Anda di halaman 1dari 9

1.

Definisi
Peripartum kardiomiopati (PPCM) adalah sebuah penyakit yang masih jarang dan masih
belum diketahui penyebabnya. Terdapat banyak hipotesis etiologi dan patofisiologi PPCM.
Terdapat banyak variasi definisi PPCM. European Society of Cardiology menyatakan bahwa
PPCM adalah suatu bentuk dilated cardiomyopathy non-familial non-genetik yang
berhubungan dengan kehamilan. American Heart Association mendefinisikan PPCM sebagai
penyakit jarang yang berhubungan dengan kehamilan di mana jantung mengalami dilated
cardiomyopathy dengan disfungsi ventrikel kiri dan gagal jantung.1,2
National Heart Lung and Blood Institute and the Office of Rare Diseases menyatakan
PPCM jika:
1. Gagal jantung timbul pada bulan terakhir kehamilan atau pada 5 bulan post-partum
2. Tidak ada penyebab pasti timbulnya gagal jantung
3. Tidak ada penyakit jantung yang ditemukan sebelum kehamilan
4. Disfungsi sistolik yang dapat dipastikan oleh echocardiography dengan kriteria fraksi
ejeksi ventrikel kiri <45%, pemendekan fractional <30% atau keduanya, dengan atau tanpa
dimensi end diastolic ventrikel kiri >2.7cm/m2 body surface area.

Definisi terkini dibuatoleh Heart Failure Association of the European Society of Cardiology
Working Group on PPCM pada tahun 2010 yang menyatakan bahwa PPCM adalah suatu keadaan
kardiomiopati idiopatik, berhubungan dengan kehamilan, bermanifestasi sebagai gagal jantung
karena disfungsi sistolik ventrikel kiri, biasanya terjadi pada 1 bulan terakhir kehamilan sampai 5
bulan masa postpartum; adalah diagnosis eksklusi, terjadi pada wanita tanpa penyakit
kardiovaskular lain, tidak harus disertai dengan dilatasi ventrikel kiri, namun fraksi ejeksi biasanya
selalu <45%.
2. Epidemiologi
Tidak banyak yang diketahui tentang PPCM; dari berbagai literatur, kejadian PPCM sekitar
1:2200-4000 (USA), 1:1000 (Afrika Selatan), dan 1:300 (Haiti). Di Asia didapati 1:1374
(Rumah Sakit Tersier di India), 1:1000 (Jepang), 1:837 (Pakistan), 34:100000 (Malaysia).
Analisis retrospektif di pusat kesehatan tersier di Singapura mendapatkan insiden 0.89:1000
kelahiran hidup. Kasus tertinggi dilaporkan di Nigeria, sebesar 1% dari semua kelahiran hidup.
Kardiomiopati peripartum unik untuk wanita hamil usia reproduktif. Di Amerika
didapatkan umur rerata penderita 31±6 tahun, sedangkan di India 31,81±3,7 tahun. Sebagai
acuan, umur rerata kejadian PPCM adalah wanita antara 19-38 tahun.

Dalam sebuah penelitian 68.75% dari pasien kardiomiopati peripartum mengalami


persalinan pervaginam dan 31% diperlukan operasi Caesar terutama karena alas an obstetric.
Pendekatan multi disiplin melibatkan ahli kandungan, ahli jantung, ahli anestesi dan ahli anak.
Setelah penrsalinan 43.75% pasein membutuhkan perawatan ICU dibawah pengawasan ahli
jantung dan anestesi. Komplikasi pada ibu terutama edema paru dan CCF pada 62.5%
penderita dan aritmia pada 12.5% penderita. 3 kematian ibu terjadi karena alas an
tromboemboli.
Kardiomiopati relative jarang tetapi dapat mengancam jiwa . gagal jantung memperngaruhi
perempuan pada bulan-bulan terakhir kehamilan atau puerperium dini. Ini tetap menjadi
penyebab signifikan morbiditas dan mortalitas ibu. 75% kardiomiopati periparum didiagnosis
pada bulan pertama postpartum dan 45% pada minggu pertama. Ketika dicurigai, harus segera
menetapkan diagnosis. Insiden PPCM bervariasi di seluruh dunia. Dilaporkan prevalensi
PPCM di Negara-negara nonAfrika berkisar antara 1:3.000-1:15.000 kelahiran hidup. Dalam
sebuah pusat rujukan perawatan tersier untuk populasi perkotaaan dan pedesaan yang besar,
terdapat prevalensi 1 per 837 kelahiran hidup. Telah dilaporkan prevalensi 1 kasus per 6000
kelahiran hidup di Jepang, I kasus per1000 kelahiran hidup di Afrika Selatan dan 1 kasus
per350-400 kelahiran hidup di Haiti. Sebuah prevalensi yang tinggi di Nigeria disebabkan
karena adanya tradisi memakan kanwa (danan garam kering) sambil berbaring di tempat tidur
Lumpur panas 2 kali sehari selama 40 hari pasca melahirkan. Asupan garam menyebabkan
volume overload yang tinggi.

