Anda di halaman 1dari 41

JOURNAL READING

ANAFILAKSIS PADA BAYI DI KOREA:


STUDI KASUS RETROSPEKTIF MULTICENTER
Pembimbing : dr. Hj. Rini Sulviani, Sp. A, M. Kes
Disusun oleh : Khayrul Fikri
2015730071

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak


Fakultas Kedokteran dan Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Jakarta
RSUD R.Syamsudin,S.H, Sukabumi
2019
LATAR BELAKANG

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk


menganalisis karakteristik klinis dari anafilaksis pada
bayi di Korea, dengan fokus pada makanan pemicu.
PENDAHULUAN
Anafilaksis adalah penyakit alergi sistemik akut yang mengancam jiwa. Namun,
prevalensi dan karakteristik klinis anafilaksis, terutama pada bayi, tidak jelas dan
menunjukkan keragaman dalam banyak penelitian.
Studi epidemiologi utama anafilaksis yang dilakukan pada tahun 2006 melaporkan prevalensi
seumur hidup sebesar 0,05% -2,0%. (Lieberman P, Camargo CA Jr, Bohlke K, Jick H, Miller RL,
Sheikh A, et al)

Pada tahun 2014, survey cross-sectional nasional AS melaporkan perkiraan prevalensi


anafilaksis di antara orang dewasa sebesar 1,6% -5,1%. (Wood RA, Camargo CA Jr, Lieberman P,
Sampson HA, Schwartz LB, Zitt M, et al)

Survei Wawancara Kesehatan Nasional di Amerika melaporkan bahwa alergi makanan


meningkat 18% dari 1997 hingga 2007 dan bahwa rawat inap terkait alergi makanan juga
meningkat. (Branum AM, Lukacs SL)
PENDAHULUAN
Pada sebuah studi kohort retrospektif pada anak-anak usia 6-18 tahun dengan
anafilaksis yang terkait dengan makanan dari 37 rumah sakit anak di AS pada 2007-
2012, jumlah kasus anafilaksis yang terkait dengan makanan meningkat dari 41 per
100.000 kunjungan departemen gawat darurat (ED) menjadi 72 per 100.000
kunjungan ED. Dilaporkan bahwa proporsi kasus anafilaksis pada bayi usia 6 bulan
sampai 1 tahun diantara total kasus anafilaksis pada anak-anak adalah 6%. Dan
didentifikasi bahawa usia muda (<1 tahun) adalah faktor penting untuk masuk
rumah sakit. (Parlaman JP, Oron AP, Uspal NG, DeJong KN, Tieder JS)

Karena bayi tidak dapat menunjukkan gejala anafilaksis dengan baik dan sering
mengalami kesulitan dalam mengenali gejalanya pada bayi, tidak hanya diagnosis
sulit dilakukan, tetapi juga perawatannya sulit, menjadikan mereka kelompok umur
yang unik. Meskipun penting untuk memantau kelompok usia ini, data yang
dilaporkan mengenai karakteristik anafilaksis bayi jarang terjadi. (Simons FE,
Sampson HA)
PENDAHULUAN
Pada anak-anak, sebagian besar kasus anafilaksis terjadi oleh karena alergen
dari makanan dan makanan penyebab sering berbeda dari satu negara ke negara
yang lainya karena budaya makanan yang berbeda.
Oleh karena itu pada penelitian ini melakukan survei multicenter untuk
menganalisis karakteristik klinis anafilaksis pada bayi di Korea yang berfokus pada
pemicu dan karakteristik klinis.
METODE
Subjek
Studi ini menganalisis rekam medis dari bayi yang berusia 0 - 2 tahun yang telah
didiagnosis dengan anafilaksis di 23 rumah sakit sekunder atau tersier di Korea.

