Anda di halaman 1dari 29

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Reproductive Health Library menyatakan, terdapat 180 sampai 200 juta
kehamilan setiap tahun. Dari angka tersebut terjadi 585.000 kematian maternal
akibat komplikasi kehamilan dan persalinan. Sebab kematian tersebut adalah
perdarahan 24,8%, infeksi dan sepsis 14,9%, hipertensi dan preeklampsi/eklampsi
12,9%, persalinan macet (distosia) 6,9%, abortus 12,9%, dan sebab langsung yang
lain 7,9%. Seksio sesarea di Amerika Serikat dilaporkan meningkat setiap
tahunnya, Pada tahun 2002 terdapat 27,6 % seksio sesarea dari seluruh proses
kelahiran. Dari angka tersebut, 19,1% merupakan seksio sesarea primer.
Laporan American College of Obstretician and Gynaecologist (ACOG)
menyatakan bahwa seksio sesarea primer terbanyak pada primigravida dengan
fetus tunggal, presentasi vertex, tanpa komplikasi. Indikasi primigravida tersebut
untuk seksio sesarea adalah presentasi bokong, preeklampsi, distosia, fetal
distress, dan elektif. Distosia merupakan indikasi terbanyak untuk seksio sesarea
pada primigravida sebesar 66,7%. Angka ini menunjukkan peningkatan
dibandingkan penelitian Gregory dkk pada 1985 dan 1994 yang masing-
masingnya 49,7% dan 51,4% distosia menyebabkan seksio sesarea.
Distosia adalah persalinan yang abnormal atau sulit dan ditandai dengan
terlalu lambatnya kemajuan persalinan. Kelainan persalinan ini menurut ACOG
dibagi menjadi 3 yaitu kelainan kekuatan (power), kelainan janin (passenger), dan
kelainan jalan lahir (passage). Panggul sempit (pelvic contaction) merupakan
salah satu kelainan jalan lahir yang akan menghambat kemajuan persalinan
karena ketidaksesuaian antara ukuran kepala janin dengan panggul ibu yang biasa
disebut dengan disproporsi sefalopelvik. Istilah disproporsi sefalopelvik muncul
pada masa dimana indikasi utama seksio sesarea adalah panggul sempit yang
disebabkan oleh rakhitis. Disproporsi sefalopelvik sejati seperti itu sekarang
sudah jarang ditemukan, umumnya disebabkan oleh janin yang besar.
Berdasarkan uraian di atas maka kami perlu menguraikan permasalahan dan

1
penatalaksanaan pada disproporsi sefalopelvik sebagai salah satu penyebab
distosia yang penting dimiliki oleh dokter.
1.2 Rumusan Masalah
Penulisan case report session ini membahas mengenai tinjauan pustaka dan
laporan kasus chepalopelvic disproportion yang ada di RSUD M. Zein Painan.

1.3 Tujuan Penulisan


Case Report Session ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik
di bagian Obstetri dan Ginekologi, RSUD M. Zein Painan dan diharapkan dapat
menambah pengetahuan penulis serta sebagai bahan informasi bagi para pembaca,
khususnya kalangan medis.

1.4 Metode Penulisan


Makalah ini dibuat dengan metode tinjauan kepustakaan yang merujuk
pada berbagai literatur.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Panggul


2.1.1. Tulang Panggul
Pelvis (panggul) tersusun atas empat tulang: sakrum, koksigis, dan dua tulang
inominata yang terbentuk oleh fusi ilium, iskium, dan pubis. Tulang-tulang inominata
bersendi dengan sakrum pada sinkondrosis sakroiliaka dan bersendi dengan tulang
inominata sebelahnya di simfisis pubis (Cunningham, et al, 2010).
Panggul dibagi menjadi dua regio oleh bidang imajiner yang ditarik dari
promontorium sakrum ke pinggir atas simfisis pubis, yaitu:
a. Panggul palsu
Terletak di atas bidang, berfungsi untuk menyokong intestinum.
b. Panggul sejati
Terletak di bawah bidang, memiliki dua bukaan yaitu: arpertura pelvis
superior (pintu atas panggul) dan arpetura pelvis inferior (pintu bawah panggul)
(Baun, 2005).
Selama proses kelahiran pervaginam, bayi harus dapat melewati kedua
pembukaan panggul sejati ini (Amatsu Therapy Association and Amatsu Association
of Ireland, 2006).

Gambar 2.1. Gambaran anteroposterior panggul normal wanita dewasa.


Digambarkan diameter anteroposterior (AP) dan Transversal (T) pintu atas
panggul. Sumber: Cunningham, et al. Williams Obstetrics, 23rd ed.

3
2.1.2. Bidang Diameter Panggul
Panggul memiliki empat bidang imajiner:
a. Bidang pintu atas panggul (apertura pelvis superior).
Bentuk pintu atas panggul wanita, dibandingkan dengan pria, dan cenderung
lebih bulat daripada lonjong. Terdapat empat diameter pintu atas panggul yang biasa
digunakan: diameter anteroposterior, diameter transversal, dan diameter oblik.
Diameter anteroposterior yang penting dalam obstetrik adalah jarak terpendek antara
promontorium sakrum dan simfisis pubis, disebut sebagai konjugata obtetris.
Normalnya, konjugata obstertis berukuran 10 cm atau lebih, tetapi diameter ini dapat
sangat pendek pada panggul abnormal. Konjugata obsteris dibedakan dengan
diameter anteroposterior lain yang dikenal sebagai konjugata vera. Konjugata vera
tidak menggambarkan jarak terpendek antara promontorium sakrum dan simfisis
pubis. Konjugata obstetris tidak dapat diukur secara langsung dengan pemeriksaan
jari. Untuk tujuan klinis, konjugata obstetris diperkirakan secara tidak langsung
dengan mengukur jarak tepi bawah simfisis ke promontorium sakrum, yaitu
konjugata diagonalis, dan hasilnya dikurangi 1,5-2 cm.

