalennya. Gelasi ionik diikuti dengan

kompleksasi polielektrolit dengan polielektrolit yang berlawanan. Pembentukan

ikatan sambung silang ini akan memperkuat kekuatan mekanis dari partikel yang

terbentuk. Ketika partikel sudah terbentuk maka akan terjadi kekuatan yang lebih

kuat pada kompleksasi polielektrolitnya (Park and Yeo, 2007).

Kitosan yang merupakan polimer kationik dapat bereaksi dengan anion

multivalen seperti tripolifosfat. Pembentukan mikropartikel dengan metode gelasi

ionik dapat dilakukan dengan pengerasan tetesan cair yang didispersikan pada

fase minyak atau organik. Prosedur meliputi pencampuran dua fase cair, fase yang

satu mengandung kitosan dan fase yang satu mengandung anion multivalen.

Kitosan bersifat basa sehingga dapat larut dalam asam encer membentuk larutan

kental (Mohanraj and Chen, 2006).


52

Gambar 4. Ilustrasi matriks nanopartikel dengan metode gelasi ionik (Martien, 2012)

2.6.1.2.4 Spray Drying

Polimer dilarutkan dalam pelarut organik, obat akan didispersikan ke

dalamnya. Ketika sudah tercampur maka akan dimasukkan ke dalam alat spray

dry. Sampel akan menjalani proses penyemprotan melalui aliran udara panas

tersebut. Proses penyemprotan yang terjadi pada obat yang didispersikan akan

membuat partikel obat berubah. Pelarut kemudian akan menguap sehingga

menyisakan partikel padat. Ukuran partikel yang terbentuk berukuran nanometer.

(Delie and Blanco, 2005).

2.6.2 Bahan Pembuat Partikel Submikro

2.6.2.1 Kitosan

Kitosan adalah polisakarida alam yang diperoleh dari deasetilasi kitin, jika

sebagian besar gugus asetil pada kitin disubstitusikan oleh atom hidrogen menjadi

gugus amino dengan penambahan larutan basa kuat berkonsentrasi tinggi,

hasilnya dinamakan kitosan atau kitin terdeasetilasi (Bastaman, 1989). Kitosan

bukan merupakan senyawa tunggal, tetapi merupakan kelompok yang

terdeasetilasi sebagian dengan derajat polimerisasi yang berbeda. Kitosan adalah

kitin yang terdeasetilasi sebanyak mungkin dengan derajat deasetilasi antara 80 -

90 % (Uragami, 2006).
HO 52

HO O

O
OH
O O

O
OH
NH2

NH2
Gambar 5. Struktur senyawa kitosan (Sigma-Aldrich, 2017)

Kitosan termasuk basa lemah, tidak larut dalam air dan pelarut organik,

dan larut dalam air asam (pH < 6,5) dan tersedia dalam berbagai bobot molekul

yaitu kitosan rantai pendek, rantai sedang, dan rantai panjang. Ukuran rantai ini

mempengaruhi kelarutan dan viskositas. Kitosan rantai pendek lebih mudah larut

dalam pelarut asam organik seperti asam asetat, asam sitrat dan asam tetrat (Mao

et al., 2009).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jridi (2014) kitosan dapat

membentuk edible film yang memililiki aktivitas antioksidan dan antimikroba.

Edible film yang dihasilkan bersifat transparan, lentur, dan tidak mudah ditembus

air dan udara. Adanya lapisan film ini akan mencegah berkurangnya kadar air

pada permukaan kulit dan menghalangi sinar UV menembus permukaan kulit.

Kapasitas pembentukan film dan sifat antiseptik kitosan melindungi dari

kemungkinan infeksi mikroba (Synowiecki dan Al-Khateeb, 2003). Kitosan yang

diformulasikan dalam sediaan gel efektif sebagai penutup luka. Gel kitosan

bersifat biocompatible, biodegradable, hemostatic, menyembuhkan luka, dan

yang paling utama ialah mempercepat penyembuhan luka. Gel kitosan juga

melekat kuat pada kulit (Ishihara dkk., 2002).


52

2.6.2.2 Natrium Alginat

Alginat merupakan polisakarida alami yang dapat ditemukan pada spesies

alga coklat seperti Laminariah hyperborean, Ascophyllumnodosum, dan

Macrocystispyrifera. Keberadaannya di alam umumnya berupa garam dari

beragam kation di laut seperti Mg2+, Sr2+, Ba2+, dan Na+ (Thwala, 2010). Alginat

dalam industri farmasi memiliki rentang penggunaan yang sangat luas karena

karakteristiknya yaitu mucoadhesive, biodegradable, dan biocompatible (Li et al.,

2008). Alginat juga memiliki sifat hemocompatible dan tidak terakumulasi pada

organ tertentu pada penelitian degradasi in vivo.

Sifat mucoadhesive disebabkan oleh struktur alginat yang berupa anion

polimer dengan ujung karboksilat yang merupakan agen mucoadhesive. Daya

mucoadhesive alginat merupakan paling besar jika dibandingkan dengan polimer

lain seperti polistiren dan kitosan. Sifat ini meningkatkan efektifitas dalam

bioavailability obat melalui perpanjangan waktu transit obat dipermukaan

jaringan dalam tubuh (Thwala, 2010).

Pemanfaatan alginat dalam sistem nanopartikel memiliki batasan, yaitu

rendahnya stabilitas alginat dalam pH sangat tinggi, dan adanya kemungkinan

terlepasnya obat yang terenkapsulasi melalui pori nanopartikel alginat.

Keterbatasan alginat tersebut kemudian diatasi dengan penambahan gugus

aldehid, tioasilalginat, pembuatan hydrophilic modified alginat, maupun

pembuatan kompleks alginat dengan polimer lain seperti pektin dan etilselulosa.

Proses pembuatan kompleks alginat dan pektin atau etilselulosa memerlukan adisi

dari ion polivalen yang kemudian membentuk hidrokoloid. Solusi pengatasan

masalah alginat yang paling umum adalah melalui pemebentukan kompleks


52

polielektrolit yaitu pencampuran larutan berair dua polimer yang berlawanan

muatannya seperti kitosan dan alginat.

Kitosan merupakan polikation sementara alginat merupakan polianion

sehingga pencampuran alginat dan kitosan dalam kondisi normal akan membentuk

kompleks polielektrolit yang mampu memerangkap obat didalamnya. Selain itu

perbedaan nilai keduanya memungkinkan pergantian peran dalam kondisi

berbeda. Alginat tidak larut dalam pH rendah, sehingga dapat membantu kitosan

dalam mempertahankan kompleks nanopartikel ditengah kondisi asam, sebaliknya

kitosan memberikan dampak yang serupa dalam kondisi basa (Thwala, 2010).
OH

O HO OH

O O O

HO OH O

OH

Gambar 6. Struktur senyawa natrium alginat (Sigma-Aldrich, 2017)

2.7 Karakterisasi Partikel

2.7.1 Dynamic Light Scattering

Ukuran dan distribusi ukuran partikel diukur menggunakan particle size

analyzer (PSA) menggunakan prinsip photon correlation spectroscopy dan

Electrophoretic Light Scattering. Rentang pengukuran dengan alat ini yaitu 0,6

μm–7 nm. PSA menggunakan metode dynamic light scattering (DLS) yang

memanfaatkan hamburan inframerah. Konsepnya bahwa partikel kecil dalam

suspense bergerak dengan pola secara acak, kemudian sinar laser menyinarinya.

Semakin besar ukuran partikel, semakin lambat gerak Brown. Ukuran dan
52

distribusi partikel merupakan karakteristik yang paling penting dalam sistem

submikro partikel. Hal ini digunakan untuk memperkirakan distribusi secara in

vivo, biologis, toksisitas, dan kemampuan membidik dari sistem submikro partikel

(Mohanraj, 2006).

Penentuan ukuran dan distribusi ukuran submikro partikel harus dilakukan

karena mempengaruhi secara langsung keunikan sifat submikro partikel. Metode

selain dynamic light scattering (DLS) yang dapat digunakan antara lain statis light

scattering (SLS), NMR, turbidimetri, dan lain sebagainya (Haskell, 2006). Sampel

diukur dengan perhitungan beberapa jenis menghasilkan representasi dari

distribusi ukuran partikel. Distribusi ukuran partikel dapat dihitung sebagai angka

atau volume distribusi massa. Analisis memberikan nilai ukuran untuk setiap

partikel yang diperiksa (Horiba, 2014).

2.7.2 Spektrofotometri UV-Vis

Spektrofotometri merupakan salah satu metode dalam kimia analisis yang

digunakan untuk menentukan komposisi suatu sampel baik secara kuantitatif dan

kualitatif yang didasarkan pada interaksi antara materi dengan cahaya yang dapat

berupa cahaya visibel, UV, dan inframerah, sedangkan materi dapat berupa atom

dan molekul namun yang lebih berperan adalah elektron valensi. Spektrofotometri

UV-Vis melibatkan energi elektronik yang cukup besar pada molekul yang

dianalisis, sehingga spektrofotometri UV-Vis lebih banyak dipakai untuk analisis

kuantitatif dibandingkan kualitatif (Khopkar, 1990).

Sinar dan spektrum dengan panjang gelombang akan dihasilkan oleh

spektrofotometri dan fotometri adalah alat pengukur intensitas cahaya yang

ditransmisikan atau diabsorbsi. Jadi spektrofotometri digunakan untuk mengukur


52

energi secara relatif jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau

diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang (Khopkar, 1990).

Spektrofotometri UV-Vis adalah pengukuran panjang gelombang dan intensitas

sinar ultraviolet serta cahaya tampak yang diabsorpsi oleh sampel.

Cahaya tampak dan sinar ultraviolet memiliki energi yang cukup untuk

mempromosikan elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi.

Spektrofotometri UV-Vis biasanya digunakan untuk molekul dan ion anorganik

atau kompleks di dalam larutan. Spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran

secara kuantitatif (Dachriyanus, 2004). Ketika suatu atom atau molekul menyerap

cahaya maka energi tersebut akan menyebabkan tereksitasinya elektron pada kulit

terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Tipe eksitasi tergantung pada panjang

gelombang cahaya yang diserap.

Elektron yang tereksitasi ke orbital yang lebih tinggi disebabkan oleh sinar

ultraviolet dan sinar tampak. Sistem yang bertanggung jawab terhadap absorpsi

cahaya disebut kromofor (Dachriyanus, 2004). Kromofor merupakan semua gugus

atau atom dalam senyawa organik yang mampu menyerap sinar ultraviolet dan

sinar tampak (Rohman and Gandjar, 2007). Prinsip dari spektrofotometer UV-Vis

adalah penyerapan sinar tampak untuk ultra violet dengan suatu molekul dapat

menyebabkan terjadinya eksitasi molekul dari tingkat energi dasar (ground state)

ketingkat energi yang paling tinggi (excited stated) (Sumar, 1994).

Pengabsorbsian sinar ultra violet atau sinar tampak oleh suatu molekul

umumnya menghasilkan eksitasi elektron bonding, akibatnya panjang absorbsi

maksimum dapat dikolerasikan dengan jenis ikatan yang ada didalam molekul.

Spektrofotometer UV-Vis dapat digunakan untuk mengukur serapan cahaya pada


52

daerah UV (100 - 200 nm) dan daerah sinar tampak (200 - 700 nm) (Sumar,

1994).

2.8 (X-Ray Diffraction) XRD

Teknik X-Ray Diffraction (XRD) berperan penting dalam proses analisis

padatan kristal maupun amorf. XRD adalah metode karakterisasi lapisan yang

digunakan untuk mengetahui senyawa kristal yang terbentuk. Teknik XRD dapat

digunakan untuk analisis struktur kristal karena setiap unsur atau senyawa

memiliki pola tertentu. Metode difraksi sinar-x merupakan metode analisis

kualitatif yang sangat penting karena kristalinitas dari material pola difraksi

serbuk yang karakteristik, oleh karena itu metode ini disebut juga metode sidik

jari serbuk (powder fingerprint method). Ukuran dan bentuk dari setiap selnya,

nomor atom, dan posisi atom-atom di dalam sel merupakan penyebab utama yang

menghasilkan bentuk pola-pola difraksi serbuk tersebut (Smallman, 2000).

Difraksi merupakan penyebaran atau pembelokan gelombang pada saat

gelombang melewati penghalang. Sinar-X merupakan gelombang

elektromagnetik dengan panjang gelombang diantara (400 – 800) nm dan

memiliki energi foton sebesar 1,2 x 103 eV – 2,4 x 105 eV yang dihasilkan

dari penembakan logam dengan elektron energi tertinggi, dengan karakterisasi

tersebut sinar-x mampu menembus zat padat sehingga dapat digunakan untuk

menentukan struktur kristal. Hamburan sinar ini dihasilkan bila suatu elektron

logam ditembak dengan elektron – elektron berkecepatan tinggi dalam tabung

hampa udara (Alkhins, 1999).


52

Peristiwa pembentukan sinar-x dapat dijelaskan yaitu pada saat

menumbuk logam, elektron yang berasal dari katoda (elektron datang) menembus

kulit atom dan mendekati kulit inti atom. Pada waktu mendekati inti atom,

elektron ditarik mendekati inti atom yang bermuatan positif, sehingga lintasan

elektron berbelok dan kecepatan elektron berkurang atau diperlambat karena

perlambatan ini, maka energi elektron berkurang. Energi yang hilang ini

dipancarkan dalam bentuk sinar-X. Proses ini terkenal sebagai proses

bremstrahlung (Beiser, 1992).

