Anda di halaman 1dari 20

UJI BIOAVAIBILITAS DAN BIOEKUIVALENSI OBAT

I. TUJUAN
Setelah mengikuti percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu untuk:
1. Menentukan status bioekivalensi dari suatu produk obat yang diuji
2. Merancang penelitian uji bioavailabilitas dan bioekivalensi suatu
produk obat

II. PRINSIP
1. Bioavaibilitas Relatif
Yaitu ketersediaan dalam sistemik suatu produk obat dibandingkan
terhadap suatu standar yang diketahui.
a. Data Darah :
Bioavaibilitas Relatif (F
REL
) =


% 100 x
Dosis
Dosis
x
AUC
AUC
UJI
STD
STD
UJI

b. Data Urin :
Bioavaibilitas Relatif (F
REL
) =


% 100 x
Dosis
Dosis
x
Qur
Q
UJI
STD
STD
UJI

2. Bioavaibbilitas Absolut
Perbandingan AUC suatu produk yang diuji setelah pemberian oral dan
intravena.
Bioavaibilitas Absolut (F
ABS
) =


% 100 x
Dosis
Dosis
x
AUC
AUC
UJI
IV
IV
UJI


III. TEORI DASAR
Uji Bioekivalensi (BE) merupakan data ekivalensi untuk melihat
kesetaraan sifat dan kerja obat didalam tubuh suatu obat copy dibandingkan
dengan obat innovator sebagai pembanding. Dua produk obat disebut
bioekivalen jika keduanya mempunyai bioekivalensi farmaseutik dan
alternatif farmaseutik dan pada pemberian dengan dosis yang sama akan
menghasilkan bioavailabilitas yang sebanding sehingga efek dalam efikasi
maupun keamanan akan sama. Bioavailabilitas (BA) adalah persentase dan
kecepatan zat aktif dalam produk obat yang mencapai atau tersedia dalam
sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh / aktif, setelah pemberian obat diukur
dari kadarnya dalam darah terhadap waktu atau dari ekskresinya dalam urin.
(BPOM, 2004., BPOM, 2006).
Uji bioavailabilitas dan bioekivalensi (BABE) mensyaratkan pelaksanaan
sesuai dengan pedoman praktek laboratorium yang benar (Good Laboratory
Practice) dan pedoman cara uji klinik yang baik (Good Clinical Practice).
Setiap laboratorium pengujian, untuk menyusun proposal uji BABE
diharuskan melakukan penelitian dan kajian pustaka, karena dalam pedoman
uji bioekivalensi tidak menentukan produk yang harus diuji maupun inovator
ataukomparatornya demikian pula dengan metode yang digunakan. (BPOM,
2004., BPOM, 2006).
Bioavailabilitas suatu obat mempengaruhi daya terapetik, aktivitas klinik,
dan aktivitas toksik obat, maka biofarmasetika menjadi sangat penting.
Biofarmasetika bertujuan mengatur pelepasan obat sedemikian rupa ke
sirkulasi sistemik agar diperoleh pengobatan yang optimal pada kondisi klinik
tertentu (Shargel dan Andrew, 2005).
Bioavailabilitas terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Bioavailabilitas absolut : bioavailabilitas zat aktif yang mencapai
sirkulasi sistemik dari suatu sediaan obat dibandingkan dengan
bioavailabilitas zat aktif tersebut dengan pemberian intra vena

