Anda di halaman 1dari 6

Kulit merupakan pembatas tubuh dengan lingkungan sekitar karena posisinya yang

terletak di bagian  paling luar. Luas kulit dewasa 1,5 m2 dengan berat kira-kira 15% berat
badan. Kulit merupakan barier protektif yang memiliki fungsi vital seperti perlindungan
terhadap kondisi luar lingkungan baik dari pengaruh fisik maupun pengaruh kimia, serta
mencegah kelebihan kehilangan air dari tubuh dan berperan sebagai termoregulasi. Kulit
bersifat lentur dan elastis yang menutupi seluruh permukaan tubuh dan merupakan 15% dari
total berat badan orang dewasa (Djuanda dkk., 2007).
Kulit terdiri atas:
- Bagian ectoderm yaitu epidermis (kulit luar) dan kelengkapannya (kelenjar, rambut,
kuku)
- Bagian jaringan ikat, yaitu korium (kulit jangat).
(Mutschler, 1991)
Epidermis terdiri dari beberapa lapisan yaitu stratum corneum (lapisan tanduk),
stratum lucidum (lapisan keratohialin, hanya terdapat pada telapak kaki dan tangan), stratum
granulosum (lapisan bergranul) dan stratum germinativum (lapisan yang bertumbuh), yang
dapat dibagi lagi menjadi stratum spinosum (lapisan berduri) dan stratum basal (lapisan
basal) (Mutschler, 1991).
Bagian atas kulit yang disebut stratum korneum terdiri atas sel tak berinti yang
disusun oleh brick (komponen selnya/korneosit) dan mortasr (kandungan lipid interselular).
Stratum kornemum dapat itembus oleh senyawa obat atau zat kimia yang diaplikasikan ke
permukaannya disebut pemberian obat secara perkutan (Mutschler, 1991).
Kulit merupakan perintang yang efektif terhadap penetrasi perkutan obat atau
senyawa eksternal. Adsorbsi obat perkutan dipengaruhi oleh sifat fisikokimiawi obat dan
pembawa serta kondisi kulit pada pemakaian obat secara topical, obat berdifusi dalam
pembawanya dan kontak dengan permukaan kulit (statum korneum dan setum) serta obat
selanjutnya menembus epidermis (Syukri, 2002).
Sebelum obat dapat memberikan efek, obat perlu dilepaskan dari basisnya setelah
obat kontak dengan stratum korneum maka obat akan menembus epidermis dan masuk ke
dalam sirkulasi sistemik secra difusi pasif. Laju absorbs melintasi kulit tidak segera tunak
tetapi selalu teramati adanya waktu laten. Waktu laten mencerminkan penundaan
penembusan senyawa kebagian dalam struktur tanduk dan pencapaian gradien difusi (Syukri,
2002).
Absorpsi perkutan adalah masuknya molekul obat dari kulit ke dalam jaringan di
bawah kulit, kemudian masuk ke dalam sirkulasi darah dengan mekanisme difusi pasif
(Chien, 1987). Mengacu pada Rothaman, penyerapan perkutan merupakan gabungan
fenomena penembusan senyawa dari lingkungan luar ke bagian dalam kulit ke dalam
peredaran darah dan kelenjar getah bening. Istilah perkutan menunjukkan bahwa penembusan
terjadi pada lapisan epidermis dan penyerapan dapat terjadi pada lapisan epidermis yang
berbeda (Aiache, 1993).
Untuk memasuki sistem sistemik, tahapan pada absorpsi perkutan dapat melalui
penetrasi pada permukaan stratum corneum di bawah gradien konsentrasi, difusi melalui
stratum corneum, epidermis dan dermis, kemudian masuknya molekul ke dalam
mikrosirkulasi (Chien, 1987).