Gambar 7. Diagram Sinar X (Arthur Beiser, 1992)

Radiasi yang dipancarkan dapat dipisahkan menjadi dua komponen, yaitu

spektrum kontinyu dengan rentang panjang gelombang yang lebar dan spektrum

diskrit sesuai karakterisasi logam yang ditembak. Radiasi spektrum kontinyu

terjadi akibat perlambatan mendadak gerak elektron dari katoda pada saat

mendekati anoda akibat pengaruh gaya elektrostatika. Energi radiasi pada

spektrum kontinyu akan naik seiring dengan bertambahnya nomor atomik target

dan berbanding lurus dengan kuadrat tegangan (Beiser, 1992).


52

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan Februari 2018 sampai dengan

Juni 2018. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Farmasi,

Laboratorium Instrumentasi, dan Farmakologi Jurusan Farmasi dan Laboratorium

Fisika Program Studi Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sriwijaya, Laboratorium Pengujian Obat Makanan dan Kosmetik

Universitas Islam Indonesia dan Balai Besar Laboratorium Kesehatan Palembang.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain timbangan analitik

0,0001 g (Ohaus®), spektrofotometer UV-Vis (Biobase® BK-UV1900PC), oven,

alumunium foil, blender (Philips®), pipet mikro 50 µl dan 100 µl (DragonLab®),

spin bar (Scienceware®), magnetic stirer (IKA® C-MAG HS 4), Vivaspin® 300

kDa (Sartorius®), alat-alat gelas (Pyrex®), stopwatch, skin tone, freezer, dan PSA

(Particle Size Analyzer) (Horiba Scientific®).

3.2.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan adalah umbi bengkuang (Pachyrhizus erosus),

tikus putih jantan, akuabides (Dira Sonita), HPMC (Bratachem), asam sitrat

(Bratachem), kalsium klorida (Merck®), kitosan (Chitosan Pharma), natrium

alginat (QuadrantLab), kuersetin (Chemix Pratama), metanol p.a. (PT. Multisera),


52

aluminium klorida (AlCl3) (Bratachem), dan krim malam bengkuang mustika

ratu.

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Pengambilan dan Pembuatan Sampel

Sampel umbi bengkuang diambil di Kecamatan Indarung kota Padang,

Sumatera Barat. Umbi bengkuang sebanyak 0,5 kg yang sudah dikupas kulitnya

dan dicuci bersih dipotong menjadi beberapa bagian dan diblender hingga halus.

Proses dilanjutkan dengan menyaring bubur bengkuang menggunakan kain putih

bersih dan didiamkan sampai mendapatkan pati. Hasil disaring dan dikeringkan

dalam oven dengan suhu tidak lebih dari 100°C selama 60 menit. Pati yang

sudah kering kemudian diayak sampai halus dengan ayakan mesh 100.

3.3.2 Skrining Fitokimia

3.3.2.1 Uji Senyawa Flavonoid

Identifikasi adanya kandungan flavonoid dilakukan menggunakan pereaksi

Shinoda (logam Mg + HCl), sebanyak 200 mg pati bengkuang ditambahkan tiga

tetes HCl pekat kemudian ditambahkan 0,2 mg logam magnesium. Sampel yang

berwarna kuning atau merah menunjukkan adanya kandungan flavonoid. Uji

flavonoid dengan cara lain dapat dilakukan dengan menggunakan NaOH 10%.

Pati bengkuang 200 mg ditambahkan 2 tetes NaOH 10% pada plat tetes, dan

dinyatakan positif apabila terjadi perubahan warna kuning, merah atau jingga (Al

- Daihan and Bhat, 2012).


52

3.3.3 Preparasi Bahan

3.3.3.1 Preparasi Asam Sitrat

Serbuk asam sitrat sebanyak 0,5 g dicampur 10 ml akuabides ke dalam

gelas beker dan dihomogenkan. Hasil ini kemudian dipisah menjadi dua dengan

masing-masing konsentrasi yaitu 3 ml dan 7 ml ke dalam gelas beker yang

berbeda.

3.3.3.2 Preparasi Kitosan

Serbuk kitosan sebanyak 0,035 g dilarutkan dalam 7 ml larutan asam sitrat

ke dalam gelas beker dan distirer selama 30 menit dengan kecepatan 75 rpm.

Proses ini dilakukan sampai homogen.

3.3.3.3 Preparasi Natrium Alginat

Serbuk natrium alginat sebanyak 0,05 g ditambah 10 ml akuabides ke

dalam gelas beker dan distirer selama 30 menit dengan kecepatan 75 rpm. Larutan

natrium alginat yang sudah jadi diambil sebanyak 5 ml.

3.3.3.4 Preparasi Kalsium Klorida

Kalsium klorida sebanyak 0,019 g dicampur 10 ml akuabides ke dalam

gelas beker dan dihomogenkan menggunakan batang pengaduk. Proses ini

dilakukan hingga larutan kalsium klorida larut sempurna.

3.3.4 Formula

Formula submikro partikel kitosan natrium alginat pembawa pati

bengkuang ditampilkan pada Tabel 1. Variasi pada formula ini adalah konsentrasi

zat aktif. Penggunaan pati sebanyak 1 g untuk F1, 2 g untuk F2, dan 3 g untuk F3.

Kitosan sebanyak 35 mg, natrium alginat 50 mg, dan kalsium klorida 0,018M

sebanyak 2,5ml. Komposisi dari formula dapat dilihat pada tabel di bawah :
52

Tabel 1. Komposisi formula submikro partikel pembawa pati bengkuang

Jumlah Bahan dalam


Bahan Formulasi
F1 F2 F3
Pati bengkuang (g) 1 1 1
Kitosan (mg) 35 35 35
Na alginat (mg) 50 50 50
Cacl2 0,0018 M (ml) 2,5 4,5 6,5

3.3.5 Pembuatan Submikro Partikel Pembawa Pati Bengkuang

Pati bengkuang sebanyak 1 g dicampur 3 ml asam sitrat dan diaduk hingga

homogen dalam gelas beker kemudian distirer dengan kecepatan 100 rpm selama

180 menit (massa satu). Larutan kitosan dicampur dengan larutan natrium alginat

dan diaduk hingga homogen (massa dua), kemudian dicampur ke dalam massa satu

secara drop by drop (massa tiga) dan disimpan pada suhu kulkas selama 30 menit

sehingga terbentuk pre partikel. Preparasi kalsium klorida yang telah dilakukan

kemudian dicampur ke dalam massa tiga secara drop by drop sebanyak 2,5 ml dan

di stirer dengan kecepatan 75 rpm selama 30 menit.

3.3.6 Preparasi Larutan Induk Kuersetin

Larutan induk kuarsetin disiapkan dengan menimbang kuarsetin sebanyak

5 mg dan dilarutkan dengan metanol p.a. dalam labu takar hingga konsentrasinya

menjadi 1 mg/ml atau 1000 µg/mL. Lalu larutan induk 1000 µg/mL, diambil

sebanyak 1 mL dilarutkan dalam labu takar 10 mL dengan pelarut metanol p.a.

hingga tanda takar (kadar kuersetin 100 µg/mL).

3.3.7 Pengukuran Panjang Gelombang Maksimum

Penentuan panjang gelombang maksimum dilakukan dengan mengukur

absorbansi kuersetin pada rentang panjang gelombang 200 – 500 nm

menggunakan spektrofotometer. Setelah didapatkan panjang gelombang


52

maksimum variasi konsenrasi kuersetin selanjutnya diukur absorbansinya

dengan spektrofotometer (Chang et al., 2002).

3.3.8 Purifikasi Partikel dan Penentuan Persen Efisiensi Enkapsulasi (%EE)

Purifikasi submikro partikel kitosan natrium alginat pembawa pati

bengkuang dilakukan dengan cara 30 ml larutan dimasukkan ke dalam Vivaspin ®

300 kDa lalu disentrifugasi selama 15 menit hingga didapatkan 2 fase yaitu fase

terjerap dan fase tidak terjerap. Fase yang tidak terjerap dipisahkan dan

ditambahkan Aqua Pro Injection (API) sebanyak 30 ml ke dalam fase yang

terjerap dan disentrifugasi kembali, diulangi sebanyak 3 kali hingga didapatkan

partikel yang tidak terjerap.

Penentuan %EE dilakukan dengan cara membuat kurva kalibrasi.

Larutan kurva baku dibuat dari larutan induk kuersetin 100 µg/mL dengan cara

memipet 0,1; 0,5; 1,0; 2,0; dan 2,5 mL, dilarutkan ke dalam 10 mL metanol

p.a. (kadar larutan standar menjadi 1; 5; 10; 15; 20; dan 25 µg/mL). Pembuatan

larutan AlCl3 10% dilakukan dengan 2,5 g AlCl3 dilarutkan dengan aquadest

hingga 25 mL. Sebanyak 1,5 mL dari masing-masing konsentrasi larutan

direaksikan dengan 0,1 mL AlCl3 10%, 0,1 mL natrium asetat 1 M, kemudian

diencerkan dengan aquadest sampai tanda batas. Larutan dikocok dan

didiamkan selama 30 menit.

Hasil absorbansi dibuat dalam bentuk kurva kalibrasi dalam persamaan

regresi (y = a + bx) dengan nilai R 0,99, jika nilai R tidak mencapai 0,99

menunjukkan data yang dihasilkan tidak linear maka dilakukan pengukuran

absorbansinya sehingga didapatkan kurva kalibrasi yang bagus. Pengukuran

absorbansi dilakukan pada larutan partikel pati bengkuang yang tidak terjerap
52

kemudian dilakukan penentuan persen EE menggunakan persamaan 1. Formula

dengan %EE teroptimum akan dikarakterisasi ukuran partikelnya lebih lanjut

(Fachrurrazie, 2012).

Nilai persen EE dapat ditentukan dengan menggunakan Persamaan 1.

.................................... (1)

3.3.9 Karakterisasi Partikel

Penentuan diameter, distribusi, dan zeta pontensial partikel dengan

menggunakan alat PSA melalui metode DLS. Larutan submikro partikel kitosan-

pati Bengkuang yang telah dipurifikasi diambil sebanyak 5 μl, diencerkan

kali (5 ml) menggunakan akuades, kemudian diambil 5 μl dan dimasukkan ke

dalam kuvet PSA. Cahaya monokromatik akan ditembakkan oleh instrumen, hasil

cahaya yang dibiaskan pada sudut 173° dan detektor akan menangkap hasil

pembiasan cahaya untuk menghasilkan zeta potensial. Hasil penghamburan

cahaya pada sudut 90° akan ditangkap oleh detektor sehingga menghasilkan

diameter dan distribusi partikel (Pal et al., 2011).

3.3.10 Karakterisasi X-Ray Diffraction (XRD)

Formula yang di ukur dengan XRD (X-Ray Diffraction) adalah 5 mg pati

bengkuang, kitosan, dan natrium alginat. Pengukuran dilakukan menggunakan

mode scanning continuous scan sumbu Ɵ dengan cara permukaan sampel

diratakan dan dipadatkan pada holder aluminium untuk selanjutnya dilakukan

pengukuran dengan alat XRD.


52

3.3.11 Pembuatan Gel

Tabel 2. Formula gel


Jumlah Bahan dalam
Bahan Formulasi
F1 F2 F3
Submikro pertikel pati bengkuang 1% 2% 3%
HPMC 2% 2% 2%
Etanol 2% 2% 2%
Akuades 20 ml 20 ml 20 ml

Air (20 kali jumlah HPMC) dipanaskan di hot plate pada suhu 100˚C lalu

HPMC ditaburkan sambil diaduk. Sisa air ditambahkan pada masa tersebut lalu

ditutup dengan alumunium foil kemudian didiamkan sampai suhu 5˚ .

Selanjutnya ditambahkan submikro partikel pati bengkuang yang telah ditetesi

etanol sambil terus diaduk hingga terbentuk masa sistem koloid (Hartawan, 2014).

3.3.12 Prosedur Uji Pencerah Kulit Secara In Vivo

Hewan uji dikelompokkan menjadi 5 kelompok berdasarkan perlakuan

yang diberikan.

Tabel 3. Kelompok uji


No Kelompok Perlakuan
1. Kontrol negatif Sinar UV +HPMC 2%
2. Kontrol positif Sinar UV + Mustika ratu night cream
3. Perlakuan I Sinar UV + Formula gel submikro partikel 1 %
4. Perlakuan II Sinar UV + Formula gel submikro partikel 2%
5. Perlakuan III Sinar UV + Formula gel submikro partikel 3%

Tikus putih jantan digunting dan dicukur habis bulu punggungnya, dibagi

dua bagian untuk masing masing bagian diberi perlakuan berbeda. Proses

selanjutnya yaitu tikus dijemur dibawah sinar matahari dengan rentang waktu

penjemuran antara pukul . . WI sampai mendapatkan warna kulit

berubah.
52

3.4 Analisis Data

3.4.1 Analisis Data Hasil PSA

Pengolahan diameter, disribusi, dan zeta potensial partikel dilakukan

dengan menggunakan alat PSA. Data diameter partikel dianalisis dengan

menggunakan menggunakan Microsoft Excel® dan dihasilkan poly dispersity

index (PDI).

3.4.2 Analisis Data Hasil Uji %EE

Persen EE dianalisis dengan cara membuatt persamaan garis (y = a + bx)

dari hasil absorbansi pengenceran tiap konsentrasi yang telah didapat dengan y

sebagai absorbansi dan x sebagai konsentrasi. Kurva kalibrasi digunakan untuk

mengubah nilai absorbansi pada tiap formula submikro partikel kitosan natrium

alginat pembawa pati bengkuang menjadi kadar atau konsentrasi obat dalam fase

yang terjerap. Perhitungan persen EE dapat ditentukan melalui rumus persen EE

pada Persamaan 1.

