Anda di halaman 1dari 10

JOURNAL READING

Corticosteroid Therapy in Combination with Antibiotics for


Erysipelas

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Kulit dan Kelamin di
Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang

Disusun oleh:

Puspita Vania Prajna Paramita Ramadhani


30101307044

Pembimbing klinik:

dr. Yuzza Alfarra, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu
Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Kulit dan Kelamin di RSUD
dr. Loekmono Hadi Kudus
Nama : Puspita Vania Prajna Paramita Ramadhani
Judul : Corticosteroid Therapy in Combination with Antibiotics for
Erysipelas (Terapi Kortikosteroid dalam Kombinasi dengan Antibiotik
untuk Erysipelas)
Bagian : Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Fakultas : Kedokteran UNISSULA

Pembimbing : dr. Yuzza Alfarra, Sp.KK

Semarang, Juli 2019

Pembimbing,

(dr. Yuzza Alfarra, Sp.KK)


Terapi Kortikosteroid dalam Kombinasi dengan Antibiotik untuk
Erysipelas
Michal Solomon MD*, Aviv Barzilai MD*, Hila Elphasy MD, Henri Trau MD and Sharon Baum MD
Penerjemah : Puspita Vania P P R.
ABSTRAK
Latar Belakang: Erysipelas, suatu infeksi akut jaringan dermal dan subkutan, normalnya diobati dengan
antibiotik. Data sebelumnya mengindikasikan bahwa pengobatan dengan prednison dalam kombinasi dengan
antibiotik menghasilkan percepatan signifikan fase penyembuhan.
Tujuan: Untuk meneliti efektifitas kortikosteroid dikombinasikan dengan antibiotik untuk pengobatan
erysipelas
Metode: Suatu penelitian retrospektif dilakukan pada pasien yang dirawat inap didiagnosis Erysipelas antara
2004 dan 2011 pada Departemen Dermatologi pada pusat medis Sheba, Israel. Data termasuk epidemiologi,
latar belakang medis, dan perjalanan penyakit seperti yang dicatat saat pedaftaran dan saat rawat inap.
Hasil: Data dikumpulkan dari 173 pasien (66% laki-laki) yang dibagi menjadi dua kelompok: kelompok kontrol
diberi perlakuan hanya antibiotik (97 pasien) dan kelompok penelitian diberi perlakuan antibiotik dan prednison
(76 pasien). Kelompok penelitian yang datang dengan bentuk lebih parah erysipelas (bulosa) dan pasien tersebut
dirawat inap untuk waktu yang lebih lama (8,5 vs 7 hari). Walau demikian, kelompok penelitian menunjukkan
71% peningkatan klinis setelah diberi perlakuan prednison, tanpa efek samping signifikan; walau demikian,
follow-up jangka panjang menunjukkan insidensi eritem dan rekurensi erysipelas pada kelompok kontrol.
Kembalinya ke fungsi penuh lebih cepat pada kelompok penelitian dibandingkan kelompok kontrol.
Kesimpulan: Mengkombinasikan prednison dengan antibiotik untuk pengobatan erysipelas harus
dipertimbangkan, terutama pada kasus yang berat. Selebihnya, suatu penelitian double-blind harus dilakukan
untuk memverifikasi kesimpulan ini
Kata kunci: Erysipelas, kortikosteroid, pengobatan, selulitis

