Biofarmasetika
Biofarmasetika dan Farmakokinatika
Farmakokinatika
Uji Difusi
Dosen :
OKTOBER / 2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Terdapat berbagai macam rute dalam pengaplikasian obat untuk tubuh. Salah satu
rute tersebut adalah melalui kulit. Kulit merupakan lapisan atau jaringan yang menutup
seluruh tubuh dan melindungi tubuh dari bahaya yang datang dari luar. Dikarenakan
fungsinya untuk melindungi tubuh, maka pada kulit terdapat berbagai macam lapisan
yang memiliki berbagai fungsi dan salah satunya adalah sebagai pelindung (barrier
(barrier ).
).
Lapisan tersebut terdiri atas stratum
atas stratum corneum,
corneum, epidermis dan dermis (S. Wibowo, Daniel,
2008).
Untuk dapat memberikan efek terapi, obat harus dapat melewati barrier kulit. Obat
melewati barrier kulit melalui proses difusi. Jumlah obat yang berpenetrasi ke kulit dapat
dipengaruhi oleh berbagai faktor. Jumlah obat yang berdifusi melalui kulit haruslah tetap
sesuai dengan dosis terapeutik yang diperlukan sehingga diperlukan suatu metode yang
dapat menghitung berapa jumlah obat yang terdapat di dalam sistem sirkulasi setelah
berdifusi ke dalam kulit. Dalam praktikum kali ini, mahasiswa akan mempelajari metode
perhitungan jumlah obat yang berdifusi ke dalam kulit dan juga faktor-faktor yang
mempengaruhi difusi obat melalui kulit.
1.2.Tujuan Praktikum
Setelah melakukan praktikum, mahasiswa diharapkan mampu:
1. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi difusi obat melalui kulit.
2. Menghitung jumlah obat dalam tubuh setelah difusi obat melalui kulit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kulit
Kulit merupakan lapisan pelindung tubuh yang sempurna terhadap pengaruh luar
(Aiache, 1993). Kulit berfungsi sebagai sistem epitel pada tubuh untuk menjaga keluarnya
substansi-subtansi penting dari dalam tubuh dan masuknya subtansi-subtansi asing ke
dalam tubuh (Chien, 1987). Meskipun kulit relatif permeabel terhadap senyawa-senyawa
kimia, namun dalam keadaan tertentu kulit dapat ditembus oleh senyawa-senyawa obat
atau bahan berbahaya yang dapat menimbulkan efek terapetik atau efek toksik baik yang
bersifat setempat maupun sistemik (Aiache, 1993). Dari suatu penelitian diketahui bahwa
pergerakan air melalui lapisan kulit yang tebal tergantung pada pertahanan
p ertahanan lapisan stratum
corneum yang berfungsi sebagai rate-limiting barrier pada kulit (Swarbirck dan Boylan,
1995).
Kulit mengandung sejumlah bentukan bertumpuk dan spesifik yang dapat mencegah
masuknya bahan-bahan kimia. Hal tersebut disebabkan oleh adanya lapisan tipis lipida
pada permukaan lapisan tanduk dan lapisan epidermis malfigi. Sawar kulit terutama
disusun oleh lapisan tanduk (stratum corneum), namun demikian cuplikan lapisan tanduk
(stratum corneum) terpisah mempunyai permeabilitas yang sangat rendahdengan kepekaan
yang sama seperti kulit utuh. Lapisan tanduk saling berikatan dengan kohesi yang sangat
kuat merupakan pelindung kulit yang paling efisien (Aiache, 1993). Secara mikroskopik,
kulit tersusun dari berbagai lapisan yang berbeda, berturut-turut dari luar kedalam yaitu
lapisan epidermis, lapisan dermis yang tersusun atas pembuluh darah dan pembuluh getah
bening dan lapisan dibawah kulit yang berlemak atau yang disebut hipodermis (Aiache,
1993). Struktur kulit yang terdiri dari lapisan epidermis, dermis dan hipodermis dapat
dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Struktur kulit, terdiri dari epidermis, dermis dan hypodermis
Dimana J adalah fluks atau jumlah Q linarut yang melintasi membran setiap satuan
waktu t, A adalah luas permukaan efektif membran, Cd dan Cr adalah konsentrasi pada
kompartemen awal dan dalam kompartemen reseptor, h adalah tebal membran dan D’
adalah tetapan dianalisa atau koefisien permeabilitas (Aiache, 199 3).
