Karena bayi tidak dapat menunjukkan gejala anafilaksis dengan baik dan sering
mengalami kesulitan dalam mengenali gejalanya pada bayi, tidak hanya diagnosis
sulit dilakukan, tetapi juga perawatannya sulit, menjadikan mereka kelompok umur
yang unik. Meskipun penting untuk memantau kelompok usia ini, data yang
dilaporkan mengenai karakteristik anafilaksis bayi jarang terjadi. (Simons FE,
Sampson HA)
PENDAHULUAN
Pada anak-anak, sebagian besar kasus anafilaksis terjadi oleh karena alergen
dari makanan dan makanan penyebab sering berbeda dari satu negara ke negara
yang lainya karena budaya makanan yang berbeda.
Oleh karena itu pada penelitian ini melakukan survei multicenter untuk
menganalisis karakteristik klinis anafilaksis pada bayi di Korea yang berfokus pada
pemicu dan karakteristik klinis.
METODE
Subjek
Studi ini menganalisis rekam medis dari bayi yang berusia 0 - 2 tahun yang telah
didiagnosis dengan anafilaksis di 23 rumah sakit sekunder atau tersier di Korea.
Rekam medik yang dianalisis secara retrospektif untuk menemukan pasien yang
memiliki kode diagnostik yang sesuai dengan ICD-10 (International Classiffication
of Disease) yaitu :
• T78.2 (syok anafilaktik, unspecified)
• T78.0 (syok anafilaktik karena reaksi makanan)
• T80.5 (syok anafilaktik akibat serum)
• T88.6 (syok anafilaksis akibat efek samping dari obat)
• T63.4 (efek toksik hewan berbisa, racun arthropoda, dan sengatan serangga
yang telah di label menyebabkan anafilaksis untuk penelitian ini)
METODE
Subjek
Terdiri dari : demografi, riwayat penyakit alergi pribadi dan riwayat keluarga, utama
pemicu, manifestasi klinis, tes diagnostik alergen yang mencurigakan dan
pengobatan.
Telah diperiksa apakah tingkat imunoglobulin E spesifik (sIgE) mereka melebihi nilai
cut off dari sIgE yang diumumkan pada tahun 2001 oleh Sampson, yang
memungkinkan diagnosis alergi makanan.
METODE
Analisis data laboratorium
Memiliki tingkat titik keputusan diagnostik (DDP) dengan nilai prediktif positif
pada 95% (98% untuk putih telur ayam betina) diperiksa, yaitu:
Digunakan untuk analisis statistik. Variabel kontinu yang tidak memiliki distribusi
normal dinyatakan dalam nilai median.
METODE
Pernyataan etika
Ada lebih banyak anak laki-laki daripada perempuan dengan proporsinya 66,9%.
Di antara pasien, 74% sudah menyadari alergi makanan dan 56,7% memiliki
dermatitis atopik.
Empat puluh tujuh pasien di antara 363 bayi (12,9%) menderita rinitis alergi, 41
(11,3%) menderita asma, 7 pasien (1,9%) menderita urtikaria kronis dan pasien
yang alergi obat adalah 7 (1,9%).
Sisanya termasuk tiga kasus anafilaksis yang dipicu oleh olahraga yang bergantung
pada makanan, dua kasus anafilaksis yang dipicu oleh gigitan serangga, dan
sembilan kasus dengan penyebab yang tidak diketahui.
Sisanya termasuk tiga kasus anafilaksis yang dipicu oleh olahraga yang bergantung
pada makanan, dua kasus anafilaksis yang dipicu oleh gigitan serangga, dan
sembilan kasus dengan penyebab yang tidak diketahui.
Hasil
Pada kelompok pemicu makanan, susu sapi dan produk susu sapi menempati
proporsi terbesar di 43,8% (148/338) dan telur ayam menempati proporsi terbesar
kedua di 21,9% (74/338), diikuti oleh kenari, gandum, kacang tanah, kacang-
kacangan lainnya (kacang pinus, almond, kemiri), ikan dan kedelai (Tabel 1).
Hasil
Hasil
Manifestasi klinis
Gejala anafilaksis pada kulit adalah gejala yang paling banyak, dengan proporsi
98,6%, dan gejala pernapasan 83,2%, diikuti oleh gejala gastrointestinal dan gejala
neuromuskuler.
Hanya ada 7,7% dari gejala kardiovaskular (Gambar). Hanya 9,1% kasus tekanan
Hasil
Sementara 4,7% dari pasien dengan anafilaksis bayi mengalami reaksi bifasik,
proporsinya setinggi 9,1% dalam kasus anafilaksis obat. Ini kira-kira lima kali lebih
tinggi daripada pasien dengan anafilaksis yang diinduksi makanan sebesar 1,8%.
Proporsi pasien yang membutuhkan rawat inap adalah 2,7 kali lebih tinggi pada
kasus yang disebabkan oleh obat daripada kasus yang disebabkan oleh makanan
(63,6% vs 23,4%).