3. Etiologi
Beberapa kejadian yang diperkirakan dapat menjadi penyebab ataupun mekanisme
kardiomiopati peripartum, adalah :
a. miokarditis : Melvin dkk pernah membuktikan adanya miokarditis dari biopsi
endomiokardial pada pasien dengan kardiomiopati peripartum. Dikatakan bahwa hipotesis
menurunnya sistem imnunitas selama hamil, dapat meningkatkan replikasi virus dan
kemungkinan untuk terjadinya miokarditis akan meningkat.
b. infeksi viral yang bersifat kardiotropik
c. genetic
d. stress oksidatif
e. apoptosis dan inflamasi
f. respon abnormal hemodinamik pada kehamilan : perubahan hemodinamik selama
kehamilan dengan meningkatnya volume darah dan curah jantung serta menurunnya
afterload, sehingga respon dari ventrikel kiri untuk penyesuaian menyebabkan terjadinya
hipertrofi sesaat.

4. Manifestasi Klinis
Kehamilan normal dihubungkan dengan perubahan fisiologis sistem kardiovaskuler seperti
peningkatan volume darah, peningkatan kebutuhan metabolik, anemia ringan, perubahan
resistensi vaskuler dengan adanya dilatasi ringan ventrikel dan peningkatan curah jantung.
Karenanya, awal manifestasi klinis PPCM mudah terselubung.
Presentasi klinis PPCM kurang lebih sama dengan gagal jantung sistolik sekunder terhadap
kardiomiopati. Tanda dan gejala awal PPCM biasanya menyerupai temuan normal fisiologis
kehamilan, termasuk oedem pedis, dyspneu d’eff ort, ortopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea,
dan batuk persisten.
Tanda dan gejala tambahan pasien PPCM adalah: abdominal discomfort sekunder
terhadap kongesti hepar, pusing, nyeri sekitar jantung dan epigastrium, palpitasi, pada stadium
lanjut didapat hipotensi postural, peningkatan tekanan vena jugularis, murmur regurgitasi yang
tidak ditemukan sebelumnya, serta gallop S3 dan S4.
Pada mayoritas pasien, 78% gejala didapati pada 4 bulan setelah melahirkan, hanya 9%
pasien menunjukkan gejala pada bulan terakhir kehamilan. Tanda dan gejala paling sering
dijumpai pada saat pasien datang adalah dengan NYHA functional class III atau IV. Kadang
pasien datang dengan aritmi ventrikel atau cardiac arrest.
Gejala PPCM diklasifikasikan menggunakan sistem New York Heart Association
sebagai berikut:
• Class I – Keadaan tanpa gejala
• Class II – Gejala ringan hanya pada aktivitas berat
• Class III – Gejala dengan aktivitas ringan
• Class IV – Gejala pada saat istirahat
Trombosis ventrikel kiri tidak jarang ditemui pada pasien PPCM dengan LVEF <35%.
Komplikasi lain yang dapat dijumpai adalah embolisme perifer, termasuk emboli serebral
dengan konsekuensi neurologis serius dan embolisme koroner mesenterium.

