Anda di halaman 1dari 17

Bagian Obstetri dan Ginekologi

Makalah

EVIDENCE BASED MEDICINE

Disusun Oleh :
RIZQI KARIMA PUTRI
N 111 14 028
Pembimbing Klinik: dr. JUNIATY C.S., Sp.OG, M.Kes

BAGIAN OBSTETRI & GINEKOLOGI


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERANDAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2016

Evidence-based Medicine (EBM) adalah pengintegrasian antara (1) bukti


ilmiah berupa hasil penelitan yang terbaik dengan (2) kemampuan klinis dokter
serta (3) preferensi pasien dalam proses pengambilan keputusan pelayanan
kedokteran.
EBM dapat diartikan sebagai pemanfaatan bukti ilmiah secara seksama,
ekplisit dan bijaksana dalam pengambilan keputusan untuk tatalaksana pasien.
Artinya mengintegrasikan kemampuan klinis individu dengan bukti ilmiah yang
terbaik yang diperoleh dengan penelusuran informasi secara sistematis.
Pasien perempuan , umur 25 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan
keluar darah dari jalan lahir sejak 5 hari yang lalu (sejak 31-10-2015) berupa flekflek dan darah semakin banyak sejak 3 hari yang lalu (01-11-2015) darah yang
keluar bergumpal-gumpal dan ada yang berupa daging (jaringan) yang jika
disiram tidak hancur. Nyeri perut bagian bawah (+), pusing (+). Riwayat minum
obat disangkal dan pasien riwayat beraktivitas berat berupa mengangkat hasil
ladang. Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan TD : 100/70 mmHg, N :
76x/m, R : 24x/m, S: 36,6C. Pemeriksaan obstetri : TFU tidak teraba. Pada
Pemeriksaan Dalam (VT) : portio lunak, pembukaan 2-3 cm, teraba jaringan di
depan portio, pelepasan darah segar dan keluar jaringan plasenta sebagian. Pada
pemeriksaan darahrutinWBC (9,7 x 103), RBC (2,93 x 106), HGB (8,3), HCT
(25,4%), PLT (248 x 103), HbSAg (non reaktif), hCG (+), plano test (+).
Diagnosis G3P2A0 gravid 15-16 minggu + Abortus Inkomplit. Penatalaksanaan :

IVFD RL + oxytocin 1 amp/kolf = 28 tpm


Inj. Ceftriaxon 1 gr/ 12j/ iv, setelah kuretase di ganti oral yaitu cefadroxil 2 x 1
SF 2 x 1
Asam mefenamat 3 x 1
Siapkan 2 bag PRC, transfusi 1 bag PRC
Rencana kuretase
Metergin 3 x 1 tab
Menurut Prawirohadjo, S. dan Wiknjosastro, 2014 abortus adalah

pengeluaran hasil pembuahan (konsepsi) dengan berat badan janin < 500 gram
atau kehamilan kurang dari 20 minggu. Pada kasus ini terjadi pengeluaran hasil
konsepsi pada kehamilan kurang dari 20 minggu yaitu kehamilan 15-16 minggu.
2