Gambar 2.2. Gambaran tiga diameter anteroposterior pintu atas panggul:


konjugata vera, konjugata obstetris dan konjugata diagonalis yang dapat diukur
secara klinis. Diameter anteroposterior panggul tengah juga diperlihatkan. (P =
promontorium sakrum; Sim = simfisis pubis). Sumber: Cunningham, et al.
Williams Obstetrics, 23rd ed.

4
b. Bidang panggul tengah (dimensi panggul terkecil).
Panggul tengah diukur setinggi spina iskiadika, atau bidang dimensi panggul
terkecil. Memiliki makna khusus setelah engagement kepala janin pada partus macet.
Diameter interspinosus, berukuran 10 cm atau sedikit lebih besar, biasanya
merupakan diameter pelvis terkecil. Diameter anteroposterior setinggi spina iskiadika
normal berukuran paling kecil 11, 5cm.

Gambar 2.3. Panggul wanita dewasa yang memperlihatkan diameter


anteroposterior dan transversal pintu atas panggul serta diameter transversal
(interspinosus) panggul tengah. Konjugata obstetris normalnya lebih dari 10
cm. Sumber: Cunningham, et al. Williams Obstetrics, 23rd ed.

c. Bidang pintu bawah panggul (apertura pelvis inferior).


Pintu bawah panggul terdiri dari dua daerah yang menyerupai segitiga. Area-
area ini memiliki dasar yang sama yaitu garis yang ditarik antara dua tuberositas
iskium. Apeks dari segitiga posteriornya berada di ujung sakrum dan batas lateralnya
adalah ligamentum sakroiskiadika dan tuberositas iskium. Segitiga anterior dibentuk
oleh area di bawah arkus pubis. Tiga diameter pintu bawah panggul yang biasa
digunakan yaitu: anteroposterior, transversal, dan sagital posterior.

5
Gambar 2.4. Pintu bawah panggul dengan diameter-diameter yang penting.
Perhatikan bahwa diameter anteroposterior dapat dibagi menjadi diameter
sagital anterior dan posterior. Sumber: Cunningham, et al. Williams Obstetrics,
23rd ed.

d. Bidang dengan dimensi panggul terbesar (tidak memiliki arti klinis).


(Cunningham, et al., 2010)

2.1.3. Bentuk-bentuk Panggul


Caldwell dan Moloy mengembangkan suatu klasifikasi panggul yang masih
digunakan hingga saat ini. Klasifikasi Caldwell-Molloy didasarkan pada pengukuran
diameter transversal terbesar di pintu atas panggul dan pembagiannya menjadi
segmen anterior dan posterior. Bentuk segmen-segmen ini menentukan klasifikasi
panggul menjadi: panggul ginekoid, anthropoid, android, ataupun platipeloid.
Karakter segmen posterior menentukan tipe panggulnya, dan karakter segmen
anterior menetukan kecenderungannya. Kedua hal ini ditentukan karena kebanyakan
panggul bukan merupakan tipe murni, melainkan campuran, misalnya, panggul
ginekoid dengan kecenderungan android berarti panggul posteriornya berbentuk
ginekoid dan panggul anteriornya berbentuk android. (Cunningham, et al., 2010)

6
Gambar 2.5. Empat tipe panggul dengan klasifikasi Caldwell-Moloy. Garis yang
melintasi diameter transversal terlebar membagi pintu atas menjadi segmen
posterior dan anterior. Sumber: Cunningham, et al. Williams Obstetrics, 23rd ed.

Panggul ginekoid dianggap sebagai panggul normal wanita, sementara


panggul android merupakan varian dari panggul pria. Panggul android lebih sering
ditemukan pada wanita dengan akitvitas fisik yang berat selama masa remaja.
Panggul android juga ditemukan pada wanita yang mengalami keterlambatan dalam
posisi tegak, yaitu setelah usia 14 bulan, sementara panggul platipeloid lebih sering
ditemukan pada wanita yang memiliki kemampuan posisi tegak sebelum umur 14
bulan (Leong, 2006).

2.2. Morfologi Pertumbuhan Janin Normal


2.2.1. Periode Ovum, Zigot, dan Blastokista
Selama 2 minggu pertama setelah ovulasi, fase perkembangan yang terjadi
berturut-turut yaitu: (1) fertilisasi, (2) pembentukan blastokista, dan (3) inplantasi
blsastokista. Vili korionik primitif dibentuk segera setelah implantasi. Dengan
pembentukan vili korionik, produk konsepsi tidak lagi disebut zigot, melainkan
disebut sebagai embrio.

7
2.2.2. Periode Embrionik
Periode embrionik dimulai sejak minggu ketiga setelah fertilisasi, atau
bersamaan dengan waktu perkiraan menstruasi berikutnya. Uji kehamilan yang
mengukur kadar hCG (Human Chorionic Gonadotropin) memberikan hasil positif
saat ini. Pada akhir minggu keenam, embrio memiliki panjang 22-24 mm, di mana
kepala relatif lebih besar dibandingkan badan.

2.2.3. Periode Fetus (Janin)


Akhir periode embrio dan awal periode janin ditetapkan secara tegas oleh ahli
embriologi terjadi 8 minggu setelah fertilisasi, atau 10 minggu setelah waktu
menstruasi terakhir. Saat ini embrio memiliki panjang hanpir 4 cm. Perkembangan
selama periode janin terdiri dari pertumbuhan dan pematangan organ-organ yang
telah terbentuk pada masa embrio. Aterm dicapai pada minggu ke-40 dari awitan
menstruasi terakhir. Saat ini janin sudah berkembang sempurna, dengan rata-rata
panjang ubun-ubun-bokong janin 36 cm, dan berat sekitar 3400 gram.

