Anda di halaman 1dari 11

JOURNAL READING

“Immunotherapy and probiotic treatment for allergic rhinitis in children”

Pembimbing:
dr. Prastowo Sidi Pramono, Sp.A

Disusun oleh:
Audria Fibi Annisa
2017730137

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang senantiasa
melimpahkan kenikmatan kesehatan baik jasmani maupun rohani sehingga pada
kesempatan ini penulis dapat menyelesaikan penyusunan tugas journal reading.
Penulis mengharapkan saran dan kritik yang dapat membangun dari berbagai pihak
agar di kesempatan yang akan datang penulis dapat membuatnya lebih baik lagi.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar - besarnya
kepada dr. Prastowo Sidi Pramono, Sp.A selaku pembimbing serta berbagai pihak
yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan journal reading ini.
Demikian tugas ini penulis buat sebagai tugas dari kepaniteraan Stase Ilmu
Kesehatan Anak serta untuk menambah pengetahuan bagi penulis dan pembaca.
Semoga journal reading ini dapat bermanfaat untuk kita semua.

Jakarta, Desember 2022

Penulis
Immunotherapy and probiotic treatment for allergic rhinitis in children
Imunoterapi dan pengobatan probiotik untuk rhinitis alergi pada anak-anak
Sumadiono, Cahya Dewi Satria, Nurul Mardhiah, Grace Iva Susanti

Abstrak
Latar Belakang Rhinitis alergi merupakan masalah kesehatan global yang
prevalensinya meningkat. Berbagai jenis terapi sudah dicoba, seperti antihistamin,
probiotik, dan imunoterapi. Imunoterapi berguna untuk mengembalikan imunitas
normal pasien terhadap alergen spesifik, sedangkan probiotik dapat memodifikasi
perjalanan alami alergi.
Tujuan Untuk mengevaluasi probiotik dan imunoterapi dalam meningkatkan
gejala klinis rhinitis alergi.
Metode Uji coba terkontrol secara acak melibatkan 64 pasien, berusia 3-18 tahun,
dan didiagnosis dengan rhinitis alergi persisten di Departemen Kesehatan Anak,
Rumah Sakit Umum Sardjito dari April 2016 hingga Mei 2017. Pasien
dikelompokkan secara acak ke dalam tiga kelompok terapi: kelompok A (terapi
standar/hanya cetirizine), kelompok B (terapi standar dan probiotik), dan kelompok
C (terapi standar dan imunoterapi). Gejala klinis untuk rhinitis alergi yaitu bersin,
rhinorea, dan hidung yang terasa gatal dievaluasi selama 7 minggu dan
diklasifikasikan sebagai membaik dan tidak membaik. Signifikansi data dianalisis
menggunakan uji proporsi.
Hasil Enam puluh empat pasien melengkapi 7 minggu terapi, 15 subjek pada
kelompok A, 26 pada kelompok B, dan 23 pada kelompok C. Kelompok C
menunjukkan perbaikan gejala bersin dan rhinorea secara signifikan dibandingkan
kelompok A (Z= 5.71; Z= 7.57, masing-masing) dan kelompok B (Z= 2.82; Z=
6.90, masing-masing). Akan tetapi hidung yang terasa gatal tidak membaik secara
signifikan pada kelompok C dibandingkan dengan kelompok B (Z= 0.50), tetapi
secara signifikan mengalami perbaikan pada kelompok C dibandingkan kelompok
A (Z= 10.91). Kelompok B mengalami perbaikan yang signifikan pada bersin,
rhinorea, dan hidung yang terasa gatal dibandingkam kelompok A (Z= 3.81, Z=
2.86, dan Z= 10.91, masing-masing).
Kesimpulan Kelompok kombinasi terapi standar dan imunoterapi mengalami
perbaikan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan kelompok kombinasi terapi
standar-probiotik dan kelompok terapi standar dalam hal bersin dan rhinorea pada
anak-anak dengan rhinitis alergi persisten.
Latar Belakang
Penyakit sistem pernapasan yang disebabkan oleh alergi merupakan
masalah kesehatan besar dalam populasi pediatri oleh karena prevalensinya yang
tinggi dan kronisitasnya, juga biaya pengobatan dan dampaknya bagi kualitas
hidup. Salah satu faktor risiko paling penting terjadinya penyakit saluran napas
pada anak-anak dan remaja adalah atopi. Kondisi ini mendominasi selama masa
kanak-kanak, dengan 25% diklasifikasikan menderita rhinitis alergi berat.
Prevalensi asma dan alergi meningkat beberapa dekade ke belakang. Penyakit
alergi merupakan penyakit multifaktorial yang ditentukan oleh interaksi yang
kompleks antara faktor genetik dan lingkungan. Sebuah studi prevalensi dan
komorbiditas alergi pada anak-anak sebelumnya pada tahun 2014 menujukkan
33.8% didiagnosis sebagai rhinitis alergi, 17.3% dengan dermatitis atopik, dan
9.1% dengan asma. Tungau debu rumah merupakan aeroalergen yang paling umum.
Rhinitis alergi didefinisikan sebagai reaksi alergi hipersensitivitas tipe 1
dengan dominasi sel Th2 dan dikarakteristikan oleh kadar IgE yang tinggi. Terapi
standar rhinitis alergi yaitu antihistamin generasi kedua, namun terapi tambahan
mungkin dibutuhkan pada kasus persisten atau berat. Terapi probiotik memiliki
dampak modifikasi penyakit yang unik dengan memanipulasi ekosistem flora
normal pada saluran pencernaan, memicu stabilitas respon imun Th1 dan Th2, dan
menstimulasi T-regulator untuk menghambat reaktivitas berlebihan dari Th1 dan
Th2. Suplementasi probiotik menunjukkan manfaat menunjukkan persentase
eosinofil nasal pada anak-anak dengan rhinitis alergi.
Imunoterapi diberikan dengan tujuan memodifikasi patogenesis dari rhinitis
alergi. Dengan meningkatkan jumlah alergen untuk memodifikasi respon biologis,
toleransi jangka panjang dapat dipicu, bahkan setelah pengobatan telah selesai.
Pendekatan terapi ini menunjukkan hasil berupa berkurangnya gejala dan
meningkatnya kualitas hidup, juga efektif dari segi biaya bagi sebagian besar
pasien. Selain itu, imunoterapi dianggap sebagai satu-satunya terapi yang dapat
memengaruhi perjalanan alami penyakit dengan menargetkan respon inflamasi
penyebab alergi. Pada rhinitis alergi, efektivitas imunoterapi telah ditunjukkan pada
banyak percobaan placebo terkontrol yang dilakukan secara cermat. Sensitivitas uji
kulit menurun dan IgG spesifik alergen meningkat dengan imunoterapi.
Imunoterapi juga menunjukkan hasil yang sangat efektif pada rhinitis alergi
musiman dan tahunan. Imunoterapi menggunakan alergen tungau debu rumah telah
banyak digunakan di negara-negara berkembang untuk mengobati rhinitis alergi
dan asma, tetapi jarang digunakan di Indonesia. Frekuensi gejala digunakan untuk
memperkirakan efektivitas imunoterapi pada pasien asma. Pemberian imunoterapi
dan probiotik ajuvan dapat meningkatkan skor klinis dan kualitas hidup anak-anak
dengan asma, meskipun terdapat kekurangan berupa perbedaan yang signifikan
pada parameter imunologis seperti IFNγ dan eosinophil. Pengobatan ini juga
meningkatkan rasio sel T CD4+/CD8+, yang menyebabkan perbaikan gejala klinis
yang luar biasa pada anak-anak dengan asma. Studi ini bertujuan untuk
mengevaluasi probiotik dan imunoterapi untuk meningkatkan gejala klinis pada
rhinitis alergi.