2. Bioavailabilitas relatif : bioavailabilitas zat aktif yang mencapai
sirkulasi sistemik dari suatu sediaan obat dibandingkan dengan bentuk
sediaan lain selain intra vena. Bioavailabilitas suatu produk obat
dibandingkan dengan produk standar
Faktor farmasetik yang mempengaruhi biovailabilitas obat aktif (Shargel
dan Andrew, 2005):
1. Disintegrasi
Sebelum absorpsi terjadi, suatu produk obat padat harus mengalami
disintegrasi ke dalam partikel-partikel kecil dan melepaskan obat.
2. Pelarutan
Pelarutan merupakan proses di mana suatu bahan kimia atau obat
menjadi terlarut dalam suatu pelarut. Laju pelarutan obat-obat dengan
kelarutan dalam air sangat kecil dari bentuk sediaan padat yang utuh
atau terdisintegrasi dalam saluran cerna sering mengendalikan laju
absorbsi sistemik obat. Obat yang terlarut dalam larutan jenuh dikenal
sebagai stagnant layer, berdifusi ke pelarut dari daerah konsentrasi
tinggi ke daerah konsentrasi obat yang rendah. Laju pelarutan adalah
jumlah obat yang terlarut per satuan luas per waktu (misal
g/cm
2
.menit). Laju pelarutan dipengaruhi pula oleh sifat fisikokimia
obat, formulasi, pelarut, suhu media dan kecepatan pengadukan
3. Sifat Fisikokimia Obat
Sifat fisika dan kimia partikel-partikel obat padat mempunyai
pengaruh yang besar pada kinetika pelarutan. Sifat-sifat ini terdiri
atas: luas permukaan, bentuk geometrik partikel, derajat kelarutan
obat dalam air, dan bentuk obat yang polimorf.
4. Faktor Formulasi Yang Mempengaruhi Uji Pelarutan Obat
Berbagai bahan tambahan dalam produk obat juga mempengaruhi
kinetika pelarutan obat dengan mengubah media tempat obat melarut
atau bereaksi dengan obat itu sendiri. Misalnya, magnesium stearat
(bahan pelincir tablet) dapat menolak air, dan bila digunakan dalam
jumlah besar dapat menurunkan pelarutan. Natrium bikarbonat dapat
mengubah pH media. Untuk obat asam seperti aspirin dengan media
alkali akan menyebabkan obat tersebut melarut cepat. Serta, bahan
tambahan yang berinteraksi dengan obat dapat membentuk kompleks
yang larut atau tidak larut dalam air, contoh tetrasiklina dan kalsium
karbonat membentuk kalsium tetrasiklina yang tidak larut air.
Untuk mengetahui perbandingan kualitas obat sediaan generik dengan
sediaan paten perlu diketahui bioekuivalensi antara dua sediaan tersebut.
Masing-masing sediaan diukur bioavailabilitasnya. Perbandingan
bioavailabilitas ini disebut bioekivalansi obat. Dasar untuk menentukan
bioavailabilitas suatu obat terlebih dahulu harus diketahui profil disolusinya.
Disolusi tablet ialah jumlah atau persen zat aktif dari sediaan padat yang larut
pada waktu tertentu dalam kondisi baku. Kondisi yang dimaksud misalnya,
dalam suhu, kecepatan, pengadukan, dan komposisi media tertentu. Uji
disolusi merupakan suatu metode fisika kimia yang penting sebagai
parameter dalam pengembangan produk dan pengendalian mutu sediaan obat
yang didasarkan pada pengukuran kecepatan pelepasan dan melarut zat aktif
dari sediaannya. Uji disolusi digunakan untuk uji bioavailabilitas secara in
vitro, karena hasil uji disolusi berkorelasi dengan ketersediaan hayati obat
dalam tubuh ( Stoklosa, 1991).

Dua produk obat disebut bioekivalen jika keduanya mempunyai ekivalensi
farmaseutik atau merupakan alternatif farmaseutik dan pada pemberian
dengan dosis molar yang sama akan menghasilkan bioavailabilitas yang
sebanding sehingga efeknya akan sama, dalam hal efikasi maupun keamanan
(BPOM RI, 2004).

IV. ALAT DAN BAHAN
1. Alat
a. Komputer
b. Perangkat Lunak Microsoft Excel
2. Bahan
a. Soal Tugas Praktikum Uji Bioekivalensi Diktat Penuntun
Praktikum Biofarmasetik-Farmasetik, Volume 2. Laboratorium
Farmakokinetik Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran 2013

V. DATA PENGAMATAN

- BA absolut (F) suatu sediaan obat berupa suspense oral konsentrasi zat
aktif 50 mg/ml. apabila dibandingkan dgn i.v konsentrasi zat aktif 100
mg/ml dmn dosis yg diberikan u/ suspense oral adalah 2 sendok teh
sedangkan dosis i.v 2ml. data kadar obat sbb:

t (jam)
kadar (g/ml)
suspensi oral i.v
0,5 2,75 5,31
1 6,24 4,62
1,5 8,5 4,02
2 9,81 3,5
3 7,43 2,65
4 5,6 2,01
6 3,19 1,16
8 1,91 0,66