Rekam medik yang dianalisis secara retrospektif untuk menemukan pasien yang
memiliki kode diagnostik yang sesuai dengan ICD-10 (International Classiffication
of Disease) yaitu :
• T78.2 (syok anafilaktik, unspecified)
• T78.0 (syok anafilaktik karena reaksi makanan)
• T80.5 (syok anafilaktik akibat serum)
• T88.6 (syok anafilaksis akibat efek samping dari obat)
• T63.4 (efek toksik hewan berbisa, racun arthropoda, dan sengatan serangga
yang telah di label menyebabkan anafilaksis untuk penelitian ini)
METODE
Subjek

Setelah spesialis alergi pediatrik mengkonfirmasi apakah catatan pasien memenuhi


kriteria diagnosis anafilaksis oleh Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular dan
Alergi Pangan dan Jaringan Anafilaksis pada 2006

Pasien terdaftar dalam survei anafilaksis anak 2009-2013


METODE
Formulir laporan kasus
Pada penelitian ini menggunakan case report form (CRF) yang dikembangkan oleh
FAAD Study Group di Akademi Pediatrik Alergi dan Penyakit Pernafasan Korea dan
digunakan dalam penelitian sebelumnya yang diterbitkan pada tahun 2016.

Terdiri dari : demografi, riwayat penyakit alergi pribadi dan riwayat keluarga, utama
pemicu, manifestasi klinis, tes diagnostik alergen yang mencurigakan dan
pengobatan.

Manifestasi klinis anafilaksis dikategorikan ke dalam 5 gejala organ seperti : kulit,


pernapasan, pencernaan, gejala neuromuskuler dan kardiovaskular. Interval waktu
antara paparan terhadap pemicu dan perkembangan gejala, reaksi bifasik dan
tekanan darah juga dimasukkan dalam CRF.
METODE
Analisis data laboratorium
Pada penelitian ini mengumpulkan data laboratorium yang mengkonfirmasi pemicu
pada pasien anafilaksis antara usia nol dan dua tahun. Dalam hasil skin prick test,
kasus-kasus yang memiliki diameter ≥3 mm atau lebih besar dari kontrol histamin
didefinisikan sebagai positif.

Pasien diberikan ImmunoCAP (Thermo Fisher Scientific, Uppsala, Swedia) sebagai


tes diagnosis, pasien yang mengkonsumsi susu sapi dan yang anafilaksis terhadap
telur ayam dianalisis lebih lanjut.

Telah diperiksa apakah tingkat imunoglobulin E spesifik (sIgE) mereka melebihi nilai
cut off dari sIgE yang diumumkan pada tahun 2001 oleh Sampson, yang
memungkinkan diagnosis alergi makanan.
METODE
Analisis data laboratorium
Memiliki tingkat titik keputusan diagnostik (DDP) dengan nilai prediktif positif
pada 95% (98% untuk putih telur ayam betina) diperiksa, yaitu:

• Pada kasus susu sapi


5 kUA / L (di bawah usia 1 th) atau 15 kUA / L (lebih usia 1 thn)

• Pada kasus putih telur ayam


2 kUA / L (di bawah usia 2 th) atau 7 kUA / L (di atas usia 2 thn)
METODE
Analisis data Statistik
SPSS untuk Windows, versi 21.0 (SPSS Inc., Chicago, IL, USA)

Digunakan untuk analisis statistik. Variabel kontinu yang tidak memiliki distribusi
normal dinyatakan dalam nilai median.
METODE
Pernyataan etika

Penelitian ini telah disetujui oleh komite etika independen di setiap


rumah sakit termasuk Institutional Review Board (IRB) Rumah Sakit
Hati Kudus Dongtan Universitas Htanm (persetujuan No. 2014-045)
Hasil
Demografi
Sebanyak 363 pasien anafilaksis usia nol dan dua tahun terdaftar dan usia rata-
ratanya adalah 15 bulan.

Ada lebih banyak anak laki-laki daripada perempuan dengan proporsinya 66,9%.

Di antara pasien, 74% sudah menyadari alergi makanan dan 56,7% memiliki
dermatitis atopik.
Empat puluh tujuh pasien di antara 363 bayi (12,9%) menderita rinitis alergi, 41
(11,3%) menderita asma, 7 pasien (1,9%) menderita urtikaria kronis dan pasien
yang alergi obat adalah 7 (1,9%).

