Anda di halaman 1dari 5

Corticosteroids for Pediatric septic shock patients

*Irene Yuniar, Vembricha Nindya Manusita, Sonya Leonardy Low

Latar Belakang
Sepsis di definisikan sebagai kondisi yang mengancam jiwa yang di akibatkan oleh
disfungsi organ yang disebabkan oleh disregulasi respon host terhadap infeksi. Sepsis
menjadi salah satu penyebab terbesar morbiditas, dan menjadi penyumbang pasien terbanyak
yang dirawat di Pediatric Intensive Care Unit (PICU). The World Health Organization
(WHO) melaporkan 80% kematian anak di bawah usia 4 tahun dengan sepsis. Berdasarkan
data rekam medis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tahun 2009, insiden sepsis pada
anak-anak, yang di rawat di PICU mencapai 19.3% dengan tingkat mortalitas nya mencapai
10%. 5-30% kasus sepsis pediatric dapat berkembang menjadi shock septic.
Rusmawatiningtyas et al. melaporkan tingkat kematian anak dengan shock septic yang di
rawat di PICU mencapai 88.2%.
The American College of Critical Care Medicine (ACCM) menerbitkan algoritma
resusitasi awal yaitu dengan resusitasi 20 mL/kgBB cairan kristaloid ataupun koloid yang
dapat di ulang hingga 60 ml/kgBB, sampai perfusi membaik atau kecuali terjadi rales
(crackles) atau hepatomegaly. Untuk syok septic yang berat dan susah ditangani (refractory
septic shock), harus diberikan vasopressors and inotropes. Jika syok tidak membaik, bisa jadi
sudah berkembang menjadi catecholamine-resistant shock. Kondisi ini terkait gangguan
adrenal, yang mana dalam keadaan ini perlu pemberian corticosteroid, seperti hidrokortison.
Penelitian lainnya menyebutkan pemberian hidrokortison IV untuk cathecolamin
resistant shock harus di pertimbangkan kembali, mengingat efek sampingnya yang dapat
menyebabkan perdarahan gastrointestinal, penyembuhan luka menjadi lebih lama,
hiperglikemia, dan immunosuppression. Sebagai tambahan, Atkinson et al. melaporkan
pemberian kortikosteroid pada anak dengan refractory septic shock tidak memberikan
keuntungan.
Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, pemberian kortikosteroid pada pasien shock
septic belum dipelajari dengan baik. Dengan demikian, kami bertujuan untuk menilai terapi
kortikosteroid untuk syok sepsis pada anak untuk melihat prognosis dan hasil pengobatan
sebagai pertimbangan untuk pasien-pasien syok pada pediatri.
Metode
Metode penelitian ini dengan cara cross-sectional, yaitu dilakukan dengan rekam
medis pasien di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Subjek penelitian ini adalah anak-anak
yang berusia 1 bulan sampai 18 tahun yang di diagnosis dengan syok sepsis di ruang IGD
ataupun di PICU, dari Januari 2014 sampai Juli 2018. Pasien dengan rekam medis yang tidak
lengkap di eksklusi dari penelitian. Data yang diperoleh dari rekam medis adalah usia, umur,
jenis kelamin, status imunologi, port d’entrée sepsis, pemakaian inotropic dan vasopressor,
ventilasi mekanik. Tipe, dosis, dan durasi pemberian terapi kortikosteroid dikumpulkan dari
semua subjek penelitian. Hasil data yang nanti akan di lihat adalah lama rawat di rumah sakit
dan mortalitas.
Hasil
Dari bulan Januari 2014 sampai Juli 2018, 217 anak di diagnosis dengan syok sepsis
di RS Cipto Mangunkusumo, diperoleh data berdasarkan jenis kelamin yaitu, 132 (60.8%)
laki-laki. Dan dua belas pasien menerima terapi kortikosteroid untuk syok sepsis, yaitu laki-
laki sebanyak 8 (67%). Median usia subjek pada penelitian ini adalah 165 bulan. 6 pasien
adalah immunocompromised, yaitu 2 pasien memiliki systemic lupus erythematosus (SLE), 2
patient dengan gizi buruk, 1 pasien memiliki lymphoma dan gizi buruk, dan 1 pasien
menerima post-liver transplantation immunosuppressant drug. Sepsis bersumber di saluran
pernafasan, organ abdomen, dan saluran urogenital. Karakteristik pasien dapat dilihat pada
Tabel 1
Tabel 1. Karakteristik syok sepsis pada anak yang menerima terapi kortikosteroid.
Variabel (N=12)
Usia median (jarak), bulan 165 (11-533)
Jenis kelamin
Laki 8
Perempuan 4
Status imun
Immunocompromised 6
Not-immunocompromised 6
Port d’entrée sepsis
Saluran pernafasan 6
Organ abdomen 5
Saluran urogenital 1

