1. Tujuan
Tujuan percobaan ini adalah untuk mempelajari absorpsi obat secar perkutan
secara invitro.
2. Prinsip
Berdasarkan absorpsi atau penyerapan zat aktif obat kedalam tubuh atau
menuju ke peredaran darah setelah melewati sawar biologik
3. Teori
3.1. Kulit
Kulit merupakan lapisan pelindung tubuh yang sempurna terhadap pengaruh
luar. Kulit berfungsi sebagai sistem epitel pada tubuh untuk menjaga keluarnya
substansi-subtansi penting dari dalam tubuh dan masuknya subtansi-subtansi asing ke
dalam tubuh. Meskipun kulit relatif permeabel terhadap senyawa-senyawa kimia,
namun dalam keadaan tertentu kulit dapat ditembus oleh senyawa-senyawa obat atau
bahan berbahaya yang dapat menimbulkan efek terapetik atau efek toksik baik yang
bersifat setempat maupun sistemik. Dari suatu penelitian diketahui bahwa pergerakan
air melalui lapisan kulit yang tebal tergantung pada pertahanan lapisan stratum
corneum yang berfungsi sebagai rate-limiting barrier pada kulit (Roro M, 2009).
Kulit mengandung sejumlah bentukan bertumpuk dan spesifik yang dapat
mencegah masuknya bahan-bahan kimia. Hal tersebut disebabkan oleh adanya
lapisan tipis lipida pada permukaan lapisan tanduk dan lapisan epidermis malfigi.
Sawar kulit terutama disusun oleh lapisan tanduk (stratum corneum), namun
demikian cuplikan lapisan tanduk (stratum corneum) terpisah mempunyai
permeabilitas yang sangat rendah dengan kepekaan yang sama seperti kulit utuh.
Lapisan tanduk saling berikatan dengan kohesi yang sangat kuat merupakan
pelindung kulit yang paling efisien. Secara mikroskopik, kulit tersusun dari berbagai
lapisan yang berbeda, berturutturut dari luar kedalam yaitu lapisan epidermis, lapisan
dermis yang tersusun atas pembuluh darah dan pembuluh getah bening dan lapisan
dibawah kulit yang berlemak atau yang disebut hipodermis. Struktur kulit yang
terdiri dari lapisan epidermis, dermis dan hipodermis (Roro M, 2009).
3.2 Absorpsi Perkutan
Absorpsi perkutan adalah masuknya molekul obat dari luar kulit ke dalam
jaringan di bawah kulit, kemudian masuk ke dalam sirkulasi darah dengan
mekanisme difusi pasif. Mengacu pada Rothaman, penyerapan (absorpsi) perkutan
merupakan gabungan fenomena penembusan suatu senyawa dari lingkungan luar ke
bagian kulit sebelah dalam dan fenomena penyerapan dari struktur kulit ke dalam
peredaran darah dan getah bening. Istilah perkutan menunjukkan bahwa penembusan
terjadi pada lapisan epidermis dan penyerapan dapat terjadi pada lapisan epidermis
yang berbeda (Roro M, 2009).
Absorpsi perkutan dapat didefenisikan sebagai absorpsi obat ke dalam
stratum korneum (lapisan tanduk) dan selanjutnya obat menembus lapisan
dibawahnya dan akhirnya obat masuk dalam sirkulasi darah. Kulit relatif
impermeabel untuk sebagian besar senyawa, untuk itu perlu banyak pertimbangan
untuk pemberian obat-obatan melalui kulit untuk efek sistemik. Prasyarat untuk
absorpsi obat transdermal adalah bahwa obat dapat melintasi lapisan-lapisan dari
epidermis dan masuk ke jaringan yang terdapat di dermis, sehingga obat dapat
mencapai kapiler pembuluh darah. Pengujian absorpsi perkutan secara in vitro
menunjukkan bahwa stratum korneum merupakan sawar utama untuk banyak
senyawa. Stratum korneum impermeable terhadap molekul-molekul hidrophilik dan
sangat permeable untuk molekul lipofilik. Hal ini dikarenakan sel-sel penyusun
stratum korneum yang terdiri dari lemak dan protein keratin serta susunannya yang
padat (Grassi, Mario, et al 2007).
