Anda di halaman 1dari 13

Tugas Individu

Sistem Penghantaran Obat

Peningkatan Kelarutan dengan Pembentukan Dispersi


Padat

MUSTAKIM MASNUR
K11015I022

PROGRAM PASCA SARJANA


MAGISTER FARMASI FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015

Kelarutan zat yang monografinya tercantum dalam Farmakope


Indonesia dinyatakan dengan istilah baku sebagai berikut (Agoes,
Goeswin. 2012):

Sistem

Klasifikasi

Biofarmasetik

(BCS)

Dalam

sistem

pengembangan sediaan obat, dilakukan prediksi dan kemungkinan untuk


memperkirakan korelasi obat secara in vitro dengan respons secara in
vivo (korelasi in vitro in vivo/korelasi IVIV) pada pasien. Asumsi model
transport obat didasarkan pada permeabilitas dan kelarutan. FDA telah
menggagas

sistem

klasifikasi

biofarmasetik

(Biopharmaceutical

Classification System/BCS) sebagai panduan regulatori ketersediaan


hayati dan biekivalensi (BA/BE). BCS memungkinkan memperkirakan
kontribusi 3 faktor utama yang mempengaruhi absorpsi obat dalam
bentuk sediaan padat lepas segera (IR-Immediate Release) bila diberkan
secara oral, yaitu disolusi, kelarutan, dan permeabilitas intestinal (Agoes,
Goeswin. 2012).
BCS terbagi dalam 4 kelas, yaitu :
Kelas I : Kelarutan tinggi, permeabilitas tinggi. Contoh : Benzapril,
Loxoprofen, Sumatriptan, dll.
Kelas II: Kelarutan rendah, permeabilitas tinggi. Contoh : Valsartan,
Nimesulide, Loratadine, Aceclofenac, dll.

Kelas III : Kelarutan tinggi, permeabilitas rendah. Contoh : Gabapentine,


Topiramate, Atropine, dll.
Kelas IV : Kelarutan rendah, permeabilitas rendah. Contoh :
Hydrochlorthiazide, Furosemide, Meloxicam, dll (Zaheer, A.2011).
Pengertian kelarutan tinggi adalah jumlah dosis tertinggi dalam
sediaan yang melarut dalam 250 ml air pada

rentang pH 1-8.

Permeabilitas adalah tahap yang mengontrol kecepatan kinetika absorpsi


dari saaluran cerna (GIT), dikendalikan oleh faktor biofarmasetika dan
bukan oleh faktor formulasi. Permeabilitas dalam BCS mengacu pada nilai
jejenum manusia dimana high adalah 10-4 cm/detik dan low di bawah
nilai tersebut. Batasan permeabilitas tinggi adalah jika obat menunjukkan
tingkat absorpsi yang hamper sempurna (>90%) di usus halus dari dosis
obat

yang

diberikan

secara

oral.

Batas

kelas

didasarkan

pada

kesetimbangan massa yang ditentukan atau dengan membandingkannya


terhadap dosis acuan yang diberikan secar intravena tanpa bukti adanya
ketidakstabilan di saluran cerna (Agoes, Goeswin. 2012).
Metode Untuk Meningkatkan Kelarutan Obat Sukar Larut dalam Air:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Memperkecil ukuran patikel


Teknologi nanosuspensi.
Surfaktan
Pembentukan garam
Pengaturan pH
Hidrotophi
Dispersi padat (Joseph, L.2012)

Dispersi Padat
Dispersi

Padat

Pada

awal

tahun

1961,

Sekiguci,

et

al.,

mengembangkan konsep dispesi padat untuk meningkatkan absorpsi dari


obat yang sangat sukar larut dalam air dengan bahan pembawa yang
mudah larut dalam air seperti dispersi padat. Golberg, et al., juga
menjelaskan bahwa fraksi tertentu dari obat dapat terdispersi secara
molekular pada matriks dengan membentuk larutan padat, yang pada

penentuan berikutnya menunjukkan bahwa obat terjerap pada matriks


sebagai bahan amorf.
Chiou dan Riegelman mendefinisikan dispersi padat sebagai
dispersi dari satu atau lebih bahan aktif dalam eksipien inert atau matriks
dimana bahan aktif akan menjadi kristalin, terlarut atau amorf. Dispersi
padat dapat diartikan juga produk padat yang terdiri paling sedikit dua
komponen yang berbeda, umumnya matriks hidrofilik dan obat yang
hidrofobik. Cara ini dapat mengubah obat menjadi bentuk amorf yang
dapat meningkatkan kecepatan disolusi (Agoes, Goeswin. 2012).
Keuntungan dispersi padat dibandingkan kapsul konvensional atau
formulasi tablet secara sistemik ditunjukkan secara sistemik dalam bagan:

Tahapan yang terjadi antara obat dan polimer pada dispersi padat
adalah :
1. Perubahan obat dan polimer dari bentuk padat menjadi cair.
2. Pencampuran semua komponen dalam bentuk cairan.
3. Perubahan larutan campuran menjadi padat melalui proses
seperti pembekuan, penghilangan pelarut, dan kondenasasi (Margaret.
2008).
Klasifikasi Dispersi Padat Chiou dan Riegelman membagi dispersi
padat ke dalam enam tipe : campuran eutektik sederhana, larutan padat,
larutan dan suspensi gelas, endapan amorf dalam pembawa kristal,
gabungan senyawa atau bentuk kompleks, dan kombinasi dari kelima tipe
sebelumnya (Yadav, L.2011).

Campuran

eutektik

sederhana

dilakukan

dengan

proses

pemadatan secara cepat dua senyawa yang dileburkan. System ini secara
termodinamika mirip dengan campuran fisika kedua komponen kristalnya.
Sehingga pola difraksi sinar X merupakan penjumlahan dari kedua
komponen ini (Singh, C.2013). Contohnya campuran parasetamol-urea,
kloramfenikol-urea, dan griseofulvin-PEG 2000 (Agoes, Goeswin. 2012).
Larutan padat adalah dua komponen kristal berada dalam satu
fase yang homogen. Ukuran partikel obat dalam larutan padat berkurang
hingga tingkat molekular. Sehingga, kecepatan disolusi larutan padat lebih
tinggi dibandingkan dengan campuran eutektik. Contohnya hidrokortison
asetat dalam PEG 6000 (Singh, C.2013).
Larutan gelas adalah keadaan solute terlarut dalam sistem gelas
yang homogen. Suspensi gelas adalah campuran antara partikel yang
mengendap dan tersuspensi di dalam sistem gelas. Contoh pembawa
yang dapat membentuk larutan dan suspensi gelas yaitu asam sitrat,
dekstrosa, sukrosa, galaktosa, PVP, dan PEG (Singh, C.2013).
Endapan amorf dalam pembawa kristalin adalah obat yang
sebelumnya dalam bentuk kristalin mengendap dalam bentuk amorf pada
pembawa kristalin. Jika terdapat pembawa, obat tersebut memiliki
kecenderungan mengendap lebih cepat dalam bentuk amorf (Singh,
C.2013).
Gabungan senyawa atau bentuk kompleks ditandai dengan
kompleksasi dari dua komponen dalam satu biner selama persiapan
dispersi padat. Ketersediaan obat membentuk kompleks tergantung pada
kelarutan, disosiasi konstan, dan tingkat penyerapan intrinsik kompleks
(Singh, C.2013).
Metode Preparasi Dispersi Padat Dua prosedur utama untuk
preparasi dispersi padat adalah teknik fusi dan pelarutan (kosolvensi).
Modifikasi dari kedua metode ini dan gabungan keduanya juga telah
digunakan. Yang paling akhir adalah aplikasi proses cair superkritikal
(super

critical

fluid

process)

yang

juga

telah

diaplikasikan

membentuk dispersi padat farmasetik (Agoes, Goeswin. 2012).

untuk

Metode peleburan atau fusi. Metode ini untuk pertama kalinya


dikemukakan oleh Sekiguchi dan Obi. Suatu campuran fisika dari obat dan
pembawa larut air dipanaskan sampai melebur. Leburan disolidifikasi
secara cepat di atas tangas es sambil diaduk secara intensif. Selanjutnya,
dipulverasi dan kemudian diayak. Pendinginan secara cepat diperlukan
karena akan menyebabkan supersaturasi obat sebagai hasil penjeratan
molekul solute dalam matriks pelarut melalui solidifikasi secara instan.
Proses solidifikasi ini dapat pula dilakukan pada pelat besi baja tahan
karat yang dihubungkan dengan sistem pendingin untuk mempermudah
penghilangan panas secara cepat (Khanam, J., Nanda, A.)
Keuntungan dari metode ini adalah sederhana dan ekonomis.
Kerugiannya adalah: i) metode ini hanya dapat digunakan pada obat dan
pembawa yang kompatibel dan dapat bercampur baik pada suhu
pemanasan. Ketika obat dan pembawa tidak kompatibel, akan terbentuk
dua fase cair atau suspensi pada saat pemanasan, tetapi hal ini dapat
dicegah

dengan

penambahan

surfaktan;

ii)

