Anda di halaman 1dari 35

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem imun secara normal akan memberikan respon terhadap semua
zat asing yang masuk ke dalam tubuh. Pada beberapa orang yang memiliki
faktor predisposisi, respon imun yang terjadi justru berlebihan, sehingga
membahayakan tubuh sendiri. Suatu respon imun yang berlebihan ini adalah
reaksi hipersensitivitas atau dikenal dengan istilah alergi (Paul, 2008).
Penyakit alergi dapat memberikan dampak buruk berupa penurunan
kualitas hidup, besarnya biaya pengobatan, dan terjadinya ko-morbiditas.
Alergi juga dapat mempengaruhi kemampuan belajar pada anak-anak, hal ini
diketahui setelah terungkap bahwa alergi bisa mengganggu fungsi otak.
Gangguan fungsi otak ini menimbulkan ganguan perkembangan dan perilaku
pada anak seperti gangguan konsentrasi, gangguan emosi, keterlambatan
bicara, bahkan autisme (Rao et al, 2010).
Prevalensi alergi di seluruh dunia mengalami peningkatan secara
dramatis baik di negara maju maupun di negara berkembang. Peningkatan
kasus alergi selama dua dekade terakhir ini terutama terjadi di kalangan anakanak. Berdasarkan data statistik World Health Organization (WHO),
diperkirakan sekitar 30-40% populasi di seluruh dunia menderita penyakit
yang termasuk reaksi hipersensitivitas, seperti asma, alergi makanan, alergi
obat, rinokonjungtivitis, dermatitis atopik dan reaksi anafilaksis (Pawankar et
al, 2012).

American Academy of Allergy Asthma and Immunology (AAAAI)


memperkirakan sekitar 50 juta penduduk Amerika Serikat mengalami
beberapa bentuk gejala penyakit alergi. Prevalensi alergi makanan pada anakanak dibawah usia 18 tahun di Amerika Serikat meningkat sebanyak 18% dari
tahun 1997 hingga 2008 (Nowak-Wgrzyn & Sampson, 2011). Berdasarkan
hasil penelitian Global Initiative for Asthma (GINA), penyakit asma
mengenai sekitar 300 juta orang di seluruh dunia dan prevalensinya terus
meningkat terutama di negara berkembang (Sveum et.al, 2012).
Di Indonesia, beberapa peneliti memperkirakan bahwa peningkatan
kasus penyakit alergi mencapai 30 persen tiap tahunnya (PERSI, 2012).
Peningkatan prevalensi alergi beberapa dekade terakhir terutama pada
masyarakat dengan sosial ekonomi tinggi dan di daerah industri. Penelitian di
wilayah DKI Jakarta menemukan prevalensi alergi pada anak usia kurang dari
14 tahun sebesar 25%. Khusus untuk rinitis alergi di Indonesia prevalensinya
mencapai 1,5-12,4% dan cenderung terus meningkat setiap tahunnya
(Fadhlia, 2012). Hasil penelitian pada anak sekolah dasar di Semarang
didapatkan jumlah kasus alergi berturut-turut meliputi asma sebanyak 8,1%,
rinitis alergik sebanyak 11,5% dan eksim sebanyak 8,2% (Paramita, 2011).
Reaksi Alergi terjadi saat adanya paparan ulang terhadap suatu alergen
tertentu, misalnya beberapa jenis makanan. Alergen yang masuk ke dalam
tubuh akan diproses oleh Antigen Presenting Cell (APC), kemudian APC
akan menginduksi aktivasi Limfosit T. Limfosit T kemudian mengaktivasi Sel
T Helper 2 (Th2) untuk menghasilkan sitokin (Fulkerson & Rothenberg,
2013). Sitokin yang dihasilkan Limfosit Th2 (terutama IL-4) apabila

berinteraksi dengan Limfosit B, maka Limfosit B akan mengalami proliferasi


dan diferensiasi menjadi sel plasma yang memproduksi IgE, selain itu sitokin
juga menstimulasi produksi sel mast, basofil dan eosinofil (zdemir, 2013).
Kadar eosinofil dalam darah dapat dijadikan indikator untuk
mendukung diagnosis penyakit alergi, dalam hal ini kadar eosinofil total
biasanya lebih tinggi dari 450 eosinofil/L. Kadar eosinofil juga dapat
digunakan untuk mengamati efektifitas terapi yang telah diberikan (Sudewi,
2009).
Penatalaksanaan alergi saat ini masih dititikberatkan pada konsep
penghindaran faktor risiko, sehingga orang yang menderita alergi cukup berat
harus selalu menjalani penghindaran terhadap alergen yang pada akhirnya
membuat hidupnya tidak terasa aman dan nyaman. Oleh karena itu,
diperlukan adanya pengembangan metode pemecahan masalah alergi yang
lebih efektif dan tidak menimbulkan masalah lain yang mengganggu
kehidupan penderita alergi.
Terapi

untuk

mengatasi

reaksi

alergi

yang

saat

ini

sedang

dikembangkan adalah dengan upaya perbaikan homeostasis sistem biologis


penderita alergi. Reaksi alergi terjadi karena respon imun Th2 terlalu
berlebihan sehingga arah terapi ditujukan pada imunoregulasi keseimbangan
respon imun. Keseimbangan pada respon imun Th1 dan Th2 dapat mengatasi
masalah reaksi alergi yang terjadi (Castellazzi et al., 2013).
Salah satu upaya perbaikan keseimbangan sistem imun yaitu dengan
menggunakan probiotik. Konsep probiotik dalam pencegahan reaksi alergi
didasari oleh adanya induksi regulasi dari respon imunologik yang dimulai

dari sistem innate immunity kemudian mengarah pada pengembalian


keseimbangan Th1 dan Th2 (Jain et al, 2010).
Definisi WHO menyebutkan bahwa probiotik adalah mikroorganisme
hidup yang dapat memberi keuntungan bagi kesehatan tubuh ketika diberikan
dalam jumlah yang adekuat. Berbagai jenis produk probiotik telah berhasil
dikembangkan, salah satu produk probiotik lokal yang memiliki potensi untuk
dikembangkan adalah dadih. Makanan khas Sumatera Barat ini dibuat dari
fermentasi susu kerbau menggunakan bambu dan daun pisang secara
tradisional (Usmiati dan Risfaheri, 2013).
Dadih mengandung berbagai bakteri probiotik yang memiliki manfaat
baik untuk kesehatan tubuh apabila dikonsumsi. Beberapa strain probiotik
yang telah diidentifikasi dari dadih adalah Lactobacillus sp., Lactococcus sp.,
dan Leuconostoc sp. (Surono, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Balai
Penelitian Ternak di Sumatera Barat menunjukkan bahwa bakteri probiotik
yang dominan ditemukan dalam dadih adalah Lactobacillus sp. (Usmiati,
2011).
Beberapa penelitian yang menunjukkan berbagai manfaat dari probiotik
dadih diantaranya adalah dapat menekan kadar kolesterol dalam darah, dapat
menekan proses karsinogenesis, dadih juga terbukti dapat meningkatkan
kemampuan sistem imunitas tubuh, memiliki sifat antioksidan dan antibakteri
(Chalid dan Hartiningsih, 2013).
Berdasarkan pemaparan latar belakang permasalahan diatas, penulis
menyadari pentingnya dilakukan penelitian mengenai potensi probiotik dadih
dalam mencegah terjadinya reaksi alergi. Pada penelitian ini penulis

melakukan pengamatan kadar eosinofil darah tepi pada mencit yang dijadikan
model alergi.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimanakah pengaruh probiotik dadih dalam menekan reaksi alergi
melalui pengamatan jumlah eosinofil apus darah tepi pada mencit model
alergi?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh probiotik
dadih dalam menekan reaksi alergi melalui pengamatan jumlah eosinofil apus
darah tepi pada mencit model alergi.

