Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PRAKTIKUM

BIOFARMASETIKA DAN FARMAKOKINETIKA

Nama : Shulfa Firliani

NIM : 08061181823015

Kelas/Kelompok :C/1

Dosen Pembimbing : Dina Permata Wijaya, M.Si., Apt.

Herlina, M.Kes., Apt.

PERCOBAAN II : STUDI ABSORBSI PERKUTAN OBAT SECARA IN VITRO

LABORATORIUM BIOFARMASETIKA DAN FARMAKOKINETIKA


JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2020
LAPORAN PRAKTIKUM
BIOFARMASETIKA DAN FARMAKOKINETIKA
STUDI ABSORBSI PERKUTAN OBAT SECARA IN VITRO

I. TUJUAN
1. Mahasiswa memahami absorbsi obat rute perkutan secara in vitro.
2. Mahasiswa mengetahui perbedaan absorbsi obat secara perkutan pada
beberapa jenis sediaan.
3. Mahasiswa memahami konsep absrobsi obat secara perkutan dan faktor-
faktor yang mempengaruhinya.
II. DASAR TEORI
Pemberian sediaan obat dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu
inhalasi, oral, injeksi dan topikal. Sediaan farmasi penggunaan oral masih
menjadi pilihan saat ini, padahal memiliki banyak kelemahan. Pemberian obat
secara oral paling umum dilakukan karena mudah, aman dan murah. Kerugian
pemberian melalui oral adalah ada obat yang dapat mengiritasi saluran cerna,
dan perlu kerja sama dengan penderita, dan tidak bisa dilakukan saat pasien
koma. Faktor lainnya berupa dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya karena
tidak semua obat yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai
sirkulasi sistemik (Ansel, 1989).
Adsorbsi perkutan dapat didefinisikan sebagai adsorbsi obat ke dalam
statum corneum (lapisan tanduk) dan berlanjut obat menembus lapisan di
bawahnya serta akhirnya obat masuk dalam sirkulasi darah. Kulit merupakan
perintang yang efektif terhadap penetrasi perkutan obat atau senyawa eksternal.
Adsorbsi obat perkutan dipengaruhi oleh sifat fisikokimiawi obat dan pembawa
serta kondisi kulit pada pemakaian obat secara topical, obat berdifusi dalam
pembawanya dan kontak dengan permukaan kulit (statum korneum dan setum)
serta obat selanjtnya menembus epidermis. Penetrasi obat melalui kulit dapat
terjadi dengan dua cara yaitu rute transdermal dan rute transfolikuler (Syukri,
2002).
Rute transdermal yaitu difusi obat menembus stratum korneum. Rute
yang kedua adalah rute transfolikuler, yaitu difusi obat melewati pori kelenjar
keringat dan selum. Sebelum obat dapat memberikan efek, obat perlu
dilepaskan dari basisnya setelah obat kontak dengan stratum korneum maka
obat akan menembus epidermis dan masuk ke dalam sirkulasi sistemik secra
difusi pasif. Laju absorbs melintasi kulit tidak segera tunak tetapi selalu
teramati adanya waktu laten. Waktu laten mencerminkan penundaan
penembusan senyawa kebagian dalam struktur tanduk dan pencapaian gradien
difusi (Syukri, 2002).
Hambatan utama dari sistem penghantaran obat transdermal adalah sifat
halangan intrinsic dari kulit. Halangan ini dapat secara kimiawi dimodifikasi
dengan tujuan menurunkan resistensi difusi menggunakan peningkat penetrasi.
Strategi penggunaan peningkat penetrasi memungkinkan lebih banyak obat
dapat diberikan melalui sistem penghantaran transdermal. Pertimbangan
penting selama pengembangan sediaan trandermal adalah potensi respon alergi,
iritasi terhadap obat/konstituen formulasi lain, serta peningkatan penetrasi
(karena mekanisme kerjanya bermacam-macam, antara lain melarutkan lapisan
teratas dari kulit) (Agoes, 2008).
Faktor yang mempengaruhi absorbsi kuat yaitu penetrasi dan cara
pemakaian temperatur dari kulit sifat fisika kimia obatnya. Pengaruh dari sifat
dasar salep, lama pemakaian, kondisi atau keadaan kulit. Adsorbsi atau
penyerapan suatu zat aktif adalah masuknya molekul-molekul ke dalam tubuh
atau menuju peredaran darah tubuh, setelah melewati penghalang biologi
penyerapan akan diteliti bersamaan dengan fase biofarmasetik (Ansel, 1989).
Adsorbsi melalui kulit (permukaan) bila suatu obat digunakan secara
topikal maka obat akan keluar dari pembawanya dan berdifusi ke permukaan