Metode
Uji coba terkontrol secara acak ini dilaksanakan dari April 2016 hingga Mei
2017, pada subyek yang telah didiagnosis dengan rhinitis alergi persisten dan
diobati sebagai pasien rawat jalan di Divisi Alergi dan Imunologi, Departemen
Kesehatan Anak, Rumah Sakit Umum Dr. Sardjito. Kriteria inklusi yaitu anak-anak
berusia 3-18 tahun dengan rhinitis alergi persisten, setidaknya terdapat satu hasil
positif uji tusuk kulit, dan persetujuan tertulis dari orangtua. Diagnosis berdasarkan
pada klasifikasi Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma (ARIA) 2016 dengan
gejala timbul setidaknya 4 hari dalam seminggu selama paling tidak 4 minggu.
Peneliti mengeksklusi partisipan yang tidak melengkapi terapi selama 7 minggu,
partisipan dengan hasil uji tusuk kulit yang tidak biasa (lesi kulit luas atau
dermatografisme berat), pasien yang menggunakan antihistamin, dan pasien yang
tidak kooperatif.
Subyek dikelompokkan ke dalam tiga kelompok menggunakan desain blok
acak dan diikuti perkembangannya hingga minggu ke-7 terapi. Tiga kelompok yaitu
kelompok A (terapi standar/hanya menggunakan cetirizine), kelompok B (terapi
standar dan probiotik), dan kelompok C (terapi standar dan imunoterapi). Peneliti
menggunakan cetirizine 10 mg sebagai terapi standar, satu sachet Protexin® untuk
probiotik, dan alergen tungau debu rumah dengan konsentrasi 0.001 dari bagian
Farmasi Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo. Perbaikan setiap gejala klinis dievaluasi
dengan membandingkan frekuensi timbulnya gejala sebelum dan setelah 7 minggu
dilakukan terapi. Signifikansi data dianalisis menggunakan uji proporsi. Protokol
studi telah disetujui oleh Komite Etik Penelitian Medis Fakultas Kedokteran,
Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada.