1.3.2 Tujuan Khusus


1.

Mengetahui jumlah eosinofil apus darah tepi pada mencit yang

2.

diinduksi alergen ovalbumin.


Mengetahui potensi imunoregulasi probiotik dadih terhadap reaksi

3.

alergi melalui pengamatan jumlah eosinofil apus darah tepi.


Membandingkan jumlah eosinofil apus darah mencit model alergi
yang diberi probiotik dadih dengan kelompok kontrol.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Bagi klinisi

Menambah pengetahuan tentang manfaat probiotik dadih dalam


menekan reaksi alergi melalui pengamatan jumlah eosinofil apus darah tepi,
sehingga dapat dijadikan acuan untuk mempertimbangkan pemberian
probiotik dadih bagi pasien alergi.

1.4.2 Bagi ilmu pengetahuan


1. Memberikan kontribusi bagi ilmu pengetahuan mengenai pengaruh
probiotik dalam menekan reaksi alergi melalui pengamatan jumlah
eosinofil apus darah tepi.
2. Dapat dijadikan sebagai data dasar bagi peneliti lain untuk melakukan
penelitian lebih lanjut mengenai efek probiotik dadih.
1.4.3 Bagi masyarakat
Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai salah satu
manfaat dari konsumsi probiotik dadih untuk menekan reaksi alergi, dengan
harapan meningkatkan kesadaran dan minat masyarakat untuk mengkonsumsi
makanan tradisional dadih yang memiliki banyak manfaat untuk kesehatan
tubuh.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Alergi
Pada tahun 1906 seorang ilmuwan bernama Clemens von Pirquet untuk
pertama kalinya memperkenalkan istilah alergi. Penggunaan istilah tersebut
dimaksudkan untuk menjelaskan suatu perubahan reaksi host apabila
terpapar dengan suatu bahan yang sama untuk yang kedua kalinya atau lebih
(Ring, 2014). Reaksi alergi dapat terjadi hampir di semua jaringan atau organ
dalam tubuh, adapun manifestasi klinis yang muncul tergantung pada organ
target terjadinya reaksi. Manifestasi klinis alergi diantaranya adalah asma,
reaksi anafilaksis, dermatitis atopik, rinitis alergi, dan urtikaria. Asma dan
reaksi anafilaksis termasuk gejala klinis yang paling parah dan dapat
mengancam hidup. Alergi makanan dan dermatitis atopik lebih sering terjadi
pada anak-anak dan berisiko menjadi rhinitis alergi bahkan asma dikemudian
hari apabila reaksi alergi terus berlanjut (Christanto & Oedono, 2011).
2.1.1. Imunopatologi Alergi
Proses terjadinya reaksi alergi melalui beberapa tahapan aktivasi sel-sel
imunokompeten, aktivasi sel-sel struktural, aktivasi dan rekruitmen sel-sel
mast, eosinofil dan basofil, reaksi mediator dengan organ target dan tahap
timbulnya gejala klinis. Alergen yang masuk ke dalam tubuh akan diproses
oleh APC. Peptida dari alergen yang dipresentasikan oleh APC akan
menginduksi aktivasi Limfosit T. Aktivasi Limfosit T oleh APC yang telah

memproses alergen akan mengaktivasi Limfosit TH2 untuk memproduksi


sitokin-sitokinnya.
Sel-sel dendritik (DCs) memiliki Toll-like receptor (TLR) yang
berperan sebagai kontrol specialized pattern recognition receptors (PRRs) atas
respon innate immunity akan menentukan respon imun adaptif yang timbul
apakah Th1, Treg atau Th2. Limfosit Th1 memproduksi interleukin-2 (IL-2),
IFN- dan TNF-, sedangkan Limfosit Th2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, IL9, IL-10, IL-13, dan GM-CSF (granulocyte/macrophage colony-stimulating
factor). Limfosit Th yang baru diaktifkan alergen akan berfenotip Th2. Sitokin
yang dihasilkan Th2 terutama IL-4 akan mensupresi perkembangan Th1,
sedangkan produksi sitokin Th1 terutama TNF- akan mensupresi
perkembangan Th2 (Nguyen, 2009).
Bila sitokin yang dihasilkan Limfosit Th2 berinteraksi dengan Limfosit
B, maka Limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang
memproduksi IgE. Sitokin yang dihasilkan Th2 menstimulasi produksi sel
mast, basofil dan eosinofil. Interaksi antara alergen, sel mast dan IgE
menghasilkan degranulasi sel mast. Degranulasi sel mast melepaskan mediator
histamin. Histamin yang dilepaskan sel mast ditangkap reseptor histamin di
target organ. Bila terjadi interaksi histamin dengan reseptornya pada target
organ, maka reaksi alergi akan terjadi (Buelow, 2015).
Reseptor H1-histamin mempunyai peran yang lebih luas dalam proses
radang daripada sekedar mediator yang menyebabkan alergi. Reseptor H2histamin mempunyai peran dalam terjadinya rasa gatal dan nyeri pada kulit
serta peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi perifer, sedangkan reseptor

H3-histamin meningkatan pelepasan neurotransmitter seperti histamin,


norepinfrin, asetilkolin, peptida dan 5-hidroksitriptamin.
Secara ringkas mekanisme terjadinya alergi ditampilkan dalam Gambar
2.1, yaitu pada individu yang memiliki predisposisi alergi, paparan pertama
alergen menimbulkan aktivasi sel-sel allergen-specific T helper 2 dan sintesis
IgE, yang dikenal sebagai sensitisasi alergi. Paparan alergen selanjutnya akan
menimbulkan penarikan sel-sel inflamasi dan aktivasi serta

pelepasan

mediator-mediator, yang dapat menimbulkan early (acute) allergic responses


(EARs) dan late allergic responses (LARs). Pada EAR, dalam beberapa
menit kontak dengan alergen, sel mast yang tersensitisasi IgE mengalami
degranulasi,

melepaskan

mediator

pre-formed

dan

mediator

newly

synthesized pada individu sensitif (Owen et al., 2013; Paul & Zhu, 2010).

