Anda di halaman 1dari 7

NAMA : ARAVA PUTRI FADHILA

NIM : 1701050

PRODI : S1 VI-B

FARMAKOKINETIKA KLINIK

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KLIRENS

a. Luas Permukaan Tubuh (LPT)

Umumnya nilai klirens dalam beberapa literatur dinyatakan dalam satuan

volume/kg/waktu atau volume/70kg/waktu. Tetapi, beberapa bukti menunjukkan bahwa klirens

obat lebih tepat apabila ditentukan berdasarkan luas permukaan tubuh (LPT) dan bukan

berdasarkan berat badan. LPT dapat dihitung menggunakan persamaan 17 atau dapat diperoleh

dari berbagai grafik dan nomogram.

LPT dalam m2 = (Berat badan pasien dalam kg) 0,7 (1,73m2) [Pers. 17]
70 kg

Nilai berat badan pasien dibagi 70 dan dipangkatkan 0,7 merupakan pendekatan untuk

menentukan skala atau ukuran pasien dibandingkan individu rata-rata, yaitu 1,73m2 atau 70kg.

Berat badan dibagi 70 dan dipangkatkan 0,7 tidak memiliki satuan dan harus dianggap sebagai

fraksi dari ukuran orang rata-rata.


Sebagai contoh, seorang pasien dengan berat badan 7kg memiliki rasio berat badan

terhadap berat badan 70kg sebesar 0,1 sehingga dapat dikatakan memiliki ukuran dan juga

kapasitas metabolik dan kapasitas ginjal sebesar 1/10 dari orang rata-rata yang memiliki berat

badan 70kg.
(7 kg) = 0,1

70 kg

Jika individu dengan berat badan yang sama dibandingkan dengan berat badan standar

70kg kemudian dipangkatkan 0,7 rasio menjadi 0,2 atau 20% dari ukuran dan kapasitas klirens

individu standar 70kg atau 1,73m2.

(7 kg) 0,7 = 0,2

70 kg

Pada contoh tersebut, perbedaan antara 0,1 dan 0,2 adalah besar. Akan tetapi, apabila

berat badan pasien mendekati 70kg, perbedaan antara menggunakan persamaan berat badan dan

persamaan berat badan yang dipangkatkan 0,7 atau LPT tidak terlalu signifikan.

Selain itu, penting diingat bahwa nilai 0,2 tidak memiliki satuan dan menunjukkan fraksi

dari ukuran individu rata-rata (1,73m2 atau 70kg).

b. Ikatan Protein Plasma

Pada obat-obatan yang sangat terikat pada protein, berkurangnya ikatan protein plasma

berkaitan dengan menurunnya konsentrasi obat dalam plasma pada keadaan tunak yang
dilaporkan (total obat tidak terikat ditambah obat bebas) untuk setiap dosis yang diberikan.

Menurut persamaan 15, penurunan nilai penyebut, Css rerata, menaikkan nilai klirens terhitung.

Cl = (S) (F) (Dosis/t)

Css rerata

Meskipun demikian, tidak tepat juga apabila kita mengasumsikan bahwa karena klirens

terhitung meningkat, jumlah obat yang di eliminasi per satuan waktu meningkat. Persamaan 15

mengasumsikan bahwa apabila Css rerata (total obat terikat ditambah obat bebas) berubah,

konsentrasi obat bebas, yang tersedia untuk metabolisme dan eliminasi renal, juga berubah

secara proporsional.

Pada kenyataannya, fraksi obat bebas atau tidak terikat di dalam plasma umumnya

plasma. Akibatnya, jumlah obat bebas yang di eliminasi per satuan waktu tidak berubah. Hal ini

akan tampak nyata apabila kita memerhatikan bahwa pada keadaan tunak, jumlah obat yang

diberikan per satuan waktu (RA). Jika RA tidak berubah, RE tentu tetap sama.

Kesimpulannya, apabila dosis obat harian yang sama diberikan dalam kondisi terjadi

penurunan ikatan protein, jumlah yang sama dengan dosisi obat tersebut akan dieliminasi dari

tubuh setiap hari pada keadaan tunak walaupun konsentrasi obat dalam plasma pada keadaan

tunak berkurang dan klirens terhitung meningkat. Konsentrasi plasma yang lebih rendah ini (C

terikat + C bebas) disebabkan oleh C terikat yang menurun, C bebas tidak berubah, dan

akibatnya terjadi peningkatan fraksi obat tidak terikat (fu).

Karena itu, efek farmakologi yang dicapai akan sama dengan yang dihasilkan oleh

konsentrasi serum yang lebih tinggi yang diamati pada kondisi ikatan protein yang normal.
Contoh ini mengaskan kembali bahwa prinsip klirens saja bukan merupakan indikator yang baik

tentang jumlah obat yang dieliminasi per satuan waktu (Rg).

c. Rasio ekstraksi

Rasio ekstraksi adalah fraksi obat yang termasuk ke dalam organ eliminasi yang

dibersihkan setelah melewati organ tersebut 1 kali. Rasio ekstraksi dapat diestimasi dengan

membagi klirens obat dalam darah atau dalam plasma dengan aliran darah atau aliran plasma ke

organ eliminasi. Jika rasio ekstraksi melebihi fraksi bebas Protein plasma bekerja sebagai sistem

transpor transpor dan tidak akan berubah sebanding dengan Fu. Namun, apabila rasio ekstraksi

kurang dari fu kemungkinan akan meningkat sebanding dengan perubahan fu. pendekatan ini

tidak mempertimbangkan faktor lain yang dapat mempengaruhi klien seperti ikatan pada sel

darah merah eliminasi dari sel darah merah atau perubahan fungsi metabolik.

d. Curah Jantung

Curah jantung juga mempengaruhi metabolisme obat. Klirens hepatik atau metabolik

beberapa obat dapat turun sebesar 25% hingga 50% pada pasien gagal jantung kongestif. Sebagai

contoh, klirens metabolik teofilin dan digoksin berkurang sekitar separuh pada pasien gagal

jantung kongestif. Karena klirens metabolik kedua obat ini jauh lebih rendah daripada aliran

plasma atau aliran darah hepatik (rasio ekstraksi rendah), tidak akan diduga bahwa klirens kedua

obat tersebut dipengaruhi oleh curah jantung atau aliran darah hepatik hingga sebesar ini. Curah

jantung yang menurun dan kongesti hepatik yang diakibatkannya, dengan mekanisme tertentu,

akan menurunkan kapasitas metabolik intrinsik hati.


e. Fungsi ginjal dan hati

Obat dapat dieliminasi atau dibersihkan sebagai obat yang bentuknya tidak berubah (obat

utuh) melalui ginjal klirens ginjal dan melalui metabolisme di dalam hati (klirens metabolic).

Dua rute klirens ini diasumsikan tidak saling terkait dan bersifat aditif.

Clt = Clm + Clr

Clt adalah clearance total Clm adalah kleren metabolic atau fraksi yang dibersihkan oleh

metabolisme dan Clt adalah clearance ginjal atau fraksi yang dibersihkan lewat rute ginjal karena

fungsi ginjal dan hati tidak saling bergantung diasumsikan bahwa perubahan pada salah satu

organ tidak mempengaruhi organ lainnya. Jadi, Clt dapat diestimasi dalam kondisi gagal ginjal

atau gagal hati atau keduanya karena fungsi metabolik sulit dihitung Cl t seringkali disesuaikan

ketika fungsi ginjal menurun.

(Cl t ) fraksi fungsi ginjal normal


Cl disesuaikan = (Clm) +
[ ( yang tersisa )]
Klirens yang telah disesuaikan dengan fungsi ginjal dapat digunakan untuk mengestimasi

dosis pemeliharaan untuk pasien yang memiliki fungsi ginjal menurun (lihat Persamaan 16).

Namun, persamaan klirens yang disesuaikan ini hanya valid jika metabolit obat bersifat inaktif

dan jika klirens metabolik memang tidak dipengaruhi oleh disfungsi ginjal seperti yang

diasumaikan. Penurunan fungsi organ eliminasi sangat berpengaruh jika organ tersebut berperan

sebagairute utama eliminasi obat. Akan tetapi, ketika jalur eliminasi mayor semakin memburuk,

jalur "minor" menjadi lebih signifikan karena jalur tersebut mengambil proporsi yang lebih besar

dalam klirens total. Sebagai contoh, obat yang biasanya dieliminasi 67% melalui rute ginjal dan
33% melalui rute metabolik akan dimetabolisme 100% pada kondisi gagal ginjal total; akan

tetapi, klirens total hanya akan bernilai 1/4 dari nilai normal.

Cara lain untuk menyesuaikan Cl. untuk menghitung laju pendosisan adalah dengan

mensubstitusikan fraksi dari klirens total yang merupakan klirens metabolik dan klirens ginjal

pada Clm dan Clr.

Faktor penyesuaian laju pendosisan dapat digunakan untuk menyesuaikan dosis

pemeliharaan untuk pasien yang memiliki fungsi ginjal yang telah berubah. Sebagai contoh,

suatu obat dimetabolisme sebesar 25%, dibersihkan oleh ginjal sebesar 75%, dan biasanya

diberikan sebanyak 100 mg setiap 12 jam. Jika obat ini diberikan pada pasien yang fungsi ginjal

normalnya hanya tinggal 33%, Faktor Penyesuaian Laju Pendosisan adalah 0,5. Faktor

Penyesuaian Laju Pendosisan sebesar 0,5 menyatakan bahwa obat harus diberikan dengan laju

separuh laju normal. Hal ini dapat dicapai dengan mengurangi dosis dan mempertahankan

interval (misalnya 50 mg setiap 12 jam) atau mempertahankan dosis dan memperpanjang interval

(misalnya 100 mg setiap 24 jam). Salah satu metode ini (atau kombinasi penyesuaian dosis dan

inerval pendosisan) dapat digunakan bergantung pada situasi dan tujuan terapeutik.

Kebanyakan penyesuaian farmakokinetik untuk eliminasi obat didasarkan pada fungsi

ginjal karena fungsi hati biasanya lebih sulit dihitung. Meningkatnya enzim-enzim hati memang

mencerminkan kerusakan hati, tetapi bukan merupakan alat ukur fungsi hepatik yang baik.

Fungsi hepatik sering kali dievaluasi menggunakan waktu protrombin (prothrombin time),

konsentrasi albumin serum, dan konsentrasi bilirubin serum. Sayangnya, masing-masing uji

laboratoorium ini juga dipengaruhi oleh berbagai variabel lain di luar perubahan fungsi hepatik.

Sebagai contoh, albumin serum mungkin rendah karena asupan protein yang berkurang atau

pengeluaran albumin yang meningkat melalui ginjal atau Saluran cerna atau karena fungsi hati
vang menurun. Walaupun uji fungsi hati tidak memberikan data kuantitatif, penvesuaian

farmakokinetik harus selalu mempertimbangkan fungsi hati karena rute eliminasi ini penting

untuk sejumlah besar obat.

Anda mungkin juga menyukai