3.4.3 Analisis Data Perubahan Tingkat Warna Kulit

Data yang diperoleh dianalisis dengan Kolmogorov-Smirnov untuk melihat

normalitas distribusi data. Hasil uji Kolmogorov-Smirnov menunjukkan data

terdistribusi normal, maka pengujian dilakukan dengan ANOVA One Way. Hasil

pengujian tersebut kemudian dilanjutkan dengan uji Post Hoc Test untuk

mengetahui signifikansi antar kelompok perlakuan dengan α , 5.


52

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pembuatan Sampel

Umbi bengkuang sebanyak 0,5 kg yang sudah dikupas kulitnya, dicuci

bersih untuk menghilangkan kotoran yang masih menempel dan dihaluskan

menggunakan blender. Proses penghalusan menggunakan blender bertujuan agar

umbi bengkuang lebih mudah diendapkan ketika telah disaring. Penyaringan umbi

bengkuang yang telah menjadi bubur menggunakan kain putih bersih untuk

memisahkan ampas dan air perasannya. Proses selanjutnya ialah air hasil perasan

umbi bengkuang diendapkan dalam wadah yang diberi penutup, tujuan diberi

penutup adalah untuk mencegah debu dan kotoran masuk ke dalam endapan

(Raharjo, 2010)

Tahapan terpenting dalam proses pembuatan pati bengkuang untuk

menentukan kualitas pati adalah pengeringan. Metode pengeringan adalah suatu

metode untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan

dengan cara menguapkan air tersebut menggunakan energi panas (Riansyah dkk.,

2013). Teknik pengeringan yang dilakukan menggunakan oven karena membantu

mempercepat proses pengeringan dibandingkan teknik konvensional. Alasan lain

tidak digunakannya teknik konvensional adalah teknik konvensional sangat

bergantung pada cuaca dan memerlukan waktu yang cukup lama. Hasil yang

mengendap diambil untuk kemudian dimasukkan ke dalam oven, hal ini untuk

mengurangi kadar air dalam pati yang membuat pati lebih tahan lama dan lebih

mudah diproses (Sulistyowati, 2004).


52

Proses pengeringan dalam oven juga bertujuan untuk menghentikan reaksi

enzimatis dari pati selain itu juga dapat mencegah pertumbuhan jamur dan

mikroba (Harborne, 1987). Pati bengkuang dimasukkan dalam oven dengan cara

menabur secara merata dan dalam posisi datar agar tidak ada pati yang masih

lembab, karena akan mempengaruhi daya simpan pati. Ketika berada dalam oven,

suhu yang digunakan tidak lebih dari 100°C selama 60 menit karena suhu yang

berada diatas 100°C dan waktu diatas 60 menit akan membuat beberapa

kandungan kimia dalam bengkuang rusak. Pati yang telah kering kemudian diayak

menggunakan ayakan mesh 100 untuk membuat ukuran pati lebih halus dan kecil,

namun sebelum diayak dilakukan penggerusan agar pati lebih mudah lolos ketika

diayak.

Berdasarkan uji pendahuluan yang telah dilakukan, bengkuang yang

berasal dari Sumatera Barat lebih berserat dengan kandungan air yang lebih

banyak sehingga menghasilkan kualitas pati yang lebih baik dibandingkan

bengkuang lokal dari Sumatera Selatan. Kandungan air yang banyak membuat air

hasil perasan umbi bengkuang yang diendapkan dapat menghasilkan pati lebih

banyak. Bengkuang Sumatera Barat juga menghasilkan pati yang lebih cepat

kering dan mudah diproses dibandingkan bengkuang lokal Sumatera Selatan.

Tingkat tekstur bengkuang akan mempengaruhi proses pembuatan submikro

dimana bahan yang memiliki tekstur keras akan menghasilkan partikel yang

berukuran besar (Herudiyanto, 2009).

Warna pati yang didapatkan dari bengkuang lokal Sumatera Selatan

berwarna putih kekuning kuningan, sedangkan pati dari bengkuang lokal

Sumatera Barat berwarna putih susu. Warna dari pati dapat mempengaruhi
52

kualitas sediaan yang akan dibuat sehingga bengkuang yang digunakan pada

penelitian ini berasal dari Sumatera Barat agar sediaan yang dihasilkan tidak

meninggalkan bekas warna yang dapat menyebabkan hasil yang bias pada kulit

tikus (Dini, 2017).

Perbedaan kualitas bengkuang terjadi karena dipengaruhi jenis tanah di

wilayah Padang. Bengkuang dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang sangat

masam dengan pH 3,92 dan curah hujan yang tinggi yaitu 3200 mm pertahun.

Ketinggian daerah juga mempengaruhi kualitas bengkuang, karena bengkuang

cocok ditanam di daerah dengan ketinggian 1.500 mdpl atau tinggi dataran ideal

200 800 mdpl dengan suhu optimal berkisar 20 30°C seperti di Padang

(Sumatera Barat). Bengkuang varietas kota Padang merupakan galur murni,

dimana galur ini mempunyai gen yang homozigot sehingga tidak ditemukan

variasi genetik tanaman bengkuang di kota Padang dan juga tidak mengenal

musiman dan selalu ada setiap hari (Sorensen, 1998).

Kandungan utama bengkuang adalah air dan serat yaitu 85 gram per 100

gram umbi. Hasil yang didapat dari uji pendahuluan sesuai dengan teori karena

surat keputusan Menteri Pertanian nomor 275/Kpts/SR.120/M/7/2005 menyatakan

bahwa bengkuang asal Sumatera Barat ditetapkan sebagai varietas yang unggul.

Surat keputusan ini didasarkan pada keunggulan bengkuang Padang yang

memiliki rasa manis, tekstur umbi yang renyah, kulit yang mudah dilepas dari

dagingnya, beradaptasi sangat baik di dataran rendah, produktivitas tinggi serta

warna kulit daging yang putih bersih. Alasan inilah yang membuat bengkuang

asal Sumatera Barat sebagai sampel lebih dipilih dibandingkan bengkuang lain

(Keputusan Menteri Pertanian, 2005).


52

4.2 Uji Fitokimia Senyawa Flavonoid

Uji fitokimia dalam tumbuhan berguna dalam pemeriksaan kandungan

kimia secara kualitatif untuk mengetahui golongan senyawa yang terkandung. Uji

fitokimia yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji flavonoid karena senyawa

tersebut yang berperan besar dalam membantu menghambat pembentukan

melanin akibat radikal bebas sehingga berpotensi sebagai pencerah kulit pada uji

in vivo pati bengkuang. Pengujian senyawa flavonoid dilakukan dengan dua cara

yakni menggunakan pereaksi Shinoda dan NaOH 10%. Flavonoid merupakan

senyawa yang larut dalam air (Harborne, 1987).

Pereaksi shinoda terdiri dari logam Magnesium dan HCl yang akan

bereaksi dengan senyawa flavonoid melalui reduksi inti benzopiron pada struktur

flavonoid sehingga terbentuk warna kuning, merah atau bahkan kecoklatan.

Pembentukan warna ini terjadi karena penambahan gugus auksokrom yang

mengakibatkan perbesaran panjang gelombang maksimum dari senyawa

bertambah. Hasil uji flavonoid pati bengkuang menggunakan pereaksi shinoda

menunjukkan hasil positif karena terbentuknya warna jernih sedikit kekuningan

(Achmad, 1986).

Pati bengkuang yang ditambahkan dengan NaOH 10% menunjukkan hasil

positif, ini ditandai dengan terbentuknya warna kuning pada tabung reaksi.

Flavonoid termasuk golongan dari fenolik sehingga dapat terjadi pembentukan

warna, ini dikarenakan fenol yang direaksikan dengan basa akan menyebabkan

perubahan sistem konjugasi dari gugus aromatik (Achmad, 1986). Hasil uji

flavonoid dapat dilihat pada Lampiran 9. Hal ini sesuai dengan penelitian yang

dilakukan Lukitaningsih (2009) yang menyatakan bahwa umbi bengkuang


52

mengandung senyawa flavonoid yang membantu menghambat pembentukan

melanin akibat radikal bebas. Reaksi uji flavonoid dapat dilihat pada Gambar 8.

HO O -O O

NaOH

OH O-

O O
Flavonoid Garam flavilium
(a)

O O
2 HCl
2 2 + MgCl2
Mg
OH + OH

O OH
Flavononol Garam flavononol

O +O
+
MgCl2 + 2 2 + MgCl2

OH OH

OH OH

Garam flavononol Garam flavilium


(b)

Gambar 8. Reaksi senyawa flavonoid (a) dengan NaOH dan (b) dengan HCl + Mg (Marliana
dkk., 2005)

4.3 Preparasi Bahan

Preparasi bahan untuk formula submikro partikel kitosan alginat pembawa pati

bengkuang terdiri dari pati bengkuang, kitosan, natrium alginat, dan kalsium klorida.

Polimer yang digunakan untuk preparasi adalah kitosan, natrium alginat, dan kalsium

klorida. Pelarut yang digunakan untuk melarutkan bahan bahan tersebut adalah air.
52

Alasan pemilihan air sebagai pelarut karena bahan bahan tersebut memiliki

kelarutan yang baik dalam air. Pemanfaatan alginat didasarkan pada sifat

utamanya yaitu yang pertama kemampuannya dalam menaikkan viskositas larutan

apabila alginat dilarutkan dalam air. Sifat utama yang kedua adalah

kemampuannya untuk membentuk film dari natrium alginat. Alginat dapat

membentuk gel karena adanya kation divalen seperti Ca2+ yang membuat ikatan

silang dengan alginat karena terjadi kompleks antara anion karboksilat dari alginat

dengan ion divalen tersebut (Chaplin, 2005).

Gel terbentuk karena adanya reaksi kimia, pada proses tersebut Ca akan

menggantikan posisi natrium dari alginat dan mengikat molekul alginat yang

panjang. Proses ini tidak memerlukan panas dan gel yang terbentuk tidak akan

meleleh jika dipanaskan. Berbeda dengan gel agar yang memerlukan pemanasan

untuk pembentukan gelnya, sehingga air harus dipanaskan sampai suhu 80°C

untuk membentuk swelling atau gelatinisasi agar dan gel terbentuk pada suhu di

bawah 40°C. Sifat Gugus OH dari polimer serta interaksi ion logam dengan gugus

karboksilat dari alginat terjadi pada inter dan intra molekul ikut berperan dalam

pembentukan kompleks. Ion hidrogen pada gugus karboksilat dari natrium alginat

akan berikatan dengan ion klorida yang lepas pada CaCl2 (FAO, 2007).

Kitosan larut pada asam organik lemah seperti asam sitrat atau asam asetat

(pH <6,5). Unit glokosamin kitosan pada pH tersebut dikonversikan dalam bentuk

amina terprotonasi (R-NH3+) atau disebut ammonium kuartener sehingga dapat

terlarut. Kitosan terendapkan dalam larutan alkali atau dengan polianion dan

membentuk gel pada pH lebih rendah. (Kunjachan dkk., 2009).


52

Gugus bebas diprotonasi dan membuat molekul kitosan menjadi mudah

larut dalam pelarut asam, yang umumnya berada dalam rentang pH 4 6. Pasangan

bebas pada gugus amina primer bersifat nukleofilik yang dapat menjadi akseptor

proton, sehingga gugus amin ini dapat terprotonasi (Aranaz dkk., 2010). Kitosan

tidak larut dalam pelarut organik lain ataupun air dan akan mengalami degradasi

pada asam organik kuat, sedangkan pada natrium alginat dan kalsium klorida,

pelarut yang digunakan adalah API. Kedua bahan tersebut dapat larut dengan baik

dalam air yang disebabkan oleh adanya gugus karboksil pada alginat dan ion Cl-

pada CaCl2 yang akan berinteraksi dalam API, kemudian didapatkan larutan jernih

untuk pembuatan submikro partikel (Mardiyanto, 2013).

Asam organik lemah memiliki gugus hidroksi yang akan berikatan melalui

gugus amino bebas sehingga dapat larut air (Khan et al., 2002). Larutan asam

sitrat untuk pelarut kitosan yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan

konsentrasi 50 mg/ml. Semua bahan dalam formula untuk pembuatan submikro

partikel dilarutkan menggunakan alat magnetic stirrer dengan kecepatan 75 rpm

selama 30 menit pada suhu kamar untuk preparasi kitosan, natrium alginat, dan

kalsium klorida, sedangkan untuk pati bengkuang dilarutkan menggunakan alat

magnetic stirrer dengan kecepatan 100 rpm selama 180 menit pada suhu kamar.

Proses pelarutan pati bengkuang yang lebih lama bertujuan agar pati bercampur

sempurna dengan kitosan. Penggunaan magnetic stirrer untuk proses pengadukan

mempercepat proses kelarutan karena meningkatkan energi kinetik molekul

campuran yang membuat tumbukan antar molekul air lebih banyak terjadi, selain

itu dapat memperluas permukaan partikel yang menyebabkan peningkatan

homogenitas dari campuran sehingga meningkatkan kelarutan.


52

4.4 Pembuatan Submikro Partikel

Metode yang digunakan pada pembuatan submikro partikel kitosan alginat

pembawa pati bengkuang adalah metode gelasi ionik. Prinsip dasar dari metode

gelasi ionik yaitu berinteraksi secara elektrostatik antara gugus yang berbeda

muatan dari polimer dan penyambung silang atau cross linker. Alasan pemilihan

metode gelasi ionik adalah lebih aman digunakan dibandingkan metode lain

karena metode ini tidak menggunakan pelarut organik dalam proses pelarutannya.

Polimer yang digunakan dalam metode ini adalah kitosan dan natrium alginat

sehingga terjadi interaksi ionik antara polianion natrium alginat dan polikation

pada kitosan. Interaksi elektrostatik juga terjadi antara muatan negatif polianion

pada natrium alginat dan grup amina pada kitosan (Kim et al., 2004).