Gambar 2.1 Mekanisme Alergi (Owen et al., 2013).

Mediator-mediator sel mast tersebut meliputi histamin, leukotrien dan


sitokin yang meningkatkan permeabilitas vaskuler, kontraksi otot polos dan
produksi mukus. Kemokin yang dilepas sel mast dan sel-sel lain merekrut
sel-sel inflamasi yang menyebabkan LAR, yang ditandai

dengan influks

eosinofil dan sel-sel Th2. Pelepasan eosinofil menimbulkan

pelepasan

mediator pro-inflamasi, termasuk leukotrien-leukotrien dan protein-protein


basik (cationic proteins, eosinophil peroxidase, major basic

protein dan

eosinophil-derived neurotoxin), dan mereka merupakan sumber dari IL-3, IL5, IL-13 dan GM-CSF (Owen et al., 2013; Paul & Zhu, 2010).
2.1.2. Manifestasi Klinis dan Diagnosis Penyakit Alergi
Berdasarkan pada konsep terbaru mengenai penyakit alergi, dikatakan
bahwa penyakit alergi merupakan suatu penyakit sistemik dengan manifestasi
klinis pada beberapa organ target tergantung jenis alergi yang dialami. Oleh
karena itu, sangat memungkinkan apabila penyakit ini memiliki manifestasi
klinis pada organ hidung, telinga dan tenggorok. Kasus alergi makanan
misalnya dapat mengenai berbagai system organ dalam tubuh seperti kulit,
saluran napas, hidung, tenggorok, telinga, gastrointestinal, kardiovaskuler,
sampai yang terberat berupa syok anafilaktik (Christanto & Oedono, 2011).
Kasus alergi, khususnya terhadap beberapa jenis makanan dapat dibagi
menjadi dua jenis yaitu dengan keterlibatan IgE dan tanpa keterlibatan IgE.
Pada reaksi ini, terdapat penetrasi molekul antigen ke dalam tubuh dan
merangsang reaksi imunologik. Reaksi ini tidak timbul saat kontak pertama
dengan antigen, tetapi gejala akan timbul pada pajanan yang keduakali dengan
alergen yang sama. Beberapa manifestasi klinis yang bisa timbul seperti

10

bronkokonstriksi dan pengendapan kompleks imun yang akan menimbulkan


keluhan urtikaria. Jika target organnya saluran cerna, akan terjadi kolik
abdominal atau diare. Apabila kompleks ini mengendap di hidung, akan
timbul gejala kongesti atau rinorea (Christanto & Oedono, 2011; Robbins,
2007).
Diagnosis penyakit alergi dapat ditegakkan melalui anamnesis gejala
yang dialami dan kemungkinan alergen penyebab, pemeriksaan fisik untuk
melihat gejala alergi yang muncul dan apabila masih terdapat keraguan harus
dilakukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan
tersebut dapat secara in vivo ataupun in vitro (Sudewi, 2009).
Pemeriksaan in vitro yang dapat dilakukan misalnya adalah hitung
eosinofil total. Pemeriksaan hitung eosinofil total perlu dilakukan untuk
menunjang diagnosis dan mengevaluasi pengobatan penyakit alergi. Penderita
alergi dapat mengalami eosinofilia apabila dijumpai jumlah eosinofil darah
lebih dari 450 eosinofil/L. Pemeriksaan in vitro lainnya adalah hitung
eosinofil dalam secret, hitung kadar serum IgE total dan kadar IgE spesifik.
Sedangkan pemeriksaan in vivo pertama adalah uji kulit yang dapat dilakukan
yang secara intradermal, uji tusuk (skin prick test/SPT) maupun uji gores
(scratch test). Selain uji kulit, juga bisa dilakukan uji provokasi melalui
beberapa metode yaitu dengan uji provokasi bronkial, uji provokasi makanan,
uji provokasi serum dan uji tempel (Sudewi, 2009).
Berbagai pemeriksaan diatas memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing sehingga diperlukan adanya kombinasi dari beberapa metode

11

agar dapat memperoleh diagnosis yang tepat sehingga dapat menghindari


tatalaksana yang undertreatment maupun overtreatment.
2.1.3. Tatalaksana Penyakit Alergi
Berbagai substansi atau zat yang mampu menimbulkan reaksi alergi
dikenal sebagai alergen. Alergi dapat muncul terhadap alergen udara (airborne
allergens) seperti debu rumah, tungau, jamur dan serbuk sari. Walaupun
penyakit alergi bersifat meluas dan sering terjadi, penyakit alergi masih dapat
disembuhkan dan gejalanya dapat dikontrol (Lin et al, 2013). Tatalaksana
terhadap alergi disesuaikan dengan kondisi individu yang menderita, seorang
dokter yang mengobati pasien alergi dapat merekomendasikan satu atau lebih
dari tiga metode pengobatan berikut:
a. Penghindaran Alergen
Yaitu metode dengan usaha untuk mengeliminasi atau mengurangi
paparan terhadap substansi yang menjadi alergen. Semakin sedikit
substansi alergen yang terpapar maka akan semakin nyaman kondisi
penderita dan akan semakin sedikit pengobatan yang diperlukan.
b. Medikasi
Pengobatan dengan menggunakan farmakoterapi dalam berbagai bentuk
obat untuk mencegah gejala alergi. Walaupun metode ini sama sekali
tidak mengeliminasi penyebab alergi, tetapi pengobatan ini sangat
dibutuhkan saat muncul gejala alergi terutama pada asma atau rhinitis
alergi yang parah.

12

c. Imunoterapi
Metode pengobatan alergi dengan cara menginjeksikan substansi
alergen untuk menimbulkan pengaruh toleransi sistem imun terhadap
alergen tersebut. Seorang dokter pertamakali akan menginjeksikan
alergen dengan dosis yang sangat sedikit, kemudian secara perlahan dan
gradual meningkatkan dosis, sehingga mengurangi hipersensitivitas
penderita alergi (Lin et al, 2013).

2.2 Eosinofil
Pada tahun 1879, Paul Enrich melaporkan penemuannya mengenai
subtipe baru dari leukosit darah melalui pewarnaan eosin dan kemudian
menamainya eosinofil. Komponen dasar yang teridentifikasi saat diwarnai
adalah granula eosinofil sebagai major basic protein (MBP), eosinophil
cationic protein (ECP), eosinophil peroxidase (EPO), dan eosinophil-derived
neurotoxin (EDN) (Blanchard & Rothenberg, 2009).
Eosinofil termasuk salah satu sel darah putih (leukosit) dalam sistem
sirkulasi, secara umum leukosit memiliki rupa bening dan tidak berwarna,
bentuknya lebih besar dari sel darah merah, tetapi jumlah sel darah putih
lebih sedikit. Diameter lekosit sekitar 12-14 m. Batas normal jumlah lekosit
berkisar 4.000-10.000/mm darah. Lekosit di dalam tubuh berfungsi untuk
mempertahankan tubuh terhadap bendabenda asing (foreign agents)
termasuk kumankuman penyebab penyakit infeksi (Shamri et al, 2011).

