Anda di halaman 1dari 7

PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA

“ABSORBSI OBAT SECARA PERKUTAN”

Kelompok 2
Farmasi A 2017
Syari Sekar Suryandari
17101105037

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2019
Absorpsi Obat Secara Perkutan
I. Tujuan Percobaan
Mengetahui absorpsi obat perkutan dan fungsi stratum korneum sebagai penghalang
fisik dalam absorpsi perkutan obat.

II. Dasar Teori


Kulit merupakan organ tubuh yang penting yang merupakan permukaan luar
organism dan membatasi lingkungan dalam tubuh dengan lingkungan luar
(Mutschler,1991). Fungsi kulit (Mutschler,1991) :
- Melindungi jaringan terhadap kerusakan kimia dan fisika, terutama kerusakan
mekanik dan terhadap masuknya mikroorganisme.
- Mencegah terjadinya pengeringan berlebihan, akan tetapi penguapan air secukupnya
tetap terjadi (perspiration insensibilis).
- Bertindak sebagai pengatur panas denga melakukan kontriksi dan dilatasi pembuluh
darah kulit serta pengeluaran keringat.
- Dengan pengeluaran keringat ikut menunjang kerja ginjal, dan
- Bertindak sebagai ala pengindera dengan reseptor yang dimilikinya yaitu reseptor
tekan, suhu dan nyeri.

Meskipun kulit relatif permeabel terhadap senyawa-senyawa kimia, namun dalam


keadaan tertentu kulit dapat ditembus oleh senyawa-senyawa obat atau bahan-bahan
yang diaplikasikan ke permukaanya. Secara mikroskopik kulit tersusun dari berbagai
lapisan yang berbeda-beda, berturut-turut dari luar kedalam yaitu lapisan epidermis,
lapisan dermis yang tersusun atas pembuluh darah dan pembuluh getah bening dan
lapisan jaringan di bawah kulit berlemak atau yang disebut lapisan hipodermis (Aiache,
1993 dan Chein, 1987).
Absorbsi perkutan adalah masuknya molekul obat dari kulit ke dalam jaringan
dibawah kulit kemudian masuk ke dalam sirkulasi darah dengan mekanisme difusi pasif.
Istilah perkutan menunjukan bahwa penembusan terjadi pada lapisan epidermis dan
penyerapan dapat terjadi pada lapisan epidermis yang berbeda beda (Aiache, 1993).
Penentuan molekul dari bagian luar ke bagian dalam kulit secara nyata dapat terjadi
baik melalui penetrasi transpidermal dan transpendegeal (Swarbick dan Boylan. 1995).
Untuk memasuki sistem sistemik, tahapan pada absorpsi perkutan dapat melalui
penetrasi pada permukaan stratum corneum di bawah gradien konsentrasi, difusi melalui
stratum corneum, epidermis dan dermis, kemudian masuknya molekul ke dalam
mikrosirkulasi (Aiache.1993).

Absorbsi perkutan dapat didefinisikan sebagai absorpsi obat ke dalam stratum


corneum (lapisan tanduk) dan berlanjut obat menembus lapisan dibawahnya serta
akhirnya obat masuk ke dalam sirkulasi darah. Kulit merupakan perintang yang paling
efektif terhadap penetrasi perkutan obat atau senyawa eksternal. Absorpsi obat secara
perkutan dipengaruhi oleh sifat fisikokimiawi obat dan pembawa serta kondisi kulit
pada pemakain obat secara topikal. Obat berdifusi dalam pembawanya dan kontak
dengan permukaan kulit (stratum corneum dan setum) serta obat selanjutnya menembus
epidermis (Syukri, 2002).
Adsorbsi melalui kulit (permukaan) bila suatu obat digunakan secara topikal maka
obat akan keluar dari pembawanya dan berdifusi ke permukaan jaringan kulit. Ada 3
jalan masuk yang utama melalui daerah kantong rambut, melalui kelenjar keringat atau
melalui jaringan keringa atau stratum korneum yang terletak dianara kelenjar keringat
dan kantong rambut (Lachman, 1989).