Riwayat keluarga dengan penyakit alergi 45,2% pasien.


Hasil

Variasi tahunan jumlah anafilaksis pada bayi menunjukkan peningkatan, dengan


jumlah kasus hampir empat kali lipat antara 2009 hingga 2013.
Hasil
Pemicu
Pemicu yang paling sering adalah makanan, terhitung 93,1% (338/363), diikuti oleh
obat-obatan (3%, 11/363).

Sisanya termasuk tiga kasus anafilaksis yang dipicu oleh olahraga yang bergantung
pada makanan, dua kasus anafilaksis yang dipicu oleh gigitan serangga, dan
sembilan kasus dengan penyebab yang tidak diketahui.

Sisanya termasuk tiga kasus anafilaksis yang dipicu oleh olahraga yang bergantung
pada makanan, dua kasus anafilaksis yang dipicu oleh gigitan serangga, dan
sembilan kasus dengan penyebab yang tidak diketahui.
Hasil

Pada kelompok pemicu makanan, susu sapi dan produk susu sapi menempati
proporsi terbesar di 43,8% (148/338) dan telur ayam menempati proporsi terbesar
kedua di 21,9% (74/338), diikuti oleh kenari, gandum, kacang tanah, kacang-
kacangan lainnya (kacang pinus, almond, kemiri), ikan dan kedelai (Tabel 1).
Hasil
Hasil
Manifestasi klinis

Gejala anafilaksis pada kulit adalah gejala yang paling banyak, dengan proporsi
98,6%, dan gejala pernapasan 83,2%, diikuti oleh gejala gastrointestinal dan gejala
neuromuskuler.
Hanya ada 7,7% dari gejala kardiovaskular (Gambar). Hanya 9,1% kasus tekanan
Hasil

Perbandingan gejala antara anafilaksis yang diinduksi makanan dan anafilaksis


yang diinduksi obat, ada beberapa perbedaan pada organ yang terlibat dan pola
gejala klinis.
Dalam kasus anafilaksis yang diinduksi obat, proporsi gejala kardiovaskular adalah
2,5 kali lebih tinggi daripada dalam kasus anafilaksis yang diinduksi makanan
(18,2% vs 7,4%). Anafilaksis obat juga memiliki proporsi gejala neuromuskuler 2,5
kali (27,3% vs 10,9%) dan proporsi gejala gastrointestinal 1,5 kali (45,5% vs
30,2%) dibandingkan dengan kasus anafilaksis yang diinduksi oleh makanan.
Hasil

Sementara 4,7% dari pasien dengan anafilaksis bayi mengalami reaksi bifasik,
proporsinya setinggi 9,1% dalam kasus anafilaksis obat. Ini kira-kira lima kali lebih
tinggi daripada pasien dengan anafilaksis yang diinduksi makanan sebesar 1,8%.

Proporsi pasien yang membutuhkan rawat inap adalah 2,7 kali lebih tinggi pada
kasus yang disebabkan oleh obat daripada kasus yang disebabkan oleh makanan
(63,6% vs 23,4%).
(185 kasus, 51%)

(31 kasus, 8,6%)

Di antara total pasien, 51% (185/363) menunjukkan gejala dalam waktu 30 menit
setelah paparan memicu.
Kasus timbulnya gejala setelah paparan yang tidak diketahui waktunya (91 kasus),
68% (185/272) dari pasien menunjukkan gejala dalam waktu 30 menit. Ada
beberapa kasus (31 kasus, 8,6%) yang menunjukkan gejala setelah dua jam (Tabel
2).
Hasil
Tes laboratorium untuk mengkonfirmasi
pemicu

Ada 307 dari 363 pasien (84,6%) yang menerima tes diagnostik untuk
mengkonfirmasi pemicu anafilaksis.
ImmunoCAP adalah tes yang paling sering dilakukan dengan proporsinya 81,8%,
diikuti oleh beberapa tes simultan alergen (28,4%), prick tes (2,5%), tes
intradermal (0,6%), dan 9,4% menerima tes secara oral.
Hasil
Tes laboratorium untuk mengkonfirmasi
pemicu