13

2.2.1. Morfologi dan Fisiologi Eosinofil


Eosinofil adalah granulosit dengan inti yang terbagi 2 lobus dan
sitoplasma bergranula kasar, refraktil dan berwarna merah tua oleh zat warna
yang bereaksi asam yaitu eosin. Walaupun mampu melakukan fagositosis
eosinofil tidak mampu membunuh kuman (Rosenberg et al, 2013).
Struktur dari eosinofil matur yang terlihat di mikroskop cahaya maupun
mikroskop electron normalnya didominasi oleh nucleus bilobus (dua lobus)
dan granul yang kasar atau besar. Sebagian besar nukleus memiliki lokasi
eksentrik dan memiliki nukleoli/anak inti. Jumlah kompleks golgi dan
retikulum endoplasma kasar berkurang dengan cepat setelah pembentukan
granula selesai, yaitu pada saat fase myelosit. Mitokondria tetap ada pada
eosinophil matur dimana mengandung granula halus baik primer maupun
sekunder, partikel glikogen, lipid dan struktur vesikotubular (Dyer et.al,
2008).

Gambar 2.2 Morfologi eosinofil (Dyer et.al, 2008).

14

2.3 Probiotik
Probiotik merupakan mikroorganisme hidup yang mampu memberikan
efek menguntungkan bagi kesehatan hostnya apabila dikonsumsi dalam
jumlah adekuat. Efek yang menguntungkan dari probiotik adalah
memperbaiki keseimbangan mikroflora intestinal pada saat masuk ke dalam
saluran pencernaan. Istilah "probiotik" diperkenalkan oleh Lilly dan Stillwell
pada tahun 1965 sebagai nama bahan yang dihasilkan oleh mikroba yang
mendorong pertumbuhan mikroba lain (FAO, 2006).

Probiotik dikonsumsi dalam bentuk pangan tertentu, biasanya


diaplikasikan pada pembuatan produk pangan olahan seperti; yogurt, keju,
minuman penyegar, es krim, yakult, permen dan yogurt beku. Jumlah
minimal strain probiotik yang terkandung dalam produk makanan adalah
sebesar 106 CFU/g atau jumlah strain probiotik yang harus dikonsumsi setiap
hari sekitar 108 CFU/g, tujuannya adalah untuk mengimbangi kemungkinan
penurunan jumlah bakteri probiotik pada saat berada dalam jalur pencernaan
(Puryana, 2011).
Food and Agriculture Organization/World Health Organization
menyebutkan bahwa mikroba probiotik selain mampu bertahan melewati
saluran pencernaan tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk
berkembang biak dalam usus. Mikroba probiotik harus tahan terhadap cairan
lambung dan dapat tumbuh dalam cairan empedu yang terdapat dalam
saluran

pencernaan,

atau

dikonsumsi

dalam

jalur

makanan

yang

memungkinkan untuk bertahan hidup melintasi saluran pencernaan dan


terkena paparan empedu. Probiotik juga harus mampu menempel pada

15

permukaan

enterosit,

mampu

membentuk

kolonisasi

pada

saluran

pencernaan, mampu menghasilkan zat anti mikroba (bakteriosin), dapat


berkembang

biak

dengan

baik,

dan

memberikan

pengaruh

yang

menguntungkan kesehatan manusia. Hal yang penting lainnya adalah tidak


bersifat patogen dan aman jika dikonsumsi. Strain probiotik juga harus tahan
dan tetap hidup selama proses pengolahan makanan dan penyimpanan,
mudah diaplikasikan pada produk makanan, dan tahan terhadap proses
psikokimia pada makanan (Puryana, 2011).

2.3.1

Manfaat probiotik
Probiotik

telah

dimanfaatkan

untuk

penanggulangan

penyakit

gastroenteritis seperti diare (Collado et al., 2009), menstimulasi sistem


kekebalan tubuh (Isolauri and Salminen,

2008), menurunkan kadar

kolesterol (Lee et al., 2010), pencegahan kanker kolon dan usus (Liong,
2008), penanggulangan dermatitis atopik pada anak-anak (Torii et al., 2010),
menanggulangi penyakit irritable bowel syndrome (Lyra et al., 2010),
penatalaksanaan alergi (Vanderhoof, 2008), pencegahan dan penanganan
penyakit infeksi
Manfaat probiotik bagi kesehatan tubuh dapat melalui tiga mekanisme
yaitu: (1) fungsi protektif, kemampuannya untuk menghambat patogen dalam
saluran pencernaan. Terbentuknya kolonisasi probiotik dalam saluran
pencernaan akan mengakibatkan kompetisi nutrisi dan lokasi adhesi
(penempelan) antara probiotik dan bakteri lain, khususnya patogen.
Pertumbuhan probiotik juga akan menghasilkan berbagai komponen anti

16

bakteri (asam organik, hidrogen peroksida, dan bakteriosin yang mampu


menekan pertumbuhan patogen); (2) fungsi sistem imun tubuh, yaitu dengan
peningkatan sistem imun tubuh melalui induksi pembentukan IgA, aktivasi
makrofag, modulasi profil sitokin, serta menginduksi hyporesponsiveness
terhadap antigen yang berasal dari pangan.; (3) fungsi metabolit probiotik,
yaitu metabolit yang dihasilkan oleh probiotik, termasuk kemampuan
probiotik mendegradasi laktosa di dalam produk susu terfermentasi, dapat
dimanfaatkan oleh penderita intoleransi laktosa (Puryana, 2011).
2.3.2

Pengaruh probiotik terhadap reaksi alergi


Penelitian yang dilakukan Widuri & Suryani (2011) membuktikan

bahwa suplementasi Lactobacillus casei L shirota strain menurunkan kadar


IgE pada penderita rhinitis alergi. Alergi merupakan bentuk penyakit Th2
yang upaya perbaikannya memerlukan pengembalian host pada kondisi Th1Th2 yang seimbang. Pemberian probiotik ditujukan pada imunomodulasi
respons imun untuk menyeimbangkan respons imun Th1 dan Th2.
Mekanisme imunoregulasi dari probiotik diduga melalui kemampuan
probiotik untuk menginduksi perkembangan sel T Regulator (T Reg),
kemudian sel T Reg menghasilkan beberapa sitokin yang menekan proliferasi
sel Th2 yang berlebihan. Perbaikan homoestasis sistem biologis penderita ini
pada akhirnya dapat mencegah reaksi alergi (Aldi, 2009).
Probiotik memiliki kemampuan sebagai aktivator yang kuat untuk
sistem innate immunity karena mempunyai molekul yang spesifik pada
dinding selnya. Dalam mikrobiologi, molekul-molekul spesifik tersebut
dikenal sebagai pathogen-associated molecular patterns (PAMPs). Molekul-

17

molekul spesifik (PAMPs) dikenali oleh reseptor-reseptor spesifik (specific


pattern recognition receptors, PRRs). Salah satu PAMPs yang ada pada
probiotik adalah lipoteichoic acid (LTA). Lipoteichoic acid merupakan
molekul yang secara biologis aktif, merupakan karakteristik dari bakteri gram
positif dan mempunyai dampak biologis (misalnya dalam induksi produksi
sitokin) yang sama dengan LPS (Jrvelinen & Miettinen, 2001 dalam
Endaryanto, 2006).