Sebelum obat dapat memberikan efek, obat perlu dilepaskan dari basisnya setelah
obat kontak dengan stratum korneum maka obat akan menembus epidermis dan masuk
ke dalam sirkulasi sistemik secra difusi pasif. Laju absorbsi melintasi kulit tidak segera
tunak tetapi selalu teramati adanya waktu laten. Waktu laten mencerminkan penundaan
penembusan senyawa kebagian dalam struktur tanduk dan pencapaian gradien difusi
(Syukri, 2002).
Faktor yang mempengaruhi absorbsi kuat yaitu penetrasi dan cara pemakaian
temperatur dari kulit sifat fisika kimia obatnya, pengaruh dari sifat dasar salep, lama
pemakaian, kondisi atau keadaan kulit (Anief, 2000).

Absorpsi obat tampaknya ditingkatkan dari pembawa yang dapat dengan mudah
menyebar obat untuk berhubungan dengan jaringan sel untuk absorpsi. Pembawa yang
meningkatkan jumlah uap air yang ditahan kulit umumnya cenderung baik bagi absorpsi
pelarut obat.Pembawa yang bersifat berlemak bekerja sebagai penghalang uap air
sehingga keringat tidak dapat menembus kulit,dan tertahan pada kulit sehingga
umumnya menghasilkan hidrasi dari kulit di bawah pembawa (Ansel, 2005).

Hidrasi dari kulit merupakan fakta yang paling penting dalam absorpsi
perkutan.hidrasi stratum corneum tampaknya meningkatkan derajat lintasan dari semua
obat yang mempenetrasi kulit.Peningkatan absorpsi mungkin disebabkan melunaknya
jaringan akibat pengaruh bunga karang dengan penambahan ukran pori – pori yang
memungkinkan arus bahan lebih besar , besar dan kecil dapat melaluinya. Hidrasi kulit
bukan saja dipengaruhi oleh jenis pembawa (misalnya bersifat lemak) tetapi juga oleh
ada tidaknya pembungkus dan sejenisnya ketika pemakaian obat (Ansel, 2005).

Bahan tambahan yang dapat berfungsi untuk meningkatkan penembusan zat aktif
(penetrant enhancer) terkadang perlu ditambahkan. zat yang dapat meningkatkan
permeabilitas obat menembus kulit tanpa menyebabkan iritasi atau kerusakan permanen
struktur permukaan kulit. Bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai peningkat
penetrasi antara lain air, sulfoksida, senyawa-senyawa azone, pyrollidones, asam-asam
lemak, alkohol danglikol, surfaktan, urea, minyak atsiri, terpen dan fosfolipid (Williams
dan Barry, 2004).

Asam salisilat merupakan asam organis yang berkhasiat fungisid terhadap banyak
fungi pada konsentrasi 3-6% dalam salep. Di samping itu , zat ini berkhasiat
bakteriostatis lemah dan berdaya keratolitis,yaitu dapat melarutkan lapisan tanduk kulit
pada konsentrasi 5-10%.Asam salisilat banyak digunakan dalam sediaan obat luar
terhadap infeksi jamur ringan.Sering kali asam ini dikombinasikan dengan asam
benzoat dan belerang yang keduanyamempunyai kerja fungistatis mapun
bakteriostatis.Bila dikombinasi dengan obat lain , misalnya kortikosteroid , asam
salisilat meningkatkan penetrasinya ke dalam kulit. Tidak dapat dikombinasikan dengan
seng oksida karena akan terbentuk garam seng salisilat yang tidak aktif ( Tjay, 2007).

III. Percobaan

1. Alat dan Bahan


a. Alat
- Alat-alat gelas (labu ukur 100 ml, - Pencukur bulu
mortar, spatel)
- Spuit injeksi - Lakban aluminium foil
- Tabung sentrifuge - Spektrofotometri UV-Vis
- Alat sentrifuge

b. Bahan
- Asam salisilat - TCA 10%
- Vaselin - Aquadest
- Natrium EDTA - Tikus putih

2. Prosedur Kerja
a. Pembuatan salep asam salisilat 5% sebanyak 2g
1) Ditimbang asam salisilat dan vaselin albumin sesuai yang dibutuhkan
2) Dimasukkan ke dalam mortar, gerus sampai halus
3) Ditambahkan vaselin albumin, gerus sampai homogen

b. Pembuatan kurva baku asam salisilat


1) Buat larutan baku asam salisilat konsentrasi 0,01% dalam labu ukur 100 ml
2) Encerkan menjadi beberapa seri konsentrasi: 0,001%; 0,0008%; 0,0006%;
0,0004%; dan 0,0002%
3) Dibaca absorbansi pada 237 nm, blangko aquadest