Dimana Cd dan Cr adalah konsentrasi zat yang berpenetrasi melalui kulit dalam
kompartemen donor (konsentrasi obat pada permukaan stratum corneum) dan dalam
kompartemen reseptor (tubuh). Ps adalah koefisien permeabilitas jaringan kulit. Koefisien
permeabilitas dapat dinyatakan dengan persamaan (Chien, 1987):
2.6. Gel
Gel adalah sistem padat atau setengah padat dari paling sedikit dua konstituen yang
terdiri dari massa seperti pagar yang rapat dan diselusupi oleh cairan. Jika matrik yang
saling melekat kaya akan cairan, maka produk ini seringkali disebut jelly (Martin dkk,
1993).
Gel mempunyai kekakuan yang disebabkan oleh jaringan yang saling menganyam
dari fase terdispers yang mengurung dan memegang medium pendispersi. Perubahan dalam
temperatur dapat menyebabkan gel tertentu mendapatkan kembali bentuk sol atau bentuk
cairnya. Juga beberapa gel menjadi encer setelah pengocokan dan segera menjadi setengah
padat atau padat kembali setelah dibiarkan tidak terganggu untuk beberapa waktu tertentu,
peristiwa ini dikenal sebagai tiksotropi (Ansel,1989).
Penyerapan senyawa pada pemberian transdermal berkaitan dengan pemilihan bahan
pembawa sehingga bahan aktif dapat berdifusi dengan mudah ke dalam struktur kulit.
Bahan pembawa dapat mempengaruhi keadaan dengan mengubah permeabilitas kulit
dalam batas fisiologik dan bersifat reversibel terutama dengan meningkatkan kelembaban
kulit (Aiache, 1993).
Basis pada sediaan gel dapat digunakan hydroxypropyl methilcellulose (HPMC)
merupakan serbuk putih atau putih kekuningan, tidak berbau dan berasa, larut dalam air
dingin, membentuk cairan yang kental, praktis tidak larut dalam kloroform, etanol (95%)
dan eter. HPMC biasanyadigunakan dalam sediaan oral dan topikal, HPMC biasanya
digunakan sebagai emulgator, suspending agent dan stabilizing agent dalam sediaan salep
dan gel topikal (Harwood, 2006).
2.7. Parasetamol
Parasetamol (Acetamenophen) adalah turunan dari senyawa sintetis dari p-
aminofenol yang merupakan metabolit aktif dari fenasetin, namun tidak memiliki sifat
karsinogenik (menyebabkan kanker) seperti halnya fenasetin. Khasiatnya analgetis dan
antipiretis, tetapi tidak anti radang. Dewasa ini pada umumnya di anggap sebagai zat anti
nyeri yang paling aman, juga untuk swamedikasi (pengobatan mandiri). Tetapi jika
senyawa ini bila dikombinasikan dengan obat anti inflamasi non steroid (NSAID) atau obat
pereda nyeri opioid, dapat digunakan untuk mengobati nyeri yang lebih parah. (Tan dan
Kirana, 2002; Hardman, 2001)
Namun senyawa obat parasetamol ini tidak seperti obat pereda nyeri lainnya (aspirin
dan ibuprofen), tidak digolongkan ke dalam obat anti inflamasi non steroid (NSAID)
karena memiliki khasiat anti inflamasi yang relatif kecil karena itu dianggap aman. Tapi
pada dosis tinggi dapat menyebabkan kerusakan hati. Risiko kerusakan hati ini diperparah
apabila pasien juga meminum alkohol. (Hardman, 2001; Foye, 1995)
Parasetamol memiliki sebuah cincin benzena, tersubstitusi oleh satu gugus hidroksil
dan atom nitrogen dari gugus amida pada posisi para. Senyawa ini dapat disintesis dari
senyawa asal fenol yang dinitrasikan menggunakan asam sulfat dan natrium nitrat.
Parasetamol dapat pula terbentuk apabila senyawa 4-aminofeno l direaksikan dengan
senyawa asetat anhidrat (Hardman, 2001).
Pemerian : Kristal putih tidak berbau atau serbuk kristalin dengan rasa
pahit, jarak lebur atau titik lebur pada 169°-172°C
2.7.3. Metabolisme
Metabolisme parasetamol terjadi di hati. Metabolit utamanya meliputi senyawa
sulfat yang tidak aktif dan konjugat glukoronida yang dikeluarkan lewat ginjal.