Tipe kortikosteroid yang paling umum diberikan adalah hidrokortison (83%). Satu
pasien menerima dexamethasone sebagai pengganti hydrocortisone. Satu pasien yang tersisa
menerima hydrocortisone, diikuti oleh methylprednisolone sebagai pengganti hydrocortisone.
Loading dosis hydrocortisone. Loading dosis hydrocortisone adalah 2mg/kg (setara
50mg/m2/hari), dilanjutkan dengan dosis infus 2-50 mg/kg/hari (setara hingga 50-1.250
m2/hari). Penelitian lainnya menyebutkan dosis maksimal hydrocortisone adalah
48mg/kg/hari (setara 1.125/m2/hari). Dosis dexamethasone adalah 1.8 mg/m 2/24 jam. Satu
pasien menerima hydrocortisone dengan dosis 2mg/kgBB/hari (setara dengan 50 mg/m 2/24
jam) dosis nya ditingkatkan secara bertahap hingga 4 mg/kgBB/hari (100 mg/m 2/24 jam)
dalam satu hari, sebelum mendapatkan methylprednisolone dengan dosis 0.4 mg/kgBB/hari
(setara dengan 10 mg/m2/24 jam) dan di tingkatkan secara bertahap hingga 0.8 mg/kgBB/hari
(setara dengan 20 mg/m2/hari).
Dosis kortikosteroid di sesuaikan selama pemberian. Kebanyakan pasien (58.3%) di
berikan terapi kortikosteroid dengan dosis yang di naikan secara bertahap sampai mereka
meninggal. Namun, satu pasien (8.3%) di tapering-down sampai penghentian hydrocortisone
selama 7 hari pemberian. Hampir semua pasien (92%) tetap menerima kortikosteroid sampai
mereka meninggal. Angka median dari inotropes dan vasopressor yang digunakan adalah 3
(2-4). Angka lama median pasien dengan syok sepsis yang dirawat di rumah sakit yang
menerima terapi kortikosteroid adalah 3 hari (1-9) dan tingkat kematian adalah 100%.
Tabel 2. Hasil pengobatan pasien anak-anak syok sepsis terapi kortikosteroid
Hasil (N=12)
Median durasi penggunaan kortikosteroid 2 (1-7)
Angka median agen inotropic dan 3 (2-4)
vasopressor yang digunakan
Lama rawat dirumah sakit 3 (1-9)
Ventilasi mekanik 12
Mortalitas 12