c. Uji absorpsi perkutan


1) Hewan uji tikus dicukur bulunya luas ari 2 x 3 cm
2) Diambil darah T=0 pada pembuluh darah di bagian ekor tikus sebanyak 1
ml
3) Diolesi salep asam salisilat 1 gram
4) Ditutup aluminium foil dan diperban
5) Diambil darah tiap 15’, 30’, 45’, dan 60’
6) Dihitung AUC, t max, Cp max

d. Preparasi sampel darah dan absorbansi


1) Darah sampling + Na. EDTA + TCA 2 ml
2) Disentrifugasi 2000 rpm selama 15 menit
3) Diambil beningan 1 ml, masukan labu takar 100 ml, encerkan dengan
aquadest sampai tanda batas
4) Dibaca absorbansi pada 237 nm, blangko aquadest
IV. Hasil Percobaan
1. Kurva baku asam salisilat
Konsentrasi (mg %) Absorbansi
1 0,826
0,8 0,567
0,6 0,446
0,4 0,361
0,2 0,304
Data regresi linier:
a = 0,1258
b = 625
r = 0,9115
persamaan kurva baku: y = bx + a → y = 625x + 0,1258
0.9
0.8 y = 0.625x + 0.1258
0.7 R² = 0.9115
0.6
Absorbansi

0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
Konsentrasi (mg%)

Seri Konsentrasi Asam Salisilat:


0,001 𝑔 1 𝑚𝑔
 0,001% = = = 1 𝑚𝑔%
100 𝑚𝑙 100 𝑚𝑙
0,0008 𝑔 0,8 𝑚𝑔
 0,0008% = = 100 𝑚𝑙 = 0,8 𝑚𝑔%
100 𝑚𝑙
0,0006 𝑔 0,6 𝑚𝑔
 0,0006% = = 100 𝑚𝑙 = 0,6 𝑚𝑔%
100 𝑚𝑙
0,0004 𝑔 0,4 𝑚𝑔
 0,0004% = = 100 𝑚𝑙 = 0,4 𝑚𝑔%
100 𝑚𝑙
0,0002 𝑔 0,2 𝑚𝑔
 0,0002% = = 100 𝑚𝑙 = 0,2 𝑚𝑔%
100 𝑚𝑙