Pembuatan submikro partikel kitosan alginat pembawa pati bengkuang

menggunakan kalsium klorida sebagai cross linker yang berguna membentuk

kompleks polielektrolit dengan natrium alginat. Cross linker dalam larutan

submikro akan berinteraksi dengan gugus karboksilat dari natrium alginat

sehingga ion natrium akan tergantikan oleh ion kalsium dan membentuk struktur

tiga dimensi pada natrium alginat (Utami, 2012). Kompleks yang terbentuk ini

menyatukan natrium alginat dengan kitosan yang akan memperkuat interaksi

antara polianion dan polikation sehingga dapat melapisi zat aktif lebih baik dan

akan meningkatkan stabilitas zat aktif yang terjerap antara kedua polimer tersebut

(Sapana et al., 2013).

Pencampuran larutan pati bengkuang dengan polimer kitosan alginat

menggunakan magnetic stirrer agar mempercepat proses pencampuran semua

bahan dan menghindari proses aglomerasi sehingga partikel yang dihasilkan


52

berukuran seragam (Mardiyanto, 2013).

Tahap pertama yang dilakukan pada pembuatan submikro ialah Pati

bengkuang dilarutkan dalam larutan asam sitrat dan dan kitosan. Larutan kitosan

sebagai massa 1 dan natrium alginat sebagai massa 2. Penambahan dilakukan

pada massa 1 ke dalam massa 2 secara drop by drop. Teknik ini berguna agar

tidak terjadi agregasi pada partikel akibat pencampuran dua bahan dengan sifat

kepolaran yang berbeda dan menghasilkan bentuk partikel yang sperik. Efek dari

terapi akan maksimal bila bentuk partikel yang dihasilkan sperik. Bentuk yang

sperik menandakan bahwa formulasi submikro partikel sudah terlapisi oleh

polimer yang digunakan dan mencegah degradasi selama menuju target (Mason,

2014). Penambahan massa 1 ke dalam massa 2 menghasilkan massa 3

(prepartikel) yang selanjutnya ditambahkan cross linker agar terbentuk submikro

partikel.

4.5 Purifikasi Submikro Partikel

Proses purifikasi bertujuan unttuk memurnikan partikel antara submikro

partikel kitosan natrium alginat pengenkapsulasi pati bengkuang dari pelarut dan

pengotor yang larut dalam akuades karena akan mempengaruhi hasil dari

karakterisasi partikel. Hasil dari keseragaman ukuran partikel yang dihasilkan

dapat menandakan proses purifikasi sudah bagus. Submikro partikel dipurifikasi

menggunakan alat sentrifugasi. Proses sentrifugasi dilakukan dengan kecepatan

13.000 rpm. Larutan submikro partikel dimasukkan dalam tabung sentrifugasi dan

dilakukan sentrifugasi selama 15 menit. Satuan kecepatan sentrifugasi adalah rpm

(rotary per minute) tetapi dapat dikonversikan ke RCF (relative centrifuse force)

yang dinyatakan dalam satuan gravitasi (g) (Zulfikar, 2008).


52

Proses sentrifugasi menghasilkan endapan yang menunjukkan bahwa berat

jenis dari endapan lebih berat daripada supernatan. Kecepatan yang dibutuhkan

akan besar bila endapan yang terbentuk memiliki berat molekul yang kecil.

Semakin banyak endapan maka berat molekul makin besar, sehingga kecepatan

yang diperlukan kecil. Semakin cepat perputaran sentrifugasi maka proses

pengendapan akan meningkat, sedangkan semakin lambat kecepatan sentrifugasi

maka proses pengendapan akan menurun. Putaran pada sentrifugasi yang semakin

besar akan menyebabkan semakin besar pula tekanan yang dihasilkan (Gopala,

2016).

4.6 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Kuarsetin

Panjang gelombang maksimum adalah panjang gelombang suatu senyawa

dapat menyerap cahaya UV Vis secara maksimal. Panjang gelombang maksimum

pada penelitian ini diperoleh melalui proses wavelength scanning menggunakan

kuarsetin dengan AlCl3 yang dilarutkan pada metanol p.a. pada rentang panjang

gelombang 200 500 nm. Hasil penentuan panjang gelombang maksimum yang

didapat adalah sebesar 431 nm (Lampiran 11). Panjang gelombang menurut

literatur adalah 435 nm sehingga panjang gelombang maksimum kuarsetin yang

didapat tidak berbeda signifikan dengan panjang gelombang menurut literatur.

4.7 Penentuan Persen Efisiensi Enkapsulasi (%EE)

Penentuan persen EE dilakukan untuk mengetahui jumlah zat aktif yang

terenkapsulasi atau terjerap sehingga dapat menunjukkan efisiensi metode

pembuatan submikro partikel yang digunakan (Patel et al., 2006). Semakin

banyak zat aktif yang terenkapsulasi oleh polimer yang digunakan dalam formula

maka semakin sedikit kandungan zat bebas dalam sediaan yang terdegradasi
52

(Rakhmahaningtyas, 2012). Hasil yang mendekati 100% menunjukkan bahwa

hampir keseluruhan zat aktif terenkapsulasi atau terlindung oleh polimer. Analisis

persen EE dilakukan menggunakan spektrofotometer UV Vis meliputi penentuan

panjang gelombang kuarsetin yang digunakan sebagai larutan standar dalam

pembuatan kurva kalibrasi. Nilai persen EE ditentukan dengan mengukur serapan

dari supernatan hasil sentrifugasi (Pham et al., 2012). Kurva kalibrasi

menggambarkan hubungan antara konsentrasi dengan absorbansi berupa garis

lurus yang ditunjukkan melalui nilai r (koefisien korelasi). Syarat kurva kalibrasi

yang baik adalah nilai r>0,99 yang menunjukkan semakin linearnya hubungan

antara konsentrasi dan absorbansi (Kriswanto dkk., 2014).

Kurva kalibrasi dibuat dengan seri konsentrasi dan diukur absorbansinya

pada panjang gelombang 431 nm. Nilai absorbansi dimasukkan ke dalam

persamaan regresi linier. Berdasarkan absorbansi yang didapat dari kurva kalibrasi

diperoleh persamaan regresi linier y = 0,0249x+0,0005 dengan nilai r sebesar

0,99. Kurva kalibrasi dapat dilihat pada Lampiran 12. Nilai %EE dihitung

menggunakan Persamaan 1. Hasil %EE ketiga formula dapat dilihat pada Tabel 4,

dan perhitungan %EE dapat dilihat pada Lapiran 14.

Hasil %EE yang didapatkan pada formula 1, 2, dan 3 masing masing sebesar

82,36%, 81,10%, dan 77,72%. Formula 1 memiliki nilai %EE terbesar sehingga

dijadikan sebagai formula optimum. Nilai %EE yang besar menandakan partikel

terlindungi dengan baik oleh polimer kitosan dan natrium alginat sehingga

mencegah terjadinya kerusakan partikel saat proses homogenisasi berlangsung.


52

Tabel 4. Persen efisiensi enkapsulasi (%EE)


Formula Replikasi Absorbansi Absorbansi SD %EE
Rata rata
1 1 0,384
2 0,385 0,385 0,001 82,36%
3 0,386
2 1 0,419
2 0,420 0,420 0,001 81,10%
3 0,421
3 1 0,494
2 0,495 0,495 0,001528 77,72%
3 0,497

4.8 Karakterisasi Partikel

Analisis diameter dan distribusi partikel dilakukan dengan menggunakan

alat particle size analyzer (PSA) dengan metode dynamic light scattering (DLS).

Ukuran dari partikel diharapkan berukuran dengan rentang 200 500 nm karena

ukuran tersebut tidak menyebabkan kerusakan genetik akibat tembusnya membran

inti sel oleh partikel yang berukuran lebih kecil dan dapat diterima baik oleh sel

sel tubuh manusia (Rawa et al., 2006). Ukuran partikel lebih kecil dari 100 nm

akan menyebakan partikel dapat masuk dalam inti sel yang mengganggu kerja sel

sehingga mengakibatkan kerusakan pada sel tersebut. Hasil analisis ukuran

partikel yang dilakukan terhadap sampel cair submikro partikel kitosan alginat

pembawa pati bengkuang yang didapat adalah sebesar 3071,14 nm. Hasil

pengukuran PSA dapat dilihat pada Lampiran 15.

Hasil dari pengukuran diameter menunjukkan bahwa formula optimal yang

dianalisa tidak masuk ke dalam rentang submikro partikel. Hal ini dipengaruhi

salah satu parameter penting dalam pembuatan yaitu proses homogenisasi sediaan.

Pencampuran polimer yang hanya menggunakan magnetic stirrer tanpa disertai

penggunaan sonicator probe berdampak pada ukuran partikel sediaan yang besar
52

akibat tidak adanya energi kinetik yang cukup untuk mengecilkan ukuran partikel

(Kumar et al., 2012). Pengukuran distribusi ukuran partikel dilakukan untuk

mengetahui tingkat keseragaman distribusi ukuran partikel. Semakin kecil ukuran

diameter partikel yang dihasilkan maka akan menghasilkan luas partikel yang semakin

besar pula sehingga obat akan lebih mudah terlarut dalam tubuh dan meningkatkan

bioavailabilitas (Berne and Pecora, 2000).

Nilai PDI dapat menentukan sebaran dan keseragaman diameter dari

partikel, jika nilai PDI lebih kecil daripada satu, maka sediaan yang dianalisis

memiliki distribusi partikel yang sempit. Hal ini cenderung menyebabkan

diameter partikel lebih beragam, sedangkan distribusi ukuran partikel yang lebih

besar menghasilkan ukuran yang tidak seragam sehingga dapat meningkatkan

terjadinya aglomerasi antar partikel karena partikel yang kecil akan bertumbukan

dengan partikel yang besar (Yuan et al., 2008). Nilai PDI yang dihasilkan pada

pengukuran distribusi partikel atau PDI dengan alat PSA adalah sebesar 0, 403

(Lampiran 15). Semakin tinggi nilai PDI, maka semakin tidak seragam ukuran

partikel yang dihasilkan. Ukuran partikel yang beragam dapat meningkatkan

resiko terjadinya aglomerasi antar partikel yang memiliki ukuran berbeda

(Lakshmi and Kumar, 2010). Partikel sediaan dikatakan terdistribusi homogen

apabila nilai PDI <0,5. Formula submikro partikel kitosan alginat pembawa pati

bengkuang dapat dikatakan terdistribusi homogen karena memiliki nila PDI <0,5.

Karakterisasi submikro partikel kitosa alginat pembawa pati bengkuang

selanjutnya dilihat dari zeta potensial. Nilai zeta potensial dilakukan untuk

mengetahui sifat muatan yang dihasilkan pada permukaan partikel. Sifat muatan

partikel ini nantinya akan mempengaruhi stabilitas partikel. Suatu partikel dengan
52

partikel lainnya tidak mengalami tumbukan yang dapat menyebakan menurunnya

pembentukan agregat dapat ditunjukkan oleh nilai zeta potensial. Semakin tinggi

nilai zeta potensial yang dihasilkan, maka dapat mencegah partikel mengalami

agregasi dan menunjukkan kecenderungan stabil. Hasil zeta potensial yang rendah

akan menyebabkan kurangnya gaya tolak menolak antar partikel, sedangkan nilai

zeta potensial yang tinggi akan mencegah agregasi pada partikel (Monharaj and

Chen, 2006).

Rentang nilai zeta potensial adalah +25 dan -25 mV. Nilai zeta potensial

yang semakin mendekat menuju 25 mV menunjukkan bahwa tidak terjadi tarik

menarik antar partikel sehingga sediaan lebih stabil (Rabinovich et al., 2004).

Berdasarkan hasil pengamatan menggunakan alat PSA, didapat nilai zeta potensial

sebesar 4,1 mV (Lampiran 15).

4.9 Hasil XRD

Teknik X Ray Diffraction (XRD) berperan penting dalam proses analisis

padatan kristal maupun amorf. Teknik ini digunakan untuk analisis struktur kristal

atau amorf karena setiap unsur atau senyawa memiliki pola tertentu. Tujuan

dilakukannya analisa difraksi sinar X atau X Ray Diffraction dalam penelitian ini

adalah mengidentifikasi fase kristalin dalam material. Data yang diperoleh berupa

intensitas difraksi sinar X yang terdifraksi dan sudut sudut θ. Difraksi berarti

penyebaran atau pembelokan gelombang pada saat gelombang melewati

penghalang. Sinar X mampu menembus zat padat sehingga dapat digunakan

untuk menentukan struktur kristal (Smallman, 2000).

Pembentukan sinar X terjadi saat menumbuk logam, elektron yang berasal

dari katoda (elektron datang) menembus kulit atom dan mendekati kulit inti atom.
52

Elektron ditarik mendekati inti atom yang bermuatan positif sehingga lintasan

elektron berbelok. Kecepatan elektron akan berkurang atau diperlambat yang

menyebakan energi elektron hilang sehingga terbentuklah sinar X. Pemaparan

material yang memiliki struktur kristal dapat menyebabkan sinar X terpecah

menjadi dua sudut. Material yang tidak memiliki struktur kristal tidak akan

mengalami difraksi.

Zat dibagi menjadi tiga macam ditinjau dari strukturnya yaitu monocrystal

(kristal tunggal), polycrystal, dan amorf. Atom penyusun pada kristal tunggal

mempunyai struktur tetap karena molekul molekul atau atom penyusunnya

tersusun secara teratur dalam pola tiga dimensi. Pola pola ini berulang secara

periodik dalam rentang yang panjang tak berhingga. Kumpulan kumpulan dari

kristal tunggal dengan ukuran kecil dan menumpuk akan membentuk polycrystal.