Dari 148 pasien anafilaksis susu sapi, 79,9% menerima susu sapi dengan
ImmunoCAP dan 9,3% menerima kasein susu.
Nilai median susu sapi sIgE adalah 6,8 kUA / L dan nilai minimum sIgE yang paling
rendah 0,37 kUA / L. Nilai median casein sIgE adalah 7.76 kUA / L dan nilai
minimum adalah 0.59 kUA / L.
Hasil

Pada penelitian ini mengategorikan 119 kasus anafilaksis susu sapi menjadi dua
kelompok sesuai dengan nilai DDP sIgE susu sapi yang diukur dengan
immunoCAP :
• Pasien dengan nilai kurang dari DDP 5 kUA / L adalah 31 dari 60 (51,7%) yang
berusia di bawah 12
• Dan pasien dengan nilai kurang dari DDP 15 kUA / L adalah 33 dari 59 (55,9%)
dalam yang berusia di atas 12 bulan.
Lebih dari setengah kasus anafilaksis susu sapi mengalami gejala anafilaksis
dengan nilai lebih rendah dari nilai DDP (Tabel 3 dan Gambar 4A).
Hasil
Tes laboratorium untuk mengkonfirmasi
pemicu

Dari 74 pasien anafilaksis telur ayam, 59 kasus (79,7%) dikonfirmasi menggunakan


putih telur ayam yang immunoCAP. Nilai median adalah 10,4 kUA / L dan nilai
minimum adalah 1,03 kUA / L
Hasil

Dari 59 kasus anafilaksis telur ayam dikategorikan menjadi dua kelompok sesuai
dengan nilai DDP telur ayam sIgE :
• Pasien dengan nilai DDP lebih tinggi dari 2 kUA / L adalah 91,8% pada kasus
yang di bawah 24 bulan
• Dan dari semua pasien (100%) di atas 24 bulan menunjukkan nilai DDP putih
telur ayam lebih tinggi dari 7 kUA / L (Tabel 3 dan Gambar 4B).
Hasil
Manajemen awal dan resep epinefrin

Terdapat 175 pasien dengan pengobatan awal anafilaksis di ruang gawat darurat (UGD).
Jenis obat yang digunakan untuk manajemen awal anafilaksis dianalisis dalam kasus pasien
anafilaksis yang masuk UGD
Antihistamin digunakan pada 82,3% kasus, injeksi cairan intravena digunakan pada
65,7%, steroid sistemik pada 57,4% dan epinefrin IM digunakan pada 46,8% kasus.
Hasil
Manajemen awal dan resep epinefrin

Bronkodilator digunakan dalam 28% dan oksigen digunakan dalam 24,6%.

