BIOFARMASETIKA-FARMAKOKINETIKA
DISTRIBUSI TETES MATA KLORAMFENIKOL
OLEH :
NAMA : RIZKY AMANDAS
NIM : 1801036
KELAS : S1-5A
HARI : SABTU, 11.00-14.00
TANGGAL PRAKTIKUM :
28 NOVEMBER 2020
DOSEN PENGAMPU :
Apt. NESA AGISTIA M.Farm
ASISTEN :
YULINDA ANGGRAINI S.Farm
INDAH KUSUMA DEWI S.Farm
DHEA ANANDA
2. Pengamatan warna pada plat tetes saat penambahan H2SO4 Pekat dan K2Cr2O7
PEMBAHASAN
Praktikum kali ini praktikan melakukan percobaan distribusi tetes mata
kloramfenikol yang bertujuan agar mengetahui dan memahami distribusi dan ekskresi
obat yang diberikan atau dipakai secara topical (tetes mata). Sekresi melalui kelenjar
saliva menghasilkan air liur atau saliva yang diproduksi oleh kelenjar saliva mayor dan
minor.
Kelenjar saliva mayor merupakan kelenjar saliva utama yang terdiri dari
kelenjar parotis, kelenjar submandibularis, dan kelenjer sublingualis. Kelenjar minor
ditemukan disepanjang mukosa rongga mulut. Kelenjar lingual ditemukan bilateral dan
terbagi ke dalam kelompok kelenjar lingual anterior terdapat pada permukaan anterior
lidah dekat ujung lidah dan terbagi atas kelenjar mucus anterior dan campuran pada
posterior.
Sampel yang digunakan adalah kloramfenikol yang merupakan antibiotic
berspektrum luas yang menghambat sintesis protein bakteri meningitis, putulenta,
infeksi bakteri anaerob, reketsiosis, dan infeksi lain. Dimana efek sampingdari
penggunaan kloramfenikol adalah dapat terjadi hematologic, rekasi alergi, reaski
saluran cerna, sindrom gray, dan dapat juga terjadi anemia aplastic untuk penggunaan
secara berkala.
Kami mendapatkan kloramfenikol melalui obat tetes mata merasa sakit karena
ada hubungan langsung di antara keduanya kelenjar mata dan hidung (lipatan
nasolabial), lalu hidung dengan tenggorokan. Jika anda melihat lebih dalam, akan ada
lubang besar. Cukup kecil di sisi dalam kelopak mata bawah, ini disebut tears (air
mata). Itulah mengapa anda memakainya saat anda menangis teteskan obat tetes mata,
atau lakukan hal lain yang membuat mata anda menangis, cairan tersebut akan mengalir
ke saluran nasolakrimal.
Selanjutnya, cairan dari mata akan berakhir di saluran bagian belakang yang
berhubungan langsung dengan hidung dan tenggorokan, yang juga berdekatan dengan
saluran kerongkongan. Ini yang nantinya tanpa sadar membuat Anda seolah dapat
merasakan rasa dari air mata, bahkan rasa pahit dari obat tetes mata yang Anda gunakan
tepat saat menelan ludah.
Obat yang mengikat protein plasma tidak akan dapat menembus biofilm dan
tidak memiliki aktivitas farmakologis (no mempunyai efek). Dalam dosis yang
diberikan, beberapa akan mengikat protein plasma, sebagian bebas, tergantung seberapa
besar afinitas obat terhadap plasma atau protein jaringan. Hanya obat dapat
dimetabolisme, dapat menembus kebebasan biofilm dan menghasilkan efek
farmakologis.
Jika suatu obat didesak dari protein plasma, maka tersedia lebih banyak obat
bebas untuk distribusi ke dalam jaringan dan berinteraksi dengan reseptor yang
bertanggung jawab untuk respon farmakologik. Lebih lanjut, tersedia obat bebas yang
lebih banyak untuk eliminasi. Ikatan protein mempengaruhi intensitas kerja, lama kerja
dan eliminasi bahan obat sebagai berikut bagian obat yang terikat pada protein plasma
tidak dapat berdifusi dan umumnya tidak mengalami biotransformasi dan eliminasi.
Ikatan obat-protein adalah pembentukan kompleks obat-protein. Kompleks ini
dibentuk oleh obat yang berikatan dengan protein. Ikatan obat protein dapat
memberikan informasi mengenai kegunaan terapetik yang tepat dari obat dan perkiraan
kemungkinan interaksi obat.
Obat-obat yang lebih besar dari 80% berikatan dengan protein dikenal sebagai
obat-obat yang berikatan dengan tinggi protein. Salah satu contoh obat yang berikatan
tinggi dengan protein adalah diazepam (Valium): yaitu 98% berikatan dengan protein.
Praktikum kali ini, dihitung berapa lama rasa pahit tersebut bertahan dikerongkongan
dan dilakukan pengujian dengan menggunakan mikroskop dimana H2SO4 sebagai
katalis dan K2Cr2O7 sebagai pemberi warna pada sampel dilakukan pengamatan tiap
menit, serta diamati perubahan warna yang terjadi.
Pada praktikum kali ini kita akan menggunakan sukarelawan, dimana ada 3
sukarelawan yang akan diberikan obat topical berupa obat tetes mata kloramfenikol.