Amorf memiliki pola susunan molekul atau atom yang acak dan tidak teratur

secara berulang (Ariswan, 2008).

Gambar 9. Susunan atom kristal (a) dan amorf (b) (Smallman, 2002)

Penelitian ini menggunakan polimer kitosan dan alginat yang dikontakkan

pada sinar X. Sediaan submikro partikel kitosan alginat pembawa pati bengkuang

juga dikontakkan pada sinar X. Analisa XRD akan memberikan data data

difraksi dan kuantitas intensitas difraksi pada sudut suatu bahan atau sampel yang
52

diukur. Sudut cahaya dilambangkan dengan teta (ϴ . Kedua polimer

memperlihatkan struktur kristal, dapat dilihat pada Gambar 10.

Keterangan :
A. Kitosan
B. Na alginat
C. Pati Bengkuang + Kitosan + Na alginat

Gambar 10. Spektra XRD kitosan, natrium alginat, dan pati bengkuang

Penjelasan grafik di atas adalah partikel dari kitosan berbentuk kristal,

begitu pula dengan alginat, namun setelah menjadi submikro partikel kitosan

alginat pembawa pati bengkuang terjadilah perubahan bentuk menjadi amorf.

Bentuk partikel dikatakan amorf bila terjadi perbedaan pola difraksi. Amorf tidak

memiliki puncak yang terpisah pada jarak tertentu dan pola yang dihasilkan lebar,

sedangkan bentuk kristal memiliki puncak yang terpisah pada jarak tertentu dan

pola yang dihasilkan tidak lebar. Penelitian ini sesuai dengan yang diharapkan

yaitu partikel harus berbentuk amorf. Alasan bentuk partikel harus berbentuk

amorf adalah lebih mudah larut dan cepat diabsorbsi (Tutu dkk., 2015).
52

4.10 Uji In Vivo

Pengujian efek pencerah kulit secara in vivo dilakukan dengan cara

mencukur habis kulit punggung tikus menjadi dua bagian, setelah itu kulit tikus

dibersihkan dari sisa rambut rambut halus yang masih menempel pada kulit

punggungnya. Tikus yang akan dijemur diukur terlebih dahulu warna kulit

awalnya untuk melihat perubahan warna yang terjadi setelah proses penjemuran

selesai. Prosedur selanjutnya menjemur tikus di bawah paparan sinar matahari

secara langsung selama 7 hari. Proses penjemuran dilakukan di lapangan terbuka

selama 30 menit. Pemberian pakan sebelum tikus dijemur berpengaruh besar

terhadap sistem imun dan ketahanan tikus saat dijemur.

Pengukuran warna pada kulit tikus menggunakan alat ukur skin tone yang

terdapat pada kemasan salah satu produk kosmetik di pasaran. Skala ukur ini

digunakan agar hasil yang ditimbulkan tidak bias karena terdapatnya angka 1 16

yang menandakan perubahan warna kulit. Warna kulit dikatakan berubah apabila

terjadi kenaikan angka pada skin tone.

Hewan uji diberikan perlakuan kontrol negatif, kontrol positif, F1, F2, dan

F3. Konsentrasi zat aktif 1% untuk F1, 2% untuk F2, dan 3% untuk F3. Semua

perlakuan diberikan dalam bentuk sediaan gel kecuali kontrol positif. Bentuk gel

dipilih karena mempunyai beberapa keunggulan dibanding jenis sediaan topikal

lain. Gel memiliki kemampuan pelepasan obat yang baik, mudah dibersihkan

dengan air, memberikan efek dingin akibat penguapan lambat di kulit.

Keuntungan gel juga mempunyai kemampuan penyebaran yang baik di kulit serta

tidak memiliki hambatan fungsi rambut secara fisiologis. Sediaan gel juga

mempunyai kelebihan lain diantaranya adalah memiliki daya lekat tinggi sehingga
52

tidak mudah mengalir pada permukaan kulit (Voight, 1984).

Proses pembuatan gel dilakukan dengan menaburkan HPMC ke dalam air

yang telah dipanaskan (massa 1) lalu dicampurkan submikro partikel pati

bengkuang yang telah ditetesi etanol (massa 2) sampai terbentuk massa sistem

koloid. Karakteristik gel harus disesuaikan dengan tujuan penggunaan sediaan

yang diharapkan. Penggunaan bahan pembentuk gel yang konsentrasinya sangat

tinggi dapat menghasilkan gel yang sulit untuk digunakan (Deiner, 2008).

HPMC dipilih karena dapat membentuk basis gel dengan cara

mengabsorbsi pelarut sehingga cairan tersebut tertahan dan meningkatkan tahanan

cairan dengan membentuk massa cairan yang kompak. Semakin banyak HPMC

yang terlarut maka semakin banyak juga cairan yang tertahan dan diikat oleh agen

pembentuk gel (Martin et al., 1993). Kontrol negatif yang digunakan pada

penelitian ini adalah penggunaan HPMC 2%. Pemilihan HPMC 2% sebagai

kontrol negatif karena untuk melihat pengaruh pemberian HPMC terhadap

perubahan warna kulit.

Sediaan pasaran yang dipilih dalam penelitian ini adalah krim malam

mustika ratu. Alasan pemilihan produk krim malam mustika ratu adalah karena

terdapat kandungan bengkuang didalamnya, berbentuk krim sehingga mudah

dioles pada kulit tikus, dan dipilihnya krim malam daripada krim siang karena

paparan sinar matahari pada tikus terjadi pada siang hari dan diluar ruangan,

sedangkan pengolesan pada tikus terjadi didalam ruangan tanpa disertai paparan

sinar matahari, selain itu krim siang mengandung tabir surya, padahal tabir surya

tidak diperlukan lagi. Alasan lain karena tidak tersedianya sediaan bengkuang lain

di pasaran dalam bentuk gel atau krim. Sebagian besar sediaan di pasaran tersebut
52

tersedia dalam bentuk face wash dan cleanser sehingga tidak dapat digunakan

untuk mengoles kulit tikus.

Paparan sinar matahari secara langsung pada kulit tikus menyebakan

hiperpigmentasi. Salah satu penyebab umum dari hiperpigmentasi adalah paparan

sinar matahari yang berlebih dan kerusakan kulit yang disebabkannya. Paparan

sinar matahari yang berlebihan juga akan meningkatkan jumlah melanin di kulit.

Hal ini pada akhirnya dapat mengakibatkan bintik bintik merah atau gelap pada

bagian kulit yang sering terbuka (Miriam, 2002). Bercak bercak ini memiliki

warna bervariasi mulai dari cokelat terang hingga hitam.

Flek berwarna coklat sampai berwarna hitam ini berkembang karena sel

sel kulit memproduksi antioksidan dan mengeluarkan melanin berlebih untuk

mencegah kerusakan akibat polutan. Melanin dibentuk oleh melanosit dengan

enzim tirosinase yang memainkan peranan penting dalam proses

pembentukannya. Sebagai akibat dari kerja enzim tironase, asam amino tirosin

diubah menjadi 3,4 dihidroxyferil alanin (DOPA) dan kemudian menjadi

dopaquinone, dan dikatalis menjadi dopachrome oleh enzim tirosinase, pada

proses berikutnya diubah menjadi 5,6 dihydroxyindole (DHI) dan 5,6

dihydroxyindole-2 carboxylic acid (DHICA) dan terbentuklah eumelanin atau

melanin yang berwarna coklat kehitaman. Eumelanin yang terbentuk akan dikirim

menuju keratinosit epidermal, hal ini akan menyebabkan pigmentasi pada kulit

(Baumann, 2009).
52

Sinar UV
Flavonoid menghambat enzim tirosinase Kulit

Tyrosinase

H
3HC C CHOO
Tyrosine
NH3

OH 1/2 O2

H2
OH C
CH COO

NH3
DOPA OH
1/2 O2

O
H2
C
H
C COO
E
NH3
P
O

DOPAquinone I
CO2

HO CH2 D
CH

HN
COO E
HO

H
R
LeucoDOPAchrom
e M

HO I

S
HO N
H
5,6 dihidroxyindol

Eumelanin
Gambar 11. Skema terjadinya pembentukan melanin (Chang et al., 2005)
52

Pati bengkuang dipilih untuk membandingkan kecepatan efek pencerah kulit

antara formula dengan sediaan di pasaran. Senyawa pada bengkuang yang

memiliki efek pencerah kulit adalah flavonoid. Mekanisme bengkuang dapat

mencerahkan kulit karena bengkuang mengandung flavonoid yang memiliki

aktivitas menghambat enzim tirosinase dengan kuat karena membentuk khelat di

situs aktif tirosinase sehingga melanin tidak terbentuk. Enzim tirosinase ini

mengkatalis dua reaksi utama dalam biosintesis melanin, yaitu hidroksilasi L

tirosin menjadi L dopa dan oksidasi L dopa menjadi dopaquinone. Senyawa

dopaquinone mempunyai kereaktifan yang sangat tinggi sehingga dapat

mengalami polimerisasi secara spontan membentuk dopachrome yang kemudian

menjadi melanin (Chang et al., 2005).

Pengolesan sediaan pada kulit tikus yang telah dijemur dilakukan sebanyak

2 kali sehari. Perhitungan dosis sediaan yang dioles dapat dilihat pada Lampiran

8. Pengukuran skin tone pada kulit tikus yang telah djemur dilakukan setiap hari

selama 4 hari pengolesan. Proses pengukuran menggunakan alat ukur skin tone

dilakukan dengan cara menempelkan kertas ukur skin tone tepat disebelah kulit

tikus yang akan diamati.

Gambar 12. Alat ukur warna kulit yang digunakan untuk mengukur warna kulit tikus

Perhitungan tingkatan skin tone dilakukan selama 4 hari setelah tikus selesai

dijemur yaitu pada H+1, H+2, H+3, dan H+4. Pengukuran warna kulit dilakukan
52

dengan melihat angka hasil tingkatan skin tone yang semakin kecil, karena hasil

yang menunjukkan angka tingkatan skin tone yang semakin kecil menandakan

bahwa kulit semakin cerah. Berdasarkan hasil pengujian yang didapat, dapat

disimpulkan bahwa F3 lebih cepat mencerahkan kulit tikus dibandingkan F1, F2,

kontrol positif, dan kontrol negatif. Hal ini disebabkan oleh pemberian zat aktif

yang menghasilkan formula optimum dibandingkan F2 dan F1.

Pemberian zat aktif berpengaruh terhadap kecepatan perubahan warna kulit.

Rentang zat aktif yang diberikan sebesar 1 3% karena kandungan zat aktif di atas

3% akan menyebabkan gel menjadi kental dan sulit berpenetrasi sehingga efek

yang dihasilkan akan lebih lama. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan

(Suryani et al., 2002) yang menyatakan bahwa konsentrasi pati bengkuang >5%

akan menghasilkan sediaan yang memiliki tekstur padat sedangkan konsentrasi

pati bengkuang <1% menghasilkan sediaan yang memiliki tekstur cair. Hasil uji in

vivo dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil uji in vivo

Perlakuan Kontrol Kontrol Formula Formula Formula


Hari ke positif negatif 1 2 3

H-0 2 2 2 2 2
H-1 3 4 4 3 3
H-2 4 4 5 4,67 4,3
H-3 5 6 6 6 6
H-4 6 6,7 7 6,7 6,7
H-5 8 7,7 8 8 8
H-6 9,3 9 9,3 9 9,33
H-7 11 11 11 11 11
H+1 10 10,7 10,3 9,7 10
H+2 9 10 9 8,3 8
H+3 8 9 7 6,7 6
H+4 7 9 6 5 4

Berdasarkan hasil pengujian in vivo yang didapatkan pada replikasi 1,

formula 3 menunjukkan rentang hasil angka skin tone yang kecil sehingga
52

disimpulkan formula 3 lebih cepat mencerahkan kulit dibandingkan formula 1, 2,

kontrol negatif, dan kontrol positif. H0 sampai H-7 menunjukkan proses

penjemuran sedangkan H+1 sampai H+4 menunjukkan proses pengolesan sediaan

setelah tikus selesai dijemur.

Pengujian dilakukan sebanyak tiga kali pengulangan atau 3 replikasi. Hasil

yang didapatkan pada pengujian replikasi 2 dan replikasi 3 menunjukkan hasil

yang sama yaitu formula 3 lebih cepat mencerahkan kulit dibandingkan formula 1,

formula 2, kontrol positif, dan kontrol negatif.

7
warna kulit pada skin tone

0
Hari ke+1 Hari ke+2 Hari ke+3 Hari ke+4

kelompok positif kelompok negatif F1 F2 F3

Gambar 13. Grafik rata-rata warna kulit tikus

Berdasarkan Gambar 13, dapat dilihat bahwa F3 menghasilkan grafik skin

tone paling tinggi karena pada F3, jumlah zat aktif yang terkandung didalamnya

adalah yang paling besar sehingga lebih cepat menurunkan angka warna pada skin

tone sehingga selisih yang dihasilkan adalah yang paling besar. Kelompok negatif

pada hari ke+3 dan pada hari ke+4 menunjukkan grafik yang tetap karena pada
52

kelompok negatif hanya diberikan HPMC 2%, ini berarti HPMC 2% tidak

mempengaruhi kecepatan pencerah kulit pada tikus.