Hasil
Total 64 subyek berusia 3-18 tahun diikutsertakan dalam studi dan
ditempatkan secara acak pada tiga kelompok dengan pembagian sebagai berikut:
15 orang di kelompok A, 26 orang di kelompok B, dan 23 orang di kelompok C.
Kebanyakan subyek adalah laki-laki (10 di kelompok A, 16 di kelompok B, dan 16
di kelompok C). Subyek paling banyak terdiri dari kelompok usia 3 hingga 12 tahun
di kelompok A (12) dan kelompok B (20), tetapi pada kelompok C subyek banyak
terdiri dari kelompok usia >12-18 tahun. Kebanyakan subyek memiliki riwayat
rhinitis alergi sebelum dilaksanakannya studi, dengan gejala berupa bersin-bersin,
rhinorrea, dan hidung yang terasa gatal. Garis besar karakteristik subyek disajikan
pada Tabel 1.

Perbaikan setiap gejala klinis dievaluasi dengan membandingkan frekuensi


sebelum dan setelah minggu ke-7 terapi. Perbandingan perbaikan gejala klinis di
antara kelompok-kelompok tersebut disajikan pada Tabel 2, 3, dan 4. Tabel 2
menunjukkan kelompok B mengalami perbaikan gejala klinis secara signifikan
dibandingkan dengan kelompok A. Bersin-bersin meningkat pada 18/26 subyek di
kelompok B vs 9/15 subyek di kelompok A (Z=3.81). Rhinorrea membaik pada
19/26 subyek di kelompok B vs 10/15 di kelompok A (Z=2.86). Hidung yang terasa
gatal membaik pada 19/26 subyek di kelompok B vs 7/15 di kelompok A (z=10.91).

Tabel 3 menunjukkan gejala klinis berupa bersin-bersin dan rhinorrea yang


secara signifikan membaik pada kelompok C dibandingkan dengan kelompok B
[bersin-bersin: 17/23 pada kelompok C vs 18/26 pada kelompok B (Z=2.82);
rhinorrea: 19/23 pada kelompok C vs 19/26 pada kelompok B (Z=6.90)]. Akan
tetapi, meskipun gejala hidung terasa gatal menunjukkan perbaikan yang paling
besar pada kedua kelompok B dan C, tidak terdapat perbedaan yang signifikan di
antara kedua kelompok, dengan 17/23 pada kelompok C vs 19/26 pada kelompok
B yang mengalami perbaikan (Z=0.50).

Tabel 4 menunjukkan perbaikan gejala klinis di antara kelompok A dan C.


Kelompok C menunjukkan perbaikan gejala secara signifikan dibandingkan
kelompok A [bersin-bersin: kelompok C 17/23 vs kelompok A 9/15 (Z=5.71);
rhinorrea: kelompok C 19/23 vs kelompok A (Z=7.57); hidung yang terasa gatal:
kelompok C 17/23 vs kelompok A 7/15 (Z=10.91)].
Diskusi
Anak-anak dengan rhinitis alergi persisten yang menerima terapi standar
(antihistamin) yang dikombinasi dengan imunoterapi memiliki perbaikan secara
signifikan pada gejala bersin-bersin dan rhinorrea dibandingkan yang menerima
kombinasi terapi standar dan probiotik, dan yang menerima terapi standar saja. Hal
serupa juga ditemukan pada uji kontrol acak oleh Karakoc-Aydiner dkk, yang
menyimpulkan bahwa anak-anak dengan asma dan.atau rhinitis yang tersensitisasi
tungau debu rumah yang diterapi dengan injeksi imunoterapi subkutan atau
imunoterapi sublingual menunjukkan perbaikan klinis yang lebih baik
dibandingkan anak-anak yang hanya mendapat antihistamin. Studi lainnya oleh
Smith dkk di tahun 2004 juga menunjukkan perbaikan yang signifikan pada
berkurangnya gejala pilek dan bersin-bersin jika dibandingkan antara imunoterapi
dan plasebo. Studi serupa juga dilakukan oleh Palma-Carlos dkk dan menunjukkan
hasil perbaikan yang signifikan pada gejala rhinorrea, bersin-bersin, dan
konjungtivitis dibandingkan dengan plasebo setelah satu tahun terapi.
Probiotik merupakan mikroba yang memberikan manfaat pada host, seperti
menormalkan dysbiosis mikrobiota, yang berkaitan dengan imunopatologi.
Dijelaskan oleh Hardy dkk dalam sebuah tinjauan pada 2013 bahwa probiotik
memiliki kemampuan imunomodulasi pada sel, molekul dan respon imun pada
mukosa usus.
Injeksi imunoterapi subkutan telah menunjukkan efikasi pada manajemen
rhinitis alergi dan asma, bahkan pada situasi dengan multi alergen. Terapi ini efektif
sebagai pencegahan terhadap sensitisasi baru dan perkembangan rhinitis menjadi
asma. Imunoterapi bekerja pada aksis sel T helper tipe 1 (Th1/Th2) untuk
menggeser fenotipe sel T dari fenotipe alergi Th2. Baru-baru ini, terdapat bukti-
bukti yang menunjukkan bahwa imunoterapi dapat meningkatkan pengaturan kerja
sel T dalam melemahkan gejala alergi.
Dari studi ini, peneliti menyimpulkan bahwa imunoterapi yang dikombinasi
dengan antihistamin menunjukkan perbaikan yang lebih baik dibandingkan dengan
antihistamin saja atau antihistamin dengan probiotik.

Anda mungkin juga menyukai