Untuk pengobatan setempat sering diperlukan penembusan zat aktif ke dalam
struktur kulit yang lebih dalam, hal tersebut penting dilakukan bila diperlukan
konsentrasi dalam jaringan yang terletak di bawah daerah pemakaian yang cukup
tinggi agar diperoleh efek yang dikehendaki dan sebaliknya penyerapan oleh
pembuluh darah diusahakan agar seminimal mungkin sehingga terjadinya efek
sistemik dapat dihindari. Akan tetapi pada pemakaian sediaan topikal efek sistemik,
zat aktif harus masuk ke dalam peredaran darah dan selanjutnya dibawa ke jaringan
yang kadang-kadang terletak jauh dari tempat pemakaian dan pada konsentrasi
tertentu dapat menimbulkan efek farmakologik. Penyerapan perkutan merupakan
gabungan fenomena penembusan suatu senyawa dari lingkungan luar ke bagian kulit
sebelah dalam dan fenomena penyerapan dari struktur kulit ke dalam peredaran darah
atau getah bening (Grassi, Mario, et al 2007).
Istilah ‘perkutan’ menunjukkan bahwa proses penembusan terjadi pada
lapisan epidermis dan penyerapan terjadi pada lapisan epidermis yang berbeda. Kulit
merupakan perintang yang efektif terhadap penetrasi perkutan obat atau senyawa
eksternal. Absorpsi obat perkutan dipengaruhi oleh sifat fisikokimia obat dan
pembawa serta kondisi kulit. Pada pemakaian obat secara topikal, obat berdifusi
dalam pembawanya dan kontak dengan permukaan kulit (stratum korneum dan
sebum) selanjutnya menembus epidermis (Grassi, Mario, et al 2007).
Penetrasi obat melewati kulit dapat terjadi dengan dua cara :
a. Rute trans-epidermal, yaitu difusi obat menembus stratum korneum. Terdiri
dari rute trans-seluler dan rute intra-seluler. Rute trans-seluler merupakan
jalur terpendek dimana bahan obat melewati membran lipid maupun
korneosit, tetapi rute ini memiliki resistansi yang besar terhadap penetrasi,
rute yang lebih umum adalah melalui rute interseluler.
b. Rute transfolikular (trans-appendageal), yaitu difusi obat melewati pori
kelenjar keringat dan sebum. Rute yaitu melalui kelenjar danfolikel rambut
memiliki kontribusi yang kecil terhadap penetrasi perkutan (Walter K.A ,
2011).
3.3 Strategi Penghantaran Obat Melalui Kulit
Penggunaan obat di kulit dapat ditujukan untuk mengobati kelainan
dermatologis (topical delivery), pengobatan jaringan lebih dalam seperti otot dan
vena (regional delivery) dan lebih jauh penetrasi obat ke sirkulasi sistemik
(transdermal delivery).
a. Topical delivery
Sasaran dalam penghantaran topikal adalah merancang penampung obat (drug
reservoir) di kulit. Penetrasi molekul aktif ke lapisan kulit yang lebih dalam atau
hingga ke sistem sirkulasi tidak diperlukan. Ditujukan untuk penggunaan secara
langsung di kulit pada kerusakan lapisan kutan atau pada manifestasi kutan akibat
penyakit, dengan maksud untuk membatasi efek farmakologi atau efek lain pada
permukaan kulit atau pada kulit. Absorpsi sistemik mungkin tidak dapat dihindari.
Bentuk sediaan farmasi yang dipilih adalah dari jenis formulasi semi solid, dimana
jenisnya mendominasi sistem untuk penghantaran topikal, dengan basis yang terdiri
dari antara lain wax, parafin liquidumm,cera,dan vaselin (Grassi, Mario,et al 2007).