4.11 Analisis Data

Analisis statistika dilakukan untuk mengetahui perbedaan hasil akibat

pengaruh konsentrasi formula yang diberikan terhadap hewan uji. Hasil perubahan

warna kulit tikus dianalisis menggunakan SPSS® 16. Analisis hasil perubahan

warna kulit tikus diolah dengan melakukan uji normalitas terlebih dahulu. Uji

normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data yang dianalisis terdistribusi

normal atau tidak. Berdasarkan hasil yang didapat dari analisis uji normalitas pada

nilai perubahan warna kulit tikus, diperoleh nilai signifikansi >0,05 menggunakan

metode Shapiro Wilk yang menunjukkan bahwa nilai perubahan warna kulit tikus

yang dianalisis terdistribusi normal. Hasil uji normalitas dapat dilihat pada

Lampiran 18.

Analisis yang dilakukan selanjutnya adalah One Way ANOVA. Hasil nilai

sig. yang didapatkan pada uji ANOVA sebesar 0.00 yang menandakan bahwa

terdapatnya perbedaan bermakna antar kelompok. Uji One Way ANOVA

dilanjutkan dengan Uji Post Hoc untuk melihat kelompok mana yang berbeda

secara signifikan. Kelompok kontrol positif H7 dengan kontrol positif H10, H11;

kontrol negatif H10, H11; F1 H10, H11; F2 H10, H11; dan F3 H10, H11

menunjukkan hasil yang berbeda signifikan, ditunjukkan nilai sig. 0,02, 0,00,

0,32, 0,32, 0,00, 0,00, 0,00, 0,00, 0,00, dan 0,00. Hasil analisis menggunakan

metode One Way ANOVA dapat dilihat pada Lampiran 18.


52

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan

sebaga berikut:

1. Pola spektra XRD yang dihasilkan menunjukkan sifat submikro partikel

kitosan alginat pembawa pati bengkuang yang berbentuk amorf sehingga

sudah sesuai dengan yang diharapkan karena bentuk amorf lebih mudah

diterima tubuh dibandingkan bentuk kristal.

2. Nilai %EE formula 1, 2, dan 3 berturut-turut sebesar 82,36% ± 0,001;

81,10% ± 0,001%; dan 77,72% ± 0,001%. Formula 1 memiliki nila persen

EE yang paling baik, yaitu sebesar 82,36% dibandingkan formula lain.

Formula yang menghasilkan nilai %EE terbesar dipilih menjadi formula

optimum karena zat yang terenkapsulasi akan semakin besar pula,

sehingga efek yang ditimbulkan lebih baik. Hasil karakterisasi

menggunakan PSA pada formula optimum menghasilkan partikel dengan

rata-rata ukuran 3071,148 nm, PDI sebesar 0,403, dan zeta potensial 4,1

mV.

3. Efek pencerah kulit pada gel formula 3 dengan kandungan zat aktif

submikro partikel sebesar 3% menghasilkan efek pencerah kulit yang lebih

bagus dibandingkan kontrol negatif, kontrol positif, formula 1, dan

formula 2, ditunjukkan dengan hasil tingkatan skin tone yang berubah

lebih cepat.
52

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh disarankan:

1. Perlu pengukuran morfologi menggunakan alat TEM (transmission

electron microscopy) untuk melihat bentuk, morfologi, dan distribusi

partikel.

2. Perlu penggunaan alat sonicator probe pada pembuatan submikro partikel

untuk mendapatkan ukuran partikel yang lebih kecil.

3. Perlu dilakukan pengujian in vitro terhadap submikro partikel kitosan dan

natrium alginat pembawa pati bengkuang.

4. Perlu pengujian stabilitas sediaan submikro partikel pembawa pati

bengkuang untuk mengetahui kualitas sediaan.


52

DAFTAR PUSTAKA

A, Barel., Paye, M. & Malbach, H. 2001, Handbook of Cosmetic Science and


Technology. p 155, Marcell Dekker Inc., New York, America.

Achmad, S.A. 1986, Kimia organik bahan alam, Departemen Pendidikan dan
kebudayaan Universitas Terbuka, Jakarta, Indonesia.

Al-daihan, S. & Bhat, R.S. 2012, Antibacterial activities of extracts of leaf, fruit,
seed and bark of Phoenix dactylifera. African Journal of Biotechnology,
11(42): 10021 - 10025.

Anderson, P.D. 1996, Anatomi dan fisiologi tubuh manusia, Buku Kedokteran
EGC, Jakarta, Indonesia.

Ansel, H.C. 1989, Pengantar bentuk sediaan farmasi, edisi ke-4, diterjemahkan
dari Bahasa Inggris oleh Ibrahim, Farida., Universitas Indonesia Press,
Jakarta, Indonesia.

Anwar, E., 2012, Eksipien dalam sediaan farmasi, karakterisasi dan aplikasi,
Dian Rakyat, Jakarta, Indonesia.

Aranaz, I., Harris, R., dan Heras, A., 2010, Chitosan Amphiphilic Derivatives,
Chemistry an Applications, Curr. Org. Chem., 14, 308-330.

Ariswan. 2010, Hand out Kristalografi, Universitas Negeri Yogyakarta,


Yogyakarta, Indonesia.

Assaori, S. 2010, Teknik dan metode peramalan, Universitas Indonesia Press,


Jakarta, Indonesia.

Ayu. Analisis pengaruh promosi, grup referensi dan keluarga terhadap keputusan
konsumen dalam pembelian produk kecantikan pond’s skin whitening di
kota Malang, diakses tanggal 23 September 2017,
<http://portalgaruda.org/>.

Backer, A & Brink,Van Den B. 1965, Flora of Java Spermatophytes Only,


Noordhoff Groningen, I(5): 312 - 328.

Bastaman, S. 1989, Studies on degradation and extraction of chitin and chitosan


from prawn shells, The Queen‟s University of elfast, Inggris.

Baumann, L. & Saghari, S. 2009, Skin pigmentation and pigmentation disorders.


Dalam Baumann, L., Saghari, S. & Weisberg E. (eds). Cosmetic
dermatology principles and practice. p 98 - 108, McGraw-Hill Co., New
York, America.
52

Berne, B.J. & Pecora, R. 2000, Dynamic light scattering: With application to
chemistry, biology, and physic, Dover Publication, New York, USA.

Bisht S., Feldmann, G., Soni, S., Ravi, R., Karikar, C., Maitra, A., et al. 2007,
Polymeric nanoparticle-encapsulated curcumin ("Nanocurcumin"): a novel
strategy for human cancer therapy, J. Biomater, 18(2): 205 – 221.

hang, T.S., H.Y. Ding., & H. .Lin. 5, „Identifying , , -


trihydroxyisoflavone as a potent tyrosinase inhibitor‟‟. iosci, 69(10):
1999-2001

Chaplin, M. 2005, Alginat water structure and behavior, Applied Science,


London South Bank University, London, United Kingdom.

Dachriyanus, 2004, Analisis struktur senyawa organik secara spektrofotometri,


Trianda Anugrah Pratama, Padang, Indonesia.

Damayanti, Lia. 2010, Kulit dan turunannya, diakses tanggal 21 Januari 2018,
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/lia.damayanti/material/kuliahhistolog
ikjp.pdf.

Deiner, Fadilah. 2008, Formulasi bath gel bengkuang - madu, Skripsi, S.TP.,
Teknologi Industri Pertanian, Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor, Bogor, Indonesia.

Delie, F. & Blanco, M.J. 2005, Polymeric particulate to improve oral


bioavailabiliti of peptide drugs. Molecules, 10(21): 65 - 75.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995, Farmakope Indonesia Edisi IV,


Dirjen POM, Jakarta, Indonesia.

Des Rieux, A., Fievez, V., Garinot, M., Schneider, Y., & Preat, V. 2006,
Nanoparticles as potential oral delivery systems of proteins and vaccines :
a mechanistic approach. J. Control Release, 116(1): 1 – 27.

Dike. 2011, Manfaat bengkuang mencegah diabetes dan kanker, diakses tanggal
17 Januari 2018, <http://id.shvoong.com/>.

Dini, Purnama Hari., Surya, Wenny Murtius.,& Desri, Ira Rahmi. , „Studi
karakteristik hasil fermentasi olahan bengkuang (Pachryzus
erosus menggunakan konsentrasi ragi,‟ skripsi, S.T.P., Teknologi Hasil
Perikanan, Universitas Andalas, Padang, Indonesia.

Fachrurrazie. 2012, Mikroenkapsulasi ibuprofen tersalut poli(asam laktat) - lilin


lebah dengan pengemulsi poli(vinil alkohol), Skripsi, S.Si, Departemen
Kimia, MIPA, Institut Pertanian Bogor, Bogor, Indonesia.
52

Fitrie, Alya Amila. , „Histologi dari melanosit‟, e-USU Repository Fakultas


Kedokteran Bagian Histologi Universitas Sumatera Utara, diakses pada
tanggal 19 November 2017, <http://
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1929/3/histologi-alya2.pdf.txt>.

Fitzpatrick, T.B. & Freedberg, I.M. 2008, Fitzpatrick’s dermatology in general


medicine, 7th edition 7(1): 29 - 30, McGraw-Hill Companies Inc, New
York, USA.

Gandjar, G.H., & Rohman, A. 2007, Kimia farmasi analisis. Pustaka Pelajar
Yogyakarta, Indonesia.

Ghasemi, A. & Zahediasl, S. 2012, Normality tests for statistical analysis: a guide
for non-statisticans, Int J Endocrinology Metabolism, 10(2): 486 – 489.
Gennaro, A.R. 2001, Remington : The science and practica of pharmacy, 20th
edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia.

Gopala, J. 2016, „Pengaruh kecepatan sentrifugasi terhadap hasil pemeriksaan


sedimen urin pagi metode konvensional‟, Skripsi, S.ST., Analis
Kesehatan, Ilmu Keperawatan, Universitas Muhammadiyah, Semarang,
Indonesia.

Harbone, J.B. 1987, Metode fitokimia penuntun cara modern menganalisa


tumbuhan, Institut Teknologi Bandung, Bandung, Indonesia.

Hartawan. 2014, Karakterisasi dan interaksi minyak atsiri daun gelam dengan
HPMC menggunakan fourer transform infra red, foccusing digital
microscopy, scanning electron microscopy (SEM) dan uji daya hambat
pertumbuhan bakteri propionicbacterium acnes, Skripsi, S.Farm, Sekolah
Tinggi Ilmu Farmasi Palembang, Palembang, Indonesia.

Haskell, R.J. 2006, Physical characterization of nanoparticles, in : nanoparticles


technology for drug delivery. Taylor & Franncis Group, New York,
America.

Herudiyanto,Marleen S. 2008, Teknologi pengemasan pangan.Widya Padjajaran,


Bandung, Indonesia.

Hirano, S. 1986, Chitin ad chitosan, 5th edition, Ulmann‟s Encyclopedia of


Industrial Chemistry, Germany.

Horiba Instruments. 2014, A guidebook to particle size analysis. Horiba group,


Tokyo, Japan.

Ishihara, M., Obara, K., Nakamura, S., Fujita, M., Masuoka, K., Y, Sawa., et al.
2006, Chitosan hydrogel as a drug carrier to control angiogenesis, Journal
of Artificial Organs, 9(8): 23 - 46.
52

Jridi, Balti, R., M Sila, A., Souissi, N., Nedjar-Arroume, N., Guillochon, D., M,
Nasri., et al, 2011, Extraction and functional properties of gelatin from the
skin of cuttlefish (sepia officinalis) using smooth hound crude acid
protease-aided process, Food Hydrocolloids, 4(25): 943 - 950.
th
Junquiera L.C., Carneiro J., and Kelley R.O. 2003, Basic histology, 10 edition,
Lange, Washington, USA.

Karuniawan, A. & Wicaksana, N. 2006, Genetic relationships of yam bean


pachyrhizus erosus population based on morphological characters of
flowers and leaves, Buletin Agronomy IPB, 34(2): 98 - 105.

Khan, T.A., Peh, K.K. & Chang, H.S. 2002, Reporting degree of deacetylation
values of chitosan: the influence of analytical methods, J Pharm Sci, 5(3):
205 - 212.

Khopkar, S.M. 1990, Konsep dasar kimia analitik, Universitas Indonesia Press,
Jakarta, Indonesia.

Kim, K. 2014, Chitin and chitosan derivates, CRC Press, New York, USA.

Krisyanella, Susilawati, N. & Rivai, H. 2013, Pembuatan dan karakterisasi serta


penentuan kadar flavonoid dari ekstrak kering herba meniran (Phyllanthus
niruri L.). Farmasi Higea, 5(1): 120 - 135.

Kriswanto, Pernamasari, A. & Fatimah, S.S. 2014, Pengembangan dan uji validasi
metode analisis kadar parasctamol dan kafein dengan kromatografi cair
kinerja tinggi, J. Sci Tec Chem, 5: 51 – 59.

Kumakiri, M., Hashimoto, K., and Willis, L. 1977, Biologic changes due to long
wave ultraviolet irradiation on human skin ultrastructural study, J. Invest
Dermatol, 8(69): 392 - 400.

Kumar, R. 2000, A review of chitin and chitosan applications, Journal of Reactive


& Functional Polymers, 46: 1 – 3.

Lee, A. & Kaplan, M.D. 1992, Suntan, sunburn, and sun protection, Journal of
Wildernes Medicine, 6(3):174 - 179.

Li, P., Dai, Y., Zhang, J.P., Wang, A.Q. & Wei, Q. 2008, Chitosan-alginate
nanoparticles as a novel drug delivery system for nifedipin, International
Journal Biomed Sci, 4(3): 221 – 228.

Lukitaningsih, Endang. , „The exploration of whitening and sun screening


compounds in bengkoang roots (Pachyrhizus erosus ‟, Dissertation,
52

Dr.R.R., Faculty Chemical and Pharmacy, Wurzburg University,


Germany.