PENDAHULUAN
Erysipelas adalah infeksi akut jaringan dermal dan subkutan yang juga dapat
melibatkan kapiler limfatik. Penyebab utamanya adalah streptokokkus grup A β-hemolitikus
dan Staphylococcus aureus. Limfedema adalah faktor predisposisi yang juga meningkatkan
resiko relaps. Onset lesi kulit sering didahului oleh gejala prodromal, seperti malaise,
menggigil, dan demam tinggi, yang bila ada, sering terjadi 48 jam sebelum keterlibatan kulit.
Keluhan kulit termasuk pruritus, rasa terbakar, nyeri tekan, dan bengkak.
Erysipelas ditemukan pada ekstremitas bawah pada 70-80% pasien. Wajah
terpengaruh hanya pada 5-20% kasus. Tidak terdapat perbedaan yang diketahui tentang
insidensi dan perjalanan klinis antara laki-laki dan wanita. Penelitian telah mengindikasikan
bahwa faktor predisposisi, dibandingkan gender, menyebabkan perbedaan laki/perempuan
apapun dalam insidensi. Tanda lokal peradangan, seperti rasa hangat, edema, dan nyeri tekan,
sering terjadi. Infeksi dengan keparahan lebih tinggi dapat terjadi pada pasien diabetic, yang
dapat mengembangkan berbagai vesikel dan bullae, bersama dengan ptekiae dan bahkan
nekrosis. Rekurensi lokal telah dilaporkan hingga 20% dari pasien dengan kondisi
predisposisi, yang dapat berujung ke hasil multilasi dan membatasi seperti elephantiasis

1
nostras verrukosa. Komplikasi langka potensial lainnya termasuk bacteremia dan syok septik.
Infeksi juga dapat menyebar ke katub jantung, sendi, dan tulang.
Pengobatan standar untuk erysipelas adalah sebuah antibiotik, terutama penisilin atau
sefaloforon (generasi pertama), dibeirkan kira-kira 10 hari. Pada kasus berat, antibiotik dapat
diberikan secara intravena saat rawat inap rumah sakit. Klinisi umumnya menghindari
memberikan kortikosteroid untuk infeksi aktif karena efek imunosupresifnya yang diketahui
dan karena kekhawatiran terkait komplikasi jangka panjang. Walau demikian, data
sebelumnya telah menunjukkan kortikosteroid adalah pengobatan bermanfaat dan aman
untuk beraneka ragam luas infeksi, termasuk meningitis bacterial, meningitis tuberkulosa,
pericarditis tuberkulosa, demam tifoid berat, tetanus, artritis bacterial, dan pneumonia
pneumosistis bila diberikan bersama dengan agen antimicrobial.
Suatu penelitian prospektif Skandanavia sebelumnya melaporkan erysipelas
menyembuhkan lebih cepat saat prednison diberikan ke terapi antibiotik konvensional.
Serupa, Ezzine et al. menunjukkan bahwa pengobatan gabungan antibiotik dan kortikosteroid
menyebabkan regresi cepat dari demam, nyeri, dan tanda-tanda kulit. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk menggambarkan pengalaman kami terkait efektifitas kombinasi
kortikosteroid dan antibiotik untuk pengobatan erysipelas.
PASIEN DAN METODE
Penelitian retrospektif ini berdasarkan data yang dikumpulkan antara 2004 dan 2011
dari pasien yang terdiagnosis erysipelas terbatas pada anggota tubuh bawah. Pasien semua
diobati pada Departemen Dermatologi pada Pusat Medis Sheba, yaitu pusat tersier terbesar di
Israel. Semua pasien yang ikut serta berumur 18 tahun keatas. Totalnya, 76 pasien diobati
dengan kombinasi antibiotik dan prednison dan 97 pasien diobati hanya dengan antibiotik.
File pasien dianalisis dan data epidemiologis pendahulu didapat, termasuk umur,
gender, tempat infeksi awal, komorbiditas saat diagnosis, faktor resiko dan informasi terkait
deskripsi lesi kulit (dalam hal kemerahan, bengkak, nyeri tekan seperti yang dideskripsikan di
file medis), gejala sistemik, pemeriksaan laboratorium, obat yang diberikan, durasi rawat
rumah sakit, dan efek samping pengobatan. Data follow-up didapat dari visit klinik rawat
jalan.
Suatu survei lewat telefon juga dilakukan pada sub-kelompok kecil dari pasien yang
diobati antara tahun 2010 dan 2012. Pasien ditanyakan tentang kondisi medisnya setelah
keluar dari rumah sakit, termasuk eritema kulit persisten, edema, nyeri, episode recurrent
erysipelas, dan penggunaan pengobatan antibiotik profilaksis. Subjek hanya ditanya
pertanyaan ya atau tidak tentang status pengobatan sekarang mereka sejak rawat inap terkait