(185 kasus, 51%)
Di antara total pasien, 51% (185/363) menunjukkan gejala dalam waktu 30 menit
setelah paparan memicu.
Kasus timbulnya gejala setelah paparan yang tidak diketahui waktunya (91 kasus),
68% (185/272) dari pasien menunjukkan gejala dalam waktu 30 menit. Ada
beberapa kasus (31 kasus, 8,6%) yang menunjukkan gejala setelah dua jam (Tabel
2).
Hasil
Tes laboratorium untuk mengkonfirmasi
pemicu
Ada 307 dari 363 pasien (84,6%) yang menerima tes diagnostik untuk
mengkonfirmasi pemicu anafilaksis.
ImmunoCAP adalah tes yang paling sering dilakukan dengan proporsinya 81,8%,
diikuti oleh beberapa tes simultan alergen (28,4%), prick tes (2,5%), tes
intradermal (0,6%), dan 9,4% menerima tes secara oral.
Hasil
Tes laboratorium untuk mengkonfirmasi
pemicu
Dari 148 pasien anafilaksis susu sapi, 79,9% menerima susu sapi dengan
ImmunoCAP dan 9,3% menerima kasein susu.
Nilai median susu sapi sIgE adalah 6,8 kUA / L dan nilai minimum sIgE yang paling
rendah 0,37 kUA / L. Nilai median casein sIgE adalah 7.76 kUA / L dan nilai
minimum adalah 0.59 kUA / L.
Hasil
Pada penelitian ini mengategorikan 119 kasus anafilaksis susu sapi menjadi dua
kelompok sesuai dengan nilai DDP sIgE susu sapi yang diukur dengan
immunoCAP :
• Pasien dengan nilai kurang dari DDP 5 kUA / L adalah 31 dari 60 (51,7%) yang
berusia di bawah 12
• Dan pasien dengan nilai kurang dari DDP 15 kUA / L adalah 33 dari 59 (55,9%)
dalam yang berusia di atas 12 bulan.
Lebih dari setengah kasus anafilaksis susu sapi mengalami gejala anafilaksis
dengan nilai lebih rendah dari nilai DDP (Tabel 3 dan Gambar 4A).
Hasil
Tes laboratorium untuk mengkonfirmasi
pemicu
Dari 59 kasus anafilaksis telur ayam dikategorikan menjadi dua kelompok sesuai
dengan nilai DDP telur ayam sIgE :
• Pasien dengan nilai DDP lebih tinggi dari 2 kUA / L adalah 91,8% pada kasus
yang di bawah 24 bulan
• Dan dari semua pasien (100%) di atas 24 bulan menunjukkan nilai DDP putih
telur ayam lebih tinggi dari 7 kUA / L (Tabel 3 dan Gambar 4B).
Hasil
Manajemen awal dan resep epinefrin
Terdapat 175 pasien dengan pengobatan awal anafilaksis di ruang gawat darurat (UGD).
Jenis obat yang digunakan untuk manajemen awal anafilaksis dianalisis dalam kasus pasien
anafilaksis yang masuk UGD
Antihistamin digunakan pada 82,3% kasus, injeksi cairan intravena digunakan pada
65,7%, steroid sistemik pada 57,4% dan epinefrin IM digunakan pada 46,8% kasus.
Hasil
Manajemen awal dan resep epinefrin
Di antara 193 data pasien, 4,7% dari kasus menunjukkan reaksi bifasik dan 14,5%
mengalami episode anafilaksis berulang.
Hanya 25,1% dari kasus memiliki resep auto-injector epinefrin.
DISKUSI
Penelitian ini menemukan peningkatan anafilaksis pada bayi di Korea,
dengan jumlah kasus hampir 4 kali lipat antara tahun 2009-2013.
Australia melaporkan terjadi peningkatan jumlah pasien yang masuk
akibat anafilaksis (8.8% per tahun) antara tahun 1993-2005.
Secara khusus, jumlah kasus anafilaksis akibat makanan pada anak-anak
usia dibawah 5 tahun meningkat secara signifikan.
Prevalensi alergi makanan pada anak SD di Korea yakni 4.2% dalam
survei nasional tahun 1995 dan 5.2% pada tahun 2006.
Peningkatan anafilaksis mungkin disebabkan oleh peningkatan alergi
makanan yang tentunya meningkatkan kasus anafilaksis yang
disebabkan oleh makanan.
Namun, ada kemungkinan bahwa tingkat diagnosis anafilaksis meningkat
dikarenakan pasien dan orang tuanya sudah lebih sadar akan hal ini.
DISKUSI
Makanan adalah penyebab anafilaksis yang sering
diobservasi/diamati, makanan yang paling umum adalah susu sapi
dan produknya. Makanan lainnya seperti telur ayam, kenari,
gandum, kacang tanah, kacang-kacangan lainnya, ikan dan kedelai
yang kerap terjadi pada bayi usia 0-2 tahun.
Penelitian yang dilakukan di 14 rumah sakit tersier di Korea pada
September tahun 2014 dan Agustus 2015 oleh Akademi Alergi
Pediatrik dan Penyakit Pernafasan Korea (KAPARD), Kelompok Studi
FAAD menyelidiki alergen makanan yang sering terjadi pada 2.056
anak-anak dengan tipe alergi makanan segera/langsung di usia 0-18
tahun, hasilnya adalah telur ayam (27.4%), susu sapi (26.6%), kenari
(7.2%), gandum (6.2%), kacang tanah (5.5%), kedelai (2.4%), udang
(2.2%), soba (1.7%) adalah alergen makanan yang sering dipesan.
DISKUSI
Penelitian lainnya yang dilakukan oleh KAPARD pada tahun 2009-2013
melaporkan bahwa alergen makanan yang sensitif terhadap 740 anak-anak-
anak dengan anafilaksis pada usia 0-18 tahun adalah susu sapi (28.4%),
telur ayam betina (13.6%), kenari (8%), gandum (7.2%), soba (6.5%) dan
kacang tanah (6.2%).
ayam, buah, kacang, dan kacang pohon yang paling sering terjadi pada kasus anak-
anak balita dan kerang paling sering pada anak-anak di atas enam tahun
DISKUSI
dan kacang tanah sebagai penyebab anafilaksis pada anak yang paling sering dan
melaporkan bahwa telur ayam dan susu sapi adalah yang paling sering di antara
anak-anak di bawah tiga tahun
Di Jepang, telur ayam, susu sapi, dan gandum terbukti menjadi penyebab alergi
makanan yang paling sering, menempati 90% pada kasus anak-anak di bawah usia
1 tahun, diikuti oleh udang-udangan, buah, soba, ikan dan kacang tanah.
DISKUSI
Gejala anafilaksis bayi yang paling sering timbul adalah gejala pada kulit dan pernapasan.
Anafilaksis yang diinduksi oleh obat memiliki proporsi gejala kardiovaskular, gejala gastrointestinal,
dan gejala sistem saraf yang tinggi dibandingkan dengan anafilaksis yang diinduksi makanan.
Dalam survei domestik pada anak-anak dan remaja anafilaksis yang dilakukan oleh kelompok
peneliti, gejala kardiovaskular yang diamati pada 14,3% dari total anak di bawah usia 18 tahun, dan
gejala kardiovaskular yang terendah yaitu 7,7% dalam kasus kelompok usia nol sampai dua tahun.
Kesulitan mengenali gejala kardiovaskular di usia muda bisa menjadi salah satu alasan mengingat
Pada penelitian ini anafilaksis yang disebabkan oleh obat memiliki gejala bifasik yang
tinggi yaitu sebesar 9,1%, yang kira-kira lima kali lebih tinggi daripada anafilaksis yang
diinduksi oleh makanan.
DISKUSI
Proporsi kasus yang memerlukan rawat inap juga 2,7 kali lebih tinggi pada anafilaksis
pemicu dan hipotensi yang tidak diketahui, berkorelasi dengan anafilaksis bifasik,
yang jarang terjadi pada kasus-kasus yang disebabkan oleh makanan, gejala diare, dan
asma.
DISKUSI
Dalam penelitian ini, 46,8% bayi anafilaksis menerima pengobatan epinefrin sebagai
penatalaksanaan awal.
Sebuah studi penelitian yang dilakukan di sepuluh negara, Eropa melaporkan bahwa persentase
pengobatan epinefrin ketika pasien mengunjungi UGD karena anafilaksis meningkat dari 12% pada
tahun 2011 menjadi 25% pada tahun 2014.
Dalam sebuah penelitian di Australia, tingkat resep epinefrin pada kasus anafilaksis berat pada anak
meningkat dari waktu ke waktu (40% pada 2002 menjadi 59% pada 2006)
DISKUSI
Dalam penelitian ini, tingkat resep auto-injector epinefrin sangat rendah yaitu 25%.
Di antara pasien bayi anafilaksis, sebagian besar memiliki berat kurang dari 15 kg.
Fakta bahwa hanya ada 0,15 mg dosis auto-injector epinefrin untuk anak-anak dapat
Anak berpendapat bahwa cukup banyak epinefrin injeksi yang telah diberikan kepada
anak-anak kecil untuk memperhitungkan berat badan akan tetapi lebih praktis
menggunakan 0,15 mg epinefrin auto-injector jika ada bayi yang sehat lebih dari 7,5 kg.
DISKUSI
Menurut sebuah penelitian terbaru di Jepang, tidak ada efek samping lain yang
• Susu sapi adalah makanan yang paling sering memicu anafilaksis pada bayi di Korea.
Namun, pada penelitian ini tidak menemukan korelasi yang signifikan antara tingkat sIgE
dan keparahan pada gejala klinis.
• Pendidikan diperlukan mengenai pentingnya epinefrin sebagai terapi lini pertama untuk
anafilaksis dan tentang pemberian epinefrin dengan benar untuk bayi dengan riwayat
anafilaksis.
TERIMAKASIH