Menurut Cuninngham F.G, 2006 abortus inkomplit adalah sebagian hasil


konsepsi telah keluar dari kavum uteri dan masih ada yang tertinggal. Adapun
gejala-gejala dari abortus inkompletus adalah sebagai berikut:
1. Amenorea
2. Perdarahan yang bisa sedikit dan bisa banyak, perdarahan biasanya
berupa darah beku
3. Sakit perut dan mulas mulas dan sudah ada keluar fetus atau jaringan
4. Pada pemeriksaan dalam jika abortus baru terjadi didapati serviks terbuka,
kadang kadang dapat diraba sisa-sisa jaringan dalam kantung servikalis
atau kavum uteri dan uterus lebih kecil dari seharusnya kehamilan.
Pada kasus ini sesuai dengan gejala abortus inkomplit dimana pasien
mengalami amenorea diketahui dengan HPHT yaitu 21-07-2015. Pasien juga
mengalami perdarahan yang dimulai dari perdarahan berupa flek dan berlanjut
dengan perdarahan yang banyak. Pasien juga mengeluhkan sakit perut dan ada
pengeluaran berupa jaringan. Serta pada pemeriksaan dalam didapatkan
pembukaan serviks 2-3 cm dan teraba jaringan di depan portio berupa jaringan
plasenta. Serta ditunjang dengan plano tes memberikan hasil positif.
Tindakan pengobatan abortus inkompletus meliputi :
1. Membuat diagnosis abortus inkompletus
2. Melakukan konseling tentang keadaan abortus inkompletus dan rencana
pengobatan
3. Menilai keadaan pasien termasuk perlu atau tidak dirujuk
4. Mengobati keadaan darurat serta komplikasi sebelum dan setelah tindakan
5. Melakukan evakuasi sisa jaringan dari rongga rahim
Pada abortus inkomplit, bila ada tanda-tanda syok maka diatasi dulu dengan
pemberian cairan dan transfusi darah. Kemudian, jaringan dikeluarkan secepat
mungkin dengan metode digital dan kuretase. Setelah itu, beri obat-obat
uterotonika dan antibiotika.
Pada kasus ini pasien telah didiagnosis dengan abortus inkomplit dan
keluarga pasien telah diberitahu tentang kondisi pasien dan rencana pengobatan
yang akan diberikan. Pada pasien ini direncanakan untuk dilakukan evakuasi
jaringan sisa dengan kuretase tapi sebelumnya diperbaiki kondisi umum pasien
3

dengan pemberian cairan dan transfusi darah walaupun menurut teori pemberian
cairan dan transfusi diberikan pada pasien dengan tanda-tanda syok. Pada kasus
ini pasien tidak mengarah ke kondisi syok tapi pasien mengalami perdarahan yang
cukup banyak jadi untuk mencegah keadaan syok pasien diberikan cairan dan
transfusi darah. Pasien ini setelah kondisi umumnya baik dilakukan kuretase dan
setelah itu pasien diberikan obat uterotonika dan antibiotik yaitu metergin dan
cefadroxil.
Menurut Sumiwi, 2014 penggunaan antibiotik rasional merupakan pemberian
antibiotik yang tepat indikasi, tepat penderita, tepat obat, tepat dosis, dan waspada
terhadap efek samping obat. Berdasarkan penggunaannya, antibiotik dibagi
menjadi dua yaitu antibiotik terapi dan antibiotik profilaksis. Antibiotik terapi
digunakan pada pasien dengan kasus infeksi dan penggunaannya dapat bersifat
empiris atau definitif.
Terapi empiris merupakan terapi inisial yang diberikan pada kasus infeksi
yang belum diketahui jenis kumannya, sedangkan terapi definitif merupakan
terapi yang diberikan pada kasus infeksi yang telah diketahui kuman penyebabnya
berdasarkan hasil laboratorium mikrobiologi. Antibiotik profilaksis adalah
antibiotik yang diberikan pada jaringan tubuh dengan dugaan kuat akan terkena
infeksi, seperti pada operasi pembedahan. Antibiotik profilaksis biasanya
diberikan secara intravena.
Menurut Nelwan, 2010 antibiotik dapat diberikan berdasarkan beberapa pola
tertentu, antara lain : direktif, kalkulatif, interventif, omnisprektif dan profilaktif.
Pada terapi antibiotik direktif, kuman penyebab infeksi sudah diketahui dan
kepekaan terhadap antibiotik sudah ditentukan, sehingga dapat dipilih obat
antibiotik efektif dengan spektrum sempit. Kesulitan yang akan dihadapi adalah
tersedianya fasilitas pemeriksaan mikrobiologis yang cepat dan tepat.
Terapi antibiotik kalkulatif memberikan obat secara best guess. Dalam hal ini,
pemilihan harus didasarkan pada antibiotik yang diduga akan ampuh terhadap
mikroba yang sedang menyebabkan infeksi pada jaringan atau organ yang
dikeluhkan. Penilaian keadaan klinis yang tepat dan kemungkinan kuman
penyebab sangat penting dalam penerapan terapi antibiotik kalkulatif.