Gambar 2.3 Mekanisme imunoregulasi oleh probiotik di intestinal (Oettgen and


Geha, 2003).
Toll-like receptor signal (TLRs) adalah PRRs (pattern recognition
receptors) mamalia yang berfungsi sebagai sinyal transduser yang
berhubungan dengan CD-14 untuk membantu sel host mengenali patogen
serta melakukan inisiasi kaskade sinyal. TLR mampu menginduksi respons
imun baik ke arah Th1 maupun T Regulator. TLR-2 dan TLR-4 diketahui
mempunyai peran penting dalam polarisasi respons imun oleh paparan

18

mikroba. Jadi konsep probiotik pada pencegahan alergi didasari pada induksi
aktif dari respon imunologik yang dimulai dari sistim imun innate dan
mengarah pada pengembalian host pada kondisi Th1-Th2 yang seimbang
(Endaryanto, 2006).

2.4

Dadih
Dadih atau Dadiah dalam bahasa minang merupakan makanan khas
dari Sumatera Barat, produk fermentasi susu kerbau ini diproses secara
tradisional sehingga proses fermentasi terjadi secara alami. Dari hasil
penelitian telah diketahui bahwa bakteri probiotik yang ada dalam dadih
berasal dari bambu, daun pisang dan susu kerbau itu sendiri (Akuzawa &
Surono, 2002).

Gambar 2.4 Probiotik dadih murni (A) dan produk ampiang dadiah (B)
dokumentasi pribadi

19

Terdapat tiga hal pokok dalam proses pembuatan dadih yaitu persiapan
bambu, pemerahan dan proses terjadinya dadih. Bambu yang digunakan
adalah jenis bamboo gombong (Gigantochloa verticilate) dan bambu ampel
(Bambusa vulgaris). Jenis bambu tersebut dipilih karena rasanya pahit
sehingga tidak disukai semut. Selanjutnya dadih ditutup daun talas, daun
pisang, plastik maupun tanpa penutup. Dadih terbentuk karena proses
penggumpalan susu kerbau yang disebabkan oleh adanya asam-asam yang
dihasilkan dari perubahan karbohidrat dalam susu kerbau oleh mikroba
tertentu (Sunarlim, 2009).
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa strain bakteri probiotik dalam
dadih didominasi oleh L. plantarum, serta bakteri gram positif lainnya berupa
L. brevis, S. agalactiae, Bacillus cereus, dan S. uberis, sedangkan kelompok
bakteri gram negatif yang ditemukan yaitu Eschericia coli dan Klebsiela sp
yang dilakukan (Sirait dan Setiyanto, 1995).
2.4.1

Kandungan Gizi Dadih


Nutrisi yang terkandung dalam dadih bervariasi di setiap daerah

produksinya. Dadih mengandung protein tinggi dengan asam amino esensial


yang cukup lengkap, lemak, kalsium, serta vitamin B dan K yang terbentuk
selama proses fermentasi. Dadih yang berkualitas baik adalah berwarna
putih, konsistensi menyerupai yoghurt dan mempunyai aroma khas susu
asam. Komposisi nutrisi dadih yaitu memiliki kadar air (82,10%), protein
(6,99%), lemak (8,08%), keasaman (130,5oD) dan pH 4,99 (Usmiati et al.,
2011).

20

Dadih asal Kabupaten Agam dan Solok, Sumbar mengandung protein


dan lemak relatif lebih tinggi dibanding yogurt susu sapi, sehingga kadar
proteinnya 4,08%, lemak 2,61%. Dadih mengandung 16 jenis asam amino
dari 22 asam amino yang ada di alam. Dengan demikian dadih mengandung
berbagai jenis asam amino esensial dan non esensial dalam jumlah yang
cukup banyak (Sunarlim, 2009).

2.4.2

Manfaat Dadih Bagi Kesehatan


Dadih tebukti mengandung Bakteri Asam Laktat (BAL) yang

berpotensi sebagai probiotik dan berkhasiat terapeutik pada tubuh karena


dapat memperbaiki keseimbangan mikroflora dalam saluran pencernaan.
Efek menguntungkan yang dihasilkan BAL disebabkan metabolit yang
dihasilkannya dapat menekan pertumbuhan bakteri patogen enterik,
menurunkan

kolesterol,

bersifat

antimutagenik,

antikarsinogenik,

antivaginitis, memperbaiki imunitas tubuh, mencegah sembelit, serta


memproduksi vitamin B dan bakteriosin (Usmiati & Risfaheri, 2013; Chalid
& Hartiningsih, 2013).
Protein yang terdapat dalam dadih dapat membantu pertumbuhan dan
perbaikan sel-sel yang rusak termasuk untuk penambahan tinggi vili usus
yang berpengaruh terhadap proses absorpsi makanan. Teori tersebut
dibuktikan oleh penelitian yang menyimpulkan bahwa pemberian probiotik
pada mencit yang menderita diare mampu mengurangi diare yang dideritanya
dan juga dapat memicu pertumbuhan vili usus yang rusak akibat bakteri
patogen penyebab diare (Sunaryanto & Marwoto, 2013).

21

Pemanfaatan dadih sudah tidak asing di beberapa daerah sentra


produksi dadih di Sumatera Barat yang terdapat di 5 kabupaten yaitu: Kab.
Agam (Kodya Bukittinggi), Kab. 50 kota, Kab. Solok, Kab. Tanah Datar, dan
Kab. Sawah Lunto Sijunjung. Kualitas dadih dari ke lima kabupaten ini
memiliki mutu yang beragam terutama dalam total asam dan jumlah total
bakteri. Nilai total asam tertinggi terdapat di Kab. 50 Kota yaitu 1,61% dan
yang terendah di Kab. Agam dan Tanah Datar berturut-turut 1,21% dan
1,25% .
Selain untuk dikonsumsi, dadih diyakini masyarakat awam dapat
menyembuhkan berbagai penyakit seperti demam dan kurang nafsu makan
sehingga sering disuguhi untuk orang yang baru pulih dari sakit. Selain itu,
dadih juga diyakini dapat membantu meningkatkan fertilitas (Usmiati &
Risfaheri, 2013).

22

BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual

Sel T0

Sel Dendritik

Ovalbumin

Sensitisasi alergen

APC Intestinal

Sel T0

Sel T Reg

Intraperitoneal

Dadih

Sel TH2
IL-9

IL-4

IL-5

Sel B
Sel Mast

Ig E

Eosinofil

Raksi Alergi
Keterangan :
= Variabel diteliti

= Menghambat

= Variabel tidak diteliti

3.2 Hipotesis Penelitian


Terdapat pengaruh probiotik dadih terhadap jumlah eosinofil darah tepi
pada mencit yang diinduksi alergen ovalbumin.

