Anda di halaman 1dari 18

Journal Reading

Efficacy of Lactobacillus Administration in School-Age Children with Asthma:


A Randomized Placebo-Controlled Trial

Disusun oleh:
Zulfikar Caesar Narendra
1102014294

Pembimbing :
dr. Yuniasti Evitasari, Sp.A

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak


RSUD Pasar Rebo, Jakarta Timur
Periode 28 Januari 2019 – 5 April 2019
Program Studi Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi
ABSTRAK
Probiotik mungkin memiliki efek imunomodulator. Namun, efek tersebut pada asma
masih belum cukup jelas dan kekurangan uji klinis. Disini, penulis mengevaluasi
efektivitas dari Lactobacillus paracasei (LP), Lactobacillus fermentum (LF), dan
kombinasi dari keduanya (LP + LF) pada keparahan klinis, biomarker imun, dan
kualitas hidup anak dengan asma. Penelitian penyamaran berganda, prospektif, teracak,
dan terkendali placebo ini mengikutsertakan 160 anak dengan asma berusia 6 – 18
tahun, diacak untuk mendapat LP, LF, LP + LF, atau placebo selama 3 bulan. Penulis
mengevaluasi sampel berdasarkan Global Initiative for Asthma-based keparahan asma,
skor Childhood Asthma Control Test (C-ACT), puncak laju ekspirasi, penggunaan
obat, tingkat biomarker imunitas (Immunoglobulin E (IgE), interferon , interleukin 4,
dan TNF-) pada kunjugan berbeda. Dibandingkan dengan grup placebo, anak yang
mendapat LP, LF, dan LP + LF memiliki keparahan asma yang lebih rendah (p = 0.024,
0.038, and 0.007) namun skor C-ACT yang lebih tinggi (p = 0.005, < 0.001, and <
0.001). Grup LP + LF memperlihatkan peningkatan pada laju puncak ekspirasi (p <
0.01) dan penurunan kadar IgE (p < 0.05). LP, LF, maupun LP + LF dapat memberikan
manfaat secara klinis pada anak dengan asma.

Kata kunci: Lactobacillus; probiotik; asma; Childhood Asthma Control Test; laju
puncak ekspirasi; Immunoglobulin E

1
PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit kronis yang kompleks pada saluran pernafasan,


digambarkan dengan obstruksi saluran pernafasan yang reversibel, hiperresponsif
bronkus, dan inflamasi. Prevalensi asma telah meningkat dalam beberapa dekade
terakhir. Sebuah mekanisme yang mendasari tingginya prevalensi tersebut adalah
hipotesis mikroba, yang menyatakan bahwa sedikitnya paparan mikroba mencetuskan
produksi sitokin T-helper tipe 2 yang mana dapat meningkatkan penyakit alergi.
Menurut hipotesis ini, penggunaan probiotik merupakan terapi alternatif untuk
penyakit atopik, yang mana apabila digunakan dalam jumlah yang adekuat, dapat
memberikan manfaat kepada penjamu. Peneliti menemukan bahwa probiotik memiliki
efek terhadap penyakit atopik dengan mempengaruhi keseimbangan imunitas dari sel
T-helper tipe 1 dan Th2, terutama pada anak dengan dermatitis atopik (DA). Namun,
penelitian yang terfokus pada asma masih sangat terbatas.

Sebuah meta-analisis menemukan bahwa walaupun penggunaan probiotik pada


perinatal dan masa hidup awal dapat menurunkan risiko sensitisasi atopik dan total IgE
pada anak, hal tersebut tidak dapat dipastikan dapat menurunkan risiko terjadinya
asma. Namun beberapa penelitian melaporkan manfaat dari penggunaan probiotik,
sebagai tambahan dari perawatan standar, untuk mengatasi asma pada anak. Sebuah uji
klinik teracak terkendali dengan placebo selama 7 minggu dengan menggunakan
Enterococcus faecalis memperlihatkan penurunan variabilitas laju puncak pada anak
dengan asma. Lee et al. juga melaporkan perkembangan yang signifikan terhadap
fungsi paru pada anak dengan asma setelah konsumsi sayuran, minyak ikan, dan
suplemen buah bersamaan dengan penggunaan probiotik. Namun penelitian tersebut
dirancang sebagai terapi campuran dengan sampel yang relatif sedikit.

