Anda di halaman 1dari 8

BAB III

PEMBAHASAN

Kasus Ny.S umur 66 tahun masuk rumah sakit pada tanggal 11 Oktober

2018 ke bagian penyakit dalam dan terdiagnosis abses submandibula + AKI +

sindroma geriatri. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisik, dan penunjang. Pasien kemudian diterapi berdasarkan penyakit yang

mendasari. Pasien dirawat di ruang Tulip 3 ruang perawatan Penyakit Dalam

Wanita sejak tanggal 11 Oktober sampai dengan 23 Oktober 2018.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,

pasien di diagnosis dengan abses submandibular, AKI, malnutrisi, sindrom

geriatri yang ada pada pasien ini mengalami ketergantungan ringan, perlu

intervensi dan malnutrisi.

Diagnosis abses dmandibula berdasar pada hasil anamnesis, pemeriksaan

fisik dan pemeriksaan penunjang karena pasien mengeluh muka terlihat bengkak

pada bagian pipi hingga dagu seperti bisul berisi nanah sejak 7 hari SMRS,

menimbulkan rasa nyeri yang muncul jika dipegang atau ditekan. Karena keluhan

tersebut, pasien menjadi sulit membuka mulut. Pasien juga mengeluhkan demam

mendadak sejak 7 hari SMRS namun hilang setelah 2 hari meminum obat penurun

panas. Pasien sempat dibawa ke puskesmas dan diberi obat penahan nyeri (asam

mefenamat). Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan kelenjar limfe

serta adanya nyeri tekan.

52
Terapi yang diberikan berupa berupa terapi cairan maintenance IVFD NaCl

0,9% 2000 ml/ 24 jam, antibiotik intravena ciprofloxacin 2x200 m, omeprazole

intravena 1x40 mg, antipiretik sekaligus analgetik paracetamol intravena 3x1 gr

dengan pemberian klindamisin oral 3x300 mg dan rawat bersama bagian THT.

Pemberian klindamisin oral berlangsung selama 2 hari sebelum akhirnya diganti

dengan metronidazole intravena 3x500 mg pasca insisi drainase serta dilakukan

rawat bersama dengan bagian bedah onkologi.

Hal ini sesuai dengan teori bahwasanya keluhan abses submandibular

berupa demam dan nyeri leher disertai pembengkakan di bawah mandibula dan

atau di bawah lidah. Pasien juga biasanya akan mengeluhkan air liur yang banyak,

trismus akibat keterlibatan muskulus pterigoideus, disfagia dan sesak nafas akibat

sumbatan jalan nafas oleh lidah yang terangkat ke atas dan terdorong ke belakang.

Sesuai pada kasus,pasien mengalami demam 1 minggu sebelumnya dan adanya

nyeri juga sukar membuka mulut.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan kelenjar limfe serta

adanya nyeri tekan, didapatkan adanya pembengkakan di daerah submandibula,

fluktuatif, dan nyeri tekan. Pada insisi didapatkan material yang bernanah atau

purulent (merupakan tanda khas). Angulus mandibula dapat diraba. Lidah

terangkat ke atas dan terdorong ke belakang3.

Antibiotik dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan

secara parenteral. Hal yang paling penting adalah terjaganya saluran nafas yang

adekuat dan drainase abses yang baik 4. Seharusnya pemberian antibiotik

berdasarkan hasil biakan kuman dan tes kepekaan terhadap bakteri penyebab

53
infeksi, tetapi hasil biakan membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan

hasilnya, sedangkan pengobatan harus segera diberikan. Sebelum hasil

mikrobiologi ada, diberikan antibiotik kuman aerob dan anaerob9.

Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anastesi lokal untuk abses yang

dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam

dan luas5. Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os

hyoid, tergantung letak dan luas abses. Eksplorasi dilakukan secara tumpul sampai

mencapai ruang sublingual, kemudian dipasang salir. Pasien dirawat inap sampai

1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda10.

Adanya trismus menyulitkan untuk masuknya pipa endotrakea peroral. Pada

kasus demikian diperlukan tindakan trakeostomi dalam anastesi lokal. Jika

terdapat fasilitas bronkoskop fleksibel, intubasi pipa endotrakea dapat dilakukan

secara intranasal10.

54
Untuk lebih memastikan diagnosis, dilakukan pemeriksaan penunjang

yaitu dengan pemeriksaan laboratorium dan radiologi. Pemeriksaan darah lengkap

dengan hasil yang mengalami kelainan berupa leukosit 29,4 ribu/ul, ureum 175

mg/dl, kreatinin 1,89 mg/dl. Selain itu, dilakukan pemeriksaan kultur darah dan

sensitivitas dengan bahan pus didapatkan hasil pembiakan berupa tidak ada

pertumbuhan kuman aerob. Selain pemeriksaan laboratorium, dilakukan

pemeriksaan urinalisa dengan kelainan berupa didapatkan trace protein-albumin.

Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mendeteksi kelainan dan

adanya inflamasi. Pada kasus mengalami Acute kidney injury (AKI) ditandai

dengan penurunan mendadak fungsi ginjal yang terjadi dalam beberapa jam

sampai hari. Diagnosis AKI saat ini dibuat atas dasar adanya kreatinin serum yang

meningkat dan blood urea nitrogen (BUN) dan urine output yang menurun,

55
meskipun terdapat keterbatasan. Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis

AKI sesuai dengan yang telah dipaparkan di atas, pertama-tama harus ditentukan

apakah keadaan tersebut memang merupakan AKI atau merupakan suatu keadaan

akut pada PGK. Beberapa patokan umum yang dapat membedakan kedua keadaan

ini antara lain riwayat etiologi PGK, riwayat etiologi penyebab AKI, pemeriksaan

klinis (anemia, neuropati pada PGK) dan perjalanan penyakit (pemulihan pada

AKI) dan ukuran ginjal. Patokan tersebut tidak sepenuhnya dapat dipakai.