2.2.4. Kepala Janin


Pada usia kehamilan aterm, wajah hanya merupakan sebagian kecil dari
kepala, sisanya merupakan tengkorak padat yang terdiri dari dua tulang frontalis, dua
tulang parietalis, dan dua tulang temporalis, ditambah bagian atas tulang oksipitalis
dan sayap sfenoid.
Tulang-tulang tengkorak dipisahkan oleh ruangan membranosa yang disebut
sutura. Sutura yang paling penting adalah sutura frontalis, sutura sagitalis, dua sutura
koronaria, dan dua sutura lambdoidea.
Pada tempat pertemuan beberapa sutura terbentuk ruang ireguler, yang
ditutupi oleh suatu membran yang disebut sebagai ubun-ubun. Ubun-ubun besar atau
anterior berbentuk belah ketupat, terletak di pertemuan antara sutura sagitalis dan
sutura koronaria. Ubun-ubun kecil atau posterior berbentuk segitiga, terletak di
perpotongan antara sutura sagitalis dan sutura lambdoidea. Lokasi ubun-ubun
memberikan informasi penting mengenai presentasi dan posisi janin.

8
Gambar 2.6. Kepala janin pada kehamilan aterm yang memperlihatkan ubun-
ubun, sutura, dan diameter biparietal. Sumber: Cunningham, et al. Williams
Obstetrics, 23rd ed.

Biasanya dilakukan pengukuran beberapa diameter dan lingkar tertentu pada


kepala neonatus. Diameter-diameter yang penting antara lain:
a. Diameter oksipitofrontalis (11,5 cm), mengikuti garis dari titik tepat di atas pangkal
hidung ke bagian yang paling menonjol dari tulang oksipitalis.

b. Diameter biparietalis (9,5 cm), garis tengah transversal terpanjang pada kepala,
memanjang dari satu tulang parietalis ke tulang parietalis lainnya.

c. Diameter bitemporalis (8,0 cm), jarak terjauh antara dua sutura temporalis.

d. Diameter oksipitomentalis (12,5 cm), dari dagu ke bagian yang paling menonjol
dari oksiput.

e. Diameter suboksipitobregmatikus (9,5 cm), mengikuti garis yang ditarik dari


bagian tengah ubun-ubun besar ke permukaan bawah tulang oksipitalis tepat di
pertemuan tulang ini dengan leher.

9
Gambar 2.7. Diameter-diameter kepala janin cukup bulan.
Sumber:Cunningham, et al. Williams Obstetrics, 23rd ed.

Lingkar tebesar kepala, berdasarkan bidang diameter oksipitofrontalis


berukuran rata-rata 34,5 cm. Lingkar terkecil kepala, berdasarkan bidang
suboksipitobregmatikus, berukuran 32 cm. Tulang-tulang kranium dalam keadaan
normal dihubungkan hanya oleh sebuah lapisan tipis jaringan fibrosa yang
memungkinkan masing-masing tulang bergeser untuk menyesuaikan dengan ukuran
dan bentuk panggul ibu. Proses ini disebut sebagai molding. Pada persalinan lewat
bulan, osifikasi tengkorak telah terjadi sehingga kemampuan tulang-tulang tengkorak
untuk bergerak menjadi berkuramg. Bayi prematur memiliki tengkorak yang lebih
lunak dan sutura yang lebih lebar sehingga molding yang terjadi dapat berlebihan
(Bennett & Brown, 2009).
Posisi kepala dan derajat osifikasi menghasilkan spektrum plastisitas kranium
yang bervariasi, dari minimal hingga maksimal. Pada beberapa kasus, hal ini
menimbulkan disproporsi fetopelvik yang menjadi indikasi utama seksio sesarea.

10
2.3. Kondisi Janin dalam Persalinan
Terdapat 6 variabel penting pada janin yang mempengaruhi proses melahirkan:
a. Ukuran janin
Ukuran janin dapat ditentukan secara klinis melalui palpasi abdomen atau melalui
pemeriksaan ultrasonografi, namun kedua pemeriksaan memiliki derajat kesalahan
yang tinggi. Makrosomia fetus berkaitan dengan kegagalan trial of labor.
b. Letak janin
Letak janin menyatakan aksis janin relatif terhadap aksis longitudinal uterus.
Letak janin dapat bervariasi yaitu: longitudinal, transversal, atau oblik. Pada
kehamilan tunggal, hanya janin dengan letak longitudinal yang dapat selamat melalui
persalinan pervaginam.
c. Presentasi janin
Presentasi merupakan bagian terbawah janin yang paling dekat dengan jalan
lahir. Janin dengan letak longitudinal memiliki presentasi wajah atau bokong.
Presentasi campuran menyatakan bahwa terdapat lebih dari satu bagian tubuh janin
pada pintu atas panggul. Presentasi funik menyatakan presentasi tali pusat, jarang
terjadi. Fetus dengan presentasi kepala diklasifikasikan berdasarkan bagian dari
tulang tengkorak yang tampak yaitu oksiput (veteks), sinsiput, wajah, atau dahi
(Cunningham, et al, 2010). Malpresentasi menunjuk pada presentasi selain verteks,
dan hal ini terjadi pada sekitar 5% persalinan.

Gambar 2.8. Letak memanjang, presentasi kepala. Perbedaan sikap tubuh janin
pada presentasi (A) verteks, (B) sinsiput, (C) wajah, (D) dahi. Sumber:
Cunningham, et al. Williams Obstetrics, 23rd ed.