b. Regional delivery
Penggunaan obat di kulit untuk mengobati penyakit atau mengurangi gejala
di jaringan yang lebih dalam dibawah tempat pemberian. Sasarannya adalah efek
atau aksi farmakologis pada otot, vaskular, persambungan dan lainnya yang terletak
di bawah atau disekitar tempat pemberian. Aksinya lebih sedikit dibawah pemberian
sistemik, aktivitas ini memerlukan abrorpsi perkutan dan penumpukan, salah satunya
tergantung dari kebocoran belakang obat dari pembuangan vena pada tempat
pemberian. Sebaiknya difusi belakang bukan proses yang efisien, konsekuensinya,
terjadi pengambilan sistemik dari substansi, meskipun tidak disukai, hal ini tidak
dapat dihentikan. Meskipun demikian, konsentrasi region lebih tinggi dari pada
pemberian sistemik pada total tubuh yang sama terpapar obat. Memfokuskan obat
pada jaringan yang dikehendaki, sulit untuk dibuktikan dengan tegas. Hal ini menjadi
pertimbangan karena validitas dari terapi regional. Bentuk sediaan farmasi yang
dipilih adalah formulasi yang dalam bentuk ointment, krim, adhesive patch, plester,
dengan basis yang mengandung antara lain minyak lemak, dan lanolin (Grassi,
Mario,et al 2007).
c. Systemic delivery (Transdermal delivery)
Penghantaran transdermal merupakan pemberian obat di kulit untuk
pengobatan penyakit sistemik melalui penetrasi obat ke sirkulasi sistemik dan
ditujukan pada pencapaian kadar aktif sistemik dari obat. Meskipun bentuk sediaan
ointment diterapkan pada jenis terapi ini, adhesive system dengan ukuran yang tepat
dapat digunakan. Disini,absorpsi perkutan dengan akumulasi obat sistemik yang
cukup besar sangat mutlak diperlukan. Idealnya tidak ada akumulasi lokal obat tetapi
hal tersebut tidak bisa dihindari. Obat dipaksa untuk melintas dengan kecepatan
difusi yang relatif kecil dari luas area tertentu dari patch, akibatnya besar potensi
terjadinya iritasi atau sensitasi akibat konsentrasi obat pada jaringan dibawah patch.
Bentuk sediaan farmasi yang dipilih adalah yang diformulasi dalam bentuk
mikroemulsi, nanopartikel, dan menggunakan reservoir (patch).
Dalam prakteknya, penghantaran zat terlarut melintasi kulit berhubungan dengan
beberapa kesulitan seperti :
1. Absorpsi perkutan bervariasi tergantung pada daerah kulit yang diberikan,
kerusakan kulit, umur dan perbedaan spesies
2. Efek metabolisme tingkat pertama kulit (skin’s first-pass metabolik)
3. Kapasitas reservoar di kulit
4. Iritasi dan toksisitas lain yang disebabkan oleh produk topikal
5. Keragaman dan sebab dari kulit termasuk pergantian kulit dan
metabolisme
6. Penjelasan yang tidak cukup terhadap kriteria bioequivalen
7. Tidak lengkapnya pemahaman terhadap teknologi yang digunakan untuk
memfasilitasi atau memperlambat absorpsi perkutan (Walter K.A, 2011).
Bagaimanapun, kontrol penghantaran zat terlarut melintasi kulit menjadi hal
yang menarik, lebih lanjut, berkembang teknologi untuk mendukungnya, seperti
peningkat penetrasi kimia (chemical penetration enhancement), sonophoresis,
transferosomes dan elektroforasi (Walter K.A, 2011). Sifat barrier dari lapisan
subkutan menyebabkan tidak efektifnya penetrasi molekul ionik dan senyawa yang
sangat polar. Penetrasi molekul lipofilik mudah menembus barrier tersebut, akan
tetapi penetrasinya dicegah oleh bagian hidrofilik dari kulit (epidermis dan dermis).
Molekul kecil ampifilik dengan titik lebur yang rendah dan kelarutannya dalam
minyak (subkutan) dan air (epidermis dan dermis) memiliki kesempatan untuk
melintasi kulit. Molekul besar seperti peptida dan protein sangat sulit untuk
dihantarkan, oleh karena itu jumlah produk transdermalnya dipasaran sangat terbatas
(Grassi, Mario, et al 2007).
4. Metode Percobaan
4.1. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah sel difusi tipe horizontal (side by side) atau
sel difusi tipe vertikal, spektrofotometer. Bahan yang digunakan adalah asam
salisilat, membran milipore yang diimpregnasi dengan isopropyl miristat.