4. Diagnosis
Kriteria Framingham (tabel 1) dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis gagal jantung
menggunakan kriteria klinis (anamnesis dan pemeriksaan fisik). Diagnosis ditegakkan jika
didapatkan 2 gejala mayor pada pemeriksaan klinis atau minimal terdapat 1 gejala mayor
dengan 2 gejala minor yang terpenuhi.
Kriteria Framingham untuk Diagnosis Gagal Jantung
Kriteria Mayor
• Peningkatan tekanan vena jugularis
• Distensi vena leher
• Paroxysmal nocturnal dyspnea
• Edema paru akut
• Ronkhi basah basal paru
• Kardiomegali
• Gallop S3
• Refluks hepatojugular
Kriteria Minor
• Batuk pada malam hari
• Sesak saat aktivitas fisik (dyspnea d’eff ort)
• Efusi pleura
• Penurunan kapasitas vital 1/3 pengukuran normal
• Takikardia dengan laju ventrikel >120 kali/menit
• Hepatomegali
• Edema ekstremitas
Penurunan BB ≥ 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan (termasuk dalam kriteria mayor dan minor)

5. Patogenesis
Terdapat beberapa pathogenesis dari peripartum kardiomiopati berdasarkan penyebabnya.
Yaitu.

1. Hemodinamik :
respon abnormal hemodinamik pada kehamilan : perubahan hemodinamik selama kehamilan
dengan meningkatnya volume darah dan curah jantung serta menurunnya afterload, sehingga
respon dari ventrikel kiri untuk penyesuaian menyebabkan terjadinya hipertrofi sesaat.

2. Autoimun
Serum pasien PPCM ditemukan mempengaruhi maturisasi sel dendrit in vitro, berbeda
dibandingkan dengan serum wanita postpartum sehat. Serum wanita PPCM mengandung titer
autoantibodi tinggi terhadap protein jaringan kardium yang tidak terdapat pada pasien
kardiomiopati idiopatik. Warraich dkk. Menyatakan bahwa tidak seperti yang ditemukan pada
DCM, yaitu up-regulation selektif G3 subclass immunoglobulin (IgG3s), pada PPCM terdapat
kenaikan kelas G dan semua subclass immunoglobulin terhadap myosin heavy chain.
Autoantibodi berasal dari sel fetal (microchimerism) (yang dapat masuk ke dalam sirkulasi
maternal), dan beberapa protein (seperti aktin dan miosin) yang dilepaskan oleh uterus selama
proses melahirkan telah terdeteksi pada pasien PPCM. Autoantibodi ini bereaksi dengan
protein miokardium maternal yang kemudian menyebabkan PPCM.
Multiparitas adalah faktor risiko PPCM, menyimpulkan adanya pajanan terhadap antigen
fetal atau paternal dapat menyebabkan respon inflamasi miokardium abnormal.

3. Genetik
The European Society of Cardiology mengklasifikasikan PPCM sebagai suatu bentuk DCM
nonfamilial dan nongenetik berhubungan dengan kehamilan. Tetapi beberapa kasus PPCM
telah terbukti berhubungan dengan faktor genetik. Beberapa literatur melaporkan wanita
PPCM mempunyai ibu atau saudara perempuan didiagnosis PPCM, ada pula yang melaporkan
hubungan antara first-degree relative berjenis kelamin perempuan. Ada juga yang melaporkan
bahwa perempuan yang mempunyai gen DCM (dilated cardiomyopahty), dapat berujung pada
PPCM setelah kehamilan karena adanya stres hemodinamik. Selain itu, terdapat hubungan
antara wanita dengan keluarga laki-laki yang mempunyai DCM. Penelitian 90 keluarga
familial DCM dan PPCM mengungkapkan adanya causative mutation yang dapat dideteksi
lebih awal dengan penapisan. Penelitian tersebut menemukan adanya mutasi
(c.149A>G,p.Gln50Arg) di dalam gen yang mengkode cardiac troponin C (TNNC1). Adanya
variasi genetik dalam JAK/STAT signaling cascade juga dapat menjadi salah satu penyebab
PPCM.
4. Stres Oksidatif
Data baru menunjukkan keterlibatan stres oksidatif, prolactin-cleaving protease cathepsin D,
dan prolaktin pada patofisiologi PPCM. Stres oksidatif adalah suatu stimulus poten untuk
mengaktivasi Cathepsin D dan Matrix Metalloproteinase-2 (MMP-2), suatu enzim yang dapat
menggenerasi prolaktin 16 kDa. Belakangan ini ditemukan korelasi erat antara N-terminal
brain natriuretic peptide (NTproBNP), suatu marker tingkat stres dinding ventrikel dan gagal
jantung, prolaktin, dan marker untuk stres oksidatif (LDL teroksidasi) dan inflamasi
(interferon-gama).