Pada infeksi tertentu metoda penggunaan antibiotik harus selalu berpedoman


pada sebuah protokol pemberian antibiotik dan dapat menambah kelompok obat
antibiotik lainnya. Bila respon yang didapat tidak memuaskan, maka protokolprotokol ini akan menyesuaikan dengan perkembangan dan pengalaman terkini
tentang penggunaan berbagai jenis antibiotik baru. Cara pengobatan ini dikenal
sebagai terapi antimikrobial interventif.
Terapi antibiotik omnispektrif diberikan bila hendak dijangkau spektrum
antibiotik seluas-luasnya dan dapat diberikan secara empirik. Beberapa keadaan
yang membutuhkan terapi ini yaitu infeksi pada leukemia, luka bakar, peritonitis
dan syok septik.
Sebagai terapi profilaksis, obat antibiotik dapat digunakan untuk mencegah
infeksi baru pada seseorang atau untuk mencegah kekambuhan dan terutama
digunakan untuk mencegah komplikasi-komplikasi serius pada waktu dilakukan
tindakan pembedahan.
Prinsip-prinsip profilaksis antibiotik didasarkan pada pemilihan agen yang
diketahui aktif terhadap mikroba potensial. Antibiotik yang digunakan juga harus
ada dalam konsentrasi tinggi tetapi masih di bawah dosis maksimum dan
mempunyai efek samping yang minimal. Karena tidak ada aturan berapa dosis
yang efektif melawan mikroba yang potensial tersebut, maka penting untuk
dilakukan follow up pada pasien yang menjalani terapi profilaksis. Antibiotik
profilaksis merupakan pemberian antibiotik ke jaringan tubuh yang diduga kuat
akan

terjadi

infeksi.

Antibiotik

profilaksis

diindikasikan

ketika

besar

kemungkinan terjadi infeksi atau infeksi kecil yang berakibat fatal.


Pada kasus ini pemberian antibiotik untuk terapi profilaksis dimana untuk
mencegah komplikasi pada saat akan dilakukan tindakan medis.
Sefalosporin menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan
mekanisme serupa dengan penisilin. Sefalosporin diklasifikasikan
berdasarkan generasinya.

Pada kasus ini digunakan antibiotik golongan sefalosporin generasi I dan


generasi II. Sefalosporin generasi I berupa sefadroksil yang diberikan post
kuretase dengan cara pemberian oral. Sedangkan pre kuretase diberikan
sefalosporin generasi III berupa seftriakson dengan cara pemberian intravena.
Anemia pada kehamilan didefinisikan dengan kadar hemoglobin (Hb)
kurang dari 11 g/dL pada trimester I dan III serta 10,5 g/dL pada trimester II.
Diagnosis dan terapi yang efektif terhadap anemia kronik pada kehamilan
merupakan tindakan yang penting untuk mengurangi kebutuhan transfusi darah.
Keputusan untuk transfusi darah tidak boleh hanya berdasar kadar Hb saja, tetapi
juga berdasar indikasi klinis pasien. Perdarahan yang terjadi pada persalinan
normal atau seksio cesaria sebenarnya tidak membutuhkan transfusi darah jika

kadar Hb ibu sebelum persalinan di atas 10,0 11,0 g/dL. Sebaliknya, transfusi
darah hampir selalu diindikasikan jika Hb <7 g/dL.

Whole blood (WB)


Indikasi

Penggantian sel darah merah pada perdarahan akut disertai hipovolumia

Transfusi tukar

Pasien yang membutuhkan penggantian sel darah merah tetapi komponen


PRC tidak tersedia

Kontraindikasi

Anemia kronis
Pasien gagal jantung

Cara transfusi

Golongan darah ABO dan Rh antara pasien dan donor harus

kompatibel/cocok
Tidak boleh menambahkan obat dalam kantong darah
Transfusi 1 unit WB diselesaikan maksimal dalam 4 jam

Packed red cell (PRC)


Indikasi
Penggantian sel darah merah pada pasien anemia:

Hb <7 g/dL

Hb <10 g/dL dengan gejala anemia dan atau tanda vital tidak stabil

Cara transfusi

Golongan darah ABO dan Rh antara pasien dan donor harus


kompatibel/cocok

Tidak boleh menambahkan obat dalam kantong darah

Transfusi 1 unit PRC diselesaikan maksimal dalam 4 jam

Untuk memperlancar aliran transfusi, dapat ditambahkan normal saline


(50-100 mL) menggunakan set infuse Y-pattern

Tujuan transfusi PRC adalah penggantian kapasitas angkut oksigen oleh sel
darah merah. Dosis awal biasanya 2-4 unit.7 Transfusi 1 unit PRC diharapkan
menaikkan kadar hematokrit sekitar 3%.
Pada pasien ini ditransfusi dengan PRC dimana Hb 8,3; HCT 25,4%