Di antara 193 data pasien, 4,7% dari kasus menunjukkan reaksi bifasik dan 14,5%
mengalami episode anafilaksis berulang.
Hanya 25,1% dari kasus memiliki resep auto-injector epinefrin.
DISKUSI
 Penelitian ini menemukan peningkatan anafilaksis pada bayi di Korea,
dengan jumlah kasus hampir 4 kali lipat antara tahun 2009-2013.
 Australia melaporkan terjadi peningkatan jumlah pasien yang masuk
akibat anafilaksis (8.8% per tahun) antara tahun 1993-2005.
 Secara khusus, jumlah kasus anafilaksis akibat makanan pada anak-anak
usia dibawah 5 tahun meningkat secara signifikan.
 Prevalensi alergi makanan pada anak SD di Korea yakni 4.2% dalam
survei nasional tahun 1995 dan 5.2% pada tahun 2006.
 Peningkatan anafilaksis mungkin disebabkan oleh peningkatan alergi
makanan yang tentunya meningkatkan kasus anafilaksis yang
disebabkan oleh makanan.
 Namun, ada kemungkinan bahwa tingkat diagnosis anafilaksis meningkat
dikarenakan pasien dan orang tuanya sudah lebih sadar akan hal ini.
DISKUSI
 Makanan adalah penyebab anafilaksis yang sering
diobservasi/diamati, makanan yang paling umum adalah susu sapi
dan produknya. Makanan lainnya seperti telur ayam, kenari,
gandum, kacang tanah, kacang-kacangan lainnya, ikan dan kedelai
yang kerap terjadi pada bayi usia 0-2 tahun.
 Penelitian yang dilakukan di 14 rumah sakit tersier di Korea pada
September tahun 2014 dan Agustus 2015 oleh Akademi Alergi
Pediatrik dan Penyakit Pernafasan Korea (KAPARD), Kelompok Studi
FAAD menyelidiki alergen makanan yang sering terjadi pada 2.056
anak-anak dengan tipe alergi makanan segera/langsung di usia 0-18
tahun, hasilnya adalah telur ayam (27.4%), susu sapi (26.6%), kenari
(7.2%), gandum (6.2%), kacang tanah (5.5%), kedelai (2.4%), udang
(2.2%), soba (1.7%) adalah alergen makanan yang sering dipesan.
DISKUSI
 Penelitian lainnya yang dilakukan oleh KAPARD pada tahun 2009-2013
melaporkan bahwa alergen makanan yang sensitif terhadap 740 anak-anak-
anak dengan anafilaksis pada usia 0-18 tahun adalah susu sapi (28.4%),
telur ayam betina (13.6%), kenari (8%), gandum (7.2%), soba (6.5%) dan
kacang tanah (6.2%).

 Dua penelitian di Korea sebelumnya ini menunjukkan bahwa penyebab


umum alergi makanan dan penyebab anafilaksis agak berbeda. Telur ayam
adalah makanan alergi yang tersentisisasi pada anak-anak dengan anak tipe
alergi makanan langsung/segera/immediate, namun susu sapi adalah
makanan pemicu paling umum pada anak-anak dengan anafilaksis di Korea.
DISKUSI
 Sebuah studi oleh satu lembaga penelitian studi di Amerika yang meneliti pemicu

anafilaksis di kalangan anak-anak berdasarkan usia melaporkan bahwa penyebab


paling sering adalah susu sapi, kacang tanah, kacang pohon, dan telur ayam pada
kasus bayi. kacang pohon, kacang, dan susu sapi pada beberapa kasus pada usia
prasekolah dan kerang, kacang pohon dan buah pada kasus remaja.

 Sebuah survei multi-lembaga nasional di Amerika mengungkapkan bahwa telur

ayam, buah, kacang, dan kacang pohon yang paling sering terjadi pada kasus anak-
anak balita dan kerang paling sering pada anak-anak di atas enam tahun
DISKUSI

 Sebuah penelitian di Eropa menunjukkan kacang pohon (jambu mete khususnya)

dan kacang tanah sebagai penyebab anafilaksis pada anak yang paling sering dan
melaporkan bahwa telur ayam dan susu sapi adalah yang paling sering di antara
anak-anak di bawah tiga tahun

 Di Jepang, telur ayam, susu sapi, dan gandum terbukti menjadi penyebab alergi

makanan yang paling sering, menempati 90% pada kasus anak-anak di bawah usia
1 tahun, diikuti oleh udang-udangan, buah, soba, ikan dan kacang tanah.
DISKUSI
 Gejala anafilaksis bayi yang paling sering timbul adalah gejala pada kulit dan pernapasan.

 Anafilaksis yang diinduksi oleh obat memiliki proporsi gejala kardiovaskular, gejala gastrointestinal,

dan gejala sistem saraf yang tinggi dibandingkan dengan anafilaksis yang diinduksi makanan.

 Dalam survei domestik pada anak-anak dan remaja anafilaksis yang dilakukan oleh kelompok

peneliti, gejala kardiovaskular yang diamati pada 14,3% dari total anak di bawah usia 18 tahun, dan
gejala kardiovaskular yang terendah yaitu 7,7% dalam kasus kelompok usia nol sampai dua tahun.

