Anda di halaman 1dari 22

Journal Reading

Immunogenicity and Safety of Monovalent Acellular Pertussis Vaccine at


Birth : A Randomized Clinical Trial

Oleh:
Reza Fitranto Tri Wibowo
H1A 015 057

Pembimbing:
dr. Putu Aditya Wiguna, Sp.A

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITRAAN KLINIK MADYA


DI BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan rahmat
dan petunjuk dari-Nya penyusunan tugas journal reading dengan judul “Immunogenicity and
Safety of Monovalent Acellular Pertussis Vaccine at Birth : A Randomized Clinical Trial”
dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penyusunan
journal reading ini adalah untuk memenuhi tugas dalam proses kepanitraan klinik di bagian
SMF ilmu kesehatan anak Fakultas Kedokteran Universitas Mataram, Rumah Sakit Umum
Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Selain itu, saya berharap tulisan ini dapat memberikan
manfaat bagi profesi kedokteran, serta dapat meningkatkan dan memperluas pemahaman
mengenai efek imunogenititas dan keamanan pemberian vaksin monovalent acelluar pertussis
pada bayi.
Saya menyadari bahwa dalam penyusunan tugas ini masih terdapat banyak kekurangan
dan belum sempurna. Oleh karenanya, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan
untuk perbaikan kedepannya. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan
bantuan dan melimpahkan petunjuk-Nya kepada kita semua.

Mataram, 19 Juni 2020

Penulis
Identitas Jurnal
Judul Jurnal : Immunogenicity and Safety of Monovalent Acellular
Pertussis Vaccine at Birth : A Randomized Clinical
Trial
Jenis Jurnal : Research Paper
Penulis : Wood, N., Nolan, T., Marshall, H., Richmond, P.,
Gibbs, E., Perrett, K., & McIntyre, P.
Penerbit : JAMA Pediatrics
Tahun Terbit : 2018
ABSTRAK

Latar Belakang: Pilihan alternatif selain vaksinasi ibu untuk mencegah pertusis berat pada
bayi adalah vaksinasi saat lahir. Diperlukan data tentang imunogenisitas dan dosis yang aman
dari vaksin monovalent acellular pertussis (aP).

Tujuan: Untuk membandingkan respon antibodi IgG terhadap antigen vaksin pada bayi baru
lahir yang berusia 6, 10, 24, dan 32 minggu yang mendapatkan vaksin aP dan vaksin hepatitis
B (HBV) atau hanya HBV.

Metode: Percobaan klinis acak (RCT) dilakukan pada 4 tempat di Australia (Sydney,
Melbourne, Adelaide, dan Perth) pada tanggal 11 Juni 2011 sampai 14 Maret 2013. Penelitian
ini dilakukan pada 440 bayi yang lahir sehat (dengan usia kehamilan >36 minggu) dengan
usia < 5 hari. Analisis statistik dilakukan pada tanggal 1 Maret 2015 sampai 2 Juni 2016.

Intervensi: Bayi baru lahir akan menerima HBV dan setelah stratifikasi dengan vaksinasi
selama kehamilan (toksoid tetanus, toksoid difteri tereduksi, dan konten antigen pertusis
[Tdap]) bayi tersebut dipilih secara acak untuk menerima Vaksin aP (tanpa difteri atau
tetanus) dalam 5 hari setelah kelahiran atau tidak. Pada usia 6, 16, dan 24 minggu, bayi
menerima vaksin heksavalen dengan difteri formulasi pediatrik, tetanus dan pertusis antigen
(DTaP), Haemophilus influenzae tipe b (Hib), HBV, dan vaksin polio, serta vaksin konjugat
pneumokokus.

Luaran Utama dan Pengukuran: Konsentrasi rata-rata geometri dari antibodi IgG terhadap
pertusis toksin (PT), pertaktin, dan hemagglutinin filamen pada usia 6, 10, dan 24 minggu
dikelompokkan berdasarkan riwayat Tdap pada ibu, dan antibodi HBV, Hib, polio, difteri,
tetanus, dan pneumokokus serotype pada usia 32 minggu. Hasil utama adalah IgG yang
terdeteksi untuk PT dan pertactin pada usia 10 minggu.

Hasil: Sebanyak 440 bayi (207 perempuan dan 233 laki-laki; rata-rata usia kehamilan 39,2
minggu) dipilih secara acak untuk menerima vaksin aP dan HBV (n = 221) atau hanya HBV
(kelompok kontrol; n = 219). Pada usia 10 minggu, sebanyak 192 dari 206 bayi yang
menerima vaksin aP (93,2%) terdeteksi antibodi terhadap PT dan pertaktin, sedangkan
sebanyak 98 dari 193 bayi pada kelompok kontrol (50,8%) (P <0,001). Konsentrasi rata-rata
geometrik dari IgG PT empat kali lebih tinggi di antara kelompok yang menerima vaksin aP.
Pada usia 32 minggu, semua bayi (n = 181 dengan serum yang tersedia untuk pengujian)
yang menerima vaksin aP saat lahir memiliki PT IgG yang terdeteksi dan memiliki
konsentrasi rata-rata geometri IgG yang jauh lebih rendah untuk antibodi Hib, hepatitis B,
difteri, dan tetanus. Kedua kelompok memiliki efek lokal dan sistemik yang hampir serupa.