jaringan kulit. Ada 3 jalan masuk yang utama absobsi. Pertama melalui daerah
kantong rambut, kedua melalui kelenjar keringat dan ketiga melalui stratum
korneum yang terletak dianara kelenjar keringat dan kantong rambut
(Lachman, 1989).
Faktor-faktor yang mempengaruhi absorbs obat diantaranya berupa
ukuran partikel obat. Kecepatan disolusi obat berbanding langsung dengan luas
permukaan yang kontak dengan cairan atau pelarut. Bertambah kecil partikel,
bertambah luas permukaan total, bertambah mudah larut. Faktor lainnya seperti
pengaruh daya larut obat. Pengaruh daya larut obat atau bahan aktif tergantung
pada sifat kimia modifikasi kimiawi obat, sifat fisik modifikasi fisik obat,
prosedur dan teknik pembuatan obat, formulasi bentuk sediaan atau galenik
dan penambahan eksipien. Adapun beberapa faktor lain fisiko-kimia obat
seperti temperatur dan juga pKa dan derajat ionisasi obat (Joenoes, 2002).
Mekanisme lintas membran berkaitan dengan peristiwa absorpsi,
meliputi mekanisme pasif dan aktif. Pertama difusi pasif melalui pori. Semua
senyawa yang berukuran cukup kecil dan larut dalam air dapat melewati kanal
membran. Sebagian besar membran (membran seluler epitel usus halus dan
lain-lain) berukuran kecil yaitu 4-7 Å dan hanya dapat dilalui oleh senyawa
dengan bobot molekul yang kecil yaitu lebih kecil dari 150 untuk senyawa
yang bulat, atau lebih kecil dari 400 jika senyawanya terdiri atas rantai
panjang. Kedua berupa difusi pasif menyangkut senyawa yang larut dalam
komponen penyusun membran. Penembusan terjadi karena adanya perbedaan
konsentrasi atau elektrokimia tanpa memerlukan energi (Syukri, 2002).
Transpor aktif suatu molekul merupakan cara pelintasan transmembran
ketiga yang sangat berbeda dengan difusi pasif. Transpor aktif diperlukan
adanya pembawa. Pembawa ini dengan molekul obat dapat membentuk
kompleks pada permukaan membran. Kompleks tersebut melintasi membran
dan selanjutnya molekul dibebaskan pada permukaan lainnya, lalu pembawa
kembali menuju ke permukaan asalnya (Syukri, 2002).
Difusi terfasilitasi yang keempat ini merupakan cara perlintasan
membran yang memerlukan suatu pembawa dengan karakteristik tertentu
(kejenuhan, spesifik dan kompetitif). Pembawa tersebut bertanggung jawab
terhadap transpor aktif, tetapi pada transpor ini perlintasan terjadi akibat
gradien konsentrasi dan tanpa pembebasan energi. Pinositosis kelima ini
merupakan suatu proses perlintasan membran oleh molekul-molekul besar dan
terutama oleh molekul yang tidak larut. Perlintasan terjadi dengan
pembentukan vesikula (bintil) yang melewati membran (Syukri, 2002).
Transpor oleh pasangan ion yang terakhir adalah suatu cara perlintasan
membran dari suatu senyawa yang sangat mudah terionkan pada pH fisiologik.
Perlintasan terjadi dengan pembentukan kompleks yang netral (pasangan ion)
dengan senyawa endogen seperti musin. Hal ini dengan demikian kemudian
memungkinkan terjadinya difusi pasif kompleks tersebut melalui membran
(Syukri, 2002).
Hewan percobaan yang umum digunakan dalam penelitian ilmiah
adalah tikus. Tikus (Rattusnor vegicus) telah diketahui sifat-sifatnya secara
sempurna, mudah dipelihara, dan merupakan hewan yang relative sehat dan
cocok untuk berbagai penelitian. Ciri-ciri morfologi Rattusnor vegicus antara
lain memiliki berat 150-600 gram, hidung tumpul dan badan besar dengan
panjang 18-25 cm, kepala dan badan lebih pendek dari ekornya, serta telinga
relative kecil dan tidak lebih dari 20-23 mm. Usus halus terdiri dari duodenum,
jejunum, dan ileum. Duodenum pada manusia memiliki panjang sekitar 25 cm
terikat erat pada dinding dorsal abdomen dan sebagian besar terlatak
retroperitoneal (Leeson et al, 1990).
Kulit manusia merupakan organ terluas dari tubuh. Berat total kulit
manusia adalah 3 kg dengan luas permukaan 1,5 – 2 m2 Kulit terdiri dari
lapisan epidermis, dermis, dan jaringan subkutan. Terdapat juga komponen
kulit seperti folikel rambut, saluran keringat, kelenjar apokrin, dan kuku.