2
erysipelas. Pertanyaan yang berhubungan dengan keberadaan edema, persistensi kemerahan,
nyeri, dan episode rekurren infeksi. Bila jawabannya positif, mereka ditanya untuk menilai
keparahan gejala pada skala 1-5, dimana 1 mewakili derajat terendah dan 5 tertinggi derajat
tertinggi gejala tersebut. Penelitian ini disetujui oleh komite etik rumah sakit kami.
Protokol pengobatan yang umum untuk tambahan prednison untuk pasien dengan
bentuk berat erysipelas termasuk 0,5 mg/kg prednison selama 2-3 hari hingga ada perbaikan
dan juga dirutunkan menjadi 10 mg prednison setiap 2 hari setelah berhenti diobati.
Pengobatan diberikan hanya setelah demam menurun dan jumlah WBC menurun. Semua
pasien diberikan prednison saat masih diberi antibiotik.
Pemasukan data dan analisis statistik dilakukan menggunakan Statistikal Package for
Social Sciences (SPSS) versi 15,0 untuk Windows. Interval kepercayaan diperluas hingag
95%. Suatu nilai P dibawah 0,05 diterima sebagai signifikan secara statistik. Nilai
diekspresikan sebagai mean ± standar deviasi.
HASIL
Data dikumpulkan dari 173 pasien. Umur rata-rata diagnosis adalah 55,8 tahun +-
17,7 tahun, rasio perempuan ke laki-laki adalah 1:198 (58 perempuan, 115 laki-laki, 66%
laki-laki, P < 0,001). Pasien dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok penelitian termasuk 76
pasien (31 perempuan dan 45 laki-laki) yang diobati dengan antibiotik (contoh, prokain,
penicillin, oksacilin, cefamezin, clindamisin, atau ofloxacin) dan kortikosteroid. Kelompok
kontrol termasuk 97 pasien (27 perempuan dan 70 laki-laki) yang diobati dengan antibiotik
saja. Kelompok ini tidak berbeda secara statistik terkait umur, gender, komorbiditas yang ada
saat diagnosis Erysipelas (Tabel 1).

3
Tabel 1. Perbandingan data demografik,komorbid dan faktor risiko dari erysipelas
antara kelompok penelitian dan kelompok kontrol (Jumlah pasien =173), P = Tidak
signifikan
Kelompok Kelompok
Penelitian Kontrol
Jumlah pasien 76 97
Laki - laki : Perempuan 45:31 70:27
Rata-rata usia (Tahun) 56,4 55,3
Diabetes mellitus (%) 15,8 19,6
Hipertensi (%) 42,1 34
Penyakit jantung (%) 22,4 21,6
Obesitas (%) 25 22,7
Tinea pedis (%) 67,1 71,1
Limfadema (%) 13,2 10,3
Dermatitis statis (%) 7,9 11,3
Jaringan parut (%) 11,3 17,5

Komorbiditas ini didokumentasikan sebelum inisiasi terapi prednison, maka


menyingkirkan kemungkinan efek samping karena glukokortikoid. Tidak ada perbedaan
signifikan statistik dicatat antara faktor resiko, seperti tinea pedis, limfedema, dermatitis
statis, dan bekas luka post-bedah
Secara keseluruhan, 134 pasien (77,5%) mempunyai komorbiditas saat diagnosis
awal, yang paling sering adalah hipertensi (37,6%) dan obestitas (23,7%), diikuti oleh
penyakit jantung (22%) dan diabetes (17,9%).