Kesimpulan: Vaksin aP monovalen bersifat imunogenik dan aman untuk diberikan


pada neonatus. Jika tersedia dan memiliki izin, pemberian vaksin ini akan bernilai
bagi bayi yang baru lahir dengan ibu yang tidak menerima vaksin Tdap selama
kehamilan.
ISI JURNAL

A. Pendahuluan
Di negara-negara maju, kematian akibat pertusis di era pre-vaksin terjadi selama 2
tahun pertama kehidupan, tetapi kematian akibat pertusis pada era pasca-vaksin telah terjadi
pada sebagian besar bayi yang tidak divaksinasi pada usia >8 minggu. Satu dosis vaksin
pertusis pada bayi memberikan perlindungan signifikan terhadap kematian. Tingginya insiden
kematian akibat pertusis dalam 3 bulan pertama kehidupan mendorong studi awal tentang
vaksinasi ibu selama kehamilan dan bayi saat lahir. Meskipun uji pertama kali menggunakan
vaksin keseluruhan sel pertusis dilakukan pada tahun 1940-an, yang kemudian menjadi
perhatian tentang kekebalan terhadap imun dan berkurangnya respons dalam keberadaan
antibodi ibu, tidak mendorong penelitian lebih lanjut sampai vaksin aselular menjadi tersedia.
Penelitian pediatri tentang administrasi dari tetanus toksoid, toksoid difteri, dan vaksin
pertusis aselular (DTaP) saat kelahiran mengatakan adanya gangguan respon antibodi pertusis
pada usia 6 bulan, tetapi penelitian dari vaksin aP monovalen tanpa difteri dan tetanus
menemukan respons yang menguntungkan.
Pada awal penelitian ini pada tahun 2009, ketika administrasi toksoid tetanus, toksoid
difteri tereduksi, dan konten antigen pertusis (Tdap) dalam kehamilan dianggap bermasalah
karena hambatan hukum dan etik, peneliti menentukan untuk menguji potensi administrasi
vaksin aP saat lahir dilaksanakan lebih luas. Pada tahun 2009, saat administrasi Tdap
postpartum telah direkomendasikan secara rutin di Australia dan Amerika Serikat selama
beberapa tahun, tanggapan terhadap vaksinasi aP pada neonatus menjadi penilaian dengan
mengarah ke pemberian Tdap prepartum. Karena itu, kami merancang sebuah studi untuk
mendeteksi imunogenisitas yang bermakna secara klinis, termasuk pemilihan dari
sekelompok ibu yang telah mendokumentasikan penerimaan Tdap dalam 5 tahun sebelum
persalinan, untuk menilai respons bayi terhadap vaksin aP saat lahir.

B. Metode
Desain dan Subyek Penelitian
Dilakukan 3 fase secara acak, uji klinis nonblinded dari administrasi vaksin aP
monovalen untuk bayi baru lahir dilakukan antara 11 Juni 2010 sampai 14 Maret 2013 di 4
kota di Australia (Sydney, Melbourne, Perth, dan Adelaide). Protokol uji coba tersedia di
Supplement 1. Regulasi yang sesuai dan persetujuan etis diberikan oleh Clinical Trial
Notification Scheme, Therapeutic Goods Administration, Department of Health and Ageing,
Australian Government; Sydney Children’s Hospitals Network Human Research Ethics
Committee; Royal Children’s Hospital, Melbourne Human Research Ethics
Committee;Women’s and Children’s Hospitals, Adelaide, Human Research Ethics
Committee; dan Princess Margaret Hospital for Children Human Research Ethics
Committee. Percobaan ini terdaftar di Australian New Zealand Clinical Trials Registry dan
menggunakan Pedoman CONSORT. Persetujuan tertulis telah diperoleh dari orang tua atau
wali sebelum pendaftaran bayi.
Ibu dari bayi yang memenuhi syarat diseleksi pada masa antenatal atau pascakelahiran
di rumah sakit yang berpartisipasi. Peserta yang memenuhi syarat adalah bayi yang lahir
sehat setidaknya pada usia kehamilan 36 minggu setelah kehamilan yang tidak memiliki
komplikasi untuk ibu yang seronegatif terhadap antigen permukaan hepatitis B (HbsAg - ).
Bayi terdaftar pada usia 5 hari (120 jam) setelah kelahiran. Kriteria eksklusi dari penilitian ini
adalah adanya kontraindikasi vaksinasi yang telah diketahui, termasuk kondisi imunosupresif
yang terkonfirmasi atau dicurigai atau kondisi imunodefisiensi pada orang tua atau anak dan
cacat bawaan utama atau penyakit kronis serius.

Studi Acak dan Blinding


Ibu-ibu dari bayi yang memenuhi syarat dikelompokkan ke dalam mereka yang
menerima Tdap atau memiliki infeksi pertusis yang dikonfirmasi laboratorium dalam 5 tahun
(tetapi tidak selama kehamilan) atau bayi yang lahir dari ibu yang tidak menerima Tdap atau
memiliki infeksi pertusis yang dikonfirmasi di laboratorium dalam 5 tahun. Status vaksinasi
Tdap yang dilaporkan ibu selanjutnya dikonfirmasi pada tenaga kesehatan primer yang
ditugaskan memberikan vaksin. Setelah stratifikasi, bayi secara acak dalam rasio 1 : 1
menggunakan sistem pengacakan berbasis internet (Sistem Interactive Voice Response;
National Health and Medical Research Council Clinical Trials Centre, Sydney).

Intervensi.
Pada kunjungan 1, neonatus menerima vaksin aP dan vaksin hepatitis B (HBV) di
paha yang berlawanan dalam 120 jam setelah kelahiran (kelompok aP) atau hanya menerima
HBV (kelompok kontrol). Pada usia 6, 16, dan 24 minggu, semua bayi di semua lokasi
kemudian menerima vaksin heksavalen yang secara rutin diberikan pada waktu itu di
Australia (DTaP-hepatitis B-Haemophilus influenzae tipe b-virus polio yang tidak aktif) dan
vaksin konjugat pneumokokus 10-valent. Bayi di situs Sydney menerima vaksin rotavirus
oral pada usia 6 dan 16 minggu dan mereka di situs lain menerima vaksin rotavirus oral pada
usia 6, 16, dan 24 minggu. (Detail tentang vaksin ada di eAppendix dalam Suplemen 2.)

Imunnologi
Sampel serum pertama didapatkan dari ibu saat pendaftaran bayinya (kunjungan pertama,
dalam 120 jam setelah lahir). Tidak didapatkan sampel darah tali pusat. Sampel berikutnya (n
= 4) dikumpulkan dari bayi pada usia 6 minggu (kunjungan 2), usia 10 minggu (kunjungan
3), usia 24 minggu (kunjungan 5), dan usia 32 minggu (kunjungan 6) (Gambar). Detail
tentang analisis laboratorium dan pengukuran serologi disediakan di eAppendix dalam
Supplement 2.

Keamanan.
Setelah pemberian setiap vaksin, semua bayi diobservasi selama 30 menit. Keamanan vaksin
dinilai menggunakan kartu diari 7 hari setelah pemberian vaksin. Detail dari pengambilan
data disediakan di eAppendix dalam Supplement 2.

Pengukuran Hasil Utama


Tujuan primer adalah mengetahui proporsi bayi dengan respons antibodi IgG terhadap
toksin pertusis (PT) dan pertaktin (PRN) lebih besar dari 5 assayunits enzyme-
linkedimmunosorbent per mililiter (ELU / mL) pada usia 10 minggu. Hasil utama ini dipilih
berdasarkan studi kontak rumah tangga manusia.
Respons antibodi IgG bayi terhadap PT, PRN, dan hemagglutinin berfilamen (FHA)
dikumpulkan pada usia 6, 24, dan 32 minggu dibandingkan berdasarkan apakah mendapatkan
vaksin aP saat lahir atau tidak, dikelompokkan berdasarkan konfirmasi vaksinasi ibu atau
infeksi pertusis dan adanya antibodi pertusis pada ibu yang terdeteksi saat lahir. Respons
antibodi IgG terhadap antigen lain (hepatitis B, Hib, polio, difteri, tetanus, dan pneumokokus)
diukur pada usia 32 minggu lalu dibandingkan seperti yang telah dijelaskan.

Analisis Statistik
Analisis statistik dilakukan mulai 1 Maret 2015 hingga Juni 2 2016. Semua
konsentrasi antibodi serum diubah menjadi log untuk analisis statistik sebagai konsentrasi
rata-rata geometris (GMC). Analisis statistik mencakup kedua perbandingan GMC (dengan
95% CI) sebagai variabel kontinu (uji t) dan analisis kategori ambang batas antibodi yang
relevan (uji χ2). Untuk hasil utama, perbandingan antara pengobatan uji coba grup dilakukan
menggunakan uji Cochran-Mantel-Haenszel χ2 dan dikelompokkan berdasarkan status Tdap
ibu dan status infeksi pertusis ibu, menghasilkan estimasi rasio peluang dan terkait 95% CI.
Efek pengobatan dinyatakan sebagai perbedaan dalam proporsi. Analisis statistik dilakukan
di National Health and Medical Research Council Clinical Trials Centre menggunakan SAS
versi 9.3 (SASInstitute Inc), independen dari laboratorium pengujian. Semua nilai P berasal
dari tes 2 sisi dan hasilnya dianggap signifikan secara statistik pada P <0,05.

C. Hasil
Sebanyak 444 subyek penelitian didapatkan pada penelitian ini, yang dimana
sebanyak 440 yang diambil secara acak dan sebanyak 417 subyek (94,8% [212 pada
kelompok aP dan 205 pada kelompok kontrol]) menyelesaikan penelitian (Gambar).
Sebanyak 96 bayi (49 pada kelompok aP dan 47 pada kelompok kontrol) lahir dari ibu
dengan riwayat mendapatkan Tdap yang terdokumentasi dalam 5 tahun sebelum melahirkan,
dengan 1 ibu di setiap kelompok yang memiliki riwayat infeksi pertusis yang dikonfirmasi
secara laboratorium dalam 5 tahun sebelum persalinan. Usia rata-rata ibu adalah 33,6 tahun di
aP kelompok dan 33,4 tahun pada kelompok kontrol. Median usia kehamilan bayi adalah 39,2
minggu pada kedua kelompok. Sebanyak 207 bayi adalah perempuan, dan 233 laki-laki.
Sebanyak 370 bayi (84,1%) memiliki ras putih (189 dari 221 bayi dalam kelompok aP
[85,5%] dan 181 dari 219 bayi di kelompok kontrol [82,6%]). Pemberian vaksin aP dalam 2
hari setelah kelahiran dilakukan pada 96 dari 221 pasien yang terdaftar (43,4%) dan antara 3-
5 hari kelahiran dilakukan pada 124 dari 221 pasien yang terdaftar (56,1%). Sebanyak 55 dari
221 pasien yang terdaftar (24,9%) menerima HBV dan vaksin aP pada hari yang sama (Tabel
1) .Tidak ada bayi yang menerima vaksin Bacillus Calmette-Guérin saat lahir.
Gambar 1. Jumlah Subyek Penelitian
Tabel 1. Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan Kelompok Penelitian

Imunogenitas
- Hasil Primer
Bayi yang menerima vaksin aP dalam 5 hari pertama kelahiran secara signifikan lebih
mungkin untuk memiliki antibodi IgG untuk PT dan PRN di atas level yang terdeteksi (> 5
ELU / mL) pada usia 10 minggu dibandingkan dengan kelompok kontrol (192 dari 206
[93,2%] vs 98 dari 193 [50,8%]; P <.001), terlepas dari apakah ibu memiliki riwayat
mendapatkan Tdap atau tidak dalam 5 tahun sebelumnya (Tabel 2). Demikian pula,
persentase bayi yang kurang terdeteksi IgG PT dan PRN adalah 19,5% (41 dari 210) dari
mereka yang menerima vaksin aP dan 45,0% (90 dari 200) bayi di rumah sakit dari kelompok
kontrol pada usia 6 minggu, menurun menjadi 0% di antara 206 bayi yang menerima vaksin
aP dan 11,9% (23 dari 193) di kelompok kontrol pada usia 10 minggu (P <0,001) (Tabel 2).

Tabel 2. Tingkat Antibodi PT dan PRN pada Usia 10 Minggu


- Hasil Sekunder
Saat lahir, batas bawah serum antibodi pertusis matermal (PT, FHA, dan PRN) adalah
serupa di kedua kelompok kecuali untuk antibodi FHA sedikit lebih tinggi level dalam
kelompok aP (Tabel 3). Pada usia 6 minggu, GMC untuk antibodi IgG pertusis secara
signifikan lebih tinggi pada kelompok aP dibandingkan dengan kelompok kontrol (PT, 7.46
ELU / mL; 95% CI, 6.58- 8,46 ELU / mL vs 4,80 ELU / mL; 95% CI, 4,21-5,47 ELU / mL; P
<.001; PRN, 10.88ELU / mL; 95% CI, 8.89-13.32ELU / mL vs 7.37 ELU / mL; 95% CI,
6.03-9.01 ELU / mL; P = 0,008; dan FHA, 35,63 ELU / mL; 95% CI, 31.15-40.76ELU / mL
vs 19.37ELU / mL; 95% CI, 15.83-23.71 ELU / mL; P <0,001) (Tabel 3). Pada usia 10
minggu, penerima vaksin aP saat lahir memiliki GMC IgG yang lebih tinggi secara signifikan
untuk PT (4 kali lipat lebih tinggi), PRN, dan FHA, tetapi pada usia 6 dan 8 bulan, hanya
GMC IgG untuk PT dan FHA secara signifikan lebih tinggi di aP kelompok daripada
kelompok kontrol (Tabel 3).

Tabel 3. Tingkat Antibodi IgG Pertusis berdasarkan Kelompok Penelitian dan Usia

Efek Pemberian Tdap Maternal dalam 5 Tahun


Tingkat antibodi pertusis yang lebih tinggi secara signifikan ditemukan di serum ibu,
baik dalam kelompok aP dan kelompok kontrol ketika menerima Tdap dalam 5 tahun. GMC
untuk PT kira-kira 2,5 kali lebih tinggi untuk mereka yang masuk kelompok aP daripada
yang ada di kelompok kontrol, dan GMC untuk PRN dan FHA sekitar 5 kali lipat lebih tinggi
untuk mereka di kelompok aP daripada di kelompok kontrol (Tabel 1-3 di Suplemen 2).
Pada usia 6 minggu, kadar antibodi pertusis lebih tinggi pada bayi dalam kelompok aP
dibandingkan dengan mereka yang dalam kelompok kontrol terlepas dari status maternal
(eTable 1-3 dalam Suplemen 2). Pada usia 10 minggu, kadar IgG pertusis (PT, FHA, dan
PRN) pada bayi dalam kelompok aP yang dilahirkan dari ibu tanpa Tdap sebelumnya lebih
tinggi dari pada bayi dalam kelompok kontrol yang dilahirkan oleh ibu dengan Tdap yang
dikonfirmasi kurang dari 5 tahun sebelumnya (Tabel 1-3 di Suplemen 2).
Bayi yang menerima vaksin aP saat lahir, terlepas dari status vaksin ibu, memiliki
tingkat antibodi yang jauh lebih tinggi pada usia 24 minggu untuk PT dan FHA dibandingkan
dengan bayi di kelompok kontrol, sedangkan pada usia 32 minggu, levelnya signifikan lebih
tinggi hanya untuk subkelompok spesifik FHA (maternal Tdap <5 tahun dan tanpa Tdap) dan
PT (riwayat ibu tanpa Tdap <5 tahun) (eTabel 1-3 dalam Suplemen 2).
Secara keseluruhan, riwayat ibu mendapatkan Tdap dalam waktu 5 tahun setelah
persalinan atau adanya antibodi ibu yang terdeteksi saat lahir mengakibatkan tingkat antibodi
pertusis yang lebih rendah (pada usia 32 minggu) di antara bayi dalam kelompok aP dan
kontrol. Level antibodi pertusis tertinggi (PT, PRN, dan FHA) di usia 32 minggu adalah di
antara bayi dalam kelompok aP yang lahir dari para ibu yang tidak menerima Tdap dalam 5
tahun terakhir, diikuti oleh bayi dalam kelompok kontrol yang dilahirkan dari ibu yang belum
menerima Tdap dalam 5 tahun terakhir (eTabel 1-3 dalam Suplemen 2).

Respon Antibodi Terhadap Antigen Vaksin Lain


Bayi yang menerima vaksin aP saat lahir (n = 181 dengan serum tersedia untuk
pengujian) memiliki GMC yang lebih rendah secara signifikan hingga 4 kali bersamaan
dengan antigen (hepatitis B, Hib, tetanus, dan difteri) pada usia 32 minggu (Tabel 4). Namun,
terlepas dari temuan ini, proporsi bayi yang mencapai tingkat antibodi di ambang atas
perlindungan tidak berbeda secara signifikan di antara kedua kelompok. Tidak ada perbedaan
signifikan dalam respon antibodi terhadap serotipe vaksin pneumokokus di antara bayi yang
menerima vaksin aP saat lahir dan kelompok kontrol (Tabel 4).
Tabel 4. Respon Antigen Antibodi Concomitant pada Usia 8 Bulan setelah Selesai Pemberian
Vaksinasi Primer

Reaktogenisitas dan Keamanan


Secara keseluruhan, kurang dari 1% bayi mengalami demam (suhu, ≥38,0°C) dalam 2
hari setelah pemberian dosis aP saat lahir (n = 0) dan/atau HBV (n = 1) (eTable 4 dalam
Suplemen 2). Bayi yang diberikan vaksin aP saat lahir tidak menimbulkan reaksi injeksi lokal
atau reaksi sistemik (eTable 4 dalam Suplemen 2). Tidak ada perbedaan efek samping setelah
pemberian dosis pada usia 32 minggu dalam kedua kelompok.

D. Diskusi
Imunogenisitas Vaksin aP saat Lahir
Dalam studi besar hingga saat ini, untuk pengetahuan kita, pemberian vaksin aP tanpa
difteri, tetanus dan HBV dalam waktu 5 hari sejak lahir menghasilkan antibodi yang
signifikan lebih tinggi terhadap pertusis (baik PT dan PRN) pada usia 10 minggu
dibandingkan dengan kelompok kontrol yang hanya menerima HBV saat lahir. Selain itu,
pemberian vaksin aP saat lahir menghasilkan antibodi pertusis yang lebih tinggi (PT, PRN,
dan FHA) pada usia 6 minggu terlepas dari apakah ibunya telah menerima Tdap dalam 5
tahun, meskipun hasil ini tidak mencapai signifikansi secara statistik. Hasil ini menunjukkan
bahwa dosis vaksin aP saat lahir merupakan agen imunogenik pada bayi baru lahir dan secara
signifikan mempersempit kesenjangan imunitas antara 0-14 hari setelah menerima DTaP
pada usia 6 atau 8 minggu, dimana merupakan periode kritis saat bayi paling rentan terinfeksi
pertusis berat.
Hasil ini mengkonfirmasi dan memperluas 3 penelitian sebelumnya yang telah
meneliti pemberian vaksin aP saat lahir. Dua penelitian yang paling serupa, keduanya
menggunakan vaksin aP yang diproduksi oleh pabrikan yang sama, secara statistik ditemukan
GMC yang signifikan lebih tinggi pada antibodi anti-PT, anti-PRN, dan IgG anti-FHA pada
bayi yang berusia 2 atau 3 bulan yang menerima aP vaksin saat lahir dibandingkan dengan
mereka yang belum divaksinasi.

Keamanan Pemberian Vaksin aP saat Lahir


Dalam penelitian ini, pemberian vaksin aP saat lahir ditemukan aman dan dapat
ditoleransi dengan baik. Lebih penting, dalam penelitian ini, prevalensi demam setelah
pemberian dosis pertama, yang bisa keliru dikaitkan dengan potensi sepsis dan membutuhkan
tambahan investigasi pada periode neonatal, memiliki hasil serupa baik pada kelompok yang
menerima vaksin aP saat lahir dan kelompok kontrol. Kami tidak menemukan peningkatan
efek samping lokal setelah 4 dosis vaksin yang mengandung aP pada bayi yang berusia 32
minggu yang diberi vaksin aP saat lahir.

Efek Vaksin aP saat Lahir pada Respon Antibodi Pertusis hingga Dosis Selanjutnya
Dalam penelitian ini, tingkat antibodi pertusis secara signifikan lebih tinggi untuk PT
dan FHA dan tidak berbeda secara signifikan untuk PRN pada usia 32 minggu pada
kelompok aP dibandingkan dengan kelompok kontrol. Temuan ini serupa dengan hasil dari
penelitian sebelumnya yang menggunakan vaksin aP yang diproduksi oleh GlaxoSmithKline
tetapi berbeda dengan hasil dari penelitian kecil di Amerika Serikat, yang menggunakan
DTaP buatan Sanofi Pasteur menghasilkan GMC yang lebih rendah untuk PT dan FHA
setelah vaksinasi primer daripada kelompok kontrol. Perbedaan ini mungkin terkait dengan
komposisi yang berbeda dari antigen pertusis di GlaxoSmithKline (3 komponen) dan vaksin
Sanofi Pasteur (5 komponen), efek pemberian difteri dan tetanus bersamaan toksoid, atau
faktor lain.

Efek Antibodi Pertusis Maternal terhadap Respon Vaksin pada Bayi


Adanya antibodi pertusis ibu dapat mempengaruhi secara negatif respons primer
terhadap pertusis, difteri, dan vaksin difteri-terkait-CRM197 dengan berbagai jadwal dan
vaksin imunisasi bayi. Penelitian di Inggris menemukan respon antibodi pertusis, difteri, dan
CRM pneumokokus konjugat pada bayi yang lahir dari ibu-ibu yang diimunisasi selama
kehamilan. Sebaliknya, peningkatan respon terhadap vaksin tetanus juga tampaknya relatif
konsisten. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian lainnya yang menunjukkan bahwa
antibodi ibu yang terdeteksi saat persalinan berkaitan dengan respon antibodi pertusis yang
lebih rendah setelah imunisasi pertama. Dalam penelitian ini, hasil ini terlihat pada bayi yang
menerima vaksin dan juga mereka dalam kelompok kontrol. Signifikansi klinis penurunan
antibodi pertusis terkait dengan gangguan ibu akan membutuhkan evaluasi klinis
berkelanjutan karena tidak ada korelasi perlindungan serologis.

Interfensi dari Respon Antigen Lain yang Diberikan Bersamaan


Dalam penelitian ini, dosis vaksin aP saat lahir menghasilkan penurunan GMC secara
signifikan pada antigen Hib, difteri, dan tetanus pada usia 32 minggu; proporsi ambang
perlindungan lebih rendah tetapi tidak mencapai signifikansi statistik untuk hepatitis B.
Respon antibodi terhadap pneumokokus serotipe secara konsisten, tetapi tidak signifikan,
lebih tinggi pada bayi yang menerima vaksin aP saat lahir dibandingkan dengan kontrol.
Respons terhadap antigen yang diberikan secara bersamaan tidak sepenuhnya dipahami.
Salah satu kemungkinan adalah faktor perancu.

Limitasi
Penelitian ini adalah penelitian label terbuka, dan karena itu dimungkinkan bahwa
orang tua lebih mungkin melaporkan gejala setelah penerimaan vaksin aP. Kurangnya
korelasi serologis dari perlindungan untuk pertusis membuat interpretasi hasil antibodi
pertusis bermasalah, tetapi data dari studi kontak rumah tangga mendukung pentingnya
kurangnya pendeteksian antibodi terhadap PT atau PRN. Studi kami hanya terbatas pada
neonatus, dan karena itu kami tidak dapat mengomentari immunogenisitas dan keamanan
pemberian vaksin aP saat lahir untuk bayi prematur, yang dimana respon imunnya dapat
lebih rendah.

E. Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa dosis vaksin aP saat lahir dapat menjadi
imunogenik dan aman serta dapat menginduksi perlindungan lebih awal melalui
dihasilkannya kekebalan humoral "aktif". Terdapat bukti adanya tingkat antibodi pertusis
yang lebih rendah setelah selesai dari seri vaksin primer pada bayi yang lahir dari ibu yang
telah menerima Tdap dalam 5 tahun sebelum persalinan, serta tingkat antibodi yang lebih
tinggi pada ibu yang menerima Tdap selama kehamilan. Signifikansi temuan klinis ini tidak
diketahui tetapi cenderung penting dalam menentukan pemberian vaksin aP booster di tahun
kedua kehidupan secara rutin.
Meskipun pemberian Tdap selama kehamilan merupakan strategi yang
direkomendasikan, pemberian vaksin aP saat kelahiran berpotensi untuk mengurangi risiko
kematian dan morbiditas yang berat akibat infeksi Bordetella pertussis pada 2 bulan pertama
kehidupan pada bayi yang ibunya tidak menerima Tdap selama kehamilan. Program
pemberian HBV saat lahir sudah dijalankan dengan baik di Amerika Serikat dan Australia,
tetapi masih ada kesulitan pada daerah di mana cakupan vaksinasi maternal yang tinggi.
Meskipun vaksinasi Tdap maternal sekarang sedang direkomendasikan secara luas di negara
berpendapatan tinggi, terdapat kemungkinan akan tetap ada kelompok bayi yang tidak
mendapat manfaat dari pendekatan ini karena ibu tidak divaksinasi atau karena bayinya lahir
premature.
Vaksin pertusis aselular monovalen (tanpa difteri atau tetanus) yang mengandung PT
dan FHA yang dimodifikasi secara genetik telah terbukti sangat imunogenik pada remaja,
berdasarkan penelitian di Thailand dan penelitian yang menggunakan model babon
menemukan bahwa vaksin aP monovalen miliki efektivitas yang setara dengan Tdap selama
kehamilan. Ketersediaan dari vaksin pertusis aselular monovalen memiliki potensi berharga
dalam program-program maternal di negara berpenghasilan tinggi (di mana boosting tetanus
dan difteri tidak dibutuhkan) dan juga akan memfasilitasi pilihan vaksinasi neonatal.
ANALISIS PICO
Analisis PICO merupakan suatu metode yang digunakan untuk menelaah suatu
informasi klinis dari penelitian ilmiah dalam sebuah jurnal. PICO merupakan akronim dari 4
kata, antara lain P (Patient, Population, Problem), I (Intervention, Prognostic, Factor,
Exposure), C (Comparison, Control), dan O (Outcome). Metode ini dapat membantu kita
untuk menentukan apakah informasi yang kita peroleh sudah memenuhi kriteria validitas dan
relevansi dalam profesi kedokteran. Berikut hasil telaah jurnal ini berdasarkan analisis PICO.
1. Patient, Population, Problem
Bayi usia kurang dari 5 hari dari usia kehamilan lebih dari 36 minggu
2. Intervention, Prognostic, Factor, Exposure
Pemberian vaksin aP pada subjek penelitian
3. Comparison, Control
Dibandingkan dengan pemberian hanya vaksin HBV
4. Outcome
 Hasil primer ingin melihat signifikansi batas nilai antibody pertussis (PT dan PRN)
yang dapat terdeteksi pada bayi yang menerima vaksin aP dalam 5 hari pertama
 Hasil sekunder pertama mendeteksi GMC pada antibody IgG terhadap PT, PRN dan
FHA di setiap kelompok waktu kunjungan serta dibandingkan antara kelompok
perlakukan dan kontrol
 Hasil sekunder kedua antibodi antigen respon pada antigen lainnya (hepatitis B, Hib,
difteri, tetanus, pneumokokus) pada saat usia 32 minggu
IV. CRITICAL APPRAISAL

Identitas Jurnal
Judul jurnal: Immunogenicity and Safety of Monovalent Acellular
Pertussis Vaccine at Birth : A Randomized Clinical
Trial

Penulis : Wood, N., Nolan, T., Marshall, H., Richmond, P., Gibbs,
E., Perrett, K., & McIntyre, P.
Tahun : 2018

A. Apakah studi ini valid?


1. Apakah penugasan Ya (√)
pasien terhadap terapi Penelitian ini mengunakan metode Randomized
diacak? Controlled Trial (RCT). Setelah stratifikasi, bayi diacak
dalam rasio 1:1 menggunakan sistem pengacakan berbasis
internet (Sistem Interactive Voice Response; National
Health and Medical Research Council Clinical Trials
Centre, Sydney).
2. Apakah seluruh Ya (√).
kelompok memiliki Bayi-bayi dalam penelitian ini menunjukkan karakteristik
kemiripan di awal yang serupa saat lahir. Pada Tabel 1. yang menunjukkan
penelitian? data demografis Pasien, tidak terdapat perbedaan yang
bermakna antara kelompok aP dan kelompok kontrol.
3. Selain dari intervensi Ya (√)
yang diinginkan, Rencana intervensi pada pasien sama dengan intervensi
apakah seluruh lanjutan yang diterapkan saat dilakukan penelitian, dapat
kelompok dilihat pada alur penelitian dan hasil.
diperlakukan dengan
sama?
4. Apakah seluruh Ya(√)
pasien dalam Jumlah drop out pada penelitian ini <20% yaitu 6% (27
kelompok yang orang).
diacak, dianalisis?
(bila drop out >20%,
dilakukan intention to
treat analysis dengan
scenario terburuk)
5. Apakah tindakan Ya(√)
tersebut objektif atau Blinding pada intervensi tidak memungkinkan untuk
apakah pasien dan dilakukan karena pemberian intervensi harus dilakukan
dokter tetap dalam secara bertahap dan sesuai dengan status imunitas pasien.
keadaan “buta”
terhadap terapi yang
diterima?

B. Apa hasil studi ini?


1. Seberapa besar pengaruh terapi tersebut?
Pada penelitian ini persentase pengaruh terapi tidak dapat dihitung sebab hasil
penelitian ini menunjukan konsentrasi imunologi pertussis tanpa disertai dengan
jumlah pasien yang terkena pertussis dan yang tidak terkena pertussis. Namun
berdasarkan hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa ada pengaruh terhadap
pemberian vaksin aP dan HBV (eksperimen) di bandingkan hanya pemberian
HBV(control) saja terlihat dari GMC kelompok eksperimen lebih tinggi
dibandingkan kelompok kontrol

2. Seberapa akurat efek terapi yang ditimbulkan?


Risiko hasil terapi yang sebenarnya dalam populasi belum dapat diketahui tetapi
dapat dilakukan estimasi menggunakan nilai p <0,05 yang bermakna signifikan
dengan CI minimal 95%

C. Apakah hasil studi bisa di aplikasikan ke masyarakat?


1. Apakah pasien di Ya (√)
dalam studi sama Pasien dalam penelitian ini merupakan bayi-bayi dengan
dengan pasien usia 5 hari dengan usia kehamilan >36 minggu tanpa ada
ditempat saya? penyakit penyerta.
2. Apakah terapi ini Tidak (x)
dapat digunakan di Penerapan hasil studi tidak dapat diaplikasikan secara
tempat saya? umum di Indonesia, karena vaksin aP belum tersedia dan
tidak termasuk dalam imunisasi dasar.
3. Apakah manfaat Ya (√)
potensial dari Hasil yang menguntungkan dari aP yaitu mengurangi
pengobatan lebih risiko kematian dan morbiditas pada 2 bulan pertama
besar daripada potensi kehidupan.
bahaya perawatan
untuk pasien saya?

Kesimpulan
Hasil atau rekomendasi valid Ya (√)
(form A)
Hasil bermanfaat secara klinis Ya (√)
(form B)
Hasil relevan dengan praktek Tidak (x)
nyata (form C)
DAFTAR PUSTAKA
Wood, N., Nolan, T., Marshall, H., Richmond, P., Gibbs, E., Perrett, K., & McIntyre, P.
(2018). Immunogenicity and Safety of Monovalent Acellular Pertussis Vaccine at Birth.
JAMA Pediatrics. doi:10.1001/jamapediatrics.2018.2349 

Anda mungkin juga menyukai