Misalnya, ginjal umumnya berukuran kecil pada PGK, namun dapat pula

berukuran normal bahkan membesar seperti pada neuropati diabetik dan penyakit

ginjal polikistik8.

Pada pemeriksaan diatas ditemukan adanya demam dan peningkatan

leukosit dalam pemeriksaan laboratorium. Hal ini menunjukkan pasien mengalami

sepsis. Perjalanan sepsis akibat bakteri diawali oleh proses infeksi yang ditandai

dengan bakteremia selanjutnya berkembang menjadi systemic inflammatory

response syndrome (SIRS) dilanjutkan sepsis, sepsis berat, syok sepsis dan

berakhir pada multiple organ dysfunction syndrome (MODS).11

Sepsis dimulai dengan tanda klinis respons inflamasi sistemik (yaitu

demam, takikardia, takipnea, leukositosis) dan berkembang menjadi hipotensi

pada kondisi vasodilatasi perifer (renjatan septik hiperdinamik atau “hangat”,

dengan muka kemerahan dan hangat yang menyeluruh serta peningkatan curah

jantung) atau vasokonstriksi perifer (renjatan septik hipodinamik atau “dingin”

dengan anggota gerak yang biru atau putih dingin). Pada pasien dengan

56
manifestasi klinis ini dan gambaran pemeriksaan fisik yang konsisten dengan

infeksi, diagnosis mudah ditegakkan dan terapi dapat dimulai secara dini.12

Pemeriksaan lanjutan berupa penilaian risiko jatuh dengan hasil 6 yang

berarti risiko tinggi dan memerlukan intervensi. Pemeriksaan activity of daily

living dengan instrument indeks barthel modifikasi memberikan hasil 13 yang

berarti ketergantungan ringan (B). pasien mandiri dan terkendali dalam

mengendalikan rangsang BAB, mampu makan dan minum sendiri, namun masih

perlu bantuan membersihkan diri dan pekerjaan sehari-hari, dibantu 1 orang untuk

berjalan di tempat rata dan berpindah dari kursi roda ke tempat tidur dan

sebaliknya. Pemeriksaan instrument mini nutrional assessment (MNA)

memberikan skor hasil 11 pada poin skrining yang menyatakan mungkin pasien

mengalami malnutrisi dan skor 13 pada poin pemeriksaan yang menyatakan

malnutrisi.

Dari hasil pemeriksaan lanjutan tersebut, pasien dapat didiagnosis dalam

sindroma geriatri yang ada pada pasien ini mengalami ketergantungan ringan,

perlu intervensi dan malnutrisi (Immobility, Inanition). Sindrom geriatri

merupakan kumpulan gejala dan atau tanda klinis, dari satu atau lebih penyakit

yang sering dijumpai pada pasien geriatri. Tampilan klinis yang tidak khas sering

membuat sindrom geriatri tidak terdiagnosis. Sindrom geriatri meliputi gangguan

kognitif, depresi, inkontinensia, ketergantungan fungsional, dan jatuh7.

Dalam bidang geriatri dikenal beberapa masalah kesehatan yang sering

dijumpai baik mengenai fisik atau psikis pasien usia lanjut. Menurut Solomon et

al, The “13 i” yang terdiri dari Immobility (imobilisasi), Instability (instabilitas

57
dan jatuh), Intelectual impairement (gangguan intelektual seperti demensia dan

delirium), Incontinence (inkontinensia urin dan alvi), Isolation (depresi),

Impotence (impotensi), Immunodeficiency (penurunan imunitas), Infection

(infeksi), Inanition (malnutrisi), Impaction (konstipasi), Insomnia (gangguan

tidur), Iatrogenic disorder (gangguan iatrogenik) dan Impairement of hearing,

vision and smell (gangguan pendengaran, penglihatan dan penciuman)7.

Keluhan pasien berangsur membaik kemudian pasien diperbolehkan

pulang pada tanggal 23 Oktober 2018, dan diminta kontrol ke poliklinik.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dilaporkan seorang perempuan yang berusia 66 tahun yang dirawat di

ruang penyakit dalam RSUD Ulin Banjarmasin sejak tanggal 11 Oktober 2018

dengan diagnosis Abses Submandibula dengan AKI dan sindroma geriatri

( sindrom geriatric apa yang ada). Diagnosis ditegakkan berdasarkan

58
anamnesis, hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pasien

diterapi berdasarkan protokol penatalaksanaan di RSUD Ulin Banjarmasin.

B. Saran

Bagi bidang pendidikan kesehatan diharapkan terus mengembangkan

keilmuannya terkait dengan abses submandibula. Bagi pelayanan kesehatan

diharapkan terus memperbaiki dan menyesuaikan tatalaksana sesuai dengan

keluhan dan kebutuhan pasien. Bagi masyarakat diharapkan memiliki

pengetahuan yang lebih luas terkait berbagai faktor yang dapat menjadi

penyebab terjadinya abses submandibula. Saran untuk penulisan makalah

selanjutnya yaitu mengkaji lebih lanjut mengenai tatalaksana abses

submandibula terutama pada pasien geriatri.

59

Anda mungkin juga menyukai