Tabel 2. Keparahan penyakit : Perbandingan antara kelompok penelitian dan


kelompok kontrol
Durasi Jumlah Demam Durasi Bentuk Limfadenopati Limfangitis
rawat inap leukosit pemberian Bulosa
antibiotik
Kelompok 7 13447 37,6 10,9 20,6% 43,3% 19,6%
kontrol
Kelompok 8,5 14241 37,8 11 38,2% 43,4% 22,4%
penelitian
Nilai P 0,03* TS TS TS 0,01* TS TS
* Mendekati signifikan
TS = Tidak signifikan

4
Tabel 2 menunjukkan keparahan penyakit dari dua kelompok. Perbedaan yang
signifikan secara statistik ditemukan antar kelompok dalam hal durasi rawat inap rumah sakit
dan diagnosis erysipelas bulosa. Suatu presentasi lebih tinggi dari pasien pada kelompok
penelitian (38,2%) datang dengan bentuk berat erysipelas (bulosa) bila dibandingkan dengan
kelompok kontrol (20,6%) (P < 0,05). Pasien pada kelompok penelitian mempunyai durasi
rawat inap lebih lama (8,5 ± 3,7 hari) dibandingkan dengan pasien pada kelompok kontrol (7
± 5 hari). Tidak ada perbedaan signifikan yang dicatat antar dua kelompok dalam hal jumlah
WBC, demam, durasi pengobatan antibiotik, keberadaan limfadenopati dan/atau limfangitis.
Kelompok penelitian diobati dengan dosis rata-rata 32,8 mg prednison per hari. Dosis
pertama diberikan pada hari 5,5 perawatan rumah sakit, dengan rata-rata 6,4 hari. Secara
keseluruhan, 71% dari pasien ini menunjukkan perbaikan klinis setelah satu atau dua hari
pengobatan. Tidak ada efek samping signifikan yang tampak. Perbaikan didefinisikan sebagai
perbaikan lokal dalam hal eritem, nyeri, ukuran lesi, dan jangkauan edema kaki. Follow up
jangka pendek dilakukan 2 minggu setelah lepas dari rumah sakit mengungkap perbedaan
signifikan untuk edema antar kelompok penelitian dan kontrol (31,6% vs 15,5%, berturut-
turut, P < 0,05), seperti yang disimpulkan pada Tabel 3. Semua pertanyaan follow up lain,
termasuk kemerahan, nyeri, episode rekurren, dan perawatan rumah sakit berulang,
menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan secara statistik antar dua kelompok.
Tabel 3. Follow up jangka pendek
Erysipelas Edema Eritema Nyeri Rawat Kunjungan Komplikasi
rekurren inap IGD jangka
ulang panjang
Kelompok 14,4 % 15,5% 14,4% 8,2% 8,1% 8,1% 5,2%
kontrol
Kelompok 17,1% 31,6% 22,4% 7,9% 4,9% 7,3% 5,3%
penelitian
Nilai P TS 0,01 TS TS TS TS TS
TS = Tidak signifikan

Tabel 4. Hasil Survei Telefon


Erysipelas Edema Eritema Nyeri Rawat Kembali ke
rekurren kronik Persisten kronik inap fungsi penuh
ulang
Kelompok 22,5 % 18,5% 29,6% 11,1% 7,4% 88,9%
kontrol
Kelompok 16,7% 11,1% 5,6% 5,6% 16,7% 100%
penelitian
Nilai P TS 0,04 TS TS TS TS
TS = Tidak signifikan