kemungkinan

terjadi

pemisahan fase selama proses pendinginan, pendinginan yang perlahanlahan akan menyebabkan terbentuknya kristal, sedangkan pendinginan
yang cepat akan menghasilkan dispersi padat amorf; iii) banyak zat, baik
obat maupun pembawa, dapat terurai selama proses peleburan pada suhu
tinggi (Doshi, J. 2013).
Metode
menggunakan

pelarutan. Tachibana dan Nakamura pertama kali


cara

ini

untuk

mempreparasi

dispersi

padat

dari

betakaroten dalam PVP yang menggunakan khloroform sebagai kosolven


(Khanam, J., Nanda, A.). Langkah pertama dalam metode pelarutan adalah
persiapan larutan yang mengandung obat dan pembawa. Langkah kedua
adalah penghilangan pelarut yang mengakibatkan terbentuknya dispersi
padat. Pencampuran pada tingkat molekuler lebih disukai, karena dapat
mengoptimalkan kelarutan. Pelarut biasanya dihilangkan secara evaporasi
pada tekanan rendah, pada berbagai temperatur. Pilihan pelarut dan
kecepatan

penghilangan

sangat

kritikal

Adakalanya digunakan campuran pelarut.

terhadap

mutu

dispersi.

Keuntungan utama dari metode ini adalah dapat mencegah


terurainya obat atau pembawa oleh panas suhu yang diperlukan untuk
penguapan pelarut organik relatif rendah. Namun, dengan metode
pelarutan tenaga farmasi menghadapi dua tantangan. Tantangan pertama
adalah untuk mencampur obat dan pembawa dengan kepolaran yang
berbeda secara signifikan menjadi satu larutan. Sebenarnya, hal ini bisa
ditangani dengan penambahan solubilizers seperti siklodekstrin atau
surfaktan seperti tween 80. Namun, jumlah solubilizzers atau surfaktan
dalam produk akhir sering terkemuka. Selain itu, hanya sediaan dengan
dosis yang rendah yang mungkin dapat ditangani dengan cara ini.
Tantangan kedua dalam metode pelarutan adalah untuk mencegah
terjadinya
Pengeringan

pemisahan
pada

fase

suhu

selama

tinggi

proses

dapat

penghilangan

mempercepat

pelarut.

proses

dan

mengurangi waktu yang ada untuk pemisahan fase. Sebaliknya, pada


suhu tinggi mobilitas molekul obat dan pembawa tetap tinggi, mendukung
terjadinya pemisahan fase (misalnya, kristalisasi). Untuk mengeringkan
larutan, vakum moderat sering digunakan. Terkadang, penguapan pelarut
dipercepat dengan menggunakan rotary evaporator. Setelah itu, dispersi
padat yang terbentuk disimpan di dalam desikator vakum untuk
menghilangkan sisa pelarut (Doshi, J. 2013).
Proses cairan superkritikal. Superkritikal CO2 adalah pelarut
yang baik untuk zat tidak larut air di samping senyawa larut air pada
kondisi temperatur dan tekanan yang sesuai. Oleh sebab itu, superkritikal
CO2 berpotensi sebagai alternatif pengganti pelarut organik konvensional
untuk digunakan sebagai pelarut dasar. Penggunaannya dalam proses
dispersi padat adalah karena sifatnya yang menguntungkan, yaitu tidak
toksik dan tidak mahal.
Proses ini dikembangkan oleh Ferro Corporation dengan tahapan
sebagai berikut :
1. Memasukkan material bioaktif dan polimer yang sesuai ke dalam
autoklaf;
2. Menambahkan superkritikal CO2 pada kondisi yang sesuai
dengan temperatur dan tekanan yang menyebabkan polimer memelar;

3. Pengadukan mekanik dalam autoklaf; dan


4. Depresurisasi secara cepat (tabung) autoklaf melalui lubang
yang dikontrol komputer untuk mendapatkan ukuran partikel yang
dibutuhkan. Kondisi temperatur yang digunakan pada proses ini cukup
rendah

(35C

75C)

sehingga

memungkinkan

untuk

menangani

biomolekul, seperti enzim dan protein.


Bergantung

pada

formulasi

dan

parameter

proses,

proses

superkritikal cair dapat menghasilkan partikel yang mengandung obat


dalam bentuk amorf atau kristalin. Contoh proses meliputi : proses
pengendapan antikosolven gas, presipitasi dengan antkosolven bertekan,
ekspansi cepat dari larutan superkritikal, dan presipitasi dari larutan jenuh
gas (Agoes, Goeswin. 2012).
Pemilihan Pembawa
Sifat pembawa mempunyai pengaruh besar terhadap karakteristik disolusi
dispersi

obat.