Hanya sedikit jumlah parasetamol yang bertanggung jawab terhadap efek toksik
(racun) yang diakibatkan oleh metabolit NAPQI (N-asetil-p-benzo-kuinon imina).
Bila pasien mengkonsumsi parasetamol pada dosis normal, metabolit toksik NAPQI
ini segera didetoksifikasi menjadi konjugat yang tidak toksik dan segera dikeluarkan
melalui ginjal. Namun apabila pasien mengkonsumsi parasetamol pada dosis tinggi,
konsentrasi metabolit beracun ini menjadi jenuh sehingga menyebabkan kerusakan
hati (Hardman, 2001).
Kompartemen reseptor diisi dengan larutan penerima. Suhu pada sel dijaga dengan
sirkulasi air menggunakan water jacket disekeliling kompartemen reseptor. Sediaan yang
akan diuji diaplikasikan pada membran kulit. Pada interval waktu tertentu diambil
beberapa ml cairan dari kompartemen reseptor dan jumlah obat yang terpenetrasi melalui
kulit dapat dianalisis dengan metode analisis yang sesuai. Setiap diambil sampel cairan
dari kompartemen reseptor harus selalu digantikan dengan cairan yang sama sejumlah
volume yang terambil (Anggraeni, 2008).
2.9. Spektrofotometri UV-Vis
Spektrofotometri serap merupakan pengukuran interaksi antara radiasi
elektromagnetik panjang gelombang tertentu yang sempit dan mendekati monokromatik,
dengan molekul atau atom dari suatu zat kimia. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa
molekul selalu mengabsorbsi cahaya elektromagnetik jika frekuensi cahaya tersebut sama
dengan frekuensi getaran dari molekul tersebut. Elektron yang terkait dan elektron yang
tidak terkait akan tereksitasi pada suatu daerah frekuensi, yang sesuai dengan cahaya
ultraviolet dan cahaya tampak (UV-Vis) (Henry, Suryadi, Yanuar 2002).
Spektrum absorbsi daerah ini adalah sekitar 220 nm sampai 800 nm dan dinyatakan
sebagai spektrum elektron. Suatu spektrum ultraviolet meliputi daerah bagian ultraviolet
(190-380 nm), spektrum Vis (Visibel) bagian sinar tampak (380-780 nm) (Henry, dkk.,
2002).
Instrumentasi dari spektrofotometer UV-Vis ini dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Suatu sumber energi cahaya yang berkesinambungan yang meliputi daerah spektrum
yang mana alat tersebut dirancang untuk beroperasi.
b. Suatu monokromator, yakni sebuah piranti untuk memencilkan pita sempitpanjang
gelombang dari spektrum lebar yang dipancarkan oleh sumber cahaya.
c. Suatu wadah untuk sampel (dalam hal ini digunakan kuvet)
d. Suatu detektor yang berupa transduser yang merubah energi cahaya menjadi suatu
isyarat listrik.
e. Suatu amplifier (pengganda) dan rangkaian yang berkaitan yang membuat isyarat
listrik itu memadai untuk dibaca.
f. Suatu sistem baca dimana diperagakan besarnya isyarat listrik yang ditangkap.
A = Log Io/It = Ɛ. b. c = a. b. c
Di mana :
A = serapan;
Panjang gelombang yang digunakan untuk melakukan analisis kuantitatif suatu zat
biasanya merupakan panjang gelombang di mana zat yang bersangkutan memberikan
serapan pada umumnya landai sehigga perubahan yang tidak terlalu besar pula (dapat
diabaikan) (Henry, dkk., 2002).
Serapan yang optimum untuk pengukuran dengan spektrofotometri Uv-Vis ini
berkisar antara 0,2-0,8. Namun menurut literature lain, serapan sebesar 2-3 relatif masih
memberikan hasil perhitungan yang cukup baik untuk campuran, walaupun disarankan
agar serapan berada dibawah 2 untuk hasil yang lebih baik, dengan cara mengencerkan
larutan zat yang akan di ukur (Henry, dkk., 2002).
BAB III
Metodologi
3.1. Alat
1) Penangas air
2) Cawan porselen
3) Franz Diffusion Cells
4) Syringe dan selang
5) Batang pengaduk
6) Timbangan analitik
7) Membran (kertas Whatman no. 1)
3.2. Bahan
1) Larutan Spangler, terbuat dari :
a. Asam palmitat 10%
b. Asam oleat 15%
c. Asam stearat 5%
d. Minyak kelapa 15%
e. Parafin 10%
f. Lilin putih 15%
2) Gel PCT dengan formula :
a. Paracetamol 1%
b. Karbopol 940 1,2%
c. TEA 1,2%
d. Etanol 95% 10%
e. Natrium benzoat 0,3%
f. Aquadest ad to 100%
3) Cairan Buffer NaOH 0,1 M
3.3. Prosedur Kerja
1) Membuat larutan spangler; semua bahan dilebur di atas cawan porselen yang
diletakkan di atas penangas air. Bahan diaduk hingga homogen.
2) Membran dicelupkan ke dalam larutan spangler yang masih cair selama 10 menit,
kemudian segera dikeringkan dengan dryer . % impregnasi dihitung dengan
persamaan :
Bo = Bobot awal sebelum diimpregnasi (g)
Bt = Bobot setelah diimpregnasi (g)
3) Gel PCT dibuat sesuai formula diatas; semua bahan dicampurkan dan diaduk hingga
homogen.
4) Membran diletakkan di alat uji difusi Franz Diffusion Cells, dan di atas membran
dioleskan gel PCT yang telah dibuat sebanyak 1 gram.
0
5) Suhu sistem 370,5 C dengan cairan sirkulasi NaOH 0,1 M sebanyak 70 ml. Proses
uji difusi dilakukan selama 3 jam.
6) Cuplikan diambil dari cairan reseptor dalam gelas kimia sebanyak 5 ml dan setiap
pengambilan selalu diganti dengan aquabidestilata sebanyak 5 ml (selang waktu
pengambilan 10, 20, 30, 40, dan 50 menit).
7) Larutan yang dicuplik diencerkan dengan pelarut campur dalam labu takar 10 ml
(pengenceran 100x); yakni dengan cara mengencerkan 100µL cairan dengan NaOH
0,1 dalam labu takar 10 mL.
8) Serapan diukur dengan Spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang
maksimum PCT.
L ampir an Gambar
Proses pencupl ik an cair an setelah meni t k e-5 proses uji dif usi ber lan gsun g
Pengganti an cairan difu si yang telah dicuplik sejuml ah 5 mL
BAB IV
4.1 HASIL
= x 100%
= x 100%
= 511,64%
% impregnasi kelas C = x 100%
= x 100%
= x 100%
= 425,05%
% impregnasi kelas B = x 100%
= x 100%
= x 100%
= 351,45%
% impregnasi kelas D = x 100%
= x 100%
= x 100%
= 329,04%
Untuk mencari kadar obat (x) , dimasukkan hasil absorbansi yang diperoleh kedalam persamaan
y = 0.0743x - 0.008 dengan mensubstitusi y dengan absorbansi yang diperoleh tiap menit
pengambilan sampel.
4.1.3 Hasil konsentrasi paracetamol dari 4 formula gel yang berbeda
Waktu Konsentrasi(mg)
pengambilan
10 menit 0.203
20 menit 0.207
50 menit 0.300
60 menit 0.344
kelas C dengan basis HPMC formula 1
Waktu Konsentrasi(mg)
pengambilan
10 menit 0.183
30 menit 0.270
40 menit 0.263
50 menit 0.225
Kelas B dengan basis karbopol formula 2
Waktu Konsentrasi(mg)
pengambilan
5 menit 0.183
10 menit 0.270
15 menit 0.263
20 menit 0.225
4.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan pengamatan untuk mengukur konsentrasi obat yang
terdifusi kedalam kulit dan mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi difusi obat melalui
kulit. Pengujian difusi ini dilakukan untuk pengujian pada sediaan transdermal.
Pemberian secara transdermal menghasilkan pelepasan obat ke dalam tubuh melalui kulit
(shargel, 1988). Untuk mencapai tempat kerja suatu obat di jaringan atau organ, obat tersebut
harus melewati berbagai membran sel. Membran sel mempunyai struktur lipoprotein yang
bertindak sebagai membran lipid yang semipermeabel. Kelarutan molekul obat dalam lipid inilah
yang merupakan faktor utama absorbsi obat dalam tubuh. Difusi yang terjadi merupakan difusi
pasif yaitu suatu proses perpindahan masa dari tempat yang berkonsentrasi tinggi ke tempat yang
berkonsentrasi rendah tanpa membutuhkan energi. Membran difusi tiruan ini berfungsi sebagai
sawar yang memisahkan sediaan dengan cairan disekitarnya.
Pada praktikum kali ini, dilakukan uji difusi suatu obat dengan menggunakan metode
Flow Through. Yang merupakan percobaan pada uji difusi terhadap suatu zat tertentu dimana
dibuat suatu mekanisme kerja layaknya difusi didalam membran sel tubuh manusia. Adapun
sediaan yang diuji menggunakan bahan aktif parasetamol dalam bentuk sediaan gel dengan
konsentrasi bahan aktif 1 %. Kemudian dihitung konsentrasi obat yang terabsorbsi pada
membran, dimana obat yang terabsorbsi seolah-olah menembus membran sel yang ada didalam
tubuh.
Pada metode flow through langkah pertama adalah pembuatan membran difusi dengan
menggunakan kertas whatman no. 1 yang diimpregnasikan terlebih dahulu dengan cairan
spangler. Adapun komposisi cairan spangler ini meliputi berbagai minyak dan lemak seperti
asam palmitat, asam oleat, asam stearat, minyak kelapa, paraffin cair, Cairan spangler disini
dianggap sebagai komposisi kandungan yang terdapat pada kulit yang terdapat banyak lemak.
Sebelum diimpregnasikan dengan cairan spangler, bobot kertas whatman ditimbang terlebih
dahulu untuk menentukan persentase impregnasi dari kertas whatman.
Pemilihan sediaan yang akan diuji adalah menggunakan sediaan gel, karena sediaan gel
lebih mudah digunakan saat percobaan dengan cara mengolesi sediaan pada membran yang telah
dibuat dibanding sediaan-sediaan lain seperti sediaan cair atau sediaan padat lainnya.
Mekanisme kerja dari flow through ini adalah membran diletakkan diantara kedua
kompartemen, dilengkapi dengan dua tabung penjepit untuk menjaga letak membran.
Kompartemen donor diisi dengan larutan penerima. Suhu pada sistem dijaga yaitu 37˚C±0,5˚C
dengan sirkulasi air sebanyak 70 ml. Pompa peristaltik menghisap cairan donor dari gelas kimia
kemudian dipompa ke sel difusi mengabsorbsi zat obat diatas membran. Kemudian cairan
dialirkan ke reseptor dengan membawa cairan yang mengabsorbsi zat obat. Pada interval waktu
10 menit, 20menit, 30 menit, 40 menit, 50 menit, 60 menit, masing-masing diambil sebanyak 5
ml cairan dari kompartemen reseptor yang kemudian diencerkan sebanyak 100 kali dalam labu
ukur 10 ml untuk dianalisa. Dalam praktikum ini metode analisis yang digunakan adalah
spektrofotometer UV-Vis sehingga didapat nilai absorbansi dari setiap cairan yang kemudian
baru dapat dihitung konsentrasi obat yang terlarut dalam cairan tersebut. Setiap sampel cairan
pada interval waktu tertentu yang diambil dari kompartemen reseptor harus selalu digantikan
dengan cairan yang sama sejumlah volume yang terambil, pada praktikum kali ini dengan NaOH
0,1 N
Berdasarkan data percobaan yang didapat pada kelas A nilai absrobansi yang diperoleh
sudah sesuai yaitu semaikn lama waktu pengambilan maka absorbansinya semakin besar hal ini
menunjukkan konsentrasinya juga semakin besar seiring dengan bertambahnya waktu , begitu
pula dengan kelas C namun pada menit 40 dan 50 konsentrasinya mengalami penurunan,
kemudian pada kelas D konsentrasinya juga semakin besar seiring dengan bertambahnya waktu
namun pada menit ke 50 konsentrasninya mengalami penurunan, pada kelas B konsentrasi yang
diperoleh juga mengalai peningkatan namun juga mengalami penurunan pada menit ke 20.
Berdasarkan data yang diperoleh diatas konsentrasinya tidak berbanding lurus untuk setiap
masing-masing interval waktu. Karena seharusnya konsentrasi rata – rata obat yang dapat
menembus membran berbanding lurus dengan konsentrasi dari parasetamol. Konsentrasi
parasetamol yang dapat menembus membran berbanding lurus dengan waktu, dimana semakin
lamanya waktu maka semakin besar jumlah ataupun konsentrasi yang dapat menembus
membran, hingga mencapai puncak dimana konsentrasi obat yang terabsorbsi mengalami
penurunan yang sebanding dengan konsentrasi parasetamol yang ada jika digambarkan dalam
grafik akan terlihat seperti puncak parabola.