11
d. Sikap atau postur janin
Sikap menyatakan posisi kepala dalam hubungan dengan tulang belakang
janin (derajat fleksi/ ekstensi kepala janin). Fleksi kepala penting dalam engagement
kepala fetus pada panggul ibu. Jika dagu fetus mengalami fleksi optimal hingga
mencapai dada, diameter suboksipitobregmatikus tampil pada pintu atas panggul. Hal
ini merupakan diameter terkecil yang dapat muncul pada presentasi kepala. Diameter
yang muncul pada pintu atas panggul meningkat sejalan dengan derajat ekstensi
(defleksi) kepala. Hal ini dapat menyebabkan kegagalan kemajuan persalinan.
Arsitektur dinding pelvis bersama dengan peningkatan aktivitas uterus dapat
memperbaiki derajat defleksi pada tahap awal persalinan.
e. Posisi janin
Posisi janin menyatakan hubungan antara titik acuan pada bagian terbawah
janin dengan sisi kanan atau kiri jalan lahir. Hal ini dapat ditentukan melalui
pemeriksaan vagina. Pada presentasi kepala, oksiput menjadi acuan penilaian. Jika
oksiput mengarah secara langsung ke anterior, posisi menjadi oksiput anterior (OA).
Jika oksiput mengarah ke sisi kanan ibu, posisi menjadi oksiput anterior kanan
(ROA). Pada presentasi oksiput, variasi posisi janin dapat disingkat dengan
membentuk arah jarum jam sebagai berikut (Cunningham, et al, 2010):

Pada persalinan sungsang, sakrum menjadi acuan penilaian. Pada presentasi


verteks posisi dapat ditentukan dengan palpasi sutura janin. Sutura sagitalis
merupakan sutura yang paling mudah dipalpasi. Biasanya kepala janin memasuki
pintu atas panggul dalam posisi tranversal, dan pada persalinan normal, kepala
mengalamai rotasi menjadi posisi OA. Kebanyakan bayi dilahirkan dengan posisi

12
OA, ROA, ataupun LOA. Malposisi menunjukkan persalinan dengan posisi selain
OA, ROA, ataupun LOA.
f. Station
Station merupakan pengukuran turunnya bagian janin melalui jalan lahir.
Standar klasifikasi dinyatakan dalam derajat -5 sampai dengan +5. Penentuan ini
didasarkan pada pengukuran kuantitatif dalam sentimeter pada tepi awal tulang dari
spina iskiadia. Titik tengah (station 0) didefinisikan sebagai bidang spina iskiadika
ibu. Spina iskiadika ibu dapat dipalpasi pada pemeriksaan vagina, kira-kira searah
jam 8 ataupun jam 4. (Cunningham, et al, 2010; Kilpatrick & Garrison, 2007)

Gambar 2.9 Bidang Hodge


2.4. Distosia
2.4.1. Definisi
Secara harafiah, distosia berarti persalinan sulit yang ditandai oleh terlalu
lambatnya kemajuan persalinan (Cunningham, et al., 2010). Suatu persalinan juga
dianggap mengalami hambatan jika bagian presentasi janin tidak mengalami
kemajuan melewati jalan lahir, walaupun dengan kontraksi uterus yang adekuat
(Dolea & AbouZahr, 2003).

13
2.4.2. Etiologi
Menurut American College of Obstericians and Gynecologists (ACOG)
distosia dapat terjadi akibat abnormalitas dari 3 faktor:
a. Power (kekuatan) – kontraktilitas uterus dan daya ekspulsif ibu.
b. Passanger – melibatkan janin.
c. Passage (jalan lahir) – melibatkan panggul.
(Cunningham, et al., 2010)

2.4.3. Faktor Risiko


Ada beberapa faktor risiko seorang wanita mengalami distosia:
a. Ukuran tubuh kecil
b. Seksio Sesarea sebelumnya
c. Nulipara
Tapi faktor-faktor tersebut tidak memiliki nilai yang cukup prediktif untuk
dijadikan sebagai skrining awal terjadinya distosia (Ould El Joud & Bouvier-Colle,
2001).

2.4.4. Diagnosis
Menurut ACOG Practice Bulletin: Dystocia and Augmentation of Labour
tahun 2003 diagnosis distosia tidak dapat ditegakkan sebelum persalinan percobaan
(trial of labor) yang adekuat tercapai.

14
Tabel 2.1. Pola Kelainan Persalinan, Kriteria, dan Metode Penanganan

CPD: disproporsi sefalopelvik. Sumber: : Cunningham, et al. Williams Obstetrics, 23 rd


ed.

2.5. Disproporsi Sefalopelvik


2.5.1. Definisi
Disporposi sefalopelvik adalah keadaan yang menggambarkan
ketidaksesuaian antara kepala janin dan panggul ibu sehingga janin tidak dapat keluar
melalu vagina. Disproporsi sefalopelvik disebabkan oleh panggul sempit, janin yang
besar ataupun kombinasi keduanya. Seorang ibu dapat dicurigai menderita CPD
apabila posisi kepala yang masih tinggi setelah memasuki usia kehamilan 39 minggu,
memanjangnya fase laten, kurang baiknya posisi fetus pada serviks, kemajuan
persalinan melambat yang berhubungan dengan kontraksi uterus yang irregular dan
melambat, serta ditemukannya molase.
2.5.2. Etiologi

15
Disproporsi sefalopelvik timbul akibat kurangnya kapasitas panggul ibu,
ukuran janin yang terlalu besar, atau yang lebih sering, akibat kombinasi keduanya.
1. Kapasitas panggul
Setiap penyempitan pada diameter panggul yang mengurangi kapasitas
panggul dapat menyebabkan distosia pada persalinan. Dapat terjadi penyempitan
pintu atas panggul, pintu tengah panggul, pintu bawah panggul, atau penyempitan
panggul secara keseluruhan akibat kombinasi hal-hal tersebut.
A. Penyempitan pintu atas panggul
Pintu atas panggul dianggap sempit apabila diameter anterioposterior
terpendeknya (konjugata vera) kurang dari 10 cm atau apabila diameter transversal
terbesarnya kurang dari 12 cm. Diameter anteroposterior pintu atas panggul sering
diperkirakan dengan mengukur konjugata diagonal secara manual yang biasanya
lebih panjang 1,5 cm. Dengan demikian, penyempitan pintu atas panggul biasanya
didefinisikan sebagai konjugata diagonal yang kurang dari 11,5 cm.
Kesulitan persalinan meningkat pada diameter anteroposterior kurang dari 10
cm atau diameter transversal kurang dari 12 cm. Diameter biparietal janin berukuran
9,5-9,8 cm, sehingga sangat sulit bagi janin bila melewati pintu atas panggul dengan
diameter anteroposterior kurang dari 10 cm.
Wanita dengan tubuh kecil kemungkinan memiliki ukuran panggul yang kecil,
namun juga memiliki kemungkinan janin kecil. Distosia akan lebih berat pada
kesempitan kedua diameter dibandingkan sempit hanya pada salah satu diameter.
Panggul yang sempit kemungkinan besar akan menyebabkan kepala tertahan oleh
pintu atas panggul, menyebabkan serviks uteri kurang mengalami tekanan kepala
sehingga dapat menyebabkan inersia uteri dan lambatnya pembukaan serviks.
Pada nulipara normal aterm, bagian terbawah janin biasanya sudah masuk
dalam rongga panggul sebelum persalinan. Adanya penyempitan pintu atas panggul
menyebabkan kepala janin mengapung bebas di atas pintu panggul sehingga dapat
menyebabkan presentasi janin berubah. Pada wanita dengan panggul sempit terdapat
presentasi wajah dan bahu tiga kali lebih sering dan prolaps tali pusat empat sampai
enam kali lebih sering dibandingkan wanita dengan panggul normal atau luas.