Pembawa

harus

memenuhi

kriteria

berikut

untuk

meningkatkan kecepatan disolusi obat:


1. Mudah larut dalam air dengan sifat disolusi intrinsik cepat.
2. Bersifat nontoksik dan inert secara farmakologi.
3. Stabil terhadap panas dengan suhu peleburan rendah.
4. Larut dalam bermacam pelarut dan melewati transisi gelas pada
saat evaporasi pelarut untuk metode pelarutan.
5. Lebih disukai yang mampu meningkatkan daya kelarutan air
pada obat.
6. Secara kimia kompatibel dengan obat dan tidak membentuk
ikatan kompleks yang kuat dengan obat (Rai, A.K. 2009).
Pembawa generasi pertama. Pembawa kristal: Urea, Gula, Asam
organik.
Pembawa

generasi

kedua.

Pembawa

amorf:

Polyethyleneglycol,

Povidone, Polymethacrylate, Derivat selulosa.


Pembawa generasi ketiga. Surfaktan : Poloxamer 408, Tween 80,
Gelucire 44/14 (Rai, A.K. 2009).
Metode Evaluasi Dispersi Padat

Metode evaluasi dispersi padat terdiri dari metode analisis termal,


difraksi sinar X, mikroskopik, disolusi, kromatografi, dan termodinamika.
Kombinasi dua atau lebih metode dibutuhkan untuk mematikan gambaran
jelas mengenai sistem dispersi padat yang terbentuk.
Analisis termal. Analisis termal merupakan metode yang paling
umum digunakan untuk mempelajari interaksi fisikokimia dari dua atau
lebih komponen dalam sistem. Ada beberapa metode yang dapat
digunakan, yaitu : metode kurva pendingin, metode lebur cair, metode
termomikroskopik, DTA (Differential Thermal Analysis), DSC (Differential
Scanning Calorimetri), dan metode daerah peleburan. Metode kurva
pendingin digunakan untuk pembuatan diagram fase pada sampel yang
tidak stabil pada pemanasan. Metode lebur cair digunakan untuk
membedakan sistem eutektik sederhana dan larutan padat. Metode
termomikroskopik meenggunakan mikroskop polarisasi untuk mengamati
bentuk diagram fase. DTA (Differential Thermal Analysis) dapat digunakan
untuk mempelajari kesetimbangan fase dari suatu murni atau campuran.
Perubahan suhu sampel dikaitkan dengan perubahan fisika dan kimia
dalam sistem sampel yang diuji. Dengan alat ini dapat diamati transisi
polimorfisme, penguapan, sublimasi, dan berbagai reaksi penguraian
serta dapat digunakan untuk membuat diagram fase. Metode daerah
peleburan

digunakan

dalam

pembuatan

diagram

fase

penentuan

komposisi eutektik dan kelarutan padat-padat.


Difraksi sinar X. pola difraksi sinar X merupakan sidik jari dari
senyawa kristal. Metode ini umumnya digunakan untuk menentukan
struktur

kristal,

amorf

atau

kristalin.

Sistem

eutektik

sederhana

menunjukkan puncak difraksi setiap komponen kristal yang dikandungnya.


Adanya larutan padat ditunjukkan dengan pergeseran puncak difraksi
sejalan dengan perubahan komposisi. Pada pola difraksi larutan padat,
sisipan menunjukkan hilangnya puncak difraksi zat terlarut sedangkan
puncak difraksi pelarut dapat tetap atau berubah. Metode ini digunakan
untuk menguji adanya senyawa baru atau kompleks yang terbentuk dan
untuk menentukan konsentrasi komponen kristal dalam campuran.

Metode mikroskopik. Metode ini digunakan untuk mempelajari


polimorf dan morfologi dispersi padat, pengamatan ukuran, dan bentuk
kristal.
Metode spektroskopi. Terdiri dari spektroskopi ultraviolet dan
spektroskopi

inframerah.

Pada

spektroskopi

ultraviolet,

terjadinya

kompleks dalam larutan dapat ditunjukkan dengan bergesernya panjang


gelombang maksimum larutan. Pada spektroskopi inframerah, terjadinya
kompleks atau interaksi antara zat aktif dan pembawa dapat ditunjukkan
dengan pergeseran puncak serapan atau terbentuknya serapan baru yang
menunjukkan adanya interaksi ikatan baru antar zat aktif dan pembawa.
Metode termodinamika. Diagram fase campuran eutektik dari
sistem

larutan

padat

dapat

dibaca

dari

beberapa

parameter

termodinamik. Pengetahuan tentang entropi, fusi, dan tekanan parsial dari


beberapa komposisi dapat digunakan untuk menentukan perbedaan yang
rendah dari kelarutan padat dalam suhu kesetimbangannya.
Kromatografi.