6. Pemeriksaan penunjang
a. Rontgen Toraks
Diagnosis harus cepat ditegakkan. Dispnea akut, takikardia atau hipoksia, harus disertai Ro
thorax untuk mendeteksi edema pulmoner, mencari etiologi dan menyingkirkan pneumonia;
dilaksanakan dengan menggunakan pelindung abdomen. Fetal radiation exposure dengan 2
maternal chest radiographs menggunakan abdominal shielding adalah sekitar 0.00007 rads.
Sedangkan batasan yang diterima untuk fetal radiation exposure selama kehamilan adalah 5
rads. Patchy infiltrates di daerah paru bawah, dengan vascular redistribution/cephalization,
kardiomegali, dan efusi pleura, mengindikasikan adanya gagal jantung kongestif. Harus
dipertimbangkan bahwa noncardiogenic pulmonary edema dapat ditemukan jika wanita hamil
terkena infeksi berulang, juga pada keadaan tekanan jantung normal dan tidak ditemukan
adanya cephalization pembuluh darah.
b. Elektrokardiografi (EKG)
c. Pencitraan Jantung
Pencitraan jantung diindikasikan untuk semua wanita peripartum dengan tanda dan gejala
gagal jantung untuk menegakkan diagnosis dan prognosis.
d. Ekocardiografi
e. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Lebih akurat untuk menilai volume ruang jantung dan fungsi ventrikel dibandingkan
ekokardiografi , juga lebih sensitif untuk melihat trombus. Magnetic resonance imaging dapat
mengukur kontraksi miokard secara segmental dan dapat mengidentifi kasi perubahan miokard
secara detail. Magnetic resonance imaging menggunakan gadolinium jauh lebih sensitif untuk
menyingkirkan diagnosis PPCM dari miokarditis lainnya, tetapi gadolinium harus dihindari
pada wanita hamil.

7. Penatalaksanaan
Penanganan pasien kardiomiopati peripartum dengan tanda dan gejala gagal jantung kronik
dapat menggunakan dua pendekatan klinis, yakni terapi non-medikamentosa (mekanik) dan
terapi medikamentosa. Terapi non-medikamentosa yang dapat dilakukan antara lain edukasi
pasien, melakukan aktivitas fisik yang sesuai dengan kondisi klinis, intervensi diet dengan
pembatasan konsumsi garam, mencegah asupan cairan berlebih, menghindari penggunaan obat
golongan NSAID tanpa indikasi mutlak, dan vaksinasi terhadap agen penyebab infeksi saluran
pernafasan yang dapat memperburuk status klinis pasien, misalnya vaksinasi pneumococcus
dan influenza. Terapi mekanik dapat dilakukan dengan pertimbangan khusus dan harus
melibatkan tenaga ahli dalam pengambilan keputusan.
Setelah melahirkan, sebagian besar pasien akan mengalami perbaikan status hemodinamik,
sehingga terapi standar gagal jantung dapat segera dimulai. Untuk wanita dengan gejala dan
tanda disfungsi ventrikel kiri berat dengan durasi QRS >120 ms setelah 6 bulan diagnosis awal
ditegakkan walaupun sudah diterapi optimal menggunakan pendekatan farmakologis,
disarankan terapi teknik cardiac resynchronization therapy (CRT) dan pemasangan
implantable cardioverter defibrillator (ICD). Transplantasi jantung merupakan pilihan terakhir
pada pasien dengan disfungsi berat ventrikel kiri, yang tidak mungkin menggunakan, tidak
menginginkan alat bantu sirkulasi mekanik untuk alasan tertentu atau tidak memberikan
respons klinis yang positif setelah 6-12 bulan terapi dengan menggunakan modalitas terapi
mekanik ini. Tujuan utama terapi pasien kardiomiopati peripartum dengan gagal jantung
kronik adalah memperbaiki gejala, memperpanjang angka harapan hidup, meningkatkan status
fungsional, mempertahankan kualitas hidup, mencegah progresivitas penyakit, mencegah
rekurensi, dan menurunkan angka rehospitalisasi.