16
Klasifikasi kesempitan pintu atas panggul:
1. Pembagian tingkatan panggul sempit
Tingkat I : CV = 9-10 cm = borderline
Tingkat II : CV = 9-8 cm = relatif
Tingkat III : CV = 6-8 cm = ekstrim
Tingkat IV : CV = 6 cm = mutlak (absolut)
2. Pembagian menurut tindakan
Tingkat I dan II = partus percobaan
Tingkat III = SC primer
Tingkat IV = SC mutlak (absolut)
B. Penyempitan pintu tengah panggul
Dengan sacrum melengkung sempurna, dinding-dinding panggul tidak
berkonvergensi, foramen isciadikum cukup luas, dan spina isciadika tidak menonjol
ke dalam, dapat diharapkan bahwa panggul tengah tidak akan menyebabkan rintangan
bagi lewatnya kepala janin. Penyempitan pintu tengah panggul lebih sering
dibandingkan pintu atas panggul.Hal ini menyebabkan terhenti nya kepala janin pada
bidang transversal sehingga perlu tindakan forceps tengah atau seksio sesarea.
Penyempitan pintu tengah panggul belum dapat didefinisikan secara pasti
seperti penyempitan pada pintu atas panggul. Kemungkinan penyempitan pintu
tengah panggul apabila diameter interspinarum ditambah diameter sagitalis posterior
panggul tangah adalah 13,5 cm atau kurang. Ukuran terpenting yang hanya dapat
ditetapkan secara pasti dengan pelvimetri roentgenologik ialah distansia
interspinarum. Apabila ukuran ini kurang dari 9,5 cm, perlu diwaspadai kemungkinan
kesukaran persalinan apalagi bila diikuti dengan ukuran diameter sagitalis posterior
pendek.
C. Penyempitan Pintu bawah panggul.
Pintu bawah panggul bukan suatu bidang datar melainkan dua segitiga dengan
diameter intertuberosum sebagai dasar keduanya. Penyempitan pintu bawah panggul
terjadi bila diameter distantia intertuberosum berjarak 8 cm atau kurang. Penyempitan
pintu bawah panggul biasanya disertai oleh penyempitan pintu tengah panggul.

17
2. Dimensi janin terhadap panggul
Ukuran janin tunggal jarang dapat menjelaskan kegagalan persalinan. Ambang
ukuran janin untuk memprediksi terjadinya disproporsi fetopelvik masih sulit
ditentukan. Didapati 2/3 bayi yang memerlukan seksio sesarea setelah gagalnya
persalinan dengan menggunakan forsep memiliki berat kurang dari 3700 gram. Jadi
faktor-faktor lain seperti malposisi kepala menyebabkan obstruksi keluarnya janin
melalui jalan lahir. Hal ini termasuk ansinklintismus, posisi oksiput posterior, serta
presentasi kepala dan bahu (Cunningham, et al., 2010).
Pada panggul normal, biasanya tidak menimbulkan terjadinya kesulitan dalam
proses melahirkan janin yang beratnya kurang dari 4500gram. Kesulitan dalam
persalinan biasanya terjadi karena kepala janin besar atau kepala keras yang biasanya
terjadi pada postmaturitas tidak dapat memasuki pintu atas panggul, atau karena bahu
yang lebar sulit melalui rongga panggul. Bahu yang lebar selain dapat ditemukan
pada janin yang memiliki berat badan lebih juga dapat dijumpai pada anensefalus.
Janin dapat meninggal selama proses persalinan dapat terjadi karena terjadinya
asfiksia dikarenakan selama proses kelahiran kepala anak sudah lahir, akan tetapi
karena lebarnya bahu mengakibatkan terjadinya macet dalam melahirkan bagian janin
yang lain. Sedangkan penarikan kepala janin yang terlalu kuat ke bawah dapat
mengakibatkan terjadinya cedera pada nervus brakhialis dan muskulus
sternokleidomastoideus.
Pada persalinan normal, kepala janin pada waktu melewati pintu jalan lahir
berada dalam keadaan fleksi dengan presentasi belakang kepala. Dengan adanya
malpresentasi kepala seperti presentasi puncak kepala, presentasi dahi dan presentasi
muka maka dapat menimbulkan kemacetan dalam persalinan. Hal ini dimungkinkan
karena kepala tidak dapat masuk PAP karena diameter kepala pada malpresentasi
lebih besar disbanding ukuran panggul khususnya panjang diameter anteroposterior
panggul.