Metode

ini

digunakan

untuk

menentukan

terjadinya antaraksi antara komponen-komponen dalam sistem dispersi


padat seperti pembentukan kompleks dan mengamati adanya penguraian
akibat proses pembuatan sitem dispersi padat.
Disolusi.

Metode

ini

banyak

digunakan

untuk

menguji

keterandalan sistem dispersi padat yang dibandingkan dengan sistem


campuran fisika komponennya (Margaret. 2008).
Mekanisme Peningkatan Kecepatan Disolusi. Peningkatan
kecepatan disolusi sebagai hasil pembentukan dispersi padat jika
dibandingkan dengan obat murni dapar bervariasi dari 2 kali hingga 400
kali kelarutan asal. Peningkatan kecepatan disolusi dari dispersi padat
adalah sebagai berikut:
1. Penurunan ukuran partikel. Pada kasus transisi gelas, larutan
padat, dan dispersi amorf ukuran partikel diturunkan sampai tingkat
minimal. Hal ini dapat meningkatkan kecepatan disolusi karena
terjadi peningkatan luas permukaan dan solubilisasi.
2. Efek
solubilisasi. Material pembawa, jika

larut,

dapat

menunjukkan efek solubilisasi pada API. Hal ini terlihat pada

paracetamol dan khlorpropamida dalam urea di samping sejumlah


obat lain.
3. Keterbasahan dan dispersibilitas. Material pembawa dapat pula
menunjukkan

efek

peningkatan

pada

pembasahan

dan

dispersibilitas API dalam media disolusi. Cara ini memperlambat


agromerasi

atau

agregasi

partikel

yang

selanjutnya

akan

memperlambat proses disolusi.


4. Bentuk metastabil. Pembentukan dispersi metastabil dengan
energi kisi akan menghasilkan peningkatan kecepatan disolusi. Dari
hasil penelitian ditemukan bahwa energi aktivasi disolusi furosemida
adalah 17 kcal per mol, sedangkan untuk kompresipitat furosemida :
PVP banding 1 : 2 hanya 7,3 kcal per mol. Cara-cara ini telah
diaplikasikan untuk peningkatan kecepatan disolusi beberapa API
sukar larut dalam air dan formulasi sediaan padat (Agoes, Goeswin.
2012).

DAFTAR PUSTAKA

Agoes, Goeswin. (2012). Sediaan Farmasi Padat (SFI-6). Bandung :


Penerbit ITB.

Das, S.K., Roy, S., Kalimuthu, Y., & Khanam, J., Nanda, A. Solid
Dispersions : An Approach to Enhance the Bioavailability Poorly
Water-Soluble Drugs. International Journal of Pharmacology and
Pharmaceutical Technology, 1(1), 2277-3436.
Kumar, P., Singh, C. (2013). A Study on Solubility Enhancement Methods
for

Poorly

Water

Soluble

Drugs.

American

Journal

of

Pharmacological Sciences, 1(4), 67-73.


Margaret. (2008). Peningkatan Kelarutan Ibuprofen Dengan Metode
Dispersi Padat Menggunakan Polietilenglikol 6000. Depok : FMIPA
Universitas Indonesia
Sareen, S., Mathew, G., & Joseph, L. (2012). Improvement in solubility of
poor water-soluble drugs by solid dispersion. International Journal
of Pharmaceutical Investigation, 2(1), 12-17.
Singh, S., Baghel, R.S., & Yadav, L. (2011). A review on solid dispersion.
International Journal of Pharmacy & Life Sciences, 2(9), 1078-1095.
Sridhar, I., Doshi, A., Joshi, B., Wankhede, V., Doshi, J. (2013). Solid
Dispersions: An Approach to Enhance Solubility of Poorly Water
Soluble Drug. Journal of Scientific & Innovative Research, 2(3), 685694.
Tiwari, R., Tiwari, G., Srivastava, B., & Rai, A.K. (2009). Solid Dispersions :
An Overview To Modify Bioavailability Of Poorly Water Soluble
Drugs. International Journal of PharmTech Research, 1(4), 13381349.

Zaheer, A., Naveen, M., Santhosh, K., & Imran K. (2011). Solubility
Enhancement

of

Poorly

Water

Soluble

Drugs:

Review.

International Journal of Pharmacy & Technology, 3(1), 807-823.

Anda mungkin juga menyukai