Pada penelitian ini, penulis mengikutsertakan sampel yang mewakili populasi


anak usia sekolah dengan asma yang diacak untuk mendapat Lactobacillus paracasei
GMNL-133 (BCRC 910520, CCTCC M2011331) (LP), Lactobacillus fermentum GM-

2
090 (BCRC 910259, CCTCC M204055) (LF), atau campuran keduanya. (LP + LF).
Penulis berfokus pada efek terapeutik dari probiotik tersebut terhadap keparahan
penyakit, kualitas hidup, biomarker imun, dan komposisi mikroba feses pada anak usia
sekolah dengan asma.

METODE

Peserta

Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2011 sampai September 2013
pada klinik rawat jalan anak Rumah Sakit Taipei, Kementerian Kesehatan dan
Kesejahteraan. Kriteria inklusinya yaitu usia 6 – 18 tahun dengan riwayat asma
intermiten sampai asma persisten sedang (Global Initiative for Asthma (GINA)
langkah 1 – 3) selama sedikitnya 1 tahun. Penulis mengeksklusikan anak yang telah
mendapatkan terapi imunosupresan, antibiotik, kortikosteroid sistemik, atau antijamur
dalam jangka waktu 4 minggu sebelum penelitian dilakukan atau antihistamin dalam
jangka waktu 3 hari sebelum penelitian dimulai. Anak yang memiliki penyakit
defisiensi imun, masalah medis lainnya, atau penggunaan preparat probiotik dalam
waktu 4 minggu juga dieksklusikan. Penulis mendapatkan persetujuan tindakan medik
tertulis dari semua orang tua sampel yang sesuai dengan Deklarasi Helsinki.

Protokol

Pengawas menyusun anak-anak dan secara bergantian memberikan mereka


nomer pasien dengan menggunakan sebuah kode. Kapsul telah dipersiapkan dan diberi
kode oleh GenMont Biotech Inc. dan diberikan oleh perawat. Anak-anak tersebut
diacak dengan menggunakan aplikasi yang dirancang oleh ahli statistik dengan
stratifikasi berdasarkan usia, jenis kelamin, keparahan, dan penggunaan obat saat ini.
Penulis menilai eligibilitas dari 160 anak yang terdaftar dan secara acak
mengalokasikan mereka dalam 4 grup yang berisi 40 anak tiap grup. Grup tersebut
kemudian diacak untuk mendapat LP, LF, LP + LF, atau placebo selama 3 bulan.
Semua pengawas, perawat, dan peserta disamarkan terhadap pengobatan yang

3
digunakan selama durasi penelitian. Jumlah kapsul dihitung tiap bulan untuk
memastikan bahwa kapsul tersebut dikonsumsi. Kode randomisasi diungkap di akhir
penelitian.

Hasil pengukuran

Hasil utama dari penelitian ini yaitu perubahan derajat keparahan asma dan skor
Childhood Asthma Control Test (C-ACT) selama 3 bulan intervensi dibandingkan
dengan batas dasar. Pada batas dasar dan kunjungan follow-up di bulan ke 0, 1, 2, 3,
dan 4 bulan intervensi, penulis menentukan keparahan asma berdasarkan GINA dan
merekam skor C-ACT, Kuisioner kualitas hidup anak dengan asma (PAQLQ), skor
keparahan asma (PASSs), laju puncak ekspirasi, dan penggunaan obat. Tes tusuk kulit
dan analisis serum darah dilakukan pada bulan ke 0 dan 3 intervensi. Selain itu, analisis
mikroba feses juga dilakukan sebagai evaluasi komprehensif sebelum dan sesudah
menjalani terapi selama 3 bulan. Perubahan pada skor PAQLQ, PASS, laju puncak
ekspirasi, reaktivitas tes tusuk kulit, tingkat biomarker imun serum, dan komposisi
mikroba probiotik feses merupakan hasil sekunder yang diharapkan.

Metode laboratorium

Tes tusuk kulit menggunakan ekstrak komersil dilakukan untuk mendeteksi


alergen penyebab asma, termasuk tungau, kecoa, sisa kulit atau bulu hewan, telur, susu,
dan alergen kepiting. Tingkat IgE dan biomarker imun serum lainnya, seperti interferon
(IFN) , interleukin (IL) 4, dan faktor nekrosis tumor (TNF) , diukur melalui
penetapan kadar imunosorben taut-enzim (ELISA). Strain bakteri usus spesifik pada
feses dihitung menggunakan teknik biakan konvensional.