2. Data uji absorbansi perkutan


T sampling (menit) Absorbansi
30 (dipasaran) 0,002
30 (buat sendiri) -0,068
Perhitungan Konsentrasi Asam Salisat dalam Plasma Darah: y = 0,625x + 0,1258
 y = 0,002
𝑦−0,1258 0,002−0,1258
𝑥= = = −0,198 𝑚𝑔%
0,625 0,625
 y = -0,068
𝑦−0,1258 (−0,068)−0,1258
𝑥= = = −0,310 𝑚𝑔%
0,625 0,625
V. Pembahasan
Praktikum kali ini dilakukan agar praktikan dapat mengetahui seberapa besar
absorpsi secara perkutan dan fungsionalitas dari stratum korneum yang mana bisa
bersifat sebagai penghalang fisik dalam abosrpsi perkutan suatu obat. Absorbsi perkutan
dari sediaan salep, tidak hanya tergantung pada sifat kimia dan sifat fisika dari bahan
obat saja, namun juga bergantung pada sifat pembawa salep dan pada kondisi kulit sang
penggunanya. Sehingga pada praktikum ini dilakukan uji absorbsi sediaan salep (dalam
praktikum ini digunakan salep asam salisilat) secara perkutan pada hewan uji tikus
putih.
Terlebih dahulu dilakukan pembuatan larutan baku dari asam salisilat 0,01% yang
kemudian dibuat larutan serinya dengan ragam konsentrasi 0,001%, 0,0008%, 0,0006%,
0,0004%, dan 0,0002%. Kemudian absorbansi dari ke-5 larutan seri tersebut diukur
menggunakan Spektrofotometer. Nilai absorbansi yang didapat secara berturut-turut
yakni 0,826, 0,567, 0,446, 0,361, dan 0,304. Dapat terlihat nilai absorbansi yang didapat
baik karna seiring naiknya konsentrasi dari larutan uji, nilai dari absorbansi yang
didapat pun naik. Selanjutnya dari nilai absorbansi yang didapat dibuat kurva baku dan
didapatkan persamaan regresi y = 625x + 0,1258 yang nantinya akan digunakan untuk
menghitung kadar kandungan asam salisilat pada plasma dari darah sampel.
Sampel salep yang digunakan ada 2 yakni salep asam salisilat yang dibuat sendiri
dan salep asam salisilat yang ada di pasaran. Salep dioleskan pada kulit hewan uji (tikus
putih) yang telah dicukur bulunya dan kemudian ditutup dengan kain kasa dan
alumunium foil. Salep asam salisilat yang dipakai menggunakan vaselinium album
sebagai pembawa. Vaselin merupakan suatu pembawa lipofilik yang oklusif,
membentuk suatu lapisan yang menutup kulit sehingga menyebabkan hidrasi melalui
penimbunan keringat pada antarmuka kulit-pembawa. Sedangkan pemakaian aluminium
foil dan kain kassa juga akan meningkatkan hidrasi tersebut. Kedua hal ini akan
membantu penetrasi obat agar lebih cepat dalam menembus kulit. Keadaan hidrasi dari
stratum korneum tersebut merupakan faktor fisika-kimia utama dalam penetrasi kulit.
Setelah pengolesan salep secara topikal, konsentrasi obat yang telah diabsorbsi
dapat diperhitungkan dengan pengambilan sampel darah dari vena di bagian ekor dari
tikus. Sampel darah diambil pada menit ke 30 setelah dioleskanya salep. Penambahan
Na EDTA pada sampel darah bertujuan agar darah yang diambil tidak mengental
sedangkan penambahan TCA pada bertujuan untuk menggumpalkan protein plasma
yang mungkin mengikat obat yang akan dianalisis. Kemudian sampel darah di
sentrifuge dan diambil supernatannya yang kemudian diukur absorbansinya
menggunakan spektrofotometer. Didapatkan absorbansi sampel darah dengan salep
asam salisilat yang beredar dipasaran adalah 0,002 sedangkan untuk sampel darah
dengan salep asam salisilat yang dibuat sendiri adalah -0,068. Selanjutnya dilakukan
perhitungan kadar kandungan asam salisilat yang terdapat pada plasma darah hewan uji
dengan menggunakan rumus persamaan regresi asam salisilat yang telah didapat.
Didapatkan nilai minus pada kadar kandungan asam salisilat dalam plasma untuk salep
yang beredar di pasaran serta salep yang dibuat sendiri, yakni berturut-turut -0,198
mg% dan -0,340 mg%. Sehingga dapat diartikan bahwa tidak terdapat kandungan asam
salisilat pada plasma darah bahkan didapatkan nilai kadar minus (yang mana tidak
mungkin). Hal ini mungkin disebabkan karena terdapat kesalahan saat pengeceran
supernatan dari sampel darah hewan uji.
VI. Saran
Disarankan agar ketika melakukan spektrofotometri untuk mengukur absorbansi,
saat memasukkan kuvet berisi sampel, pinggiran kuvet yang bening harus benar-benar
dikeringkan menggunakan tissue agar tidak mempengaruhi hasil absorbansi.

VII. Daftar Pustaka


Agoes, G. 2008. Pengembangan Sediaan Farmasi. Edisi Revisi & Pelunasan. Bandung :
ITB.
Aiache, J.M. 1993. Farmasetika 2 Biofarmasi. Edisi ke-2. Penerjemah: Dr. Widji
Soeratri. Surabaya: Penerbit Airlangga University Press.
Anief, M. 2000. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ansel, H. C. 2005. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Diterjemahkan oleh Ibrahim, F.
Edisi IV. Jakarta : UI Press.
Chien, Y.W. 1987. Transdermal Controlled Systemic Medications. New York and
Basel: Marcel Dekker.
Lachman, L. 1989. Teori dan Praktek Farmasi Industri. Edisi kedua. Jakarta :
Universitas Indonesia.
Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat. Bandung : ITB.
Swarbrick, J & Boylan, J. C. 1995. Percutaneous Absorption, in Encyclopedia of
Pharmaceutical Technology. New York : Marcel Dekker Inc.
Syukri, 2002. Biofarmasetika. Yogyakarta : UII Press.
Tjay, Tan Hoan. 2007. Obat – Obat Penting. Jakarta : PT Elex Media.
Williams, A.C., dan Barry, B.W. 2004. Penetration Enhancers. Advanced Drug
Delivery Reviews. 5(6): 603-618.

Anda mungkin juga menyukai