Ny. R, 31 tahun dengan GIIPIA0 Gravid 7 minggu masuk rumah sakit


dengan keluhan keluar darah berwarna merah segar dari jalan lahir sejak 5 jam

SMRS disertai nyeri perut hebat bagian bagian bawah. Pusing (+), malaise (+),
anoreksia (+), nausea (+), emesis (+) sejak 1 minggu terakhir, sulit BAB (+).Dari
pemeriksaan fisik didapatkan KU sakit sedang, kesadaran compos mentis. Tanda
vital: TD 90/60; R 24x/menit; S 36,7 C; N 80x/m. Konjuntiva anemis +/+; palpasi
abdomen : nyeritekan (+) diseluruh kuadran; Pemeriksaan obstetric: Leopold tidak
teraba. Pemeriksaandalam: nyeri goyang portio (+); pelepasan darah (+).
Laboratorium: Hb 11,4 g/dl; WBC 23.100, Plano tes (+), USG, kesan : Sugestif
KET
DIAGNOSIS KERJA
GIIPIA0 Gravid 7 minggu + KET
PENATALAKSANAAN

O2 4 Lpm
IVFD RL 30 tpm
Inj. Cefriaxon 1 gr/12jam
Ultragestron 200mg 2x 1
Dulcolax supp
Observasi Keadaan Umum, TTV dan perdarahan
Cek DL (Hb Serial)
Rencana laparotomi

Kehamilan ektopik merupakan kehamilan dengan implantasi blastokista


tidak pada lapisan endometrium di kavum uterus. Kehamilan dapat terjadi di tuba
fallopi, kavum abdomen, ovarium, dan serviks.
Manifestasi klinis kehamilan ektopik yaitu ditemukannya gejalan klasik,
trias gejala klinis hamil ektopik terganggu diuraiakan sebagai berikut: amenorea,
nyeri abdomen dan perdarahan. Dengan amenorea dapat dijumpai tanda-tanda
hamil muda, yaitu morning sickness, mual atau muntah, terjadi perasaan ngidam.
Biasanya darah berwarna gelap kecoklatan dan keluarnya intermitten atapun
kontinyu.
Pada kasus ini sesuai dengan teori dimana pasien datang dengan
perdarahan sejak 5 jam SMRS disertai nyeri perut. Untuk gejala amenorea tidak
terlalu disadari oleh pasien karena kehamilan masih 7 minggu jadi pasien belum
9

terlalu sadar jika ia lambat haid tapi pasien mengeluhkan gejala morning sickness
yaitu mual, muntah, malaise sejak 1 minggu yang lalu.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien KET menurut
Cunningham, 2014 yaitu pemeriksaan hemoglobin dan hematrokit serial tiap satu
jam selama 3 kali tetapi pada pasien ini hanya dilakukan 1 kali. Kemudian
pemeriksaan leukosit pada pasien ini menunjukkan leukositosis. Urinary
pregnancy test, pada pasien ini menunjukkan hasil positif. USG dilakukan dan
menunjukan kesan sugestif KET. Kuldosintesis tidak dilakukan karena pada
pasien ini mengeluhkan nyeri abdomen sehingga jika diintervensi lagi dengan
kuldosintesis akan semakin membuat pasien kesakitan kemudian laporoskopi
merupakan gold standar pemeriksaan KET tapi tidak dilakukan pada kasus ini
dikarenakan tidak tersedianya alat.
Penatalaksanaan kehamilan ektopik terganggu terdiri atas konservatif
(tabel 2) dan pembedahan. Tindakan pembedahan yang dilakukan yaitu
salpingostomi atau salpingektomi.

Pada kasus ini dilakukan salpingektomi dikarenakan sudah terjadi ruptur


tuba pars ampulla sinistra.