Estimasi jumlah sampel

Dengan menggunakan nQuery Advisor + nTerim 3.0 (Statistical Solutions Ltd.,


Cork, Irlandia), penulis mengkalkulasikan jumlah peserta yang dibutuhkan untuk
mendeteksi perbedaan pada skore C-ACT. Menurut data sebelumnya, untuk

4
mendeteksi perbedaan yang signifikan dari penggunaan probiotik pada skor C-ACT
dengan kekuatan 90% dan 5% tingkat signifikansi, tiap kelompok penelitian harus
beranggotakan minimal 22 orang. Untuk mengantisipasi 20% kehilangan peserta yang
tidak patuh, penulis memutuskan untuk mengikutsertakan 30 anak pada tiap kelompok.
Setelah penilaian kekuatan, penulis memperkirakan bahwa 120 orang akan cukup.

Analisis statistik

Garis batas data demografis dari keempat grup tersebut dibandingkan


menggunakan analisis variasi. Perbandingan antar grup seperti keparahan, skor C-
ACT, PASSs, skor PAQLQ, dan tingkat biomarker imun serum pada garis batas dan 3
bulan terapi dilakukan menggunakan uji t berpasangan. Perbedaan pada variabel hasil
antara kelompok terapi dan kelompok placebo setelah 5 kunjugan akan dievaluasi
menggunakan model perhitungan estimasi umum (GEE) setelah pengaturan terhadap
faktor confounder. Semua anak yang telah menyelesaikan penelitian diikutsertakan
dalam analisis, terlepas dari kepatuhannya. Seluruh alasan untuk dropout atau
pemberhentian prematur dari penelitian dan juga nilai yang hilang akan direkam.
Signifikansi ditetapkan pada sebuah ekor dua  pada 0.05, dan seluruh analisis
dilakukan di SPSS (versi 21).

HASIL

Karakteristik Responden

Dari 160 orang anak, 152 terpilih untuk secara acak diberikan LP, LF, LP + LF,
atau placebo. Gambar 1 menunjukkan diagram hubungan dan perjalanan responden,
dan tabel 1 menunjukkan garis batas demografis dari 147 anak yang telah
menyelesaikan keseluruhan rangkaian penelitian. Proses randomisasi memastikan
perbandingan yang adekuat antara kelompok terapi dan placebo. Tidak ada perbedaan
yang signifikan secara statistik pada demografis, klinis, ataupun variabel fungsional.
Terlebih lagi, manifestasi klinis dari asma cukup mirip pada kedua kelompok. Tidak
ada perbedaan yang signifikan pada derajat keparahan, tingkat IgE serum total,

5
sensitisasi pada berbagai macam alergen, laju ekspirasi puncak, atau parameter lain
antara kedua grup pada garis batas (Tabel 2).

Tabel 1. Garis batas karakteristik demografis pada responden penelitian (N=147)

6
Bagan 1. Diagram perjalanan responden pada penelitian

7
Tabel 2. Pengukuran berskala pada garis batas (N=147)

Bagan 2. Protokol Penelitian

8
Efek probiotik pada derajat keparahan asma dan kualitas hidup

Perbedaan antar kelompok terlihat pada skor C-ACT, yang mana merupakan
parameter utama terlihat pada seluruh kelompok kecuali kelompok placebo (Bagan 3).
Dibandingkan dengan kelompok placebo, baik derajat keparahan asma maupun skor
C-ACT membaik secara signifikan pada kelompok LP, LF, LP + LF menurut
pengaturan model GEE yang diatur sesuai usia dan jenis kelamin (Tabel 3). Tidak ada
perbedaan yang signifikan pada derajat keparahan asma dan skor C-ACT antar
kelompok LP, LF, dan LP + LF. Skor PAQLQ dan PASSs menunjukkan efek
kelompok berdasarkan waktu. Pada kelompok LP + LF, laju puncak ekspirasi membaik
secara signifikan (p < 0.01).

Tabel 3. Nilai p dan ukuran efek () dibandingkan dengan kelompok placebo (n=35)
menggunakan model perhitungan estimasi umum (GEE)

9
Bagan 3. Perbedaan antar kelompok pada skor Childhood Asthma Control Test
*p<0.05

Efek probiotik pada sensitisasi dan tingkat biomarker imun

Pada akhir dari terapi, tingkat IgE serum menurun secara signifikan hanya pada
kelompok LP + LF (p < 0.05; Tabel 4). Walaupun begitu, dari semua kelompok,
perbedaan yang signifikan terlihat pada reaktivitas uji tusuk kulit pada alergen tungau.
Namun, tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan pada alergen lain baik
sebelum maupun setelah intervensi (Tabel S1). Terlebih lagi, tingkat interferon (IFN)
, interleukin (IL) 4, dan faktor nekrosis tumor (TNF)  tidak menunjukkan adanya
perbedaan yang signifikan (Tabel 4).