18
2.5.3. Prevalensi
Dalam suatu penelitian didapati prevalensi disproporsi fetopelvik di Asia
Tenggara sebanyak 6,3% dari kelahiran total. Hal ini menjadi indikasi kedua tersering
dilakukannya tindakan seksio sesarea setelah riwayat seksio sesarea (7%). Dalam
penelitian yang sama didapati bahwa prevalensi disproporsi fetopelvik di Indonesia
berjumlah 3,8% dari kelahiran total, dan disproporsi fetopelvik menjadi indikasi
ketiga tindakan seksio sesarea (12,8%) setelah malpresentasi (18,6%) dan seksio
sesarea sebelumnya (15,2%) (Festin, et al, 2009). Namun, jika definisi disproporsi
fetopelvik mengikutsertakan malpresentasi seperti yang dikemukakan oleh Craig
(pada penjelasan berikutnya), maka disproporsi fetopelvik menjadi indikasi tersering
dilakukannya tindakan seksio sesarea di Indonesia. Menurut laporan World Health
Organization (WHO) pada tahun 2005, disproporsi fetopelvik menyumbang sebanyak
8% dari seluruh penyebab kematian ibu di seluruh dunia.

2.5.4. Klasifikasi

Klasifikasi klinis disproporsi fetopelvik dibagi menjadi disproporsi absolut dan


relatif.
a. Disproporsi fetopelfik absolut

• Permanen (maternal)

- penyempitan panggul

- eksotosis panggul

- spondilolistesis

- tumor sakrokoksigeal anterior

• Temporer (fetal)

- hidrosefalus

- makrosomia

b. Disproporsi fetopelvik relatif

• presentasi bahu

19
• presentasi wajah

• posisi oksipitoposterior

• defleksi kepala

2.5.5. Diagnosis
Pengukuran terhadap ibu dan janin telah diupayakan untuk mendeteksi
disproporsi fetopelvik sebelum onset persalinan. Penaksiran ukuran panggul internal
dapat dilakukan dengan menggunakan X-ray pelvimetry, ultrasound, dan magnetic
resonance imaging (MRI).
Stewart, Cowan, dan Philpott mencoba melakukan konfirmasi diagnosis
disproporsi fetopelvik mayor dengan mengadakan pemeriksaan X-ray pelvimetry
setelah persalinan. Dari pemeriksaan mereka, wanita-wanita Zimbabwe dan Afrika
Selatan dengan jenis panggul platipeloid cenderung mengalami disproporsi
fetopelvik. Namun, disimpulkan bahwa X-ray pelvimetry tidak banyak bermanfaat
dalam memprediksi dan mendiagnosis terjadinya disproporsi fetopelvik.
Pada awal tahun 1990, X-ray pelvimetry digantikan oleh CT pelvimetry. CT
pelvimetry dinilai memberikan keuntungan dalam mengurangi paparan radiasi
terhadap janin, tapi tidak memiliki nilai prediktif tambahan terhadap terjadinya
disproporsi fetopelvik.
Uji diagnosis dengan menggunakan MRI mulai mendapat perhatian beberapa
tahun terakhir. MRI memberikan gambaran berkualitas tinggi tanpa paparan radiasi
serta memberikan perhitungan volumetrik terhadap panggul dan kepala janin.
Dilaporkan terdapat hubungan yang signifikan antara gambaran ukuran panggul
dengan risiko terjadinya distosia yang membutuhkan seksio sesarea pada wanita-
wanita yang menjalani MRI pelvimetry di Amerika Serikat. Namun, ternyata MRI
dinilai tidak memiliki kelebihan akurasi dibandingkan metode-metode sebelumnya
dalam memprediksi terjadinya distosia (Zaretsky, et al, 2005).
Akhirnya disimpulkan bahwa tidak ada satu pun dari metode-metode ini yang
reliabel dalam mendiagnosis terjadinya disproporsi fetopelvik. Metode-metode

20
tersebut meningkatkan nilai prediktif, tapi kebanyakan wanita dapat melahirkan
secara normal walaupun hasil pengukuran memberi kesan hubungan sefalo-pelvik
yang kurang memadai.
Disproporsi fetopelvik biasanya ditentukan secara retrospektif setelah
dilakukan persalinan percobaan (trial of labor) (Arulkumaran, 2007). Diagnosis
terbaik terjadinya disproporsi fetopelvik pada nulipara dilakukan melalui trial of
labor dengan pemberian oksitosin, jika diperlukan, untuk memastikan adanya
kontraksi uterus adekuat. Pada kala II persalinan, ditemukan penurunan kepala tidak
terjadi. Perubahan pada kardiotokograf (KTG) dapat menjadi tanda adanya kompresi
pada kepala dan ditemukannya mekonium bisa pula menjadi tanda adanya
disproporsi.

2.5.6. Pemeriksaan pada Disproporsi Kepala Panggul


1. Pelvimetri klinis:
a. Pelvimetri eksternal

Pelvimetri eksternal tidak banyak bermanfaat kecuali untuk pengukuran pintu


bawah panggul
Pelvimetri eksternal untuk pintu bawah panggul
Angulus Subpubic
Bituberous diameter
Anterior and posterior sagittal diameters

b. Pelvimetri internal

Dilakukan melalui pemeriksaan dalam pada saat ANC minggu 38 , atau


sebelum persalinan. Pelvimetri internal dilakukan untuk mengukur
Pintu atas panggul:
Diameter transversa
Diameter anteroposterior
Konjugata diagonalis

21
Pintu tengah panggul:
Distansia interspinarum

Pintu bawah panggul:


Distansia intertuberosum
Diameter anteroposterior
Diameter sagitalposterior

Panggul dinyatakan sempit bila:


Pintu atas panggul:
Diameter transversa <11 cm
Diameter anteroposterior <10 cm
Konjugata diagonalis <11,5 cm

Pintu tengah panggul:


Distansia interspinarum <9,5 cm

Pintu bawah panggul:


Distansia intertuberosum <8 cm
Diameter anteroposterior <11,5 cm
Distansia intertuberosum + Diameter sagitalposterior <15 cm

2. Pelvimetri Radiologis
X-ray, CT-Scan, MRI, dan USG transvaginal
3. USG untuk mengukur diameter kepala bayi:
Biparietal diameter, ( BPD)
Occipto-frontal diameter (OFD)
Head circumference (HC).