5
Sub kelompok kecil dari 45 pasien (26%) juga berpartisipasi dalam survei telepon.
Subkelompok ini termasuk 27 pasien dari kelompok kontrol asli dan 18 pasien dari kelompok
penelitian. Semua pasien diminta untuk menilai eritema, nyeri dan edema yang mereka alami
setelah keluar dari rumah sakit. Secara signifikan pasien dari kelompok kontrol (29,6%) lebih
banyak mengalami kemerahan bila dibandingkan dengan kelompok penelitian (5,6%) dan
pada pasien ini memerlukan pengobatan untuk insiden yang berulang (p,0,05). Pada
kelompok penelitian juga dilaporkan lebih cepat kembali ke fungsi penih dibandingkan
kelompok kontrol (41 vs 172 hari). Perbedaan antar kelompok mendekti signifikansi statistik
(P=0,1). Nyeri dan edema tidak terdapat perbedaan secara signifikan antara kedua kelompok.
PEMBAHASAN
Steroid adalah pengobatan non-konvensional untuk infeksi kulit. Suatu penelitian
prospektif terdahulu, dilakukan di Skandinavia, mengacak 108 pasien rawat rumah sakit
dengan diagnosis erysipelas untuk diberi 8 hari pengobatan dengan antibiotik dipasangkan
dengan prednisolone atau placebo. Pasien yang diobati dengan prednisolone mempunyai
lama rawat inap median 5 hari vs 6 hari untuk pasien yang diberi placebo (P < 0,01). Pasien
pada kelompok placebo juga mengalami perlakuan intravena lebih lama signifikan
dibandingkan dengan kelompok prednisolone.
Pada penelitian retrospektif ini, pasien datang dengan erysipelas di anggota tubuh
bawah dibagi menjadi dua kelompok pengobatan untuk memperbolehkan evaluasi efek dari
pengobatan yang termasuk prednison selain antibiotik. Kelompok penelitian dan kontrol
dicocokkan dengan umur, gender, dan komorbiditas, tetapi kelompok penelitian mempunyai
bentuk lebih berat erysipelas, seperti yang dicerminkan oleh perawatan rumah sakit yang
lebih lama (8,5 vs 7 hari) dan penampakan klinis dari tipe bulosa erysipelas. Indikasi ini
mencerminkan keputusan kami untuk memberikan steroid pada kasus dimana resolusi lambat
atau inadekuat. Walau demikian, secara keseluruhan 71% dari pasien pada kelompok
penelitian memberikan peningkatan klinis signifikan terkait situasinya 1 hingga 2 hari setelah
pemberian prednisolone. Maka, seperti yang diharapkan, prednison tampak sebagai agen
modifikasi pada perjalanan penyakit. Follow up jangka pendek kondisi pasien setelah
pelepasan mengindikasikan edema lebih banyak signifikan pada kelompok penelitian
dibandingkan kelompok kontrol, yang dapat mencerimnkan penyakit lebih berat pada
kelompok penelitian atau efek sementara steroid terkait hal tersebut. Namun, meskipun
dilakukan pada sekelompok kecil pasien, survei telepon jangka panjang menunjukkan
prevalensi kekambuhan dan eritema persisten dalam kelompok penelitian secara signifikan
lebih rendah.

6
Edema serupa antar dua kelompok pada titik akhir ini, mensugesti bahwa suatu
peningkatan lebih jauh dan lebih signifikan pada kelompok penelitian telah terjadi, terutama
bila seseorang mempertimbangkan bahwa follow-up jangka pendek lebih berat pada
kelompok ini. Selebihnya, kelompok yang diobati cenderung kembali ke fungsi penuh lebih
cepat. Perbedaan ini tidak signifikan secara statistik, mungkin karena sampel sedikit peserta
yang diikutsertakan di survei telefon (26%). Patut dicatat, walaupun survei menunjukkan
suatu tingkat lebih tinggi rawat rumah sakit rekurren pada kelompok pengobatan, hal tersebut
hanya mencerminkan keparahan kasus yang diobati dengan prednison. Kecenderungan untuk
berulang kembali setelahnya tidak dapat dicegah oleh pengobatan prednison saja, dan
pengobatan antibiotik preventif harus dipertimbangkan pada kasus tersebut. Suatu sampel
lebih besar mungkin memberikan hasil dengan akurasi lebih tinggi.
Tidak serupa dengan temuan pada penelitian terdahulu, kelompok penelitian kami
menunjukkan hanya penyembuhan sedikit lebih cepat dan periode rawat rumah sakit sebagai
respon terhadap kombinasi prednison dan antibiotik. Hal ini dapat dijelaskan oleh keparahan
lebih berat erysipelas diantara pasien pada kelompok penelitian seperti yang dicerminkan
oleh fakta bahwa 38,2% dari pasien pada kelompok penelitian datang dengan erysipelas
bulosa. Kondisi berat ini membutuhkan waktu rawat inap rumah sakit lebih lama, tanpa
meninjau pengobatan. Suatu perbedaan antara penelitian sekarang dan penelitian terdahulu
adalah bahwa pasien pada penelitian yang dilakukan di Skandinavia mendapat pengobatan
Prednison sejak hari pertama rawat inap, dibandingkan dengan hari 5,5 dari penelitian kami.
Penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasam. Secara umum, sebagian besar kasus
yang didiagnosis dengan erysipelas cenderung ringan dan diobati di komunitas; maka, pasien
pada penelitian ini mewakili dengan bentuk lebih berat dari penyakit yang perlu rawat inap
rumah sakit. Selebihnya, ini adalah penelitian retrospektif berdasarkan daya yang
dikumpulkan dari file pasien; maka kelompok tidak diacak. Selebihnya, bukan sebuah
penelitian case-kontrol.
Walau adanya keterbatasan ini dan keparahan lebih berat erysipelas pada kelompok
penelitian, pasien yang diobati dengan prednison dengan jelas mendapat manfaat dari
pengobatan ini. Mereka menunjukkan kemerah lebih rendah, suatu pengembalian ke fungsi
pnuh lebih cepat setelah pengobatan, dan tingkt rekurensi lebih redah dibandingkan yang
diobati antibiotik saja. Selebihnya, segera setelah inisiasi steroid, perbaikan telah dicatat, dan
ini dapat berkontribusi terhadap kemungkinan pelepasan lebih cepat dari rumah sakit
walaupun penyakitnya yang lebih berat. Lebih penting lagi, kelompok penelitian tidak
menunjukkan efek samping signifikan karena prednison.