10
Tabel 4. Tingkat biomarker imun pada garis batas dan perubahannya (N=147)

Komposisi mikroba feses, penggunaan terapi, dan kepatuhan

Semua kelompok intervensi menunjukkan jumlah Clostridium yang lebih


rendah daripada kelompok placebo. Namun, antara kelompok intervensi tidak terdapat
perbedaan yang signifikan (Tabel S2). Frekuensi dari steroid oral (Tabel S3),
bronkodilator (Tabel S4), dan penggunaan antihistamin (Tabel S5) tidak menunjukkan
adanya perbedaan antar kelompok yang signifikan. Kepatuhan dari masing-masing
kelompok lebih dari 93% tanpa perbedaan antar kelompok (Tabel S6).

DISKUSI

Penelitian ini menyelesaikan secara tuntas debat manfaat dari penggunaan


probiotik pada anak dengan asma. Dengan menggunakan model GEE, penulis
menemukan bahwa intervensi LP, LF, dan LP + LF bersamaan dengan terapi asma
standar dapat menurunkan derajat keparahan asma secara signifikan dan meningkatkan
skor C-ACT. Terlebih lagi, LP + LF meningkatkan baik kadar IgE serum maupun laju
puncak ekspirasi, menunjukkan bahwa terdapat adanya efek dosis bergantung.

Sejalan dengan hasil penelitian ini, sebuah uji klinis teracak oleh Chen et al.
menunjukkan terdapat adanya manfaat dari probiotik terhadap derajat keparahan asma
dan gejala klinis, namun mereka mengikutsertakan responden dengan asma yang
memiliki riwayat rhinitis alergi persisten. Dengan kata lain, banyak penelitian telah
menunjukkan efek signifikan dari berbagai jenis probiotik pada beberapa parameter

11
asma, namun tidak termasuk derajat keparahannya, pada anak dengan asma. Berkaitan
dengan probiotik yang mengandung strain bakteri tunggal, keuntungan klinis dari
mengaplikasikan campuran strain bakteri atau menggunakan campuran terapi yang
termasuk regimen probiotik telah terbukti pada pasien dengan asma. Alasan dari
ketidakpastian dari hasil tersebut mungkin terjadi karena variasi genetic, keparahan
penyakit, kebudayaan, dan diet dari responden; terlebih lagi, perbedaan dari desain
penelitian, regimen campuran, dan dosis strain dan kombinasi mungkin dapat
memberikan efek pada hasil karena efek dari probiotik bersifat spesifik strain.

Penulis memilih LP untuk penelitian ini karena pada penelitian-penelitian


sebelumnya, LP menunjukkan manfaat terhadap saluran pernafasan pada pasien
dengan hipersensitivitas. Terlebih lagi, LP dapat menghambat produksi sitokin Th2 dan
menyeimbangkan respon imun Th1/Th2 dengan cara meningkatkan kadar IFN-
seperti yang terlihat pada sampel bilas bronkoalveolus tikus. Penulis juga
menggunakan LF, yang mana dapat meningkatkan kadar IFN- pada pasien dengan
dermatitis atopik dan memperbaiki kerusakan oksidatif, alergi makanan, dan infeksi
yang berasal dari makanan. Penelitian ini adalah yang pertama dalam kondisi secara
klinis membandingkan efek dari probiotik strain tunggal maupun strain kombinasi.

Berkenaan dengan efeknya pada kadar biomarker imun serum, sebuah uji klinis
mengaplikasikan strain tunggal Lactobacillus gasseri A5 pada anak sekolah dengan
asma dan rhinitis alergi dan melaporkan pengurangan yang tidak signifikan pada kadar
IgE. Pada penelitian terbaru, penggunaan LP atau LF secara tunggal menunjukkan
kecenderungan untuk mengurangi kadar IgE, walaupun tanpa mencapai nilai yang
signifikan secara statistik. Dengan kata lain, penurunan yang signifikan terlihat pada
laju puncak ekspirasi dalam kelompok LP + LF. Hasil ini, dapat dijelaskan dalam
interaksi sinergis atau efek dosis bergantung, yang mana juga terlihat pada uji probiotik
lainnya; namun mekanisme yang mendasari efek tersebut masih belum diketahui secara
pasti. Penelitian yang melaporkan perbedaan antar grup terkait dengan efek probiotik
terhadap kadar IgE pada anak dengan asma sangat terbatas, tetapi makna dari