Penembusan molekul dari luar ke bagian dalam kulit melalui penetrasi


transepidermal maupun penetrasi transapenpendageal. Kulit merupakan organ yang bersifat
aktif secara metabolik dan kemungkinan dapat merubah obat setelah penggunaan secara
topikal. Biotransformasi yang terjadi dapat berperan sebagai absorpsi perkutan (Swarbrick
dan Boylan, 1995).
Mekanisme transpidermal merupakan penetrasi dengan cara difusi pasif. Difusi pasif
melalu mekanisme ini dapat terjadi melalui dua jalur yaitu difusi intraseluler yang melalui sel
korneosit yang berisi keratin dan difusi interseluler yang melalui ruang antar sel stratum
corneum. Transpidermal merupakan jalur yang utama pada absorbs perkutan karena luas
permukaan kulit 100-1000 kali lebih luas daripada luas permukaan kelenjar dalam kulit.
Absorpsi melalui rute transpidermal sangat ditentukan oleh keadaan stratum corneum yang
berfungsi sebagai membrane semipermeable. Jumlah zat aktif terpenetrasi tergantung pada
gradien konsentrasi dan koefisien partisi senyawa aktif dalam minyak dan air (Troy, 2006).
Mekanisme transapenpendageal adalah mekanisme penetrasi molekul zat aktif
melalui pori-pori yang ada pada kelenjar keringat dan folikel rambut. Folikel rambut
memiliki permeabilitas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengn stratum corneum sehingga
absorpsi lebih cepat terjadi melalui pori folikel daripada melewati stratum corneum.
Mekanisme ini adalah mekanisme satu-satunya yang mungkin bagi senyawa—senyawa
dengan moleekul besar dengan kecepatan difusi rendah atau kelarutan yang buruk yang tidak
dapat menembus stratum corneum (Troy, 2006).
Factor yang dapat mempengaruhi absorpsi perkutan adalah:
1. Kelarutan dan karakterisasi distribusi obat
2. Perbedaan konsentrasi obat pada membrane
3. Karakter dari pelarut atau pembawa yang digunakan pada obat
4. Ketebalan stratum corneum
(Troy, 2006)
Sistem penghantaran obat secara transdermal bertujuan untuk menghindari berbagai
masalah absorpsi pada saluran cerna seperti deaktivasi oleh enzim pencernaan, iritasi
lambung, dan sebagainya. Pemberian obat melalui transdermal juga dapat meningkatkan
bioavailabilitas dan efikasi obat dengan menghindari first-pass elimination pada hati (Chien,
1987).
Untuk obat-obat dengan indeks terapi yang sempit dapat menggunakan rute
transdermal sebagai sistem penghantaran obat, juga untuk obat-obat dengan waktu paro yang
kecil. Pada penggunaan transdermal, pengobatan dapat dengan segera dihentikan melalui
penghilangan sediaan transdermal dari permukaan kulit (Chien, 1987).
Teknik uji in vitro yang umum digunakan untuk mengetahui penetrasi obat
transdermal adalah metode sel difusi Franz. Sel Franz dapat digunakan untuk mempelajari
absorpsi perkutan dan farmakokinetika obat topikal dengan pengondisian suhu dan
kelembapan yang sesuai dengan kondisi in vivo (Bosman et al.,1996).
Sel difusi Franz memiliki komponen berupa kompartemen donor, reseptor, tempat
pengambilan sampel, cincin O, dan water jacket. Kompartemen donor berisi zat yang akan
diuji penetrasinya. Kompartemen reseptor berisi cairan berupa air atau dapar fosfat pH 7.4.
Di antara kompartemen donor dan kompartemen reseptor diletakkan membran yang
digunakan untuk sel difusi Franz. Cincin O menjaga posisi membran supaya tidak berubah
(Sinko, 2011).
(Bosman et al.,1996).

Perlintasan dalam membran sintesis pada umumnya berlangsung dalam dua tahap.
Tahap awal adalah proses difusi zat aktif menuju permukaan yang kontak dengan membran,
dan tahap kedua adalah pengangkutan. Pada tahap difusi zat aktif daya difusi merupakan
mekanisme pertama untuk menembus daerah yang tidak diaduk, dari lapisan kontak dengan
membran. Tahap kedua adalah pengangkutan. Tahap ini dapat dibagi atas dua bagian. Bagian
yang pertama adalah penstabilan gradien konsentrasi molekul yang melintasi membran
sehingga difusi terjadi secara homogen dan tetap. Bagian kedua adalah difusi dengan cara dan
jumlah yang tetap. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi tidak berubah sebagai
fungsi waktu. Dalam hal ini diasumsikan interaksi zat aktif-pelarut dan pelarut-pelarut tidak
berpengaruh terhadap aliran zat aktif. Difusi dalam jumlah yang tetap dinyatakan dalam
hukum Fick I:

Dimana J adalah fluks atau jumlah Q linarut yang melintasi membran setiap satuan waktu t,
A adalah luas permukaan efektif membran, Cd dan Cr adalah konsentrasi pada kompartemen
reseptor, h adalah tebal membran dan D’ adalah tetapan atau koefisien permeabilitas (Aiache,
1993).