23

BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Rancangan Penelitian


Jenis penelitian ini adalah eksperimental dengan menggunakan rancangan
Randomized Post Test Only Control Group Design.
4.2 Waktu dan Tempat
Pemelihraan dan perlakuan hewan coba dilakukan di Laboratorium Hewan
Fakultas

Kedokteran

Universitas

Andalas.

Pemeriksaan

kadar

eosinofil

menggunakan metode hitung jenis leukosit setelah diinduksi alergi dan diberikan
probiotik dadih dilakukan di Laboratorium Sentral Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas.
Penelitian ini berlangsung selama 28 hari, dengan rincian waktu adaptasi
selama 7 hari dan pemberian probiotik dadih termasuk induksi alergi selama 21
hari. Pelaksanaan penelitian dimulai pada Maret hingga November 2015 mulai
dari penyusunan proposal hingga menyelesaikan penelitian.

4.3 Populasi dan Sampel


Populasi penelitian ini adalah mencit putih jantan (Mus musculus) yang
berumur 6-8 minggu, dengan berat badan berkisar 20-30 gram yang dibeli dari
Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas Andalas.
Teknik pengambilan sampel berdasarkan rumus (Frederer, 1963 dalam
Ukhrowi, 2011) :
{(t-1) (n-1)} 15

24

Dimana: n = jumlah hewan coba tiap kelompok


t = jumlah kelompok
banyak sampel yang dibutuhkan dalam kelompok:
{(4-1) (n-1)} 15
3n 15 + 3
n 6 6 ekor
Sampel ditambah satu ekor (20%) tiap kelompok untuk menghindari drop
out sehingga total sampel yang dibutuhkan untuk empat kelompok adalah 28
mencit.
4.3.1 Kriteria Inklusi
Mencit putih jantan (Mus musculus), dalam keadaan sehat, aktifitas dan
tingkah laku normal, berumur 6-8 minggu, dengan berat badan 20 - 30 gram.
4.3.2 Kriteria Eksklusi
Gerakan mencit tidak aktif, dan mencit mati dalam masa penelitian.

4.4 Variabel Penelitian


4.4.1 Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas

: Pemberian probiotik dadih dengan dosis 56 mg/20g

BB dan 112mg/20gBB; Induksi alergi menggunakan ovalbumin.


2. Variabel Terikat
: Proses reaksi alergi, dilihat melalui pengamatan
kadar eosinofil darah.
3. Variabel Kontrol
: Umur, berat badan, dan makanan mencit.
4.4.2 Definisi Operasional
1. Ovalbumin

25

Antigen yang berasal dari putih telur ayam dan berpotensi menimbulkan
reaksi alergi. Pada penelitian ini digunakan antigen dengan dosis terkecil
yang dapat menimbulkan reaksi alergi yang dapat diamati dengan mudah
yaitu 10% b/v (Aldi, 2009).
2. Kadar eosinofil darah
Darah mencit diambil dari ekor mencit, kemudian dilakukan hitung jumlah
sel eosinofil secara manual menggunakan hapusan darah dengan metode
pan-optic stainning Wright Giemsa. Hapusan darah dicat dengan Wright
dan sebagai pengganti buffer dipakai cat Giemsa yang telah diencerkan
dengan larutan penyangga, lalu diperiksa tiap zona hapusan darah dibawah
mikroskop dengan perbesaran 400x (Gandasoebrata, 2001). Jumlah
eosinofil dihitung rata-rata dari 5 lapang pandang.
3. Probiotik dadih
Makanan khas Sumatra Barat yang terbuat dari susu kerbau yang
difermentasikan selama 24-48 jam dalam suhu ruangan yang mengandung
bakteri Lactobacillus sebagai bakteri probiotik. Pada penelitian ini
diberikan dadih dengan dosis 56 dan 112 mg/20gBB pada hewan
percobaan (Dosis dadih ditentukan dengan perkiraan porsi orang dewasa
(70 kg) dalam satu hari yaitu sekitar 100-400 gram).

4.5 Bahan Penelitian


4.5.1. Hewan Coba dan Bahan untuk Pemeliharaan Hewan Coba

Dua puluh delapan (28) ekor mencit yang memenuhi kriteria inklusi
Pakan standar
Sekam
Alkohol 70%
Air

4.5.2. Bahan Pembuatan Sediaan Uji

26


Putih telur ayam ras
- Aquadest
NaCl fisiologis
- Dadih
Difenhidramin
4.5.3. Bahan Pemeriksaan Hitung Eosinofil
Cat Wright dan Giemsa
Darah tepi mencit yang diambil dari ekor
Aquades
4.6

Instrumen Penelitian

4.6.1. Instrumen untuk Pemeliharaan Hewan Coba

Kandang hewan coba


Tempat makan dan minum hewan coba
Timbangan digital

4.6.2. Instrumen untuk Induksi Alergi

Spuit 1 mL
Jarum suntik 27 G
Wadah Kecil

4.6.3. Instrumen untuk Pengambilan Darah Uji

Papan bedah
Minor Set
Jarum suntik 27 G
Spuit 1 mL
4.6.4. Instrumen untuk Pembuatan Preparat Slide Hitung Eosinofil
Rak pewarnaan
Object glass
Cover glass

Pipet tetes
Bak pewarnaan

4.6.5. Instrumen untuk Pemeriksaan Hitung Eosimofil


Mikroskop
Kamera digital
4.6.6. Instrumen Sanitasi dan Higiene
Sarung tangan (hand gloves)
Sabun cuci tangan antiseptik
Jas Laboratorium

Masker
Alkohol

27

4.6.7. Instrumen Pengumpulan data


Buku (catatan perlakuan hewan coba) dan Pena
Penggaris
4.7 Prosedur Penelitian
4.7.1 Pemeliharaan dan Perlakuan Hewan Percobaan
Semua mencit yang akan diberikan perlakuan sebelumnya diadaptasikan
selama 7 hari dengan lingkungannya. Selama adaptasi mencit ditimbang
diawal dan akhir dari adaptasi.
Mencit dibagi kedalam empat kelompok, dengan masing-masing
kelompok terdiri dari 7 ekor. Setiap kelompok diberi perlakuan yang berbeda,
dengan rincian :
Kelompok 1

: Kontrol positif yang hanya diinduksi alergen OVA

Kelompok 2

: Diinduksi alergen OVA dan diberi dadih dengan dosis 56


mg/20gBB

Kelompok 3

: Diinduksi alergen OVA dan diberi dadih dengan dosis 112


mg/20gBB

Kelompok 4

: Diinduksi alergen OVA dan diberi obat anti alergi


(difenhidramin) dengan dosis 1,625 mg/kgBB

Untuk semua kelompok perlakuan akan diberikan pakan standar dan minum
secara ad libitum setiap harinya.
4.7.2 Perencanaan Dosis
1. Dosis Antigen
Putih telur ayam (ovalbumin) dengan konsentrasi 10% b/v yang dilarutkan
dalam NaCl fisiologis 0,9%.