Majalah Kesehatan. 2011, 7 Herbal alami untuk perawatan kulit, diakses tanggal
17 Januari 2018, <http://majalahkesehatan.com/>.

Mao, S., Sun, W., & Kissel, T. 2009, Chitosan based formulation for delivery of
DNA and RNA. Advanced Drug Delivery, 12(62): 12 - 27.

Mardiyanto, , „Investigation of nanoparticulate formulation intended for


caffeine delivery into hair follicle‟, Dissertation, Dr.rer.nat., Departement
of Pharmacy, Faculty of Science, Saarland University, Saarbruecken,
Germany.

Martien, R., Adhyatmika, Irianto., Iramie D.K., Farida, V., Sari, Dian Purwita.
2012, Perkembangan teknologi nanopartikel sebagai sistem penghantaran
obat. Majalah Farmasetik, 8(1): 167 - 179.

Mason, T.J. 2014, Introduction to sonochemistry, diakses pada tanggal 7 Agustus


2018, < http://www.sonochemistry.info/introdution.htm>.

Martien, R., Adhyatmika., Iramie, D.K.I., Verda, F. & Dian, P.S. 2012,
Perkembangan teknologi nanopartikel sebagai sistem penghantaran obat,
Majalah Farmaseutik, 8: 133 - 144.

Matsumura, Y & Ananthaswhamy, N. 2003, Toxic effects of ultraviolet radiation


on the skin. Toxicology and Applied Pharmacology, 195(2): 298 - 308.

Miriam. , „Pengaruh masker mentimun terhadap pengurangan


hiperpigmentasi pada kulit wajah‟, skripsi, S.T., Program Studi Tata Rias,
Fakultas Teknik, Universitas Negeri Jakarta, Jakarta, Indonesia.

Mohanraj, V.J. & Y. Chen. 2006, Nanoparticles : a review, Tropical Journal of


Pharmaceutical Research, 5(1): 34 - 47.

Monografi bengkuang, 2016, diakses tanggal 2 November 2017,


<http://idbiodiversitas.com/>.

Osborn, J.W. 2002, Notes on The Use of Data Transformation Practical


Assesment Reseach and Evaluation, diaskes pada tanggal 7 Agusus 2018,
<http://pareonline.net>.
Padamwar, M.N., & Pokharkar, V.B., 2006, Development of vitamin loaded
topical liposomal formulation using factorial aesign approach: drug
deposition and stability, International Journal of Pharmaceutics, 320(1):
37 - 44.

Pham, T.T.< Jaafar-Maalej, C., Charcosset, C. & Fessi, H. 2012, Liposome and
niosome preparation using a membrane cofactor for scale-up, Colloids and
52

Surface B: Biointerface, 94: 15 – 21.

Pal, S.L., J.P.K. Manna, G.P., Mohanta & Manavalan, R. 2011, Nanoparticle an
overview of preparation and characterization, J Appl. Pharm. Sci,
1(6): 228 - 234.

Park, K., Yeo, Y., & Swarbrick, J. 2007, Microencapsulation technology in:
encyclopedia of pharmaceutical technology. p 2315-2325, 3rd edition,
Informa Healthcare Inc, New York, USA.

Patel, M., Murugananthan. & Gowda, S. 2006. In vivo animal models in


preclinical evaluation of anti-Inflammatory activity – a review. Int. J
Pharm. Res. Allied Sci., 1(2): 01 – 05.

Peckham, M. 2014, At a glance histologi, Erlangga, Jakarta, Indonesia.

Poskitt, E.M., Cole, T.J. & Lawson, D.E. 1979, Diet, sunlight, and 25-hydroxy-
vitamin D in healthy children and adults, Brit Med, 1(4): 221.

Rabinovich, G.L., Couvreue, P., Lambert, G., Goldstein, D., Benita, S. &
Dubernet, C. 2004, Extensive surface studies help to analyse zeta
potesial data:the case of cationic emultions, Chem Phys Lipid, 131: 1 –
13.

Raharjo. 1994, Serapan hara pada tanaman umbi – umbian. Edisi khusus
Balittang Malang, Indonesia.

Rakhmaningtyas, W.A. , „Preparasi dan karakterisasi nanopartikel sambung


silang kitosan-natrium tripolifosfat dalam sediaan film bukal verapamil
hidroklorida‟, Skripsi, S.Farm., Program Studi Farmasi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia, Depok,
Indonesia.

Rawat, M.D., Singh, S. & Saraf. 2006, Nanocarriers: Promising vehicle for
bioactive drugs, Biol Pharm Bull, 29(9): 1790 – 1798.

Riansyah, A., Supriadi, Agus., & Nopianti, Rodiana. 2013, Pengaruh suhu dan
watu pengeringan menggunakan oven. Universitas Sriwijaya, Palembang,
Indonesia.

Saifudin, A., Rahayu, V. & Teruna, H.Y. 2011, Standardisasi bahan obat alam
Graha Ilmu Sharma, Yogyakarta, Indonesia.

Smallman, R., & Bishop, R. 1999, Modern Physics Metallurgy and Materials
Engineerin, Butterworth-Heinemann, Oxford, UK.
Sapana, P.A., Paraag, S.G., Shrivastav & Pankaj, S. 2013, Ionotropic gelation: a
promising cross linking technique for hydrogels, J nanotechnology, 2(1):
234 - 238.
52

Satiadarma, H. & Suyoto. 1986, Kesehatan kulit dan kosmetika, Andy Offset,
Yogyakarta, Indonesia.

Sekarindah, T. & H.Rozaline. 2006, Terapi jus buah dan sayur, Puspa Swara,
Depok, Indonesia.

Setiati. 2008, Pengaruh pajanan sinar ultraviolet B bersumber dari sinar


matahari terhadap konsentrasi vitamin D (25(OH)D) dan hormon
paratiroit pada perempuan usia lanjut indonesia, Jurnal Kesehatan
Masyarakat, 2(4): 148 - 149.

Shae, C.R. & Parrish, J.A. 1991, Nonionizing radation and the skin. Dalam In:LA
G. (eds). Physiology, biochemistry and molecular biology of the skin.
p.910-927, Oxford University Press., New York, America.

Siahaan, Eva R., Pangkahila, Wimpie. & Wiraguna, AAGP. 2017, Krim ekstrak
kulit delima merah (punica granatum) menghambat peningkatan jumlah
melanin sama efektifnya dengan krim hidrokuinon pada kulit marmut
(cavia porcellus) betina yang dipapar sinar UVB, J BM, 9(1):7 - 13.

Sigma-Aldrich. 2016a, Chitosan, catalog product, diakses tanggal 28 Januari


2018,<http://www.sigmaaldrich.com/catalog/product/aldrich/448877?lang
=en&region=ID>.

Sigma-Aldrich. 2016b, Hydroxypropylmethtylcellulose, catalog product, diakses


tanggal26Juni2016,<http://www.sigmaaldrich.com/catalog/product/aldrich
/12345900465311?lan g=en&region=ID>.

Sigma-Aldrich. 2016c, Sodium Alginate, catalog product, diakses tanggal 26


Januari 2017,<http://www.sigmaaldrich.com/catalog/product/aldrich/w201
502?lang=en&region=ID>.

Soebaryo RW & Jacoeb, T.N.A. 2007, Fotobiologi . Dalam Djuanda, A (eds).


Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 5th edition. p. 177-181, FKUI., Jakarta,
Indonesia.

Sonny. 2013, Suplemen, Jurnal Biomedik, 5(3):12 - 20.

Sridianti. 2013, Peran fungsi melanin pada manusia, diakses tanggal 23


September 2017, <http://sridianti.com/>.

Suardi, M. , „Formulasi dan uji klinik gel anti jerawat benzoil peroksida-
HPM ‟, skripsi, S.Farm., Farmasi, Universitas Udayana, Denpasar,
Indonesia.

Sulistyowati, R. , „Pengaruh suhu dan lama pengeringan menngunakan


cabinet dryer terhadap kadar air, protein dan lemak pada jamur tiram putih
52

(Pleurotus ostreatus ‟, skripsi, S.Pd., FKIP, Universitas Muhammadiyah


Malang, Malang, Indonesia.

Sumar Hendayana, dkk. 1994, Kimia analitik instrumen, 1st edition, IKIP
Semarang Press, Semarang, Indonesia.

Suryani, A., Sailah., & Rosdiana, Nopianti. , „Teknologi emulsi‟, Jurusan


Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor, Bogor, Indonesia.

Synowiecki, J & Al-Khateeb, N.A. 2003, Production, properties, and some new
applications od chitin and its derivatives, Critical Reviews in Food Science
and Nutrition, 43(2): 145 - 171.

Thwala, L.N. , „Preparation and characterization of chitosan-alginate


nanoparticle as a drug delivery system for lipophilic compounds‟,
Dissertation, M.Sc., Chemistry, University of Johannesburg,
Johannesburg, South Africa.

Tortora, G. J. and N. P. Anagnostakos. 1990, Principles of anatomy and


phisiology, 6thedition, Harper and Row Publ, New York, America.

Tutu, R., Subaer, & Usman, 2015, Studi analisis karakterisasi dan mikrostruktur
mineral sedimen sumber air panas Sulili di Kabupaten Pinrang, J Sains dan
Pendidikan Fisika, 11(2): 192 – 201.
Uragami, T. & Kim, S.K., 2006, Separation membranes from chitin, chitosan and
derivatives, biological activities and applications, CRC Press.

Utami, U.A. , „Preparasi dan karakterisasi beads kalsium alginate


pentoksifillin dengan metode gelasi ionik‟, Skripsi, S.Farm., Program
Studi Ekstensi Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia.

Voigt, R., 1984, Buku pelajaran teknologi farmasi, diterjemahkan oleh Noerono
Soendani, Edisi Kelima, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta,
Indonesia.

Voltenen, E.J. 1966, Studies of the mechanism ultraviolet-erythema formation:the


histamine content of the skin during the process of ultraviolet and thermal
erythema. Acta Derm Venerol: 46(19): 301 - 306.

Willis, I. & Cylus, L. 1977, UVA erythema in skin, J Invest Dermato, 9(21): 120 -
128.

Yuan, Y., Gao, Y., Zhao, J. & Mao, L. 2008, Characterization and stability of
beta-carotene nanoemulsions prepared by high pressure homogenization
under various emulsifying condition, Food Res Intl, 41: 61 – 68.
52

Zubaidah, E. 1998, Teknologi pangan fermentasi. Universitas Brawijaya, Malang,


Indonesia.

Zulfikar. 2008, Kimia kesehatan, ed III, Departemen Pendidikan Nasional,


Jakarta,Indonesia.

Zhai, Hongbo., Maibach. & Howard, I. , „Skin whitening agent in handbook


of cosmetic science and tecnology‟. arel (eds . Informa Health are Inc.,
USA.
52

LAMPIRAN

Lampiran 1. Skema Kerja Umum

Pati bengkuang

Preparasi pati bengkuang + larutan


asam sitrat + kitosan (massa 1)

Massa 1 + larutan natrium alginat


(massa 2)

Larutan prepartikel

Larutan prepartikel + CaCl2

- Sentrifugasi
- Pengukuran % EE

Formula optimum

Pembuatan gel

Pengujian pencerah kulit


secara in vivo

Karakterisasi partikel

Analisis data
52

Lampiran 2. Preparasi Pati Bengkuang

Umbi bengkuang
Dikupas
Dicuci
Dipotong
Diblender
Diendapkan

Endapan

Disaring
Dioven
Diayak

Pati bengkuang
52

Lampiran 3. Skrining Fitokimia


a. Uji Flavonoid

Pati bengkuang
- Ditambahkan 3 tetes HCL
- Ditambahkan serbuk magnesium
0,2 g

Warna kuning/merah

Hasil positif
52

Lampiran 4. Preparasi Bahan


a. Preparasi pati bengkuang

1 g pati bengkuang

- Dilarutkan dalam
3 ml asam sitrat
50 mg/ml
- Dihomogenkan
dengan magnetic
stirer 100 rpm
selama 180 menit

Larutan homogen

b. Preparasi Kitosan

35 mg kitosan

- Dilarutkan dalam 7 ml asam


sitrat 50 mg/ml
- Dihomogenkan dengan
magnetic stirer 75 rpm selama
30 menit pada suhu 30oC

Larutan homogen

c. Preparasi Natrium Alginat

50 mg natrium alginat

- Dilarutkan dalam 30 ml API


- Dihomogenkan dengan
magnetic stirer 75 rpm selama
30 menit pada suhu 30oC

Larutan homogen
127

Lampiran 5. Skema Pembuatan Submikro Partikel

Larutan Na alginat Larutan dispersi pati bengkuang dan


larutan kitosan

- dihomogen
kan

Massa 2 Massa 1
- massa 2 +
massa 1
drop by
drop diatas
magnetic
Larutan prepartikel
stirer
selama 60
menit
-larutan CaC12 2,5 ml drop by drop
diatas magnetic stirer selama 60
menit

Sediaan submikro partikel

127
128

Lampiran 6. Skema Pembuatan Gel

Air

- Dipanaskan
- Ditaburkan

HPMC

-Ditutup alumunium foil


-Didiamkan
-Ditambahkan
Submikro partikel pembawa
pati bengkuang yang telah
ditetesi etanol

-Diaduk
-Dibentuk

Massa sistem koloid


129

Lampiran 7. Skema Uji In Vivo

Tikus

- Dicukur kulit punggungnya hingga


menjadi 2 bagian
- Dijemur dibawah sinar matahari
sampai warna kulit berubah pada
tingkat yang sama

Kontrol Kontrol Perlakuan Perlakuan Perlakuan


negatif positif 1 2 3

Sinar UV + Sinar UV + Sinar UV + Sinar UV +


Sinar UV +
Mustika formula gel formula gel formula gel
HPMC 2%
ratu night submikro submikro submikro
cream partikel 1% partikel 2% partikel 3%

Diamati
130

Lampiran 8. Perhitungan Dosis Sediaan

a. Perhitungan Dosis Sediaan

= pengolesan sediaan 2x sehari dengan dosis 0,1 g

= 0,1 g x 2

= 0,2 g dalam sehari untuk setiap sediaan

b. Perhitungan Pengolesan sediaan untuk 1 ekor tikus

= Dilakukan selama 4 hari, dihitung setelah proses penjemuran selesai

= Banyak hari x jumlah sediaan yang digunakan dalam sehari

= 4 x 0,2 g = 0,8 g untuk 1 ekor tikus

c. Perhitungan Untuk Setiap Replikasi dan Perlakuan

= Tikus yang digunakan sebanyak 5 ekor x 0,8 g = 4 g sediaan yang

digunakan untuk setiap replikasi dan perlakuan

*Nb: Terdapat 5 perlakuan dengan masing-masing perlakuan terdiri dari 3

replikasi sehingga jumlah tikus yang digunakan sebanyak 15 ekor.