Asam salisilat merupakan kelompok senyawa obat yang telah dipergunakan secara
luas karena memiliki efek sebagai analgesik, antipiretik, dan antiinflamasi. Turunan asam
salisilat yang paling umum digunakan adalah asam asetil salisilat (asetosal). Asetosal sering
digunakan untuk mengurangi sakit kepala, inflamasi, nyeri sendi, juga beberapa pengobatan
serangan jantung dan stroke pada orang tua (Fadeyi et al., 2004).
Asam salisilat dan turunannya termasuk dalam golongan obat antiinflamasi non
steroid (Non Steroidal Anti-inflammatory Drugs = NSAIDs). Obat-obatan NSAIDs bekerja
dengan cara menghambat enzim siklooksigenase (COX) sehingga menyebabkan konversi
asam arakidonat menjadi prostaglandin terganggu. Selain COX, 5-lipoksigenase (5-LO)
merupakan salah satu enzim penting yang terlibat dalam proses metabolisme asam
arakidonat. Derivat hidrazon memiliki karakter farmakoforik untuk menghambat COX dan
tipe hidrazon merupakan dual inhibitor terhadap enzim COX dan 5-LO. Oleh karena itu
senyawa ini dipelajari sebagai agen analgesik dan antiinflamasi yang lebih poten
dibandingkan NSAIDs (Wilmana & Gan, 2007).
Asam salisilat, dikenal juga dengan 2-hydroxy-benzoic acid atau orthohydrobenzoic
acid, memiliki struktur kimia C7H6O3 . Asam salisilat memiliki pKa 2,97.9 Asam salisilat
dapat diekstraksi dari pohon willow bark, daun wintergreen, spearmint, dan sweet birch. 9,10
Saat ini asam salisilat telah dapat diproduksi secara sintetik.9,11 Bentuk makroskopik asam
salisilat berupa bubuk kristal putih dengan rasa manis, tidak berbau, dan stabil pada udara
bebas. Bubuk asam salisilat sukar larut dalam air dan lebih mudah larut dalam lemak. Sifat
lipofilik asam salisilat membuat efek klinisnya terbatas pada lebih mudah larut dalam lemak
(Hessel, et al, 2007).

Daftar Pustaka
Aiache. 1993. Farmasetika 2: Biofarmasi. Surabaya: Airlangga University Press.
Bosman, Lawant, A.L, Avegaart, S.R et al. 1996. A Novel Diffusion Cell for In Vitro
Transdermal Permeation, Compatible with Automated Dynamic Sampling. Journal of
Pharmaceutical and Biomedical Analysis, 1015-1023.
Chien, Y.W. 1987. Novel Drug Delivery. New York: Marcel Dekker Inc.
Djuanda, A dkk. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Fadeyi, O. O., Obafemi C. A., Adewunmi, C. O., Iwalewa, E. O. 2004. Antipyretic,
Analgesic, Anti-inflammatory and Cytotoxic Effects of Four Derivatives of Salicylic
Acid and Anthranilic Acid in Mice and Rats. African Journal of Biotechnology.
Vol.3(8). Hal:426-431.
Hessel AB, Cruz-Ramon JC, Lin AN. 2007. Agents used for treatment of hyperkeratosis. In:
Wolverton SE, editor. Comprehensive dermatologic drug therapy. 2nd Ed.
Philadelphia: WB Saunders.
Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat. ITB. Bandung.
Sinko, P. 2011. Martin’s Physical Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. Philadelphia:
Lippincot Williams & Wilkins.
Swarbrick, J dan Boylan, J. 1995. Percutaneous Absorption. New York: Marcel Dekker Inc.
Syukri. 2002 Biofarmasetika. Yogyakarta: UII Press.
Troy, D., dan Beringer P. 2006. Remington: The Science and Practice of Pharmacy. Baltimore:
Lippincot Williams and Wilkins,
Wilmana, P.F., dan Gan, S.. 2007. Analgesik-Antipiretik Analgesik AntiInflamasi Nonsteroid
dan Obat Gangguan Sendi Lainnya. Dalam: Gan, S., Setiabudy, R., dan Elysabeth, eds.
Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK
UI.

Anda mungkin juga menyukai