Diskusi
Proporsi pasien pediatri dengan syok sepsis yang diberi kortikosteroid hanya 12 dari
217 pasien (5.5%) di Januari 2014 sampai Juli 2018 di RS Cipto Mangunkusumo. Terapi
kortikosteroid di berikan ketika syok tidak membaik setelah di berikan minimal dua tipe
inotropok dan vasopressor. Sebaliknya, Chrysostomos et al. mencatat sebagian besar pasien
syok septik yang menerima kortikosteroid karena pemberian kortikosteroid tidak tergantung
pada jumlah, tetapi pada durasi, inotrop dan vasopresor yang digunakan. Mereka menemukan
bahwa inisiasi awal pemberian kortikosteroid, setelah 9 jam pemberian inotropic dan
vasopressor, menghasilkan prognosis yang lebih baik dibandingkan inisiasi yang lebih lama
pemberian kortikosteroid pada pasien dengan catecolamine-resistant septic shock.
Kami menemukan bahwa penggunaan inotropic dan vasopressor dengan dosis tinggi
sebelum penggunaan kortikosteroid di subjek penelitian ini, dengan median 3 obat (range 2-
4). Meskipun terapi kortikosteroid biasanya diberikan kepada pasien setelah kombinasi
minimum 2 inotropic dan vasopressor dengan maksimum dosis tidak mengatasi syok, tidak
ada protocol standar diantara para dokter untuk memulai pengobatan terapi kortikosteroid.
Sebagai perbandingan, Menon et al. melaporkan terapi kortikosteroid diberikan kepada
pasien yang memiliki minimal dua infus vasoaktif dan menerima resusitasi cairan 50
mL/KgBB. Nicholes et al. melaporkan jumlah penggunaan vasopressor dan inotropic yang
lebih rendah, [median 2 (range 1-2)]. Dalam penelitian mereka, kortikosteroid diberikan
kepada pasien dengan kebutuhan terus-menerus untuk infus katekolamin selama 6 jam atau
lebih setelah resusitasi cairan awal ≥ 60 mL / kg larutan kristaloid dan / atau koloid.
Pemutusan untuk memulai terapi kortikosteroid bukan jumlah katekolamin yang digunakan,
tetapi durasi infus katekolamin. Nichols et al. juga menunjukkan katekolamin yaitu termasuk
dopamine > 5 μg/kgBB/menit, vasopresin, dan dosis dobutamin, epinefrin,norepinefrin,
fenilefrin, atau milrinon.

Kami mencatat bahwa terapi kortikosteroid diberikan tanpa pemeriksaan tingkat


kortisol, yaitu sesuai dengan guidline Surviving Sepsis Campaign (CSC), yang menyatakan
bahwa pada catecholamine-resistant shock, pemberian hidrokortison harus diberikan segera
tanpa pemeriksaan tingkat kortisol. Nichols et al. juga menunjukkan pernyataan yang sama.
Sebaliknya, Casartelli et al. menyimpulkan bahwa uji kortisol harus dilakukan dalam
memutuskan apakah akan atau tidak berikan kortikosteroid pada syok septik.
Kortikosteroid yang paling umum digunakan dipenelitian kami adalah hidrokortison,
demikian pula penelitian sebelumnya juga melaporkan bahwa 78% hidrokortison yang
diresepkan kepada pasien, lalu diikuti metilprednisolon 16% dan deksametason 6%. Namun
penelitian lainnya menyebutkan 53% subjek di beri hidrokortison, 29% deksametason, 14%
metilprednisolon dan 4% prednisone.
Gibbison et al. sebagian besar menggunakan hidrokortison sebagai kortikosteroid
pilihan utama untuk mengobati catecholamine-resistant septic shock, karena kelebihan
hidrokortison dalam peningkatan permeabilitas kapiler dan aktivitas kardiovaskular,
hidrokortison juga memiliki risiko efek samping terendah, seperti hiperglikemia, infeksi
parah, dan perdarahan gastrointestinal dibandingkan dengan kortikosteroid lain. Pemberian
hidrokortison dapat mempengaruhi hasil uji kortisol catecholamine-resistant septic shock,
sedangkan tidak untuk deksametason.
Kami mencatat loading dosis hidrokortison 2 mg/kgBB, diikuti oleh dosis infus 2-50
mg/kg/hari. Inisial dosis mirip dengan yang dilaporkan oleh Menon et al., yang menggunakan
dosis hidrokortison 2 mg / kg. Dosis infus hidrokortison 1 mg / kg diberikan setiap 6 jam dan
di hentikan setiap 8 jam sampai semua infus vasoaktif dihentikan selama 12 jam. Nichols et
al. melaporkan inisial dosis hidrokortison ≥ 50 mg/m2 (atau ≥ 1mg /kgBB) diikuti dengan
dosis ≥ 50mg / m2 /hari (atau ≥ 1mg / kg /hari).
Durasi median penggunaan kortikosteroid pada subjek penelitian in adalah 2 (range 1-
7) hari, dengan 11/12 pasien tetap menerima kortikosteroid sampai mereka meninggal.
Maksimum durasi pemberian kortikosteroid mirip dengan penelitian oleh Menon et al.
dimana kortikosteroid diberikan maksimal 7 hari untuk mencegah supresi adrenal. Namun
menurut Nichols et al. melaporkan median 4 hari (2-4) terapi kortikosteroid pada kelompok
dengan random cortisol level (rSTC) < 18 μg/dL dan 4 (range 2-5) di kelompok dengan rSTC
≥ 18 μg/dL. Atkinson et al. juga menunjukkan durasi rata-rata yang lebih tinggi penggunaan
kortikosteroid selama 5 (kisaran 3-7) hari.