Contoh perhitungan: untuk F1, jumlah sediaan yang digunakan sebanyak 4 g

dalam sehari untuk 1 ekor tikus, jadi untuk 3 replikasi digunakan 12 g

sediaan untuk 3 ekor tikus.


131

Lampiran 9. Uji Fitokimia Senyawa Flavonoid

Reagen Foto Hasil


Mg + HCL

(+)

NaOH 10 %

(+)
132

Lampiran 10. Sediaan Submikro Partikel

Larutan induk kitosan Larutan induk Na alginat Larutan induk pati bengkuang

Larutan submikro partikel kitosan alginat


pembawa pati bengkuang
133

Lampiran 11. Panjang Gelombang Maksimum Kuarsetin


134

Lampiran 12. Kurva Kalibrasi Kuersetin

Konsentrasi Absorbansi Absorbansi Absorbansi Absorbansi CV (%)


(ppm) (1) (2) (3) rata-rata±SD
1 0,028 0,029 0,027 0,028±0,001 3,5714
5 0,102 0,103 0,101 0,102±0,001 0,9803
10 0,250 0,251 0,250 0,250±0,00057 0,2306
15 0,404 0,403 0,402 0,403±0,001 0,2481
20 0,512 0,514 0,513 0,513±0,001 0,1949
25 0,596 0,596 0,595 0,595±0,00057 0,0969

0.7
0.6
0.5
y = 0.0249x + 0.0005
Absorbansi

0.4 R² = 0.9909
0.3
0.2
0.1
0
0 5 10 15 20 25 30
Konsentrasi (ppm)

Grafik kurva baku kuersetin


135

Lampiran 13. Penentuan Kadar Flavonoid Total

Konsentrasi Absorbansi ekstrak fp


(ppm)

Replikasi 1 0,055 10
Replikasi 2 0,056 10
Replikasi 3 0,057 10

Rata-rata±SD 0,056±0,001
Flavonoid total 22,289 mg/L (ppm)

Persamaan regresi pada kurva kalibrasi


y= 0,0005 + 0,0249x
Rumus penentuan kadar
x= (y – 0,0005)/0,0249
Keterangan : y adalah rata-rata absorbansi pati bengkuang
x= (y – 0,0005)/0,0249
= (0,056- 0,0005)/0,0249
= 2,2289 mg/L (ppm)
Kadar flavonoid total sampel pati bengkuang
( )
Flavonoidtotal =

( )
=

= 22,289 mg/g
Maka, 1 gram ekstrak mengandung sebanyak 22,289 mg flavonoid
136

Lampiran 14. Perhitungan %EE

Formula Replikasi Absorbansi Absorbansi SD %EE


rata-rata
1 1 0,384
2 0,385 0,385 0,001 82,36%
3 0,386
2 1 0,419
2 0,420 0,420 0,001 81,10%
3 0,421
3 1 0,494
2 0,495 0,495 0,001528 77,72%
3 0,497

∑ ∑

a. Formula 1
Y = 0,0005 + 0,0249x
0,385 = 0,0005 + 0,0249x
X = 15,441 ppm x fp
= 15,441 x 10
= 154,41 ppm
X = 0,15441 mg/mL
Jumlah dalam supernatan = 0,15441 mg/mL x 25 ml
= 3,86 mg
%EE =

= 82,36%

b. Formula 2
Y = 0,0005 + 0,0249x
0,420 = 0,0005 + 0,0249x
X = 16,8473 ppm x fp
= 16,8473 x 10
= 168,473 ppm
X = 0,168473 mg/mL
Jumlah dalam supernatan = 0,168473 mg/mL x 25 ml
= 4,2118 mg
137

%EE =

= 81,10%

c. Formula 3
Y = 0,0005 + 0,0249x
0,495 = 0,0005 + 0,0249x
X = 19,8594 ppm x fp
= 19,8594 x 10
= 198,594 ppm
X = 0,198594 mg/mL
Jumlah dalam supernatan = 0,198594 mg/mL x 25 ml
= 4,9648 mg
%EE =

= 77,72%
138

Lampiran 15. Hasil Pengukuran PSA


No Diameter (nm) Frekuensi (%) Kumulasi
1 1068,52 0,528 0,528
2 1207,24 1,914 2,442
3 1363,97 3,741 6,183
4 1541,04 5,624 11,807
5 1741,10 7,314 19,121
6 1967,14 8,652 27,773
7 2222,51 9,547 37,319
8 2511,05 9,963 47,282
9 2837,04 9,908 57,190
10 3205,35 9,427 66,618
11 3621,48 8,587 75,205
12 4091,63 7,471 82,676
13 4622,81 6,168 88,844
14 5222,96 4,764 93,608
15 5901,02 3,349 96,957
16 6667,10 2,016 98,973
17 7532,65 0,884 99,857
18 8510,56 0,137 99,993
19 9615,42 0,007 100,000
20 10863,72 0,000 100,000

Rata rata ukuran partikel = ∑

( ) ( ) ( ) ( )
( ) ( ) ( ) ( )
( ) ( ) ( ) ( )
( ) ( ) ( ) ( )
( ) ( ) ( ) ( )
=∑

= 307117,8751/100 = 3071,148 nm
139

Lampiran 16. Karakterisasi Partikel

Interpretasi Grafik:

Grafik di atas menunjukkan gambaran hubungan antara

frekuensi kumulatif diameter partikel (%) dengan frekuensi

partikel (%) terhadap ukuran partikel (nm). Hasil puncak pada

grafik menunjukkan diameter partikel dengan frekuensi terbesar

(X).
140

Interpretasi Grafik:

Grafik zeta potensial diatas dibaca dengan cara menarik garis lurus
dari titik puncak yang ditunjukkan oleh simbol (X) ke sisi bawah grafik.
Nilai yang berada di posisi kanan setelah angka 0 menunjukkan hasil zeta
potensial yang positif sedangkan nilai yang berada di posisi kiri setelah
angka 0 menunjukkan hasil zeta potensial yang negatif. Berdasarkan grafik
di atas, hasil zeta potensial pada sampel sebesar 4,1mV.
141

Lampiran 17. Hasil Uji In Vivo

Proses penjemuran
F3
H0 H7 H11

F2

H0 H7 H11
142

F1

H0 H7 H11

Kontrol negatif

H0 H7 H11

Kontrol positif

H0 H7 H11
143

Lampiran 18. Tabel Hasil Uji In Vivo

Tabel 4. Hasil uji in vivo replikasi 1

Perlakuan Kontrol Kontrol Formula Formula Formula


Hari ke positif negatif 1 2 3

H-0 2 2 2 2 2
H-1 3 4 4 3 3
H-2 4 4 5 4 4
H-3 5 6 6 5 6
H-4 6 6 7 6 6
H-5 8 7 8 8 8
H-6 9 9 9 9 9
H-7 11 10 10 11 11
H+1 10 10 9 10 10
H+2 9 9 8 9 8
H+3 8 8 6 7 6
H+4 7 8 5 5 4

Tabel 5. Hasil uji in vivo replikasi 2

Perlakuan Kontrol Kontrol Formula Formula Formula


Hari ke positif negatif 1 2 3

H-0 2 2 2 2 2
H-1 3 4 4 3 3
H-2 4 4 5 5 5
H-3 5 6 6 7 6
H-4 6 7 7 8 7
H-5 8 8 8 9 8
H-6 9 9 10 11 9
H-7 10 11 12 12 10
H+1 9 10 11 11 9
H+2 8 10 10 10 7
H+3 7 9 8 8 5
H+4 6 9 6 6 3
144

Tabel 6. Hasil uji in vivo replikasi 3

Perlakuan Kontrol Kontrol Formula Formula Formula


Hari ke positif negatif 1 2 3

H-0 2 2 2 2 2
H-1 3 4 4 3 3
H-2 4 4 5 5 5
H-3 5 6 6 6 6
H-4 6 7 7 6 7
H-5 8 8 8 7 8
H-6 10 9 9 8 10
H-7 12 12 11 10 12
H+1 11 12 10 8 11
H+2 10 11 9 6 9
H+3 9 10 7 5 7
H+4 8 10 7 4 5
145

Lampiran 19. Analisis Data


1. Uji normalitas

Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Perlakuan Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Tingkat Kontrol Positif H7 .175 3 . 1.000 3 1.000
Perubahan Warna Kontrol Positif H8 .175 3 . 1.000 3 1.000
Kulit
Kontrol Positif H9 .175 3 . 1.000 3 1.000
Kontrol Positif H10 .175 3 . 1.000 3 1.000
Kontrol Positif H11 .175 3 . 1.000 3 1.000
Kontrol Negatif H7 .175 3 . 1.000 3 1.000
Kontrol Negatif H8 .175 3 . 1.000 3 1.000
Kontrol Negatif H9 .175 3 . 1.000 3 1.000
Kontrol Negatif H10 .175 3 . 1.000 3 1.000
Kontrol Negatif H11 .175 3 . 1.000 3 1.000
Formula 1 H7 .175 3 . 1.000 3 1.000
Formula 1 H8 .175 3 . 1.000 3 1.000
Formula 1 H9 .175 3 . 1.000 3 1.000
Formula 1 H10 .175 3 . 1.000 3 1.000
Formula 1 H11 .175 3 . 1.000 3 1.000
Formula 2 H7 .175 3 . 1.000 3 1.000
Formula 2 H8 .253 3 . .964 3 .637
Formula 2 H9 .292 3 . .923 3 .463
Formula 2 H10 .253 3 . .964 3 .637
Formula 2 H11 .175 3 . 1.000 3 1.000
Formula 3 H7 .175 3 . 1.000 3 1.000
Formula 3 H8 .175 3 . 1.000 3 1.000
Formula 3 H9 .175 3 . 1.000 3 1.000
Formula 3 H10 .175 3 . 1.000 3 1.000
Formula 3 H11 .175 3 . 1.000 3 1.000

a. Lilliefors Significance Correction

2. Uji ANOVA One Way

ANOVA

Tingkat Perubahan Warna Kulit

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 303.547 24 12.648 10.200 .000


Within Groups 62.000 50 1.240
Total 365.547 74
146

3. Uji Post Hoc perubahan warna kulit tikus

Kelompok (i) Kelompok (j) Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.
Kontrol Positif Kontrol Positif H8 1.00000 .90921 .277
H7 Kontrol Positif H9 2.00000* .90921 .032
Kontrol Positif H10 3.00000* .90921 .002
Kontrol Positif H11 4.00000* .90921 .000
Kontrol Negatif H7 .00000 .90921 1.000
Kontrol Negatif H8 .00000 .90921 1.000
Kontrol Negatif H9 1.00000 .90921 .277
Kontrol Negatif H10 2.00000* .90921 .032
Kontrol Negatif H11 2.00000* .90921 .032
Formula 1 H7 .00000 .90921 1.000
Formula 1 H8 1.00000 .90921 .277
Formula 1 H9 2.00000* .90921 .032
Formula 1 H10 4.00000* .90921 .000
Formula 1 H11 5.00000* .90921 .000
Formula 2 H7 .00000 .90921 1.000
Formula 2 H8 1.33333 .90921 .149
Formula 2 H9 2.66667* .90921 .005
Formula 2 H10 4.33333* .90921 .000
Formula 2 H11 6.00000* .90921 .000
Formula 3 H7 .00000 .90921 1.000
Formula 3 H8 1.00000 .90921 .277
Formula 3 H9 3.00000* .90921 .002
Formula 3 H10 5.00000* .90921 .000
Formula 3 H11 7.00000* .90921 .000
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Agustin Mayang Putri


NIM : 08061381419077
Tempat/Tanggal Lahir : Pangkalpinang, 1 Agustus 1997

Universitas/Fakultas/Jurusan : Universitas Sriwijaya/ FMIPA/ Farmasi


Bidang Ilmu Skripsi : Farmakologi Teknologi Bahan Alam
Alamat Rumah : Jalan Cendawan no: 152B Parla, Pangkalpinang,
Bangka Belitung
Nomor HP : 085378371918
Email : mayangputri1583@gmail.com
Riwayat Pendidikan : SD N 56 Pangkalpinang 2002 s.d 2004
SD N 46 Pangkalpinang 2004 s.d 2008
SMP N 2 Pangkalpinang 2008 s.d 2011
SMA N 3 Pangkalpinang 2011 s.d 2014
Universitas Sriwijaya 2014 s.d 2018
Judul Skripsi : Preparasi dan Karakterisasi Submikro Partikel
Kitosan dan Natrium Alginat Pembawa Pati
Bengkuang dan Uji Pencerah Kulit Secara In
Vivo

96

Anda mungkin juga menyukai