4. Pemeriksaan untuk mendeteksi disproporsi kepala panggul

22
Metode Osborn: Tangan kiri menekan kepala janin dari atas ke arah rongga
panggul sedangkan tangan kanan diletakkan di atas simfisis pubis untuk menentukan
apakah bagian kepala menonjol di atas simfisis atau tidak.
Metode Muller Hillis: Tangan kiri memegang kepala janin dan menekannya
ke arah rongga panggul, sedangkan dua jari tangan yang lain dimasukkan ke dalam
rongga vagina untuk menentukan seberapa jauh kepala mengikuti tekanan tersebut.
Ibu jari tangan kanan diletakkan di atas simfisis pubis untuk memeriksa hubungan
antara kepala dan simfisis.
Modifikasi Metode Muller Hillis: Pemeriksaan menggunakan metode muller
Hillis namun dilakukan pada saat kala II. Metode ini memiliki nilai prediksi yang
lebih tinggi dibandingkan metode muller Hillis.

2.6. Tatalaksana
2.6.1 Persalinan Percobaan (Trial of Labor)
Definisi tepat untuk persalinan percobaan adalah percobaan persalinan hingga
mencapai dilatasi penuh serviks dan dilanjutkan ke kala dua persalinan dalam 2 jam.
Persalinan percobaan dimulai pada permulaan persalinan dan berakhir setelah kita
mendapatkan keyakinan bahwa persalinan tidak dapat berlangsung pervaginam atau
setelah anak lahir pervaginam (Kaufmann, 2006).

Setelah dilakukan penilaian ukuran panggul serta hubungan antara kepala


janin dan panggul dapat diperkirakan bahwa persalinan dapat berlangsung per
vaginan dengan selamat dapat dilakukan persalinan percobaan. Cara ini merupakan
tes terhadap kekuatan his, daya akomodasi, termasuk moulage karena faktor tersebut
tidak dapar diketahui sebelum persalinan.

Persalinan percobaan hanya dilakukan pada letak belakang kepala, tidak bisa
pada letak sungsang, letak dahi, letak muka, atau kelainan letak lainnya. Ketentuan
lainnya adalah umur keamilan tidak boleh lebih dari 42 minggu karena kepala janin
bertambah besar sehingga sukar terjadi moulage dan ada kemungkinan disfungsi
plasenta janin yang akan menjadi penyulit persalinan percobaan.

23
Pada janin yang besar kesulitan dalam melahirkan bahu tidak akan selalu
dapat diduga sebelumnya. Apabila dalam proses kelahiran kepala bayi sudah keluar
sedangkan dalam melahirkan bahu sulit, sebaiknya dilakukan episiotomy medioateral
yang cukup luas, kemudian hidung dan mulut janin dibersihkan, kepala ditarik curam
kebawah dengan hati-hati dan tentunya dengan kekuatan terukur. Bila hal tersebut
tidak berhasil, dapat dilakukan pemutaran badan bayi di dalam rongga panggul,
sehingga menjadi bahu depan dimana sebelumnya merupakan bahu belakang dan
lahir dibawah simfisis. Bila cara tersebut masih juga belum berhasil, penolong
memasukkan tangannya kedalam vagina, dan berusaha melahirkan janin dengan
menggerakkan dimuka dadanya. Untuk melahirkan lengan kiri, penolong
menggunakan tangan kanannya, dan sebaliknya. Kemudian bahu depan diputar ke
diameter miring dari panggul untuk melahirkan bahu depan.

Persalinan percobaan ada dua macam yaitu trial of labour dan test of labour.
Trial of labour serupa dengan persalinan percobaan di atas, sedangkan test of labour
sebenarnya adalah fase akhir dari trial of labour karena baru dimulai pada pembukaan
lengkap dan berakhir 2 jam kemudian. Saat ini test of labour jarang digunakan karena
biasanya pembukaan tidak lengkap pada persalinan dengan pangul sempit dan
terdapat kematian anak yang tinggi pada cara ini.

Keberhasilan persalinan percobaan adalah anak dapat lahir spontan per


vaginam atau dibantu ekstraksi dengan keadaan ibu dan anak baik. Persalinan
percobaan dihentikan apabila pembukaan tidak atau kurang sekali kemajuannnya,
keadaan ibu atau anak kurang baik, ada lingkaran bandel, setelah pembukaan lengkap
dan ketuban pecah kepala tidak masuk PAP dalam 2 jam meskipun his baik, serta
pada forceps yang gagal. Pada keadaan ini dilakukan seksio sesarea.

2.6.2. Seksio sesarea


2.6.2.1 Definisi
Seksio sesarea merupakan suatu proses insisi dinding abdomen dan uterus
untuk mengeluarkan janin (Kamus Kedokteran Dorlan, 2002).

24
2.6.2.2 Prevalensi
Dari tahun 1970 sampai dengan tahun 2007, frekuensi sekio sesarea di
Amerika Serikat meningkat dari 4,5% per kelahiran total menjadi 31,8% per
kelahiran total (Hamilton, et al, 2009; MacDorman, 2008). Peningkatan ini
berlangsung terus menerus, kecuali dari tahun 1989 sampai dengan tahun 1996,
frekuensi seksio sesarea di Amerika Serikat mengalami penurunan. Penurunan ini
sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya angka persalinan pervaginam setelah
seksio sesarea sebelumnya dan sebagian kecil oleh berkurangnya angka kejadian
seksio sesarea primer. Pada tahun 2007 didapati 30% wanita yang melahirkan di
Amerika Serikat menjalani seksio sesarea (Cunningham et al, 2010). Sebaliknya,
frekuensi seksio sesarea dengan indikasi seksio sesarea sebelumnya mengalami
penurunan. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan signifikan kejadian seksio
sesarea primer (Hamilton, et al, 2009).
Dari penelitian yang dilakukan di dua rumah sakit di Yogyakarta sepanjang
tahun 2005, didapati sebanyak 29,6% dari total persalinan dilakukan secara seksio
sesarea. Hasil tersebut hampir mendekati prevalensi seksio sesarea di Amerika Serikat
pada tahun 2007 (Festin, et al, 2009).