Prinsip Penggunaan Antibiotik Profilaksis Bedah


Pemberian antibiotik sebelum, saat dan hingga 24 jam pasca operasi pada
kasus yang secara klinis tidak didapatkan tanda-tanda infeksi dengan tujuan untuk
mencegah terjadi infeksi luka operasi. Diharapkan pada saat operasi antibiotik di
jaringan target operasi sudah mencapai kadar optimal yang efektif untuk

10

menghambat pertumbuhan bakteri. Prinsip penggunaan antibiotik profilaksis


selain tepat dalam pemilihan jenis juga mempertimbangkan konsentrasi antibiotik
dalam jaringan saat mulai dan selama operasi berlangsung.
Pada kasus ini sesuai dengan teori dimana kasus ini menggunakan antibiotik
profilakasis. Pemberian antibiotik diberikan pada sebelum, saat dan hingga 24 jam
pasca operasi. Dimana pada kasus ini diberikan antibiotik pada saat pasien datang
kemudian pada 3 jam sebelum operasi dan setelah operasi.
1. Tujuan pemberian antibiotik profilaksis pada kasus pembedahan:
a. Penurunan dan pencegahan kejadian Infeksi Luka Operasi (ILO).
b. Penurunan morbiditas dan mortalitas pasca operasi.
c. Penghambatan muncul flora normal resisten.
d. Meminimalkan biaya pelayanan kesehatan.
2. Indikasi penggunaan antibiotik profilaksis didasarkan kelas operasi, yaitu
operasi bersih dan bersih kontaminasi.
3. Dasar pemilihan jenis antibiotik untuk tujuan profilaksis:
a. Sesuai dengan sensitivitas dan pola bakteri patogen terbanyak pada kasus
b.
c.
d.
e.
f.

bersangkutan
Spektrum sempit untuk mengurangi risiko resistensi bakteri
Toksisitas rendah
Tidak menimbulkan reaksi merugikan terhadap pemberian obat anestesi
Bersifat bakterisidal
Harga terjangkau

4. Rute pemberian
a. Antibiotik profilaksis diberikan secara intravena.
b. Untuk menghindari risiko yang tidak diharapkan dianjurkan pemberian
antibiotik intravena drip.
5. Waktu pemberian
Antibiotik profilaksis diberikan 30 menit sebelum insisi kulit. Idealnya
diberikan pada saat induksi anestesi.
6. Dosis pemberian
Untuk menjamin kadar puncak yang tinggi serta dapat berdifusi dalam
jaringan dengan baik, maka diperlukan antibiotik dengan dosis yang cukup

11

tinggi. Pada jaringan target operasi kadar antibiotik harus mencapai kadar
hambat minimal hingga 2 kali lipat kadar terapi.
7. Lama pemberian
Durasi pemberian adalah dosis tunggal.

Pasien perempuan usia 23 tahun datang dengan nyeri perut sejak 3 hari yang
lalu, muncul secara tiba-tiba. Keluhan disertai dengan perut membesar sejak 3
bulan yang lalu sebelum masuk rumah sakit, perdarahan pervaginam (-). Riwayat
leucorrhea (+), penggunaan kontrasepsi (-).
Pemeriksaan fisik didapatkan, KU = sedang, TD = 110/70 mmHg, N = 88
x/m, P = 20 x/m, S = 36,7oC, konjungtiva anemis +/+. Pada pemeriksaan abdomen
didapatkan massa mobile konsistensi kenyal di suprailiaka sinistra. Pemeriksaan
palpasi adnexa terapa massa mobile konsistensi Kenyal di adnexa sinistra, nyeri
tekan (+). USG : kista ovarium kiri. Diagnosis post op : kista dermoid
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Rutin

12

Wbc

: 9.70 x 109/l

BT

: 5

Hgb

: 11,7 gr/dl

CT

: 930

Hct

: 34.9 %

Plt

: 380 x 109/l

Rbc

: 4.59 x 1012/l

Immunoserologi :
HbsAg

: Nonreaktif

Hcg test : Negatif


Plano Test : Negatif
DIAGNOSIS : Kista dermoid
PENATALAKNSANAAN
-

IVFD RL 20 tpm
Inj. Ketorolac 1 gr/8jam/iv
Preop laparotomi
Instruksi Post Op:
o IVFD RL 28 tts/mnt
o TransfusiWB 1 kantong post op
o Inj. Ceftriaxone 1 gr/IV/12 jam
o Inj. Transamin 1 amp/iv/8 jam
o Drips metronidazole 0,5 g/12 jam
o Inj. Ketorolac 1 Amp/IV/8 jam
o Inj. Ondancentron 1 amp/iv/8 jam
o Inj. Ranitidin 1 amp/iv/8 jam
o Inj. Gentamicin 1 amp/11v/12 jam