Secara umum, kulit berfungsi sebagai pelindung, pengatur suhu tubuh, dan
indra peraba. Epidermis merupakan lapisan terluar kulit yang mempunyai
ketebalan sekitar 50 µm – 1,5 mm, umumnya berfungsi sebagai 7 penghalang
terpenting dari hilangnya air, elektrolit, dan nutrien tubuh, serta menahan
masuknya senyawa asing dari luar (Grassi, Mario, et al 2007: 53).
Absorpsi perkutan dapat didefenisikan sebagai absorpsi obat ke dalam
stratum korneum (lapisan tanduk) dan selanjutnya obat menembus lapisan
dibawahnya dan akhirnya obat masuk dalam sirkulasi darah. Kulit relatif
impermeabel untuk sebagian besar senyawa, untuk itu perlu banyak
pertimbangan untuk pemberian obat-obatan melalui kulit untuk efek sistemik.
Prasyarat untuk absorpsi obat transdermal adalah bahwa obat dapat melintasi
lapisan-lapisan dari epidermis dan masuk ke jaringan yang terdapat di dermis,
sehingga obat dapat mencapai kapiler pembuluh darah (Grassi, Mario, et al
2007: 53).
Pengujian absorpsi perkutan secara in vitro menunjukkan bahwa
stratum korneum merupakan sawar utama untuk banyak senyawa. Stratum
korneum impermeable terhadap molekul-molekul hidrophilik dan sangat
permeable untuk molekul lipofilik. Hal ini dikarenakan sel-sel penyusun
stratum korneum yang terdiri dari lemak dan protein keratin serta susunannya
yang padat (Grassi, Mario, et al 2007: 58).
Kulit merupakan perintang yang efektif terhadap penetrasi perkutan
obat atau senyawa eksternal. Absorpsi obat perkutan dipengaruhi oleh sifat
fisikokimia obat dan pembawa serta kondisi kulit. Pemakaian obat secara
topikal, obat berdifusi dalam pembawanya dan kontak dengan permukaan kulit
(stratum korneum dan sebum) selanjutnya menembus epidermis. Secara
mikroskopik, kulit tersusun dari berbagai lapisan yang berbeda, berturut-turut
dari luar ke dalam yaitu lapisan epidermis, lapisan dermis yang tersusun atas
pembuluh darah dan pembuluh getah bening dan lapisan dibawah kulit yang
berlemak atau yang disebut hypodermis (Grassi, Mario, et al 2007: 59-60).
Stratum korneum adalah lapisan terluar pada kulit yang menjadi
penghalang fisik bagi senyawa dari luar tubuh untuk kontak dengan kulit.
Stratum korneum mengandung 5-15% lemak, termasuk fosfolipid, kolesterol
sulfat, dan lipid netral serta 75-95% protein keratin. Kulit bersifat hidrofilik
terutama pada bagian epidermis yang terdiri dari stratum granulosum, stratum
spinosum, dan stratum basale. Lapisan dermis pun bersifat hidrofilik sehingga
memengaruhi penetrasi zat yang bersifat hidrofilik (Forster, et.al., 2009).
Penetrasi perkutan dari sediaan obat melibatkan proses pelarutan obat
dalam pembawa, difusi obat yang terlarut dari pembawa kepermukaan kulit
dan penetrasi obat melalui lapisan kulit. Penetrasi perkutan dari sediaan obat
dalam bentuk kompleks PGV-0 dengan β-siklodekstrin dan campuran fisik
PGV-0 - β-siklodekstrin dipengaruhi oleh sifat fisika kimia obat, interaksi
antara obat dengan pembawa, obat dengan kulit, obat basis dengan kulit.
Teknik in vitro yang terpenting untuk mengkaji penetrasi kulit meliputi
penggunaan sel difusi dengan membran kulit marmot, dimana kulit binatang
terikat pada suatu tempat, dan senyawa-senyawa yang lewat dari permukaan
epidermis ke tempat cairan (Lachman, 1994).
III. ALAT DAN BAHAN
A. ALAT
1. Franz diffusion cell 1 buah
2. Hot plate 1 buah
3. Magnetic stirrer 1 buah
4. Spin bar 1 buah
5. pH meter 1 buah
6. Pinset 1 buah
7. Pisau cukur 1 buah
8. Cawan petri 1 buah
9. Gunting 1 buah
10. Spuit injeksi 1 buah
11. Selang 1 buah
12. Stopwatch 1 buah
13. Spektrofotometer UV-Vis 1 buah
14. Beaker glass 5 buah
15. Labu ukur 1 buah
B. BAHAN
1. Sediaan asam salisilat 1% 500 mg/mL
2. Asam salisilat murni 1 gram
3. Membrane tikus 3 cm
4. Dapar phosphate Ph 6,8 200 mL
5. Larutan NaCl fisiologis 200 mL
6. NaOH 0,1 N 100 mL
7. FeCl3 100 mL
8. Aquadest 1L
IV. CARA KERJA
1. Pembuatan Kurva Baku Asam Salisilat
5 konsentrasi kurva baku larutan asam salisilat