4.2. Prosedur
4.2.1. Penyiapan membran milipore lipid buatan sebagai membran difusi
Membran milipore dipotong bentuk lingkaran seukuran dengan besaran
lilubang cincin penghubung antara kompartemen donor dan kompartemen
aseptor pada sel difusi. Impregnasikan membran tersebut selama lebih kurang 15
menit dalam isopropyl miristat kemudian tempatkan membran tersebut pada
kertas saring untuk menghisap kelebihan lipid selama lebih kurang 5 menit.
4.2.2. Pelaksanaan uji difusi
Membran milipore direndam pada larutan dapar fosfat untuk hidrasi
membran selama 30 menit, kemdian diambil dan ditempatkan diantara
kompartemen donor dan aseptor. Tempatkan ring karet atau silicon diantara
kompartemen donor dan aseptor untuk mencegah kebocoran. Pasanglah sel
difusi dengan mengencangkan mur yang ada sehingga terbentuk suatu sistem
side by side (tipe vertikal). Tempatkan larutan donor asam salisilat (konsentrasi
1,5 mg/ml) pada kompartemen donor. Jalankan pengaduk magnetic pada
kecepatan 120 rpm baik pada sisi donor dan aseptor. Lakukan pengukuran
transport obat ke kompartemen aseptor ada rentang waktu
5,10,15,20,25,30,35,40,45 menit. Buatlah profil hubungan anrara kumulatif
Q(t)= flux*luas membran*waktu. Gunakan parameter farmakokinetik asam
salisilat T0,5 = 2,5 jam, total kliners = 1,38 L/jam untuk memprideksikan profil
kadar obat dalam plasma jika diasumsikan
a. Lag time kinetik asam salisilat in vivo dapat diabaikan
b. Flux asam salisilat dari donorn ke aseptor menggambarkan flux asam
salisilat dari donor menenmbus kulit menuju plasma.
5. Perhitungan
a. KH2Po4 0,2 M
𝐺𝑟𝑎𝑚 1000
M = x
𝑀𝑟 𝑉
𝐺𝑟𝑎𝑚 1000
0,2 = x
136,09 250 𝑚𝑙
b. NaOH 0,2 M
𝐺𝑟𝑎𝑚 1000
M = x
𝑀𝑟 𝑉
𝐺𝑟𝑎𝑚 1000
0,2 = x
40 250 𝑚𝑙
Gram= 2 gram
a. Pembuatan larutan induk Asam salisilat (500 ppm) dalam 100 ml dapar
𝑚𝑔
500 ppm = 0,1 𝐿
= 6,831 cm2
Waktu x Luas
Waktu Mg terdifusi Luas membran membran Fluks
0 0,263 6,831 0 0
5 0,278 6,831 34,155 0,008146
10 0,303 6,831 68,31 0,004443
15 0,342 6,831 102,465 0,003333
20 0,403 6,831 136,62 0,002951
25 0,418 6,831 170,775 0,00245
30 0,385 6,831 204,93 0,001879
35 0,340 6,831 239,085 0,001423
40 0,293 6,831 273,24 0,001071
45 0,245 6,831 307,395 0,000796
50 0,237 6,831 341,55 0,000694
55 0,225 6,831 375,705 0,000599
60 0,223 6,831 409,86 0,000544
6.3. Grafik
0.300
0.250
0.200 Series1
0.150
Linear (Series1)
0.100
0.050
0.000
0 20 40 60 80
Waktu
0.004 Series1
0.003 Linear (Series1)
0.002
0.001
0
0 20 40 60 80
Waktu
Grassi, Mario, et.al. 2007. Understanding drug Realese and Absorpstion Mechanisms .
London: Taylor & Francis Group
Roro Mega, P,A,M. 2009. Efek Penambahan Berbagai Peningkat Penetrasi Terhadap
Penetrasi Perkutan Gel Natrium Diklofenak Secara In Vitro. Universitas
Muhammadiyah. Surakarta.
Lampiran 1. Absorbansi dan Kurva Baku Asam salisilat Dalam Dapar Fosfat pH 7,4
c y = 0.0233x + 0.0025
2 R² = 0.9956
1.5
absorbansi
0.5
0
0 20 40 60 80 100
konsentrasi
Gambar 1. Gambar Kurva Baku Asam salisilat Dalam Dapar Fosfat pH 7,4
Lampiran 2. Tabel Perhitungan persen terdifusi asam salisilat