28

2. Dosis Larutan Uji


Dosis probiotik dadih yang digunakan adalah berbeda beda tiap kelompok
uji yaitu 56 dan 112 mg/20gBB.

4.7.3 Pembuatan Sediaan Uji


1. Pembuatan Larutan Uji
Larutan uji dengan dosis 56 dan 112 mg/20gBB dibuat dengan cara
mensuspensikan dadih dengan aquadest.
2. Larutan Antigen
Sebagai antigen digunakan putih telur ayam ras (ovalbumin) yang
dilarutkan dalam NaCl fisiologis 0,9% dengan konsentrasi 10% b/v
sebanyak 0,2 ml/20gBB.

4.7.4 Pengamatan Kadar Eosinofil Total Darah Tepi


1. Sensitisasi Hewan Percobaan
28 ekor mencit yang telah dikelompokkan secara acak disuntikkan secara
intraperitoneal dengan ovalbumin 0,2 ml/20gBB, pada hari ke-1 kemudian
diulangi lagi dengan penyuntikkan ovalbumin 0,2 ml/20gBB secara
subkutan pada hari ke-7 dan ke-14 (Aldi, 2009). Mencit yang sensitif
ditandai dengan warna merah pada tempat penyuntikan.
2. Hitung Jumlah Eosinofil
Pada hari ke-15 sampai hari ke-20 masing-masing kelompok uji diberikan
probiotik dadih secara oral dengan dosis 56 dan 112 mg/20gBB, sebagai

29

pembanding digunakan difenhidramin (Aldi, 2009). Pada hari ke-21


mencit diambil darahnya. Kemudian dilakukan pembuatan slide apus
darah tepi untuk dilakukan penghitungan kadar eosinofil darah tepi
dibawah mikroskop.
4.8 Pengolahan dan Analisis Data
Hasil pengamatan kadar eosinophil total pada hewan coba dicatat,
ditabulasi, dan dianalisis secara statistik menggunakan program SPSS 20
dengan interval kepercayaan 95% dan taraf signifikansi 0,05 (p = 0,05).
Analisis normalitas data (Shapiro-Wilks), dan uji One-Way ANOVA diikuti
uji post-hoc Tukey HSD dengan alternatif uji non parametric Kruskal-Wallis
diikuti uji post-hoc Mann-Whitney. Rerata (mean) dan simpangan baku
(standard deviation) untuk tiap kelompok dihitung dari data yang
didapatkan. Nilai yang didapat dari data hasil penelitian disajikan dalam
bentuk rerata standar deviasi (SD).
4.9 Etika Penelitian
Oleh karena pada penelitian ini digunakan mencit sebagai hewan coba,
maka sampel perlu dilakukan dengan layak, dengan cara penempatan pada
kandang yang dibersihkan tiap hari, cahaya yang cukup serta makanan dan
minuman sesuai kebutuhan.

4.10 Alur Kerja Penelitian


28 ekor mencit

Adaptasi selama 7 hari

30

Randomisasi mencit kedalam 4 kelompok pemberian perlakuan selama 21 hari

K-1
(Kontrol
Positif)

K-2
(Dadih
56 mg/kgBB)

K-4
(Kontrol
Pembanding)

K-3
(Dadih
112 mg/kgBB)

Sensitisasi secara intra peritoneal dengan OVA 0,2 ml/20gBB pada hari ke-1 kemudian diulangi
lagi secara subkutan pada hari ke-7 dan ke-14

Pemberian NaCl
fisiologis secara oral
pada hari ke-15sd 20

Pemberian dadih
secara oral pada hari
ke-15 sd 20

Pemberian difenhidramin
1,625 mg/kgBB secara oral
pada hari ke-15 sd 20

Pengambilan darah hewan coba dan pembuatan slide apus darah tepi pada hari ke 21.
Hitung jumlah eosinofil menggunakan mikroskop
Bagan 4.1 Rencana Kerja Penelitian

31

DAFTAR PUSTAKA
Akuzawa R and IS Surono, 2002. Fermented milks of Asia. in: encyclopedia of
dairy sciences. Academic Press Ltd., London, UK, pp. 1045-1048.
Aldi Y, Salman, 2009. Aktivitas skopoletin dari ekstrak etanol buah mengkudu
(Morinda citrifolia, L.) terhadap IgE, IL-4 dan IL-10 pada keadaan alergi.
http://repository.unand.ac.id. Diakses pada tanggal 16 Maret 2015.
Blanchard C, Rothenberg ME, 2009. Biology of the eosinophil. Adv Immunol
101: 81121.
Borchers AT, Selmi C, Meyers FJ, Keen CL, Gershwin ME, 2009. Probiotics and
immunity. J Gastroenterol 44:26-46.
Buelow

B,
2015.
Immediate
hypersensitivity
reaction.
http://emedicine.medscape.com/article/136217-overview#a0104. Diakses
pada tanggal 21 Agustus 2015.

Castellazzi AM, Valsecchi C, Caimmi S, Licari A, Marseglia A et.al, 2013.


Probiotics and Food Allergy. Italian Journal of Pediatrics, 39:47.
Chalid, Sri Y, Hartiningsih F, 2013. Potensi dadih susu kerbau fermentasi sebagai
antioksidan dan antibakteri. Prosiding Semirata FMIPA Universitas
Lampung, hal: 369-375.
Christanto A dan Oedono T, 2011. Manifestasi alergi makanan pada telinga,
hidung, dan tenggorok. CDK 187 38(6): 410 416.
Collado MC, E Isolauri, S Salmien, and Y Sanz, 2009. The impact of probiotic on
gut health. Curr Drug Metab 10(1):68-78.
Dyer KD, Caroline M Percopo, Zhihui X, Zhao Y, John Dongil K et.al, 2008.
Mouse and human eosinophils degranulate in response to PAF and
lysoPAF via a PAF-receptor independent mechanism: evidence for a
novel receptor. J Immunol 184(11): 63276334.
Endaryanto A, 2006. Prospek probiotik dalam pencegahan alergi melalui induksi
toleransi imunologis. http://penelitian.unair.ac.id. Diakses pada tanggal
15 Maret 2015.
Fadhlia, 2012. Hubungan rinitis alergi dan disfungsi tuba eustachius dengan
menggunakan timpanometri. Tesis Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara, Medan.
Food and Agriculture Organization (FAO), 2006. Probiotics in food: health and
nutritional properties and guidelines for evaluation. Paper ISSN 02544725.

32

Gandasoebrata R, 2001. Penuntun laboratorium klinik. Jakarta: Dian Rakyat.