dilakukan
Scanning panjang gelombang optimum pada spektrofotometer UV-
Vis

dibaca

Absorbansi masing-masing seri konsentrasi pada panjang


gelombang maksimum yang diperoleh pada langkah ke 2

ditampung
Persamaan regresi linier antara konsentrasi dengan absorbansi
(syarat nilai r minimal 0,990)
2. Preparasi Membran Tikus
Cukur daerah punggung tikus yang telah dikorbankan dengan
pisau cukur

digunting dan diambil

Kulit bagian punggung yang telah dicukur dengan diameter


minimal 3 cm
diletakkan

Kulit yang telah dipisahkan ke dalam cawan petri berisi larutan


NaCl fisiologis hingga kulit dapat terendam dengan baik

dipisahkan

Lemak yang tersisa pada membrane kulit, rendam membran dalam


cawan petri berisi dapar fosfat pH 6,8 selama 15 menit

3. Percobaan Difusi
Siapkan larutan akseptor buffer fosfat pH 6,8 lalu dikalibrasi alat
Franz diffusion cell. Masukkan larutan akseptor hingga permukaan
rata, ukur volume yang dibutuhkan
dimasukkan
Spin bar ke dalam alat

dikeringkan

Membran dengan kertas saring

disesuaikan
Diameter membran yang dipakai dengan permukaan (lingkaran
dalam) alat Franz diffusion
dioleskancell

Secara merata 500 mg atau 5 ml sediaan pada membran


diletakkan

Membran pada daerah antara akseptor dan donor, kencangkan


bagias atas (donor) alat

diperiksa

Apakah terjadi kebocoran. Pastikan bahwa larutan akseptor


menyentuh membrane bagian dalam
ditambahkan

5 ml dapar fosfat pH 6,8 pada kompartemen donor. Pastikan


jangan sampai kering

dilakukan

Sampling sebanyak 2 ml pada menit ke-15, 30, 45, dan 60 serta


jam ke-21, 22, 23, dan 24 atau jam ke-72, 73, 74 dan 75

dikembalikan

Larutan akseptor sebanyak 2 ml untuk menjaga kondisi sink

dibaca

Absorbansi larutan sampling pada panjang gelombang maksimum


kurva baku

dihitung

Kadar pada masing-masing waktu sampling dan lakukan


analisis

Anda mungkin juga menyukai