Dalam penelitian kami, tingkat mortalitas tinggi (100%), dengan median LoS 3 hari
(range 1-9) hari. tingginya angka kematian mungkin bisa disebabkan keparahan penyakit
yang ekstrim di antara para subjek penelitian, yang di indikasi dengan tingginya agen
vasopressor dan inotropic yang di gunakan [median 3 (range 2-4) tipe] dan penggunaan
ventilasi mekanik 100% pada semua subjek penelitian. Menon et al. mencatat 2% mortalitas
pada pasien yang menerima terapi kortikosteroid dengan PICU dengan median LoS 8.3 hari
(3.7-15.0). Nilai median skor PELOD mereka dengan kortikosteroid adalah 6 (4-9), dengan
65.2% menggunakan ventilasi mekanik. Menurut Dewi Metta et al. Nilai skor PELOD 20
meningkatkan tingkat mortalitas hingga 50%. Nicholas et al. menunjukan 24% tingkat
mortalitas pada grup dengan dosis stress terapi hidrocortison, dengan median LoS 10 hari (5-
20). Median Pediatric Risk of Mortality (PRISM) III skor 12 jam ada 16 (10-20) dan 88%
subjek dengan ventilasi mekanik. Vineet Popli et al. menunjukkan Pediatric Risk of Mortality
(PRISM) III memiliki efek biphasic pada LoS. Studi mereka menunjukkan lama tinggal
meningkat dengan meningkatnya skor PRISM III hingga skor 14; sementara skor 19, lama
tinggal menurun secara bertahap karena meningkatnya keparahan penyakit sebagai angka
kematian mencapai hampir 100%.

Beberapa guidline merekomendasikan penggunaan kortikosteroid pada


catecholamine-resistant shock, kami mencatat tidak ada manfaat untuk terapi tersebut, karena
100% dari pasien yang menerima kortikosteroid meninggal. Menon et al. menyatakan bahwa
tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik dari hasil atau efek samping antara
kelompok hidrokortison dan plasebo. Selanjutnya, Nichols et al. menyatakan bahwa dosis
stres hidrokortison terapi pada catecholamine-dependent septic shock dikaitkan dengan hasil
terburuk.
Selain itu, 2 peneliti sebelumnya melaporkan tambahan pemberian terapi sepsis
pediatri yang berat tidak menunjukan perbaikan. Begitu juga menurut penelitian meta-analisis
oleh menon et al. menunjukan bahwa tidak ada manfaat pemberian kortikosteroid untuk
mengobati syok.
Meskipun kurangnya bukti yang meyakinkan, sebuah survey di Canada
mengungkapkan hampir semua dokter spesialis saraf (91.4%) akan memberikan
kortikosteroid pada pasien dengan syok persisten yang menerima resusitasi cairan 60
ml/kgBB dan dua atau lebih pengobatan vasoaktif. Kemungkinan alasan penggunaan
kortikosteroid pada septic adalah pada manfaat farmakologis yang berpengaruh pada system
kardiovaskular dan sebagai anti inflamasi. Meskipun demikian, dosis tinggi pemberian
kortikosteroid pada syok septic dapat meningkatkan risiko tingkat infeksi, disseminated
candidiasis dan hospital-acquired pneumonia. Efek samping lainnya seperti hiperglikemia,
bleeding, penyakit kritis yang terkait neuropati / miopati, dan hypernatremia. Penggunaan
kortikosteroid juga dikaitkan dengan penekanan gene yang berkaitan dengan kekebalan
adaptive
Sebagai kesimpulan, kami menemukan bahwa sebagian kecil dari pasien anak dengan
syok septic menerima terapi kortikosteroid, dan sebagian besar hidrokortison. Tingkat
mortalitas pasien yang menerima kortikosteroid adalah 100% dan LoS mereka pendek.
Kortikosteroid tampaknya tidak memiliki hasil yang bermanfaat pada populasi pasien sepsis
pada penelitian kami.

Anda mungkin juga menyukai