 Kesulitan mengenali gejala kardiovaskular di usia muda bisa menjadi salah satu alasan mengingat

sangat kecilnya catatan tentang tekanan darah.


DISKUSI
 Dalam penelitian ini, 4,7% dari kasus menunjukkan reaksi bifasik.

 Sebuah penelitian di Thailand melaporkan bahwa 6,3% pasien anafilaksis yang

mengunjungi UGD menunjukkan reaksi bifasik.

 Sebuah studi penelitian multi-institusi tentang anafilaksis pediatrik di Turki melaporkan

3,1% dari reaksi bifasik.

 Pada penelitian ini anafilaksis yang disebabkan oleh obat memiliki gejala bifasik yang

tinggi yaitu sebesar 9,1%, yang kira-kira lima kali lebih tinggi daripada anafilaksis yang
diinduksi oleh makanan.
DISKUSI
 Proporsi kasus yang memerlukan rawat inap juga 2,7 kali lebih tinggi pada anafilaksis

yang di sebabkakn oleh obat.

 Sebuah studi sebelumnya melaporkan bahwa riwayat anafilaksis obat merupakan

faktor yang berkontribusi untuk memicu reaksi bifasik.

 Sebuah meta-analisis pada pasien dengan anafilaksis bifasik melaporkan bahwa

pemicu dan hipotensi yang tidak diketahui, berkorelasi dengan anafilaksis bifasik,
yang jarang terjadi pada kasus-kasus yang disebabkan oleh makanan, gejala diare, dan
asma.
DISKUSI
Dalam penelitian ini, 46,8% bayi anafilaksis menerima pengobatan epinefrin sebagai
penatalaksanaan awal.
Sebuah studi penelitian yang dilakukan di sepuluh negara, Eropa melaporkan bahwa persentase

pengobatan epinefrin ketika pasien mengunjungi UGD karena anafilaksis meningkat dari 12% pada
tahun 2011 menjadi 25% pada tahun 2014.
Dalam sebuah penelitian di Australia, tingkat resep epinefrin pada kasus anafilaksis berat pada anak

yang mengunjungi UGD adalah 39,3%.


Menurut sebuah penelitian di Amerika, persentase pasien anafilaksis yang menerima epinefrin

meningkat dari waktu ke waktu (40% pada 2002 menjadi 59% pada 2006)
DISKUSI
Dalam penelitian ini, tingkat resep auto-injector epinefrin sangat rendah yaitu 25%.

Di antara pasien bayi anafilaksis, sebagian besar memiliki berat kurang dari 15 kg.

Fakta bahwa hanya ada 0,15 mg dosis auto-injector epinefrin untuk anak-anak dapat

menjadi salah satu alasan rendahnya tingkat resep.


Makalah Akademi Alergi Eropa dan Gugus Tugas Imunologi Klinis tentang Anafilaksis pada

Anak berpendapat bahwa cukup banyak epinefrin injeksi yang telah diberikan kepada
anak-anak kecil untuk memperhitungkan berat badan akan tetapi lebih praktis
menggunakan 0,15 mg epinefrin auto-injector jika ada bayi yang sehat lebih dari 7,5 kg.
DISKUSI

 Menurut sebuah penelitian terbaru di Jepang, tidak ada efek samping lain yang

dilaporkan kecuali rasa sakit di tempat suntikan pada anak-anak anafilaksis di


bawah usia 3 tahun yang menggunakan 0,15 mg epinefrin auto-injector.
Kesimpulan

• Susu sapi adalah makanan yang paling sering memicu anafilaksis pada bayi di Korea.
Namun, pada penelitian ini tidak menemukan korelasi yang signifikan antara tingkat sIgE
dan keparahan pada gejala klinis.
• Pendidikan diperlukan mengenai pentingnya epinefrin sebagai terapi lini pertama untuk
anafilaksis dan tentang pemberian epinefrin dengan benar untuk bayi dengan riwayat
anafilaksis.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai