Anda di halaman 1dari 17

ABSORPSI OBAT PERKUTAN SECARA IN VITRO

1. Tujuan
Tujuan percobaan ini adalah untuk mempelajari absorpsi obat secar perkutan
secara invitro.
2. Prinsip
Berdasarkan absorpsi atau penyerapan zat aktif obat kedalam tubuh atau
menuju ke peredaran darah setelah melewati sawar biologik
3. Teori
3.1. Kulit
Kulit merupakan lapisan pelindung tubuh yang sempurna terhadap pengaruh
luar. Kulit berfungsi sebagai sistem epitel pada tubuh untuk menjaga keluarnya
substansi-subtansi penting dari dalam tubuh dan masuknya subtansi-subtansi asing ke
dalam tubuh. Meskipun kulit relatif permeabel terhadap senyawa-senyawa kimia,
namun dalam keadaan tertentu kulit dapat ditembus oleh senyawa-senyawa obat atau
bahan berbahaya yang dapat menimbulkan efek terapetik atau efek toksik baik yang
bersifat setempat maupun sistemik. Dari suatu penelitian diketahui bahwa pergerakan
air melalui lapisan kulit yang tebal tergantung pada pertahanan lapisan stratum
corneum yang berfungsi sebagai rate-limiting barrier pada kulit (Roro M, 2009).
Kulit mengandung sejumlah bentukan bertumpuk dan spesifik yang dapat
mencegah masuknya bahan-bahan kimia. Hal tersebut disebabkan oleh adanya
lapisan tipis lipida pada permukaan lapisan tanduk dan lapisan epidermis malfigi.
Sawar kulit terutama disusun oleh lapisan tanduk (stratum corneum), namun
demikian cuplikan lapisan tanduk (stratum corneum) terpisah mempunyai
permeabilitas yang sangat rendah dengan kepekaan yang sama seperti kulit utuh.
Lapisan tanduk saling berikatan dengan kohesi yang sangat kuat merupakan
pelindung kulit yang paling efisien. Secara mikroskopik, kulit tersusun dari berbagai
lapisan yang berbeda, berturutturut dari luar kedalam yaitu lapisan epidermis, lapisan
dermis yang tersusun atas pembuluh darah dan pembuluh getah bening dan lapisan
dibawah kulit yang berlemak atau yang disebut hipodermis. Struktur kulit yang
terdiri dari lapisan epidermis, dermis dan hipodermis (Roro M, 2009).
3.2 Absorpsi Perkutan
Absorpsi perkutan adalah masuknya molekul obat dari luar kulit ke dalam
jaringan di bawah kulit, kemudian masuk ke dalam sirkulasi darah dengan
mekanisme difusi pasif. Mengacu pada Rothaman, penyerapan (absorpsi) perkutan
merupakan gabungan fenomena penembusan suatu senyawa dari lingkungan luar ke
bagian kulit sebelah dalam dan fenomena penyerapan dari struktur kulit ke dalam
peredaran darah dan getah bening. Istilah perkutan menunjukkan bahwa penembusan
terjadi pada lapisan epidermis dan penyerapan dapat terjadi pada lapisan epidermis
yang berbeda (Roro M, 2009).
Absorpsi perkutan dapat didefenisikan sebagai absorpsi obat ke dalam
stratum korneum (lapisan tanduk) dan selanjutnya obat menembus lapisan
dibawahnya dan akhirnya obat masuk dalam sirkulasi darah. Kulit relatif
impermeabel untuk sebagian besar senyawa, untuk itu perlu banyak pertimbangan
untuk pemberian obat-obatan melalui kulit untuk efek sistemik. Prasyarat untuk
absorpsi obat transdermal adalah bahwa obat dapat melintasi lapisan-lapisan dari
epidermis dan masuk ke jaringan yang terdapat di dermis, sehingga obat dapat
mencapai kapiler pembuluh darah. Pengujian absorpsi perkutan secara in vitro
menunjukkan bahwa stratum korneum merupakan sawar utama untuk banyak
senyawa. Stratum korneum impermeable terhadap molekul-molekul hidrophilik dan
sangat permeable untuk molekul lipofilik. Hal ini dikarenakan sel-sel penyusun
stratum korneum yang terdiri dari lemak dan protein keratin serta susunannya yang
padat (Grassi, Mario, et al 2007).
Untuk pengobatan setempat sering diperlukan penembusan zat aktif ke dalam
struktur kulit yang lebih dalam, hal tersebut penting dilakukan bila diperlukan
konsentrasi dalam jaringan yang terletak di bawah daerah pemakaian yang cukup
tinggi agar diperoleh efek yang dikehendaki dan sebaliknya penyerapan oleh
pembuluh darah diusahakan agar seminimal mungkin sehingga terjadinya efek
sistemik dapat dihindari. Akan tetapi pada pemakaian sediaan topikal efek sistemik,
zat aktif harus masuk ke dalam peredaran darah dan selanjutnya dibawa ke jaringan
yang kadang-kadang terletak jauh dari tempat pemakaian dan pada konsentrasi
tertentu dapat menimbulkan efek farmakologik. Penyerapan perkutan merupakan
gabungan fenomena penembusan suatu senyawa dari lingkungan luar ke bagian kulit
sebelah dalam dan fenomena penyerapan dari struktur kulit ke dalam peredaran darah
atau getah bening (Grassi, Mario, et al 2007).
Istilah ‘perkutan’ menunjukkan bahwa proses penembusan terjadi pada
lapisan epidermis dan penyerapan terjadi pada lapisan epidermis yang berbeda. Kulit
merupakan perintang yang efektif terhadap penetrasi perkutan obat atau senyawa
eksternal. Absorpsi obat perkutan dipengaruhi oleh sifat fisikokimia obat dan
pembawa serta kondisi kulit. Pada pemakaian obat secara topikal, obat berdifusi
dalam pembawanya dan kontak dengan permukaan kulit (stratum korneum dan
sebum) selanjutnya menembus epidermis (Grassi, Mario, et al 2007).
Penetrasi obat melewati kulit dapat terjadi dengan dua cara :
a. Rute trans-epidermal, yaitu difusi obat menembus stratum korneum. Terdiri
dari rute trans-seluler dan rute intra-seluler. Rute trans-seluler merupakan
jalur terpendek dimana bahan obat melewati membran lipid maupun
korneosit, tetapi rute ini memiliki resistansi yang besar terhadap penetrasi,
rute yang lebih umum adalah melalui rute interseluler.
b. Rute transfolikular (trans-appendageal), yaitu difusi obat melewati pori
kelenjar keringat dan sebum. Rute yaitu melalui kelenjar danfolikel rambut
memiliki kontribusi yang kecil terhadap penetrasi perkutan (Walter K.A ,
2011).
3.3 Strategi Penghantaran Obat Melalui Kulit
Penggunaan obat di kulit dapat ditujukan untuk mengobati kelainan
dermatologis (topical delivery), pengobatan jaringan lebih dalam seperti otot dan
vena (regional delivery) dan lebih jauh penetrasi obat ke sirkulasi sistemik
(transdermal delivery).
a. Topical delivery
Sasaran dalam penghantaran topikal adalah merancang penampung obat (drug
reservoir) di kulit. Penetrasi molekul aktif ke lapisan kulit yang lebih dalam atau
hingga ke sistem sirkulasi tidak diperlukan. Ditujukan untuk penggunaan secara
langsung di kulit pada kerusakan lapisan kutan atau pada manifestasi kutan akibat
penyakit, dengan maksud untuk membatasi efek farmakologi atau efek lain pada
permukaan kulit atau pada kulit. Absorpsi sistemik mungkin tidak dapat dihindari.
Bentuk sediaan farmasi yang dipilih adalah dari jenis formulasi semi solid, dimana
jenisnya mendominasi sistem untuk penghantaran topikal, dengan basis yang terdiri
dari antara lain wax, parafin liquidumm,cera,dan vaselin (Grassi, Mario,et al 2007).
b. Regional delivery
Penggunaan obat di kulit untuk mengobati penyakit atau mengurangi gejala
di jaringan yang lebih dalam dibawah tempat pemberian. Sasarannya adalah efek
atau aksi farmakologis pada otot, vaskular, persambungan dan lainnya yang terletak
di bawah atau disekitar tempat pemberian. Aksinya lebih sedikit dibawah pemberian
sistemik, aktivitas ini memerlukan abrorpsi perkutan dan penumpukan, salah satunya
tergantung dari kebocoran belakang obat dari pembuangan vena pada tempat
pemberian. Sebaiknya difusi belakang bukan proses yang efisien, konsekuensinya,
terjadi pengambilan sistemik dari substansi, meskipun tidak disukai, hal ini tidak
dapat dihentikan. Meskipun demikian, konsentrasi region lebih tinggi dari pada
pemberian sistemik pada total tubuh yang sama terpapar obat. Memfokuskan obat
pada jaringan yang dikehendaki, sulit untuk dibuktikan dengan tegas. Hal ini menjadi
pertimbangan karena validitas dari terapi regional. Bentuk sediaan farmasi yang
dipilih adalah formulasi yang dalam bentuk ointment, krim, adhesive patch, plester,
dengan basis yang mengandung antara lain minyak lemak, dan lanolin (Grassi,
Mario,et al 2007).
c. Systemic delivery (Transdermal delivery)
Penghantaran transdermal merupakan pemberian obat di kulit untuk
pengobatan penyakit sistemik melalui penetrasi obat ke sirkulasi sistemik dan
ditujukan pada pencapaian kadar aktif sistemik dari obat. Meskipun bentuk sediaan
ointment diterapkan pada jenis terapi ini, adhesive system dengan ukuran yang tepat
dapat digunakan. Disini,absorpsi perkutan dengan akumulasi obat sistemik yang
cukup besar sangat mutlak diperlukan. Idealnya tidak ada akumulasi lokal obat tetapi
hal tersebut tidak bisa dihindari. Obat dipaksa untuk melintas dengan kecepatan
difusi yang relatif kecil dari luas area tertentu dari patch, akibatnya besar potensi
terjadinya iritasi atau sensitasi akibat konsentrasi obat pada jaringan dibawah patch.
Bentuk sediaan farmasi yang dipilih adalah yang diformulasi dalam bentuk
mikroemulsi, nanopartikel, dan menggunakan reservoir (patch).
Dalam prakteknya, penghantaran zat terlarut melintasi kulit berhubungan dengan
beberapa kesulitan seperti :
1. Absorpsi perkutan bervariasi tergantung pada daerah kulit yang diberikan,
kerusakan kulit, umur dan perbedaan spesies
2. Efek metabolisme tingkat pertama kulit (skin’s first-pass metabolik)
3. Kapasitas reservoar di kulit
4. Iritasi dan toksisitas lain yang disebabkan oleh produk topikal
5. Keragaman dan sebab dari kulit termasuk pergantian kulit dan
metabolisme
6. Penjelasan yang tidak cukup terhadap kriteria bioequivalen
7. Tidak lengkapnya pemahaman terhadap teknologi yang digunakan untuk
memfasilitasi atau memperlambat absorpsi perkutan (Walter K.A, 2011).
Bagaimanapun, kontrol penghantaran zat terlarut melintasi kulit menjadi hal
yang menarik, lebih lanjut, berkembang teknologi untuk mendukungnya, seperti
peningkat penetrasi kimia (chemical penetration enhancement), sonophoresis,
transferosomes dan elektroforasi (Walter K.A, 2011). Sifat barrier dari lapisan
subkutan menyebabkan tidak efektifnya penetrasi molekul ionik dan senyawa yang
sangat polar. Penetrasi molekul lipofilik mudah menembus barrier tersebut, akan
tetapi penetrasinya dicegah oleh bagian hidrofilik dari kulit (epidermis dan dermis).
Molekul kecil ampifilik dengan titik lebur yang rendah dan kelarutannya dalam
minyak (subkutan) dan air (epidermis dan dermis) memiliki kesempatan untuk
melintasi kulit. Molekul besar seperti peptida dan protein sangat sulit untuk
dihantarkan, oleh karena itu jumlah produk transdermalnya dipasaran sangat terbatas
(Grassi, Mario, et al 2007).
4. Metode Percobaan
4.1. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah sel difusi tipe horizontal (side by side) atau
sel difusi tipe vertikal, spektrofotometer. Bahan yang digunakan adalah asam
salisilat, membran milipore yang diimpregnasi dengan isopropyl miristat.
4.2. Prosedur
4.2.1. Penyiapan membran milipore lipid buatan sebagai membran difusi
Membran milipore dipotong bentuk lingkaran seukuran dengan besaran
lilubang cincin penghubung antara kompartemen donor dan kompartemen
aseptor pada sel difusi. Impregnasikan membran tersebut selama lebih kurang 15
menit dalam isopropyl miristat kemudian tempatkan membran tersebut pada
kertas saring untuk menghisap kelebihan lipid selama lebih kurang 5 menit.
4.2.2. Pelaksanaan uji difusi
Membran milipore direndam pada larutan dapar fosfat untuk hidrasi
membran selama 30 menit, kemdian diambil dan ditempatkan diantara
kompartemen donor dan aseptor. Tempatkan ring karet atau silicon diantara
kompartemen donor dan aseptor untuk mencegah kebocoran. Pasanglah sel
difusi dengan mengencangkan mur yang ada sehingga terbentuk suatu sistem
side by side (tipe vertikal). Tempatkan larutan donor asam salisilat (konsentrasi
1,5 mg/ml) pada kompartemen donor. Jalankan pengaduk magnetic pada
kecepatan 120 rpm baik pada sisi donor dan aseptor. Lakukan pengukuran
transport obat ke kompartemen aseptor ada rentang waktu
5,10,15,20,25,30,35,40,45 menit. Buatlah profil hubungan anrara kumulatif
Q(t)= flux*luas membran*waktu. Gunakan parameter farmakokinetik asam
salisilat T0,5 = 2,5 jam, total kliners = 1,38 L/jam untuk memprideksikan profil
kadar obat dalam plasma jika diasumsikan
a. Lag time kinetik asam salisilat in vivo dapat diabaikan
b. Flux asam salisilat dari donorn ke aseptor menggambarkan flux asam
salisilat dari donor menenmbus kulit menuju plasma.
5. Perhitungan

5.1. Perhitungan Pembuatan larutan dapar fosfat pH 7,4

a. KH2Po4 0,2 M
𝐺𝑟𝑎𝑚 1000
M = x
𝑀𝑟 𝑉
𝐺𝑟𝑎𝑚 1000
0,2 = x
136,09 250 𝑚𝑙

Gram= 6,8045 gram

b. NaOH 0,2 M
𝐺𝑟𝑎𝑚 1000
M = x
𝑀𝑟 𝑉
𝐺𝑟𝑎𝑚 1000
0,2 = x
40 250 𝑚𝑙
Gram= 2 gram

KH2PO4 6,80 gram + NaOH 2 gram + aquadest ad 1 liter

5.2. Kurva Baku Asam Salisilat Dalam Dapar Fosfat pH 7,4

a. Pembuatan larutan induk Asam salisilat (500 ppm) dalam 100 ml dapar
𝑚𝑔
500 ppm = 0,1 𝐿

Mg = 500 ppm x 0,1 L


Mg = 50 mg asam salisilat dilarutkan dalam 100 ml dapar fosfat
b. Pengenceran Asam Salisilat dalam dapar Fosfat untuk Kurva Baku
Larutan induk = 500 ppm (50 gram asam salisilat dalam 100 ml larutan dapar fosfat
pH 7,4) diencerkan hingga 100 ppm
10 ppm : V1.C1 = V2.C2
V1.100 ppm = 10 ml. 10 ppm
V1 = 1 ml ad 10 ml dapar
20 ppm : V1.C1 = V2.C2
V1.100 ppm = 10 ml. 20 ppm
V1 = 2 ml ad 10 ml dapar
30 ppm : V1.C1 = V2.C2
V1.100 ppm = 10 ml. 30 ppm
V1 = 3 ml ad 10 ml dapar
40 ppm : V1.C1 = V2.C2
V1.100 ppm = 10 ml. 40 ppm
V1 = 4 ml ad 10 ml dapar
50 ppm : V1.C1 = V2.C2
V1.100 ppm = 10 ml. 50 ppm
V1 = 5 ml ad 10 ml dapar
60 ppm : V1.C1 = V2.C2
V1.100 ppm = 10 ml. 60 ppm
V1 = 6 ml ad 10 ml dapar
70 ppm : V1.C1 = V2.C2
V1.100 ppm = 10 ml. 70 ppm
V1 = 7 ml ad 10 ml dapar
80 ppm : V1.C1 = V2.C2
V1.100 ppm = 10 ml. 80 ppm
V1 = 8 ml ad 10 ml dapar

c. Perhitungan Pembuatan Larutan Uji Asam salisilat 1,5 mg/mL

dosis asam salisilat = 1,5 mg/mL

Volume donor = 5 mL/kelompok (dilebihkan menjadi 10 mL/kelompok)

Volume donor untuk 6 kelompok = 10 mL x 6 = 60 mL

Jumlah asam salisilat yang ditimbang = 1,5 mg/ml x 60 mL = 90 mg

Pembuatan larutan uji asam salisilat : 90 mg asam salisilat + etanol qs +


aquadest ad 60 mL
6. Hasil Pengamatan :

6.1 Hasil luas permukaan membran

Diameter Luar (cm) Diameter Dalam (cm) Volume (mL)


2,95 cm 1,3 cm 15 ml

Luas Permukaan Membran = π r2

= 3,14. (1,475 cm)2

= 6,831 cm2

6.2 Hasil Uji Difusi In Vitro Asam Salisilat

Tabel 1. Hasil Uji Difusi In Vitro Asam Salisilat

Waktu x Luas
Waktu Mg terdifusi Luas membran membran Fluks
0 0,263 6,831 0 0
5 0,278 6,831 34,155 0,008146
10 0,303 6,831 68,31 0,004443
15 0,342 6,831 102,465 0,003333
20 0,403 6,831 136,62 0,002951
25 0,418 6,831 170,775 0,00245
30 0,385 6,831 204,93 0,001879
35 0,340 6,831 239,085 0,001423
40 0,293 6,831 273,24 0,001071
45 0,245 6,831 307,395 0,000796
50 0,237 6,831 341,55 0,000694
55 0,225 6,831 375,705 0,000599
60 0,223 6,831 409,86 0,000544
6.3. Grafik

Grafik Mg terdifusi terhadap Waktu


0.450
0.400 y = -0.0015x + 0.3492
0.350 R² = 0.1835
% Mg terdifusi

0.300
0.250
0.200 Series1
0.150
Linear (Series1)
0.100
0.050
0.000
0 20 40 60 80
Waktu

Gambar 1. Grafik Kurva Hubungan Persen Terdifusi Terhadap Waktu

Grafik Fluks terhadap Waktu


0.009 y = -7E-05x + 0.0042
0.008 R² = 0.3585
0.007
0.006
0.005
fluks

0.004 Series1
0.003 Linear (Series1)
0.002
0.001
0
0 20 40 60 80
Waktu

Gambar 2. Grafik Kurva Hubungan


7. Pembahasan
Pada praktikum kali ini di ujikan absorpsi obat secara perkutan dengan tujuan
untuk mengetahui pengaruh stratum korneum sebagai penghalang absorpsi secara
perkutan. Pengamatan dilakukan untuk mengukur konsentrasi obat yang terdifusi
kedalam kulit dan mengetahui konsentrasi obat terhadap waktu dilakukan secara in vitro
dengan melihat jumlah obat yang terdifusi pada luas membran terhadap waktu.
Pengujian difusi in vitro dilakukan untuk pengujian pada sediaan transdermal.
Pemberian secara transdermal menghasilkan pelepasan obat ke tubuh melalui
kulit. Rute pemberian obat secara transdermal memberikan beberapa keuntungan
diantaranya, mengurangi metabolisme lintas pertama obat (first pass effect), tidak
mengalami degradasi gastrointestinal, penghantaran obat jangka panjang, dan
penghantaran terkontrol. Akan tetapi, hanya sedikit molekul obat yang dapat
diformulasikan ke dalam patch transdermal dikarenakan permeabilitas.
Sistem Penghantaran obat secara tarnsdermal merupakan rute administrasi
dimana bahan aktif yang disampaikan ke kulit akan di distribusikan secara sistemik.
Sedangkan sistem penghantaran secara topikal merupakan pemberian obat secara lokal
dengan cara mengoleskan obat pada permukaan kulit atau membran area mata, hidung,
lubang telinga, vagina dan rektum.
Pada praktikum ini, dilakukan penyiapan membran lipid buatan sebagai
membran difusi dengan cara memotong membran milipore dalam bentuk lingkaran yang
telah sesuai. Kemudian membran tersebut direndam menggunakan cairan isopropyl
miristat. Perendaman isopropyl miristat pada membran milipore atau membran buatan
bertujuan untuk melapisi membran milipore sehingga diperoleh membran yang
menyerupai stratum korneum dari kulit manusia. Perendaman membran milipore
selama lebih kurang 15 menit kemudian diangkat dan dikeringkan dengan cara
meletakkan membran diatas kertas saring dengan tujuan untuk mempercepat
pengeringan atau menghisap kelebihan lipid.
Sediaan transdermal dapat dikembangkan untuk alternatif sistem penghantaran
obat dengan bioavailabilitas oral yang rendah. Namun tidak semua obat dapat
menembus kulit dengan mudah karena struktur kulit yang sangat kompleks yang
menghambat absorpsi transdermal. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk
memperbaiki bioavailabilitas obat yang diberikan secara transdermal. Salah satu upaya
ini adalah penggunaan enhencer kimia dalam sediaan. Enhancer adalah sesuatu yang
dapat meningkatkan permeasi (transpor). Enhancer dapat berupa metode fisika misalnya
iontoforesisi (aplikasi arus listrik) maupun enhancer kimia misalnya bahan-bahan kimia.
Permeasi (transport) adalah perpindahan obat dari satu kompartemen ke kompartemen
lain. Antara dua kompartemen ini terdapat membran yang memisahkannya . Pada
praktikum kali ini menggunakan aplikasi arus listrik.
Pada praktikum ini menggunakan metode difusi tipe vertikal, merupakan
percobaan pada uji difusi terhadap suatu zat tertentu dimana dibuat suatu mekanisme
kerja layaknya difusi didalam membran sel tubuh manusia. Adapun sediaan yang diuji
menggunakan bahan aktif asam salisilat. Kemudian dihitung konsentrasi obat yang
terabsorbsi pada membran, dimana obat yang terabsorbsi seolah-olah menembus
membran sel yang ada didalam tubuh. Alat yang digunakan magnetic stirer bar
diaktifkan oleh thermolyne Cimarec dengan kecepatan putaran 120 rpm pada
kompartemen aseptor tujuannya agar terjadi homogenisasi yang dapat mempercepat
proses pelarutan zat yang terpenetrasi dan berperan untuk mencegah kejenuhan lapisan
difusi yang kontakdengan membran . Penggunaan kecepatan yang lebih tinggi dapat
menyebabkan timbulnya gelembung udara di antara membran dan cairan kompartemen
aseptor Magnetic bar (magnetic stirrer) berfungsi untuk menghomogenkan suatu
larutan dengan pengadukan. Pelat (plate) yang terdapat dalam alat ini dapat dipanaskan
sehingga mampu mempercepat proses homogenisasi.
Pada praktikum ini diperoleh hasil mg terdisolusi untuk membran sintetis kasar
lebih banyak karena memiliki pori-pori yang besar di bandingkan dengan membran
sintetis yang halus sehingga mg terkoreksinya lebih banyak yang kasar yaitu sebesar
0.641 pada menit ke 70. Besarnya mg terkoreksi yang lebih besar dapat menyebabkan
hasil fluks asam salisilat dari donor menembus kulit menuju plasma kurang maksimal.
Pengujian sampel dilakukan setiap 5 menit selama 60 menit dan sampling
sebanyak 3 ml dan digantikan dengan 3 ml dapar fosfat pH 7,4 agar volume dalam
kompartemen aseptor tetap. Penggantian larutan dapar dilakukan untuk menjaga kondisi
sink pada kompartemen aseptor yaitu kondisi terjadinya konsentrasi yang berbeda
antara asam salisilat dalam kompartemen donor dan kompartemen aseptor.
Selanjutnya, kadar asam salisilat dalam sampel diamati serapannya
menggunakan spektrofotometri UV pada panjang gelombang 300 nm. Lalu, dibuat
kurva hubungan antara jumlah kumulatif asam salisilat terhadap waktu dan tentukan
nilai fluks.
Nilai fluks merupakan slope hasil regresi antara massa tertransport persatuan
luas (μm/cm2) terhadap waktu (menit) pada kondisi steady state. kondisi steady state
yaitu kondisi yang ditunjukkan dengan gambaran kurva linier yang memiliki nilai
koefisien korelasi (r) sama dengan atau mendekati 1.
Berdasakan data pengamatan di atas bahwa pada tabel dan grafik hasil terdifusi
terhadap waktu bahwa data yang di peroleh tidak sesuai dengan literatur yakni, semakin
lama waktu asam salisilat yang terdifusi per satuan waktu semakin meningkat. Persen
terdifusi tertinggi yaitu sebesar 5.578 % pada waktu ke-25 menit. Hal ini menunjukkan
hubungan antara % terdifusi obat terhadap waktunya kurang baik karena besar %
terdifusi berbanding lurus dengan lamanya waktu. Hal ini dapat dipengaruhi oleh sifat
fisika kimia obat, pH, dan kondisi membran milipore, dan kelembaban yang
terkandung.
Selanjutnya hasil dari tabel dan grafik nilai hubungan antara fluks dan waktu
menunjukkan perbandingan terbalik, di mana semakin lama waktu pengambilan sampel
maka nilai fluksnya semakin menurun, nilai fluks tertinggi yaitu sebesar 0.00816 pada
menit ke-5. Hal ini menunjukkan bahwa nilai fluks terhadap waktu baik. Lalu hubungan
antara nilai fluks dengan % terdifusi berdasarkan hukum Fick I, nilai fluks sebanding
atau berbanding lurus dengan gradien konsentrasi difusi atau jumlah kumulatif zat aktif
dari terpenetrasi per luas area. Tetapi dari hasil yang didapatkan dapat diketahui jika
jumlah kumulatif asam salisilat terpenetrasi perluas area turut mempengaruhi fluks
penetrasi asam salisilat melalui membran difusi.
8. Kesimpulan
Dari hasil praktikkum kali ini dapat diketahui bahwa hasil % terdifusi asam
salisilat terhadap waktu yang dihasilkan kurang baik karena nilai % terdifusi yang di
peroleh tidak sesuai dengan literatur yakni, semakin lama waktu asam salisilat yang
terdifusi per satuan waktu akan semakin meningkat. Sedangkan hubungan nilai fluks
dengan lamanya waktu menunjukkan kestabilan penurunan yang baik. Hal ini sesuai
dengan literatur bahwa hubungan nilai fluks berbanding terbalik dengan gradien
konsentrasi difusi atau jumlah kumulatif zat aktif dari terpenetrasi per luas area.
DAFTAR PUSTAKA

Grassi, Mario, et.al. 2007. Understanding drug Realese and Absorpstion Mechanisms .
London: Taylor & Francis Group

Roro Mega, P,A,M. 2009. Efek Penambahan Berbagai Peningkat Penetrasi Terhadap
Penetrasi Perkutan Gel Natrium Diklofenak Secara In Vitro. Universitas
Muhammadiyah. Surakarta.

Walters, Kenneth A, 2011, Dermatological and Transdermal Formulation. New York:


Marcel Dekker Inc.
LAMPIRAN

Lampiran 1. Absorbansi dan Kurva Baku Asam salisilat Dalam Dapar Fosfat pH 7,4

Tabel 1. Absorbansi Kurva Baku Kafein


ppm Abs
10 0.207
20 0.430
30 0.769
40 0.936
50 1.189
60 1.419
70 1.586
80 1.858

c y = 0.0233x + 0.0025
2 R² = 0.9956

1.5
absorbansi

0.5

0
0 20 40 60 80 100
konsentrasi

Gambar 1. Gambar Kurva Baku Asam salisilat Dalam Dapar Fosfat pH 7,4
Lampiran 2. Tabel Perhitungan persen terdifusi asam salisilat

Anda mungkin juga menyukai