Kelas: Anestesiologi 2C
NIM: 2019040105
UAS EBP
P
(patient/Populasi) Bayi
2. Judul: Keaman Obat Anti Psikotik Bagi Penderita Skizofrenia Di Rumah Sakit
Umum Daerah Banyumas Tahun 2009
Abstrak: Pemberian obat pada pasien sebaiknya memastikan dulu kemungkinan
tidak terjadi interaksi. Hal ini dimaksudkan agar dalam mengkonsumsi obat, seorang
pasien terhindar dari efek samping yang merugikan bagi pasien itu sendiri. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui pemberian obat antipsikotik pada pasien
skizofrenia dan keamanan obat antipsikotik pada pasien skizofrenia ditinjau dari
aspek interaksi antar obat. Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan
menggunakan metode pengumpulan data secara restrospektif. Bahan yang
digunakan adalah data pasien yang diberi obat antipsikotik di Rumah Sakit Umum
Daerah Banyumas pada bulan April tahun 2009. Data pasien yang diambil sebanyak
38 pasien yang memenuhi kriteria dianalisis secara deskriptif analitik. Berdasarkan
hasil penelitian ini dapat disimpulkan pemberian obat antipsikotik pada pasien
skizofrenia sebagian besar adalah obat golongan antikolinergika yaitu
Trihexyphenidyl 2 mg dan keamanan obat antipsikotik ditinjau pada pasien
skizofrenia di Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas ditinjau dari aspek interaksi
antar obat adalah : interaksi antara Amitripilin + Haloperidol pada grade 5,
Amitripilin + Chloropromazine pada grade 5, Carbamazepine + Haloperidol pada
grade 2, Chloropromazine + Haloperidol pada grade 4 dan Chloropromazine +
Trihexyphenidyl pada grade 2.
Pertanyaan klinis: Pada pasien skizofrenia yang mengalami gaduh
gelisah/agitasi, apakah penggunaan injeksi benzodiazepine lebih efektif
dibandingkan dengan antipsikotik atipikal dalam meredakan gejala gaduh
gelisah?
P
(patient/Populasi) Pasien skizofrenia yang mengalami gaduh gelisah/agitasi
I Efektivitas benzodiazepine
(Intervensi)
C Antipsikotik atipikal
(Comparison)
O Meredakan gaduh gelisah
(Outcome)
P
(patient/Populasi) STEMI
I Fibrinolitik
(Intervensi)
C Tidak ada pembanding atau intervensi lainnya
(Comparison)
O Keberhasilan fibrinolitik
(Outcome)
4. Abstrak: ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) akan terjadi apabila kekebalan
tubuh menurun. Beberapa upaya yang dilakukan dalam menurunkan resiko penyebab
ISPA, antara lain dengan pemberian Imunisasi Hib dan pemberian Vitamin A.
Kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas Gela Kecamatan Taliabu Utara
merupakan salah satu penyakit terbanyak dari penyakit yang lain. Tujuan penelitian
mengidentifikasi pemberian Vaksin Hib dan Vitamin A serta untuk menganalisis
hubungan pemberian Vaksin Hib dan Vitamin A dengan kejadian ISPA. Sampel
berjumlah 72 responden yang didapat menggunakan teknik total sampling. Desain
penelitian yang digunakan adalah desain Retrospektif dan data dikumpulkan dari
responden menggunakan lembar observasi. Hasil penelitian uji statistik menggunakan
uji chi-square pada tingkat kemaknaan 95% (a = 0,05), maka didapatkan nilai p=
0,001. Ini berarti bahwa nilai p< a (0,05). Dengan demikian bahwa terdapat hubungan
pemberian Vaksin Haemophilus Influenzae Type B (Hib) dan Vitamin A dengan
kejadian ISPA pada balita. Rekomendasi peneliti yaitu lengkapi pemberian Vaksin
Haemophilus Influenzae Type B dan Vitamin A pada balita.
Pertanyaan Klinis: Apakah imunisasi Hib dapat mencegah penyakit
pneumococcal meningitis?
P
(patient/Populasi) Bayi berumur 3 bulan
I Imunisasi HIB
(Intervensi)
C Tidak melakukan imunisasi HiB
(Comparison)
O Bayi terhindar dari penyakit meningitis
(Outcome)
5. Abstrak: Infeksi Tuberkulosis paru (TB paru) pada anak menjadi masalah yang sangat
mengkhawatirkan karena dapat menyebabkan banyak persoalan, mulai dari
kasus kegagalan tumbuh kembang, kecacatan, bahkan kematian. Gejala yang
dijumpai pada TB paru pada anak sering tidak spesifik sehingga tidak jarang
menimbulkan overdiagnosis dan kemudian diikuti dengan overtreatment.
Penegakan diagnosis pasti tuberkulosis pada anak dilakukan dengan cara
menemukan kuman Mycobacterium tuberculosis pada sputum, bilasan lambung,
biopsi, dan lain-lain. Namun, pemeriksaan tersebut sulit dan jarang dapat
dilakukan sehingga sebagian besar diagnosis tuberkulosis anak ditegakkan oleh
dokter spesialis anak berdasarkan pemeriksaan gambaran klinis, dan penunjang
diagnosis seperti uji tuberkulin (matoux test) dan pemeriksaan rontgen thoraks.
Pada sarana terbatas, diagnosis dibuat berdasarkan sistem skoring TB dari Ikatan
Dokter Anak Indonesia. Tatalaksana dilakukan 2 tahap, yaitu intensif selama 2
bulan dengan paduan obat Rifampisisin, Isoniazid, dan Pirazinamid. Seterusnya,
fase lanjutan, selama 4 bulan, dengan paduan obat rifampisin dan Isoniazid.
Pertanyaan Klinis: Apakah pemeriksaan tes darah lebih spesifik dibandingkan tes
tuberkulin untuk menegakkan diagnosi pada anak penderita TB?
P Anak penderita TB
(patient/Populasi)
I Tes darah
(Intervensi)
C Tes tuberkulin
(Comparison)
O Tes darah lebih spesifik
(Outcome)