Pada ketiga sukarelawan tadi akan diberikan obat tetes mata sebanyak 3-4
kali,kemudian lihat dari respon yang diberikan sukarelawan dengan waktu pada
menit ke 2,4,6,8,10,12,14,16,18,20,30,35,40,45,50,55,60 setelah diberikan,
kemudian tabelkan untuk menganalisa data yang akan kita amati dengan
keterangan (-)= tidak pahit,(+)= sedikit pahit, (++ )= pahit, (+++) = sangat pahit.
Setelah melakukan percobaan kemudian dilakukan olah data dari ke 3 relawan
tersebut, rasa pahit yang dialami oleh masing-masing relawan berbeda-beda tiap
menitnya. Dimana dari data dapat dilihat penyebaran rasa pahit tidak rata, dimana pada
menit rentang 6-18 dapat dilihat bahwa lebih banyak sukarelawan merasakan pahit,
tetapi tidak merata, sedangkan pada menit ke 50-60 dari rata-rata data dapat dilihat
sebagian besar sukarelawan tidak merasakan pahit lagi. Rasa pahit seseorang itu dapat
berbeda-beda karena rasa tidak bisa diukur dengan pasti, sehingga nilai dari ambang
batas pahit seseorang berbeda-beda tiap individunya, hal ini dapat dipengaruhi oleh
beberapa factor, seperti genetic, faktor penyakit, faktor kebiasaan dan lain-lain.
Penggunaan obat tetes mata terkadang dapat mengakibatkan tenggorokan terasa pahit
saat menelan bagi sebagian orang. Hal ini terjadi karena ada saluran yang
menghubungkan langsung antara kelenjar mata dengan hidung (nasolakrimalis), dan
dilanjutkan oleh hidung dengan tenggorokan. Obat yang diberikan secara topikal dapat
distribusi sistemik terutama melalui absorpsi mukosa hidung dan dapat juga terjadi
pada distribusi okular lokal melalui absorpsi transkornea/ transkonjungtiva.
Hal yang dilakukan selanjutnya adalah melihat reaksi dari saliva
sukarelawan tadi pada tiap menitnya, dimana dilakukan menggunakan plat tetes
dengan menggunakan H2SO4 Pekat dan K2Cr2O7. Dilakukan pada saliva pasien
dimana penggunaan saliva inidikarena obat akan didistribusikan yang akan
dilaluinya, kemudian saluran yang menghubungkan langsung antara kelenjar mata
dengan hidung (nasolakrimalis), dan dilanjutkan oleh hidung dengan tenggorokan.
obat yang diberikan secara topikal dapat distribusi sistemik terutama melalui
absorpsi mukosa hidung dan dapat juga terjadi pada distribusi okular lokal melalui
absorpsi transkornea/ transkonjungtiva.
Dari hasil yang diperoleh pada menit ke 2, 4, 8, 10, 12, 14, 16, 18, 20, 25,
30,35, 40, 45, 50, 55, 60 setelah diberikan, dimana dapat dilihat pada hasil
pengamatan warna, yaitu pada menit 10,12,14,16 terlihat ada larutan pekat bewarna
ungu, sedangkan menit terakhir yaitu 25,30,35,40,45,50,55,60 tidak terlihat adanya
larutan pekat bewarna ungu, yang berarti jika terdapat larutan/endapan warna ungu
maka menunjukkan adanya rasa pahit atau besarnya konsentrasi kloramfenikol
pada saat itu, yang seiring berjalannya waktu akan berkurangnya kadarnya.
Kemudian, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat distribusi
obat itu sendiri adalah;
a. Perfusi darah melalui jaringan
b. Kadar gradient, pH dan ikatan zat dengan makromolekul
c. Partisi kedalam lemak
d. Transfer aktif
e. Sawar
f. Ikatan obat dengan protein plasma
1.6 KESIMPULAN
1. Sekresi melalui kelenjar saliva menghasilkan air liur atau saliva yang diproduksi
oleh kelenjar saliva mayor dan minor.
2. Sampel yang digunakan adalah kloramfenikol yang merupakan antibiotic
berspektrum luas yang menghambat sintesis protein bakteri.
3. Pada pemberian obat kloramfenikol melalui tetes mata kita dapat merasakan pahit
karena ada saluran yang menghubungkan langsung antara kelenjar mata dengan
hidung (nasolakrimalis), dan dilanjutkan oleh hidung dengan tenggorokan.
4. Obat yang berada pada keadaan terikat dengan protein plasma, tidak dapat
menembus membran biologis dan tidak aktif secara farmakologi (tidak
menghasilkan efek).
5. Ikatan protein mempengaruhi intensitas kerja, lama kerja dan eliminasi bahan obat.
6. Ikatan obat-protein adalah pembentukan kompleks obat-protein.
7. Pengujian dengan menggunakan mikroskop dimana H2SO4 sebagai katalis dan
K2Cr2O7 sebagai pemberi warna pada sampel
8. Menit rentang 6-18 dilihat lebih banyak sukarelawan merasakan pahit, tetapi
tidak merata, sedangkan pada menit ke 50-60 dari rata-rata data dilihat
sebagian besar sukarelawan tidak merasakn pahit lagi.