Tatalaksana medikamentosa yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:


a. Inotropik: Dopamin, dobutamin dan levosimendan merupakan obat golongan inotropik
yang dapat digunakan dengan aman pada pasien hamil dengan kondisi hemodinamik tidak
stabil misalnya gagal jantung akut. Dopamin dan dobutamin diberikan dengan dosis 2-20
μg/kgBB/menit secara intravena dosis titrasi sedangkan levosimendan diberikan dengan
dosis awal 24 μg/kgBB bolus intravena selama 10 menit serta dosis rumatan 0,1 μg/kgBB/
menit secara infus intravena selama 24 jam pertama.
Selain itu, digitalis yang merupakan obat inotropik positif dan kronotropik negatif
juga dapat digunakan secara aman pada pasien hamil untuk meningkatkan kualitas profil
hemodinamik dan memperbaiki gejala klinis, baik pada saat istirahat atau saat beraktivitas.
Digitalis diindikasikan pada pasien gagal jantung yang disertai fibrilasi atrium dan aman
digunakan untuk menurunkan angka hospitalisasi secara signifikan. Obat golongan
digitalis di Indonesia adalah digoksin dengan dosis 0,125 mg/hari pada pasien gagal
jantung dengan fungsi ginjal normal. Efek samping digoksin berhubungan dengan fungsi
ginjal yang buruk dan hipokalemia.
b. Diuretik : Diuretik dapat digunakan untuk pengobatan gagal jantung kongestif yang tidak
dapat dikontrol dengan restriksi natrium dan merupakan obat lini terdepan untuk
pengobatan hipertensi. Tidak satu diuretika pun merupakan kontra indikasi dan yang paling
sering digunakan adalah golongan diuretika tiazide dan furosemide. Diuretika tidak boleh
digunakan untuk profilaksis terhadap toksemia atau pengobatan terhadap edema pedis.
c. Beta blocker

d. Calcium channel blocking


Nifedipin, verapamil, diltiazem, dan isradipin, telah digunakan untuk pengobatan
hipertensi dan aritmia tanpa effek yang merugikan pada janin dan bayi. Obat ini
menyebabkan relaksasi uterus dan nifedipin telah digunakan untuk tujuan tersebut.

e. Antikoagulan
Periode peripartum merupakan suatu kondisi peningkatan aktivitas prokoagulan,
sehingga obat golongan antikoagulan harus digunakan secara hati-hati sesaat setelah
melahirkan, namun dapat segera diberikan setelah perdarahan dapat ditangani.
Antikoagulan harus diberikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi sangat
rendah karena trombus intramural ventrikel kiri dan embolisme perifer terutama emboli
otak sering terjadi pada kardiomiopati dilatasi. Selain itu, pasien gagal jantung dengan
fibrilasi atrial baik paroksismal maupun persisten harus diberi antikoagulan secara adekuat
untuk mencegah stroke emboli. Obat golongan antikoagulan yang sering dipakai pada
kondisi ini antara lain LMWH (low molecular weight heparin) atau antagonis vitamin K
oral (warfarin), tergantung tahapan periode kehamilan pasien. LMWH direkomendasikan
digunakan pada trimester pertama dan periode akhir kehamilan (usia kehamilan >36
minggu), sedangkan warfarin digunakan mulai awal trimester ke-2 kehamilan hingga usia
kehamilan mencapai 36 minggu. LMWH diberikan secara injeksi subkutan dengan dosis 1
mg/kgBB setiap 12 jam dengan evaluasi kadar faktor anti-Xa, sedangkan warfarin
diberikan secara oral dengan target INR berkisar antara 2,0-3,0.

Anda mungkin juga menyukai