Huriyati E, Budiman BJ, Octiza R, 2014. Peran kemokin dalam patogenesis rinitis
alergi. Jurnal Kesehatan Andalas 3(2).
Isolauri, E and S Salminen, 2008. Probiotics: use in allergic disorders: a nutrition,
allergy, mucosal immunology, and intestinal microbiota (NAMI)
Research Group Report. J. Clin. Gastroenterol 42 (2) : 91 96.
Jain S, Yadav H, 2010. Anti-allergic effects of probiotic Dahi through Modulation
of the Gut Immune Sistem . Turk J Gastroenterol 21 (3): 244-250.
Lee J, Y Kim, HS Yun, JG Kim, S Oh, and SH Kim, 2010. Genetic and proteomic
analysis of factors affecting serum cholesterol reduction by Lactobacillus
acidophilus A4. Appl. Environ. Microbiol 76(14): 4829-4835.
Lin, Sandra Y, Erekosima N, Suarez-Cuervo C, Ramanathan M et.al, 2013.
Allergen-specific immunotherapy for the treatment of allergic
rhinoconjunctivitis and/or asthma. Johns Hopkins University Evidencebased Practice Center Baltimore. Comparative Effectiveness Review No.
111.
Liong MT, 2008. Roles of probiotics and prebiotics in colon cancer prevention:
postulated mechanisms and in-vivo evidence. Int. J. Mol. Sci 9(5): 854863.
Lyra A, LK Krogius, J Nikkil, E Malinen, K Kajander, K Kurikka, R Korpela,
and A Palva, 2010. Effect of a multispecies probiotic supplement on
quantity of irritable bowel syndrome-related intestinal microbial
phylotypes. BMC Gastroenterol 10:1-10.
Nguyen QA, 2009. Allergic rhinitis. http://emedicine.medscape.com/article/
834281-overview. Diakses pada tanggal 24 Juni 2015.
Nowak-Wgrzyn and Sampson HA, 2011. Future therapies for food allergies. J
Allergy Clin Immunol 127(3): 558-73.
Oettgen HC and Geha RS, 2003. Regulation and biology of immunoglobulin e.
pediatric allergy. Principle and practice1st ed. St.Louis Mosby: 39-50.
Owen JA, Punt J, Stranford SA, Jones PP, 2013. Kuby Immunology seventh
edition. New York: W.H. Freeman and Company, hal 490.
zdemir , 2013. Mechanisms of preventative and therapeutic role of probiotics
in different allergic and autoimmune disorders. Open Journal of
Immunology 3(3): 103-118.
Paul WE, Zhu J, 2010. How are TH 2- type immune responses initiated and
amplified?. Nat Rev Immunol 10(4): 225-235.

33

Paul, William E, 2008. Fundamental immunology 6th edition. United States of


America: Lippincott Williams & Wilkins.
Paramita, Opy Dyah, 2011. Hubungan asma, rinitis alergik, dermatitis atopik
dengan IgE spesifik pada anak usia 6-7 tahun. Tesis Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro, Semarang.
Pawankar R, Bunnag C, Khaltaev N, Bousquet J, 2012. Allergic rhinitis and its
impact on asthma in asia pacific and the ARIA Update 2008. WAO
Journal 5:S212-S217.
Pawankar R, Canonica GW, Holgate ST, Lockey RF, 2012. WAO white book on
allergy 2011-2012: Executive Summary.
Puryana IGPS, 2011. Populasi Lactobacillusrhamnosus Skg34 dalam saluran
pencernaan dan pengaruhnya terhadap kadar kolesterol tikus putih
(Rattus novergicus). Tesis Universitas Udayana, Bali.
Pusat Data & Informasi PERSI, 2012. Setiap tahun, penderita alergi di indonesia
bertambah 30 persen. http://www.pdpersi.co.id. Diakses pada tanggal 24
Juni 2015.
Rao A, Minakshi, Koch, 2010. Food allergy investigations and its significance
inautism spectrum disorders. International Journal of Pharma and Bio
Sciences 1(1): 10-16.
Ring J, 2014. What is allergy. dalam: Global atlas of allergy. Published by
European Academy of Allergy and Clinical Immunology.
Robbins, 2007. Buku ajar patologi robbins Edisi 7. Jakarta: EGC, hal 126.
Rosenberg HF, Kimberly D, Dyer1, Paul S Foster, 2013. Eosinophils: changing
perspectives in health and disease. Nature Reviews/ Immunology 13(1):
922.
Shamri R, Xenakis, JJ Spencer, Lisa A, 2011. Eosinophils in innate immunity: an
evolving story. Cell Tissue Res 343(1): 5783.
Sirait CH dan H Setiyanto, 1995. Evaluasi mutu dadih di daerah produsen.
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan, Bogor hlm:
284280.
Sudewi NP, Kurniati N, Suyoko EMD, Munasir Z, Akib AAP, 2009. Berbagai
teknik pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis penyakit alergi. Sari
Pediatri 11(3): 174-8.
Sunarlim R, 2009. Potensi Lactobacillus, Sp asal dari dadih sebagai starter pada
pembuatan susu fermentasi khas indonesia. Buletin Teknologi
Pascapanen Pertanian, Vol. 5.

34

Sunaryanto R dan Marwoto B, 2012. Isolasi, identifikasi, dan karakterisasi bakteri


asam laktat dari dadih susus kerbau. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia
Vol. 14, No. 3: 228-233.
Surono I dan Usman P, 2009. In vivo antimutagenicity of dadih probiotic bacteria
towards Trp-P1. Asian-Aust. J. Anim. Sci 22(1): 119-123.
Sveum R, Bergstrom J, Brottman G, Hanson M, Heiman M, Johns K, et al, 2012.
Institute for Clinical Systems Improvement. Diagnosis and Management
of Asthma. Updated July 2012.
Torii S, A Torii, K Itoh, A Urisu, A Terada, T Fujisawa, et.al, 2010. Effects of Oral
Administration of Lactobacillus acidophilus L-92 on the Symptoms and
Serum Markers of Atopic Dermatitis in Children. Int. Arch. Allergy
Immunol 154(3): 236-245.
Ukhrowi U, 2011. Pengaruh pemberian ekstrak etanol umbi bidara upas
(Merremia mammosa) terhadap fagositosis makrofag dan produksi Nitrit
Oksida (NO) makrofag; studi pada mencit Balb/c yang diinfeksi
Salmonella typhimurium. Masters thesis, Diponegoro University,
Semarang.
Usmiati S, 2011. Karakteristik dadih susu sapi yang menggunakan starter bakteri
probiotik. JITV 16(2): 140-152.
Usmiati S dan Risfaheri, 2013. Pengembangan dadih sebagai pangan fungsional
probiotik asli sumatera barat. J. Litbang Pert 32(1): 20-29.
Vanderhoof JA, 2008. Probiotics in Allergy Management. J. Ped. Gastroenterol.
Nutr 47:38-40
Widuri A dan Suryani L, 2011. Pengaruh suplementasi probiotik Lactobacillus
casei L shirota strain terhadap kadar IgE penderita rinitis alergi. Laporan
Penelitian Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta.

35

Anda mungkin juga menyukai