Namun hal ini tidak sesuai dengan hasil pengamatan yang diperoleh, hal ini mungkin
disebabkan oleh kesalahan pada saat praktikum,Kesalahan yang terjadi diantaranya membran
difusi yang diletakkan dalam kondisi miring sehingga zat-zat tidak terabsorbsi secara konstan
dalam interval waktu tertentu. Atau dikarenakan cairan NaOH yang dimasukkan kurang sesuai
sehingga kadang terabsorbsi secara berlebihan dan kadang tidak terabsorbsi sama sekali. Cairan
dapar fosfat yang digunakan dibuat dari pagi sejak awal praktikum sehingga kemungkinan sudah
terjadi penurunan PH dari dapar tersebut ketika digunakan pada siang dan sore hari.
(Cs – C)
Keterangan :
h = tebal membrane
sifat fisiko kimia dari zat aktif (bobot molekul, kelarutan, koe fisien partisi)
Karakteristik sediaan
Karakteristik basis
Zat-zat tambahan dalam sediaan
BAB V
PRNUTUP
5.1 Kesimpulan
Nilai regresi linear dari kurva kalibrasi yang didapat adalah 0.3960025.
Nilai regresi linear dari kurva yang didapat jauh dari angka 1
Konsentrasi yang didapat berdasarkan persamaan y = a + bx tidak menunjukkan data
yang baik.
Hal ini mungkin terjadi karena kesalahan pada saat praktikum, seperti :
Membran difusi yang diletakkan dalam kondisi miring sehingga zat-zat tidak
terabsorbsi secara konstan dalam interval waktu tertentu.
Cairan NaOH yang digantikan, kurang sesuai sehingga kadang terabsorbsi secara
berlebihan dan kadang tidak terabsorbsi sama sekali.
Cairan dapar fosfat yang digunakan dibuat dari pagi sejak awal praktikum sehingga
kemungkinan sudah terjadi penurunan PH dari dapar tersebut ketika digunakan pada
siang dan sore hari.
5.2 Saran
Berdasarkan kejadian yang telah kami alami saat praktikum, diharapkan pada praktikum
selanjutnya praktikan lebih berhati-hati dalam melakukan langkah-langkah dalam tiap tahap pada
metode kerja sesuai prosedur yang telah diarahkan sebelumnya. Adapun untuk cairan pendukung
praktikum, seperti NaOH dan dapar fosfat lebih baik untuk dibuat dalam keadaan baru (fresh),
agar didapatkan hasil sesuai dengan yang diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni, Citra Ayu. 2008. Pengaruh Bentuk Sediaan Krim, Gel dan Salep Terhadap Penetrasi
Aminofilin Sebagai Antiselulit Secara In Vitro Menggunakan Sel Difusi Franz . Skripsi
Sarjana Farmasi : FMIPA UI.
Ansel, H.C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, diterjemahkan oleh Ibrahim, F., UI
Press, Jakarta,392.
Chien, Y.W., 1987, Novel Drug Delivery, Marcel Dekker Inc., New York, 301-375.
Connors, K.A. 1992. Stabilitas Kimiawi Sediaan Farmasi. Semarang : IKIP. Semarang Press.
Hal. 197.
Ditjen POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV . Jakarta : DEPKES RI. Hal. 649.
Foye, William O. 1995. Principle Medical Chemistry Fourth Edition. New York : Williams and
Wilkins Publisher. Page. 544-545.
Hardman, J.G. 2001. The Pharmacological Basis of Therapeutics 10th E dition. New York :
McGraw Hill Publisher. Page. 687-731.
Henry, Arthur dkk. 2002. Analisis Spektrofotometri UV-Vis Pada Obat Influenza Dengan
Menggunakan Aplikasi Sistem Persamaan Linier . Jakarta : KOMMIT UGM
th
Martin, A., Bustamante, P., dan Chun, A.H.C., 1993, Physical Pharmacy, 5 Edition, Lea and
Febiger, Washington, Philadelpia, 1083-1096, 324.
Moghimi, H.R., Barry, B.W., dan Williams, A.C., 1999, Stratum Corneum and Barrier
Performance (A Model Lamellar Approach) dalam Percutaneous Absorption Drug
Cosmetics Mechanism Methodology, Bronaugh, R.L., dan Maibach, H.I, Marcell Dekker
Inc, New York, 515-545.
Munaf, Sjamsuir. (1994). Catatan Kuliah Farmakologi Bagian II. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Hal. 183-184.