2.6.2.3 Indikasi
Stanton (2008) membagi indikasi seksio sesarea menjadi 2 kelompok besar
yaitu indikasi absolut dan indikasi relatif. Indikasi absolut dilakukannya tindakan
seksio sesarea adalah disproporsi fetopelvik yang nyata atau penyempitan panggul
yang nyata. Indikasi relatif dilakukannya tindakan seksio sesarea antara lain: riwayat
seksio sesarea, prematuritas, dan berat janin kurang dari 3500 gram.

2.6.2.4 Teknik
Menurut Berghella (2005), ada beberapa teknik seksio sesarea yaitu:
a. Insisi abdomen

25
Biasanya dengan melakukan insisi vertikal pada bagian tengah atau insisi
transversal.
• Insisi vertikal
Insisi vertikal garis tengah infraumbilikus merupakan insisi yang paling cepat
dibuat. Insisi ini harus cukup panjang agar janin dapat lahir tanpa kesulitan. Oleh
karena ini, panjang insisi harus sesuai dengan taksiran ukuran janin. Pembebasan
secara tajam dilakukan sampai batas vagina m.rektus abdominis lamina anterior, yang
dibebaskan dari lemak subkutis untuk memperlihatkan sepotong fasia di garis tengah
dengan lebar sekitar 2 cm. otot rektus dan piramidalis dipisahkan di garis tengah
secara tajam dan tumpul untuk memperlihatkan fasia transversalis dan peritoneum.

• Insisi transversal
Melalui insisi Pfannenstiel, kulit dan jaringan subkutan disayat dengan
menggunakan insisi transversal rendah sedikit melengkung. Insisi dibuat setinggi
garis rambut pubis dan diperluas sedikit melebihi batas lateral otot rektus. Insisi jenis
ini memiliki keunggulan kosmetik. Namun, insisi jenis ini juga memiliki kekurangan.
Pada sebagian wanita, pemajanan uterus yang hamil dan apendiksnya tidak sebaik
pada insisi vertikal. Apabila diperlukan ruang lebih banyak, insisi vertikal dapat
dengan cepat diperluas melingkari dan ke atas pusar, sementara pada insisi
Pfannenstiel hal ini tidak dapat dilakukan.
Apabila diinginkan insisi transversal, namun diperlukan ruang yang lebih
lega, insisi Maylard merupakan pilihan yang aman. Pada insisi ini, otot rektus
dipisahkan dengan menggunakan gunting dan skapel.

b. Insisi uterus
Sebagian besar insisi dibuat di segmen bawah uterus secara transversal, atau
yang lebih jarang, secara vertikal. Insisi transversal memiliki keunggulan yaitu hanya
memerlukan sedikit pemisahan kandung kemih dari miometrium di bawahnya.
Apabila insisi diperluas ke arah lateral, dapat terjadi laserasi pada salah satu atau
kedua pembuluh uterus (Cunningham, et al., 2010).

26
2.6.2.5. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi akibat seksio sesarea antara lain:

a. Mortalitas ibu
Angka mortalitas ibu yang melahirkan secara seksio sesarea didapati 25 kali
lebih besar dibandingkan angka mortalitas ibu yang melahirkan secara pervaginam.
Komplikasi yang paling sering menyebabkan mortalitas ibu adalah perdarahan,
komplikasi akibat tindakan anestesi, dan infeksi (Arulkumaran, 2007 & Pernoll,
2001).

b. Morbiditas intraoperatif
Komplikasi bedah intraoperatif diperkirakan lebih dari 11% seluruh tindakan
seksio sesarea (80% minor, 20% mayor). Kompilikasi mayor berupa: cedera kandung
kemih, laserasi hingga serviks atau vagina, laserasi korpus uterus, laserasi isthmus
yang meluas ke ligamen, laserasi kedua arteri uterus, cedera janin beserta sekuelnya,
dan cedera intestinal. Komplikasi minor meliputi: transfusi darah, cedera janin tanpa
sekuel, dan laserasi minor pada isthmus.

c. Morbiditas pascaoperasi
Morbiditas pascaoperasi diperkirakan sekitar 15% dari seluruh tindakan
seksio sesarea, di mana sebagian besarnya (90%) diakibatkan oleh infeksi
(endometritis, infeksi saluran kemih, dan sepsis). Komplikasi lain yang tidak begitu
sering (10%) disebabkan oleh ileus paralitik, perdarahan intraabdominal, paresis
kandung kemih, trombosis, dan penyakit paru.

d. Morbiditas dan mortalitas perinatal


Persalinan melalui seksio sesarea memiliki risiko yang lebih kecil bagi janin
dibandingkan persalinan pervaginam, jadi mortalitas dan morbiditas bayi menurun.

27
Morbiditas yang menjadi perhatian utama adalah prematuritas iatrogenik pada seksio
sesarea elektif berulang (Pernoll, 2001).

28
DAFTAR PUSTAKA

Bagian Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran


Bandung. Obstetri Fisiologi. Bandung: Elemen, 1983.

Cunningham FG, Gant FN, Leveno KJ, dkk. Obstetri Williams. Edisi 21. Jakarta:
EGC, 2005.

Saifuddin AB. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi Keempat. Jakarta: BP-
SP, 2008.

Sari Wardani MP, Indikasi Operasi Caesar Pada Pasien Dengan Disproporsi Kepala
Panggul,http://www.fkumyecase.net/wiki/index.php?
page=indikasi+operasi+caesar+pada+pasien+dengan+disproporsi+kepala+pan
ggul&highlight=search, 5 of Des, 2016 [03:07 UTC].

Winkjosastro H. Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga. Jakarta: YBP-SP, 2007.

29

Anda mungkin juga menyukai