12
penurunan IgE yang dicetuskan oleh probiotik pada anak dengan asma telah dibuktikan
dalam beberapa penelitian. Bahkan banyak penelitian mengungkapkan bahwa selain
meregulasi kadar IgE probiotik mampu meregulasi kadar sitokin pada pasien dengan
Dermatitis atopik. Singkatnya, pada sejumlah penelitian dermatitis atopik, probiotik
menurunkan kadar IL-4 serum secara signifikan, yang mana berkesinambungan dengan
berkurangnya respon Th2. Namun, penemuan terkait sitokin tersebut dalam konteks
asma sangat dibutuhkan. Segelintir kepustakaan menyebutkan bahwa pengukuran
tersebut kurang konsisten dalam mengungkapkan hasilnya.

Berdasarkan penelitian penyakit reaksi alergi sebelumnya, penggunaan


probiotik melalui saluran gastrointestinal lebih efisien dalam meredakan gejala pada
dermatitis atopik daripada reaksi alergi pada saluran pernafasan seperti asma dan
rhinitis alergi. Terlebih lagi, pola sensitisasi alergen asma, seperti yang telah diamati
pada penelitian ini menggunakan uji tusuk kulit, berbeda dari pola pada alergen
dermatitis atopik. Berkaitan dengan penelitian sebelumnya, tungau adalah aeroalergen
yang predominan pada asma. Penulis mengamati perubahan pasca intervensi yang
signifikan pada sensitisasi tungau dalam semua kelompok; namun perbedaan antar
kelompok tersebut tidak kami cermati. Dikarenakan perbedaan antara dermatitis atopik
dan alergi pada saluran pernafasan, sangat disarankan untuk mencari metode alternatif
lain untuk memasukkan probiotik pada anak dengan asma seperti rute intranasal, yang
mana menunjukkan hasil yang efektif pada tikus percobaan.

Mempertimbangkan patogenesisnya, asma mungkin dapat dikategorikan


sebagai penyakit atopik di masa yang akan datang, yang berarti penyakit yang berjalan
secara sistemik. Sebuah artikel meninjau data eksperimen terkini dan memberikan
interpretasi dari reaksi alergi; disfungsi sawar epidermis pada masa awal kehidupan
terbukti dapat menginisiasi sensitisasi secara sistemik, yang mana dikemudian hari
memfasilitasi perkembangan dari asma dan rhinitis alergi. Maka dari itu, penggunaan
probiotik dosis tinggi, campuran strain probiotik, atau campuran terapi termasuk

13
probiotik cocok untuk anak dengan asma daripada penyakit lainnya; pendapat ini
didukung oleh penelitian-penelitian sebelumnya.

Mengenai mikrobiota feses, jumlah Lactobacillus, Bifidobacterium, dan


Clostridium sebelum dan setelah intervensi menunjukkan tidak adanya perbedaan
dalam empat kelompok penelitian. Kelompok LF menunjukkan kecenderungan
meningkatkan jumlah kolonu dari Lactobacillus dan Bifidobacterium dibandingkan
dengan kelompok placebo, namun tidak mencapai perbedaan bermakna secara statistik.
Hal tersebut mungkin dikarenakan efek terkait dosis: hanya kelompok kombinasi yang
mendapat probiotik adekuat terhadap konsumsi. Sebagai tambahan Lactobacillus, kami
menganalisis jumlah Bifidobacterium dan Clostridium karena asma diasosiasikan
dengan jumlah Clostridium yang meningkat dan jumlah Bifidobacterium yang
menurun dan penelitian sebelumnya secara terpisah. Penulis menemukan jumlah
Clostridium pada kelompok LP cenderung menurun setelah intervensi namun tidak
bermakna secara statistik. Hal tersebut dikarenakan Lactobacillus mendominasi flora
normal usus, seperti pada penelitian Durack et al. Penulis menegaskan bahwa suplemen
Lactobacillus mungkin dapat mengubah komposisi flora normal usus, kemudian
mencegah asma dan atopi. Terlebih lagi, penurunan Clostridium dapat memfasilitasi
kolonisasi mikroorganisme lain yang mana dapat meningkatkan keberagaman flora
normal usus, hal tersebut dapat menjadi faktor protektif asma yang potensial.