Maka BA absolutnya adalah sebagai berikut

T(jam) Kadar (ug/ml)
AUC Oral AUC IV Ln IV Ln Oral

suspensi
oral IV
0 0 6.136165281 0.6875 2.861541 1.8142 #NUM!
0.5 2.75 5.31 2.2475 2.4825 1.669591835 1.0116009
1 6.24 4.62 3.685 2.16 1.530394705 1.8309802
1.5 8.5 4.02 4.5775 1.88 1.391281903 2.1400662
2 9.81 3.5 8.62 3.075 1.252762968 2.2834023
3 7.43 2.65 6.515 2.33 0.97455964 2.0055259
4 5.6 2.01 8.79 3.17 0.698134722 1.7227666
6 3.19 1.16 5.1 1.82 0.148420005 1.1600209
8 1.91 0.66 7.103012272 2.37069 -0.41551544 0.6471032
Total 47.32551227 22.14973


Ln Oral

Kadar tak hingga Oral BA Absolut
Kadar IV
#NUM! 6.136165 7.103012272 85.46471707
1.0116009 Kadar tak hingga vena
1.8309802 2.370689655
2.1400662
2.2834023
2.0055259
1.7227666
1.1600209
0.6471032


Gambar 1. Grafik intravena obat



Gambar 2. Grafik oral obat
0
1
2
3
4
5
6
0 2 4 6 8 10
K
a
d
a
r

Waktu
Grafik Intravena
Series1
y = -0.2784x + 1.8142
R = 0.9999
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
0 5 10
Series1
Linear (Series1)
Linear (Series1)
0
5
10
15
0 2 4 6 8 10
K
a
d
a
r

Waktu
Grafik Oral
Series1



- Status BE dari ketiga sediaan kapsul uji (A,B,C) terhadap sediaan standar

Sukarelawan
AUC
Kapsul A Kapsul B Kapsul C Kapsul std
1 14.1 19.1 9.6 15.8
2 20.2 20 10.6 19
3 19 17.5 14.6 19.3
4 13.2 20.3 13.1 18.4
5 13.5 17.3 10.4 17.2
6 17.9 17.4 8.3 16.5
7 12.4 17.2 14.5 17.9
8 15.8 16.9 11.4 17.5


1. Kapsul A
sukarelawan
AUC F=(AUC A/ AUC
STD)*100
kapsul A kapsul STD
1 14.1 15.8 89.24050633
2 20.2 19 106.3157895
3 19 19.3 98.44559585
4 13.2 18.4 71.73913043
5 13.5 17.2 78.48837209
6 17.9 16.5 108.4848485
7 12.4 17.9 69.27374302
8 15.8 17.5 90.28571429
Rata- rata 89.0342125
Standar deviasi 14.9665048
Standar deviasi rataan 5.291458517
y = -0.2689x + 2.7901
R = 0.9993
0
0.5
1
1.5
2
0 2 4 6 8 10
Series1
Linear (Series1)
t (dk=7) 1.895
CLI (+) 99.06152639
CLI (-) 79.00689861

2. Kapsul B
Sukarelawan AUC F
Kapsul B Kapsul standar
1 19.1 15.8 1.208860759
2 20 19 1.052631579
3 17.5 19.3 0.906735751
4 20.3 18.4 1.10326087
5 17.3 17.2 1.005813953
6 17.4 16.5 1.054545455
7 17.2 17.9 0.960893855
8 16.9 17.5 0.965714286

Rata-rata F 1.032307063

Standar devasi
F 0.094956957

T 1.895

Cli (+) 121.2250497

Cli (-) 85.23636298


3. Kapsul C
Sukarelawan
AUC
F
Kapsul C Kapsul Standar
1 9.6 15.8 0.607594937
2 10.6 19 0.557894737
3 14.6 19.3 0.756476684
4 13.1 18.4 0.711956522
5 10.4 17.2 0.604651163
6 8.3 16.5 0.503030303
7 14.5 17.9 0.810055866
8 11.4 17.5 0.651428571
rata - rata 0.650386098
Standar Deviasi 0.103325285
T 1.895
Cli + 84.61875121
Cli- 45.45846835


VI. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini dilakukan studi uji bioavaibilitas dan bioekivalesi.
Pengujian ini dilakukan dengan tujuan untuk memastikan bahwa suatu obat
yang akan beredar di pasar telah melewati serangkaian pengujian antara lain
untuk membuktikan bahwa obat tersebut memiliki khasiat seperti tang di
harapkan, aman digunakan dan tidak menimbulkan efek negative yang tidak
diinginkan dengan proses produksi yang telah distandardisasi. biasanya uji
bioekivalensi ini dilakukan untuk pad obat generik agar dapat dipastikan
apabila obat tersebut beredar di masyarakat memenuhi syarat bioekivalen.
artinya, ketika seseorang mengonsumsi suatu obat, baik yang berupa produk
orisinil maupun generiknya, maka pasien akan mendapat efek yang sama.
Studi bioekivalensi obat ini penting dilakukan karena pada kenyataannya,
obat tidak hanya terdiri dari zat berkhasiat saja, melainkan ditambahkan
dengan bahan-bahan lain, selain itu adnya perbedaan dalam proses pembuatan
juga akan mempengaruhi suatu obat sehingga pengujian ini harus dilakukan
untuk mengetahui apakah obat yang di buat memiliki khasiat yang sama
dengan obat standarnya.
Namun, uji bioekivalensi ini belum menjadi syarat utama suatu produk
obat terutama di Indonesia. Alasan utamanya adalah biaya yang di butuhkan
oleh produsen obat untuk melakukan pengujian ini cukup besar. Pengujian
bioekivalensi obat ini melibatkan manusia sebagai objek percobaan.
Singkatnya, pengujian ini dilakukan dengan cara objek percobaan yaitu
manusia diberikan obat uji dan obat standar dalam waktu yang tidak
bersamaan. Kemudian sampel darahnya di ambil dan di ukur. Selanjutnya,
hasil pengukuran dari kedua sampel yaitu obat uji dan obat standanya di
bandingkan. Apabila hasilnya sama maka obat uji tersebut dapat dinyatakan
bioekivalen dengan obat orisinilnya dan tentunya akan memberikan efek yang
sama saat digunakan.
Sedangkan bioavaibiltas itu sendiri merupakan suatu istilah yang
menyatakan jumlah/proporsi (exetent) obat yang diabsorpsi dan kecepatan
(rate) yang diabsorpsi itu terjadi. Extent biasanya dinyatakan dalam F. Hal ini
biasanya diukur dari perkembangan kadar obat (zat aktif) atau metabolit
aktifnya dalam darah dan eksresinya dalam urin terhadap waktu.
Pada pengujian pertama dilakukan perhitungan BA absolut (F) suatu
sediaan obat berupa suspense oral konsentrasi zat aktif 50 mg/mL, apabila
dibandingkan dgn i.v konsentrasi zat aktif 100 mg/mL dmn dosis yg diberikan
untuk suspense oral adalah 2 sendok teh sedangkan dosis i.v 2mL dengan data
sebagai berikut

t (jam)
kadar (g/ml)
suspensi oral i.v
0,5 2,75 5,31
1 6,24 4,62
1,5 8,5 4,02
2 9,81 3,5
3 7,43 2,65
4 5,6 2,01
6 3,19 1,16
8 1,91 0,66

Pertama tama dilakukan perhitungan AUC sediaan suspense oral dan
intravena. Selanjutnya dilakukan perhitungan ln nya dan di cari nilai
eksponennya maka didapatkan kadar intravena nya yaitu sebesar 6.136165,
kemudian didapatkan pula kadar tak hingga oral dengan t saat 8 jam yang
digunakan dalam perhitungan di dapatkan 7.103012272, sedangkan kadar tak
hingga intra vena nya adalah 2.370689655 yang dapat di gambarkan pada
kurva sebagai berikut




Dari data yang telah di peroleh dapat diketahui bioavaibilitas absolut obat
dengan melakukan perhitungan :
BA =


x


x 100

Dan di dapatkan BA obat yang diujikan adalah 85.46471707, hasil ini masih
cukup baik karena ketersediannya dalam darah masih tinggi yaitu sekitar 85%.
Pengujian selanjutnya dilakukan uji bioekivalensi terhadap 3 kapsul uji
yang di bandingkan dengan standarnya, uji ini untuk memastikan obat yang di
ujikan memiliki efek yang sama dengan obat standarnya. Pengujian ini
dilakukan terhadap 8 orang sukarelawan yang di berikan obat uji dan obat
standar pada waktu yang tidak bersamaan kemudian di ambil sampel nya dan
di ukur kadarnya. Analisis dilakukan dengan perhitungan AUC obat uji dan
0
1
2
3
4
5
6
0 2 4 6 8 10
K
a
d
a
r

Waktu
Grafik Intravena
Series1
0
5
10
15
0 2 4 6 8 10
K
a
d
a
r

Waktu
Grafik Oral
Series1
obat standar dari setiap sukarelawan, kemudian di hitung nilai F nya, F
menyatakan nilai kadar obat yang diabsorpsi.
F=(AUC A/ AUC STD)*100

maka didapatkan nilai F rata-ratanya untuk kapsul A adalah sebesar
89.0342125. Kemudian masih dengan menggunakan Microsoft excel di hitung
pula nilai standar deviasi rataannya untuk mendapatkan kriteria BE dan
nilainya adalah 5.291458517, dan nilai t berdasarkan tabel yaitu 1.895 maka
dapat dilakukan perhitungan kriteria BE yang dinyatakan dengan rumus :



Kriteria BE yang baik suatu obat harus memiliki nilai BE 80 125 %. Untuk
kapsul A sendiri nilai Cli(+) nya adalah 99.06152639 dan nilai Cli(-) nya
adalah 79.00689861. Maka dapat disimpulan kapsul A ini tidak memenuhi
kriteria BE yang baik karena nilai Cli(-) nya kurang dari 80%.
Untuk kapsul B yang diujikan, di dapatkan nilai Cli(+) nya adalah
121.2250497 dan nilai Cli(-) nya adalah 85.23636298. Maka dapat
disimpulkan kapsul B ini tmemenuhi kriteria BE yang baik karena nilai Cli(+)
dan Cli(-) nya berada dalam rentang 80 125 %. Selanjutnya kapsul yang
terakhir yaitu kapsul C, di dapatkan nilai Cli(+) nya adalah 84.61875121, dan
nilai Cli(-) nya adalah 45.45846835, maka dapat disimpulkan juga bahwa
kapsul C ini tidak memenuhi kriteria BE yang baik karena nilai Cli(-) nya
kurang dari 80%.

VII. Kesimpulan
1. Uji bioekuivalensi dapat dilakukan dengan membandingkan obat yang
akan di uji dengan obat standarnya. Kriteria obat yang memiliki BE yang
baik adalah dengan nilai 80-125%. Dari pengujian yang dilakukan obat
yang memenuhi kriteria BE yang baik adalah kapsul B.
Cli = F Std . t
2. Uji bioavaibilitas dan bioekuivalensi dapat dirancang untuk memastikan
suatu obat memiliki kualitas yang baik dan memiliki efek yang sama
sesuai dengan obat standarnya bila diberikan pada pasien.




























DAFTAR PUSTAKA

Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM) (2004),
Pedoman
Uji Bioekivalensi. cetakan I, Badan pengawas obat dan makan RI. Jl.
Percetakan Negara No. 23. Jakarta.

Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM) (2006).
Pedoman
Cara Pembuatan Obat yang Baik. Jakarta

Shargel, L. dan B.C. Andrew. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika
Terapan. Surabaya: Airlangga University Press.

Stoklosa MJ, Ansel HC, 1991. Pharmaceutical Calcutations 9th. London: Lea &
Febiger. Pages 74-89.













LAMPIRAN

1. Sebutkan dan jelaskan secara lengkap faktor-faktor yg mempengaruhi BA
suatu obat/ produk obat!
Faktor fisiologis tubuh, seperti struktur saluran cerna, mekanisme absorpsi
obat, luas permukaan tempat absorpsi, kecepatan pengosongan lambung,
pergerakan usus, metabolisme
Faktor fisikokimia obat, seperti konstanta disosiasi dan kelarutan dalam
lemak, kelarutan, ukuran partikel
Formulasi, seperti penggunaan eksipien

Jawab :
Bioavailibilitas menyatakan kecepatan dan jumlah obat aktif yang
mencapai sirkulasi sistemik. Sirkulasi sistemik sangat mempengaruhi efek
terapetik dari obat, aktivitas toksik obat dan aktivitas klinisnya. Hal ini
biasanya diukur dari perkembangan kadar obat (zat aktif) atau metabolit
aktifnya dalam darah dan eksresinya dalam urin terhadap waktu. Banyak
faktor yang dapat mempengaruhi bioavalibilitas obat dalam tubuh di
antaranya:
- Faktor Fisikokimia

a. Ukuran Partikel
Kecepatan disolusi obat berbanding lurus dengan luas permukaan yang
kontak dengan cairan. Semakin kecil partikel, semakin luas permukaan
obat, semakin mudah larut. Dengan memperkecil ukuran partikel, dosis
obat yang diberikan dapat diperkecil pula, sehingga signifikan dari segi
ekonomis. Terdapat hubungan linier antara kecepatan absorpsi obat
dengan logaritma luas permukaan. Sebagai contoh, pemberian 500 mg
griseofulvin bentuk mikro memberikan kadar plasma yang sama dengan 1
g griseofulvin bentuk serbuk.

b. Kelarutan
Pengaruh daya larut obat bergantung pada sifat kimia (atau modifikasi
kimiawi obat) dan sifat fisika (atau modifikasi fisik obat). Modifikasi
Kimiawi Obat diantaranya dengan :

i. Pembentukan Garam

Obat yang terionisasi lebih mudah dalam air dari[pada bentuk tidak
terionisasi. Pembentukan garam ini terutama penting dalam hal zat aktif
berada dalam saluran cerna, kelarutan modifikasi sewaktu transit di dalam
saluran cerna, karena perbedaan pH lambung dan usus. Peningkatan
kecepatan pelarutan obat dalam bentuk garam berlaku untuk obat-obat
berikut penicilline, barbiturate, tolbutamide, tetracycline, acetosal,
dextromethorphane, asam salisilat, phenytoine, quinidine, vitamin-vitamin
larut aie, sulfa, quinine

ii. Pembentukan Ester

Daya larut dan kecepatan melarut obat dapat dimodifikasi dengan
membentuk ester. Secara umum, pembentukan ester memperlambat
kelarutan obat. Beberapa keuntungan bentuk ester, antara lain :

1. Menghindarkan degradasi obat di lambung ester dari erythromycin
(misalnya erythromycine succinat) memungkinkan obat tidak rusak pada
suasana asam di lambung. Ini merupakan semacam pro-drug, dalam
suasana lebih basa di usus, terjadi hidrolisis erythromycine ethylsuccinat.
2. Memperlama masa kerja obat misalnya esterifikasi dari hormon steroid.
3. Menutupi rasa obat yang tidak enak. Contohnya adalah ester dari
kloramfenikol. Kloramfenikol palmitat dan Kloramfenikol stearat
dihidrolisis di usus halus untuk melepaskan kloramfenikol.


iii. Modifikasi Bentuk Fisik Obat

1. Bentuk Kristal atau Amorf

Bentuk amorf tidak mempunyai struktur tertentu, terdapat ketidakteraturan
dalam tiga dimensinya. Secara umum, amorf lebih mudah larut daripada
bentuk kristalnya. Misalnya Novobiocin, kelarutan bentuk amorf 10 x dari
bentuk Kristal.

2. Pengaruh Polimorfisme

Fenomena polimorfisme terjadi jika suatu zat menghablur dalam berbagai
bentuk Kristal yang berbeda, akibat suhu, teakanan, dan kondisi
penyimpanan. Polimorfisme terjadi antara lain pada steroid, sulanilamida,
barbiturat, kloramfenikol. Kloramfenikol palmitat terdapat dalam bentuk
polimorf A, B, C, dan amorf. Tetapi hanya bentuk polimorf B dan bentuk
amorf yang dapat dihidrolisis oleh usus.

3. Bentuk Solven dan Hidrat

Sewaktu pembentukan Kristal, cairan-pelarut dapat membentuk ikatan
stabil dengan obat, disebut solvat. Jika pelarutnya dalah air, ikatan ini
disebut hidrat. Bentuk hidrat memiliki sifat-sifat yang berbeda dengan
bentuk anhidrat, terutama kecepatan disolusi. Ampisilina anhidrat lebih
mudah larut daripada Ampisilian trihidrat.

c. pKa dan Derajat Ionisasi
Obat berupa larutan dalam air dapat diklasifikasi menjadi 3 kategori, yaitu:
Elektrolit kuat ; seluruhnya berupa ion (contoh : Na, K, Cl)
Non elektrolit ; tidak terdisosiasi (contoh : gula, steroid)
Elektrolit lemah ; campuran bentuk ion & molekul
Konsentrasi relatif bentuk ion/molekul bergantung pada pKa obat dan
pH lingkungan. Kebanyakan obat dalam bentuk asam lemah atau basa
lemah, yang terabsorpsi secara difusi aktif, sehingga hanya bentuk
molekul (tidak terionisasi) yang terabsorpsi. Akibatnya perbandingan
ion/molekul sangat menentukan absorpsi. Konsentrasi ion dari obat
berupa asam lemah (misal asetosal) meningkat dengan peningkatan pH
media air. Sebaliknya Konsentrasi molekul dari obat berupa asam lemah
(misal alkaloid)meningkat dengan apeningkatan pH media air. Sehingga
asam lemah lebih banyak diabsorpsi pada suasana asam (di lambung, pH
1-3), sedangkan basa lemah lebih banyak diabsorpsi di usus (pH 6-8).

d. Koefisien Partisi Lemak-Air
Koefisien partisi menunjukkan rasio konsentrasi obat dalam 2 cairan yang
tidak bercampur. Koefisien partisi merupakan indeks dari solubilitas
komparatif suatu zat dalam 2 solven. Koefisien partisi lemak-air
digunakan sebgai indikator penumpukan obat di dalam lemak tubuh.
Normal lemak dalam tubuh adalah 10-25%, pada keadaan obesitas dapat
menjadi 50% atau lebih. Pada penderita obesitas, obat dengan daya larut
lemak tinggi akan menumpuk pada lemak-tubuh dalam jumlah besardan
menjadi depo di mana obat dilepaskan secara perlahan. Pada pemberian
barbiturate, pelepasan obat diperlama dari depo, menyebabkan kondisi
hang-over.

- Faktor Formulasi
Faktor-faktor manufaktur (pembuatan obat) dapat mengurangi
bioavailabilitas obat, diantaranya :

1. Peningkatan kompresi (tekanan) pada waktu pembuatan meningkatkan
kekerasan tablet. Hal ini menyebabkan waktu disolusi dan disintegrasi
menjadi lebih lama.

2. Penambahan jumlah bahan pengikat pada formula tablet atau granul
akan meningkatkan kekerasan tablet, mengakibatkan perpanjangan waktu
disintegrasi dan disolusi.

3. Peningkatan jumlah pelincir (lubricant) pada formula tablet akan
mengurangi sifat hidrofilik tablet sehingga sulit terbasahi (wetted). Hal ini
memperpanjang waktu disintegrasi dan disolusi.

4. Granul yang keras dengan waktu kompresi yang cepat serta kekuatan
yang tinggi akan menyebbakan peningkatan suhu kompresi, sehingga obat
yang berbentuk kristal mikro akan membentuk agregat yang lebih besar.

a. Eksipien Obat

Obat jarang diberikan tunggal dalam bahan aktif. Biasanya dibuat dalam
bentuk sediaan tertentu yang membutuhkan bahan-bahan tambahan
(excipients). Obat harus dilepaskan (liberated) dari bentuk bentuk
sediaannya sebelum mengalami disolusi, sehingga excipients dapat
mengakibatkan perubahan disolusi dan absorpsi obat.

- Faktor Fisilogis Tubuh

Faktor fisiologis tubuh, seperti struktur saluran cerna, mekanisme
absorpsi obat, luas permukaan tempat absorpsi, kecepatan pengosongan
lambung, pergerakan usus, metabolisme juga sangat berpengaruh terhadap
bioavaibiltas suatu obat. Mulai dari luas permukaan yang berkaitan dengan
ukuran partikel dimana smakin kecil ukuran partikelnya maka akan
semakin besar luas permukaanya maka semakin cepat pula proses
absorpsinya, kemudian kecepatan pengosongan lambung artinya semakin
cepat lambung seseorang kosong maka semakin cepat obat yang masuk ke
dalam tubuh akan di absorsbsi.
Selain itu metabolisme juga berpengaruh terhadup BA, seseorang
yang memiliki metabolism yang tinggi dan cepat, maka akan sangat
berpengaruh pada obat yang di minum, karena metabolismenya yang
tinggi obat akan segera di metabolism sebelum sempat di absorpsi, untuk
mengantisipasinya dapat dilakukan dengan penambahan dosis.

Anda mungkin juga menyukai