Kista dermoid yang disebut juga Mature Cystic Teratoma (MCT) adalah
kista jinak di mana struktur-struktur ekdotermal dengan diferensiasi sempurna,
seperti epitel kulit, rambut, gigi, dan produk galndula sebasea berwarna putih
kuning menyerupai lemak tampak lebih menonjol daripada elemen-elemen
endorem dan mesoderm.
Mayoritas pasien dengan kista dermoid umumnya asimtomatik, dan sering
ditemukan secara insidental saat pemeriksaan pelvis ataupun kehamilan. Akan
tetapi, pada pasien dengan kista, dapat ditemukan adanya nyeri abdomen akut jika

13

terjadi torsio pada kista ataupun ruptur spontan dari kista tersebut sehingga terjadi
peritonitis.
Pasien perempuan usia 23 tahun datang dengan nyeri perut sejak 3 hari yang
lalu, muncul secara tiba-tiba. Keluhan disertai dengan perut membesar sejak 3
bulan yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Riwayat leucorrhea (+), penggunaan
kontrasepsi (-).
Berdasarkan pemeriksaan fisik di abdomen terdapat massa mobile
konsistensi kenyal di suprailiaka sinistra. Pemeriksaan palpasi adnexa terapa
massa mobile konsistensi kenyal di adnexa sinistra, nyeri tekan (+). CA-125 9,6
U/mL, Hasil USG kista ovarium berukuran 109mm x 95mm.
Diagnosis pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesis, didapatkan faktor resiko yaitu umur pasien adalah usia
produktif (23tahun), dan didapatkan nyeri abdomen secara tiba-tiba, yang
menandakan adanya torsio dari kista. Dari pemeriksaan fisik, didapatkan adanya
massa abdomen di regio suprailiaka sinistra, konsistensi kenyal, mobile, nyeri
tekan (+).
Dari pemeriksaan penunjang, dilakukan pemeriksaan CA-125 yang mana
meskipun pasien pada usia produktif, tetapi dengan pertimbangan pembesaran
perut secara mendadak dalam 3 bulan terakhir dapat dicurigai adanya suatu proses
keganasan. Maka dari itu, pada pasien ini, diperiksakan kadar CA-125. Sedangkan
untuk mendiagnosis pasien ini, dilakukan USG sebagai alat diagnosis utama, hal
ini sudah sesuai dengan teori.
Pada kebanyakan wanita dengan kista dermoid, pembedahan merupakan
terapi utama, menghilangkan gejala, dan mencegah torsi, ruptur dan keganasan.
Sama seperti kista ovarium lainnya, kista dapat dieksisi dengan tindakan
laparoskopi ataupun laparotomi, dan jika memang diindikasikan, dapat dilakukan
oophorektomi selama tindakan berlangsung jika ovarium tidak dapat diselamatkan
lagi.7

14

Akan tetapi, kistektomi terkadang lebih sering dilakuan daripada


oophorektomi jika pasien masih ingin punya keturunan. Menurut studi, tidak ada
rekurensi kista dermoid pada wanita yang sudah menjalani kistektomi.
Untuk penanganan pada kasus ini, dilakukan kistektomi tanpa melakukan
oophorektomi, sehingga jaringan ovarium sinistra yang sehat masih dapat
diselamatkan, dengan memp ertimbangkan bahwa pasien baru menikah dan
belum mempunyai anak.
Adapun permasalahan pada kasus ini adalah gejala dari anamnesis yang
mengarah ke torsio kista, karena adanya nyeri abdomen akut, unilateral dan juga
kista mobile serta berukuran lebih dari 6cm. Tetapi berkurang dengan pemberian
analgetik dan juga tidak ditemukan adanya mual muntah pada pasien.
Komplikasi dari torsio kista yang berbahaya bagi pasien adalah dapat
terjadinya emboli paru akibat stasis aliran darah sekitar torsi, iskemi ovarium
sampai nekrosis, dan syok neurogenik akibat nyeri abdomen akut.