7
KESIMPULAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa prednison, dibeirkan bersama antibiotik sebagai
pengobatan kasus berat erysipelas, dapat berkotribusi terhadap laju pemulihan lebih cepat dan
kembalinya fungsi penuh lebih cepat, dengan resiko lebih rendah rekurensi dan eritema lokal
persisten. Maka kami merekomendasikan untuk mempertimbangkan memberi prednison
secepatnya setelah demam pasien menurun, agar perbaikan lebih cepat. Suatu penelitian
double blind harus dilakukan untuk memverifikasi kesimpulan kami.

DAFTAR PUSTAKA
1. Bisno AL, Stevens DL. Streptococcal infections of skin and sof tissues. N Engl J Med
1996; 334: 240-5.
2. Kahn RM, Goldstein EJ. Common bacterial skin infections. Diagnostic clues and
therapeutic options. Postgrad Med 1993; 93: 175-823.
3. Bratton RL, Nesse RE. St. Anthony’s Fire: diagnosis and management of erysipelas.
Am Fam Physician 1995; 51: 401-4.4.
4. Pereira de Godoy JM, Galacini Massari P, Yoshino Rosinha M, Marinelli Brandao R,
Foroni Casas AL. Epidemiological data and comorbidities of 428 patients hospitalized
with erysipelas. Angiology 2010; 61: 492-4.5.
5. Morris AD. Cellulitis and erysipelas. BMJ Clin Evid 2008; 2008. pii: 1708.
6. Bonnetblanc JM, Bedane C. Erysipelas: recognition and management. Am J Clin
Dermatol 2003; 4: 157-63.
7. Jorup-Ronstrom C. Epidemiological, bacteriological and complicating features of
erysipelas. Scand J Infect Dis 1986; 18: 519-24.
8. Bishara J, Golan-Cohen A, Robenshtok E, Leibovici L, Pitlik S. Antibiotic use in
patients with erysipelas: a retrospective study. IMAJ 2001; 3: 722-4.
9. McGee S, Hirschmann J. Use of corticosteroids in treating infectious diseases. Arch
Intern Med 2008; 168: 1034-46.
10. Bergkvist PI, Sjobeck K. Antibiotic and prednisolone therapy of erysipelas: a
randomized, double blind, placebo-controlled study. Scand J Infect Dis 1997; 29: 377-
82
11. Bergkvist PI, Sjobeck K. Relapse of erysipelas following treatment with prednisolone
or placebo in addition to antibiotics: a 1-year follow-up. Scand J Infect Dis 1998; 30:
206-7.
12. Ezzine Sebai N, Hicheri J, Trojjet S, et al. Systemic corticosteroids and their place in
the management of hemorrhagic erysipelas. Tunis Med 2008; 86: 49-52 [French].

Anda mungkin juga menyukai