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, anak dengan asma


melanjutkan terapi standar bersamaan dengan probiotik, menurunkan efek probiotik
yang dapat timbul secara tunggal. Namun hal tersebut adalah masalah etik dan tidak
dapat dihindari. Terlebih lagi, tidak ada perbedaan yang terlihat pada masing-masing
kelompok dalam penggunaan steroid oral maupun bronkodilator sebelum dan sesudah
intervensi. Sebagai tambahan, terapi tersebut mungkin dapat memalsukan efek
terapetik dari probiotik. Kedua adalah mengenai kepatuhan anak. Untuk memastikan
kepatuhan, penulis menggunakan metode penghitung kapsul daripada metode rekam
pasien; metode ini lebih mudah digunakan dan lebih murah daripada mendeteksi strain

14
probiotik pada feses. Terakhir, beberapa kesalahan, seperti bias seleksi, faktor pejamu
(latar belakang genetis dan situasi flora normal), dan faktor lingkungan (diet dan gaya
hidup). Untuk memitigasi keterbatasan tersebut, penulis melakukan randomisasi.

Terlepas dari itu semua, penelitian ini memiliki beberapa keunggulan: jumlah
sampel yang besar, pengukuran hasil yang komprehensif (termasuk skor C-ACT, skor
PAQLQ, PASSs, dan uji tusuk kulit), dan pengukuran berulang longitudinal. Penulis
mengumpulkan berbagai jenis data, terutama kadar biomarker imun yang beragam dan
komposisi mikroba feses. Terlebih lagi, sebuah faktor pembeda dari penelitian ini
adalah penulis mengkombinasikan dua jenis probiotik (LP + LF) dan menemukan efek
signifikan dalam menurunkan IgE dan meningkatkan laju puncak ekspirasi daripada
satu jenis probiotik saja. Topik ini dapat memberikan sebuah bukti penggunaan
Lactobacillus pada anak dengan asma bagi dokter anak, ahli imunologi, dan pakar
kesehatan lainnya. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi inspirasi
bagi ahli kesehatan masyarakat.

KESIMPULAN

Penelitian ini mendukung argumen bahwa Lactobacillus bermanfaat bagi anak


dengan asma. Penulis menemukan bahwa baik LP maupun LF mampu mengurangi
derajat keparahan asma dan meningkatkan pengendalian asma pada anak usia sekolah.
Kombinasi dari LP dan LF terlihat lebih efektif pada anak dengan asma daripada LP
ataupun LF secara terpisah. LP, LF, dan kombinasi keduanya ditoleransi dengan baik
dengan derajat kepatuhan yang cukup dan belum ada laporan mengenai efek
sampingnya.

15
CRITICAL APPRAISAL

1. Apakah penelitian ini membahas pertanyaan / masalah yang terfokus?


Jawab : Ya, penelitian ini membahas tentang manfaat probiotik Lactobacillus
pada anak dengan asma

2. Apakah metode penelitian (desain studi) sesuai untuk menjawab pertanyaan


penelitian?
Jawab : Ya, pada penelitian ini digunakan metode uji acak terkendali dengan
placebo sehingga dapat mengurangi kemungkinan timbulnya bias. Selain itu
parameter yang digunakan pun beragam (skor C-ACT, skor PAQLQ, PASSs,
dll).

3. Apakah metode pemilihan subjek dijelaskan dengan jelas?


Jawab : Ya, dalam jurnal ini dipaparkan secara jelas bagaimana proses
pengambilan sampel dan apa saja kriteria inklusi maupun eksklusinya.

4. Mungkinkah cara sampel yang diperoleh terdapat bias?


Jawab : Tidak, karena teknik randomisasi dilakukan oleh aplikasi khusus yang
dirancang oleh ahli statistik untuk menghindari bias.

16
5. Apakah tingkat respons tercapai?
Jawab : Ya, penelitian ini mencapai tingkat respons yang diinginkan

6. Apakah pengukuran (kuesioner) cenderung valid dan reliabel?


Jawab : Penelitian ini tidak menggunakan kuisioner

7. Mungkinkah ada faktor pembaur yang belum diperhitungkan?


Jawab : Semua sudah diperhitungkan namun ada beberapa kekurangan yang
tidak bisa dihindari seperti anak masih menggunakan terapi standar sehari-hari
selama masa penelitian bersamaan dengan probiotik sehingga dapat
membaurkan hasil penelitian.

17

Anda mungkin juga menyukai