Langkah dalam proses EBM adalah sebagai berikut :


1. Diawali dengan identifikasi masalah dari pasien atau yang timbul selama
proses tatalaksana penyakit pasien
2. Dilanjutkan dengan membuat formulasi pertanyaan dari masalah klinis
tersebut
3. Pilihlah sumber yang tepat untuk mencari jawaban yang benar bagi
pertanyaan tersebut dari literatur ilmiah
4. Lakukan telaah kritis terhadap literatur yang didapatkan untuk menilai
validitas (mendekati kebenaran), pentingnya hasil penelitian itu serta
kemungkinan penerapannya pada pasien

15

5. Setelah mendapatkan hasil telaah kritis, integrasikan bukti tersebut dengan


kemampuan klinis anda dan preferensi pasien yang seharusnya mendapatkan
probabilitas pemecahan masalah pelayanan pasien yang lebih baik
6. Evaluasi proses penatalaksanaan penyakit / masalah pasien anda .. Apakah
berhasil atau masih memerlukan tindakan lain?

DAFTAR PUSTAKA
1. Nelwan RHH. Pemakaian Antimikroba Secara Rasional Di Klinik. Dalam :
Sudoyo AW et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Interna
Publishing. Cetakan kedua 2010:2896-2900.
2. Santoso J. T., Lin D. W., and Miller D. S., 1995. Transfusion Medicine in
Obstetric and Gynecology, CME Review Articles, 50(6):470-481.
3. Lockwood C. J and Magriples U., 2009. The Initial Prenatal Assessment and
Routine Prenatal Care, www.uptodate.com
4. WHO, 2002. The Clinical Use of Blood, Geneva
5. Anonim,
2009.
Blood
Usage
in
Obstetric
Hemorrhage,
www.lancastergeneralcollege.edu

16

6. Anonim, 2008. Royal College of Obstetrician and Gynaecologists, Blood


Transfusion in Obstetrics, Green-top Guideline 2008.
7. Anonim, 2010. Laporan Pengeluaran Darah UPTD RSUP DR. Sardjito
Januari-April 2010.
8. Martel M. J., 2002. Hemorrhagic Shock, SOGC Clinical Practice Guideline .
9. Shroff M., Component Therapy in Massive Obstetric Haemorrhage,
www.obgyntoday.info
10. Sumiwi S.A. Kualitas Penggunaan Antibiotik pada Pasien Bedah Digestif di
Salah Satu Rumah Sakit di Bandung. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia, Vol. 3
No. 4, hlm 135140. 2014.
11. Amin L.Z. Pemilihan Antibiotik yang Rasional. MEDICINUS Vol. 27, No.3.
2014
12. Laras N.W. Kuantitas Penggunaan Antibiotik Di Bangsal Bedah dan ObstetriGinekologi Di RSUP DR. Kariadi Setelah Kampanye PP-PPRA. Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro. 2012.
13. Ulkumen, B.U. Asli G. Halil G.P. Sercin O. Abnormal Elevated CA 19-9 in
the Dermoid Cyst: A Sign of the Ovarian Torsion?. Turkey: Celal Bayar
University; 2013.
14. Cunningham FG, et al. Williams obstetric. 24th ed. New York: McGraw Hill;
2014. P377.
15. Sackett, D. Evidence-based Medicine: How to Practice and Teach EBM. 2nd
edition. Churchill Livingtone, 2000.
16. Bordley DR. Evidence-based medicine: a powerful educational tool for
clerkship education. American Journal of Medicine. 102(5):427-32,
May1997.
17. Covell, DG. Uman, CG. Manning, PR. Information needs in office practice:
are they being met? Annals of Internal Medicine 103(4):596-599, Oct 1995.
18. Osheroff JA. Forsythe DE. Buchanan BG. Bankowitz RA. Blumenfeld BH.
Miller RA. Physicians information needs: analysis of questions posed during
clinical teaching. Annals of Internal Medicine.114(7):576-81, Apr 1991.
19. Sackett DL, Straus SE, Richardson WS, Rosenberg WM, Haynes B (2000).
Evidence based medicine: how to practice and teach EBM. (2nd ed.) Toronto:
Churchill Livingstone.
20. BMJ Evidence Center (2010). About evidence-based medicine.
group.bmj.com. Diakses 13 Desember 2010.
21. Scott JG, Cohen D, DiCicco-Bloom B, Miller WL, Stange KC, Crabtree BF
(2008). Understanding healing relationships in primary care. Ann Fam Med.
6(4):315-322.
22. Guyatt G, Cook D, Haynes B (2004). Evidence based medicine has come a
long way (Editorial) BMJ, 30;329(7473):990-1.

17

Anda mungkin juga menyukai