Anda di halaman 1dari 26

BAB I

LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. R
Umur : 10 tahun (05-05-2009)
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Pawenang 003/004, Kademangan, Mande, Cianjur
Masuk RS : 7 September 2019
Tanggal periksa : 9 September 2019
No. CM : 35.57.30
Nama ayah :Tn. A (swasta)
Usia ayah : 36 tahun
Nama ibu :Ny. S (Ibu rumah tangga)
Usia ibu :35 tahun
II. ANAMNESIS
Dilakukan Autoanamnesis dan Alloanamnesis dengan Ibu pasien pasien tanggal 9 September 2019
jam 05.00 WIB.
Keluhan Utama : Demam
Riwayat Penyakit Sekarang :
Demam sejak 10 hari sebelum masuk rumah sakit, demam bersifat naik turun. Demam
terutama dirasakan pada malam hari dan turun pada pagi hari. Demam turun dengan obat penurun
panas dan kemudian demam kembali lagi. Keluhan mual dan muntah dijumpai. Muntah dirasakan
os sejak ±5 hari sebelum masuk rumah sakit dengan frekuensi 2-3 kali/hari. Isi muntah pasien
berupa apa yang dimakan dan diminum oleh pasien. Penurunan nafsu makan dan penurunan berat
badan ±1 kg dijumpai dalam 10 hari ini. Keluhan sulit menelan tidak dijumpai.

Batuk dialami pasien sejak ±1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Batuk disertai dengan
dahak berwarna putih. Batuk berdarah tidak dijumpai. Setelah 1 hari masuk rumah sakit, pasien
tidak merasakan batuk lagi. Riwayat kontak dengan penderita TB tidak dijumpai.
Mencret juga dirasakan pasien sejak ±3 hari sebelum masuk rumah sakit dengan frekuensi
3-4 kali/hari. Konsistensi air lebih banyak dibandingkan ampas. Mencret tidak disertai dengan
darah dan lendir. Mencret tidak dijumpai lagi sejak 2 hari setelah masuk rumah sakit. Buang air
kecil (BAK) dalam batas normal. Nyeri perut juga dialami pasien sejak ±2 hari sebelum masuk
rumah sakit. Nyeri dirasakan disekitar daerah pusar. Riwayat makan makanan sembarangan diakui
oleh pasien ketika pulang dari sekolahnya. Tanda-tanda perdarahan seperti mimisan, gusi berdarah
dan bitnik-bintik kemerahan disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien sebelumnya pernah mengalami penyakit yang sama ketika usia ± 6 tahun. Riwayat penyakit
jantung, sesak nafas, sakit kuning, infeksi saluran kencing, riwayat kontak dengan penderita batuk
lama di sangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga

Kakak pasien ± 1 bulan sebelumnya terkena demam tipes. tidak ada riwayat alergi, penyakit
jantung, kencing manis, darah tinggi dan penyakit keganasan pada keluarga pasien.

Riwayat Pengobatan
Pasien sudah di beri obat penurun panas oleh ibunya, demam turun, namun 3-4 jam kemudian
demam naik lagi. Pasien sebelumnya datang ke praktik klinik dokter, lalu pasien di rujuk ke RSUD
Sayang.

Riwayat Alergi
Tidak ada riwayat alergi makanan, obat, debu dan lain lain.

Riwayat Kehamilan
Selama kehamilan ibu pasien selalu mengikuti pemeriksaan kesehatan rutin selama kehamilan ke
Klinik Bidan 1 bulan sekali. Ibu rutin konsumsi tablet fe selama kehamilan. Riwayat penyakit dan
trauma selama kehamilan tidak ada.

Riwayat Kelahiran
Pasien lahir cukup bulan 37 minggu secara normal dibantu oleh bidan dekat rumah. Pasien lahir
langsung menangis dengan BBL 3.000 gram. Riwayat persalinan lama, ketuban pecah dini, dan
darah tinggi disangkal oleh ibu pasien. Pasien merupakan anak kedua.

Riwayat Perkembangan
Ibu pasien merasa perkembangan anaknya sesuai umur.
Motorik Kasar Tengkurap Saat usia ± 4 bulan
Duduk saat usia ± 5 bulan
Berdiri saat usia ± 12 bulan
Berjalan saat usia 12 bulan
Bahasa Papa Mama spesifik saat usia ± 9 bulan
Motorik Halus Mencorat-coret Ibu pasien lupa
Personal-sosial Mulai bias makan sendiri >5 bulan

Riwayat Imunisasi

Usia 0 bulan Hepatitis B saat baru lahir


Usia 1 bulan Orang tua pasien lupa
Usia 2 bulan Orang tua pasien lupa
Usia 4 bulan Orang tua pasien lupa
Usia 6 bulan Orang tua pasien lupa
Usia 9 bulan Orang tua pasien lupa
Kesan imunisasi dasar belum lengkap.

Riwayat pemberian makan dan nutrisi


Berdasarkan informasi dari ibu pasien, Pasien selalu makan sebanyak 3x1 hari. Pasien sering
makan nasi dengan lauk ayam, daging,tempe, os juga sering konsumsi buah-buahan seperti jeruk,
manga dll. Pasien jarang makan sayur.

0-6 bulan ASI


6-9 bulan ASI + bubur + buah lunakan
9 bulan – 1 tahun bubur + buah lunakan + nasi tim
1 tahun – sekarang Makanan keluarga

III. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan dilakukan pada Senin, 9 September 2019, pukul 5:30
Status generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
GCS : E4 V5 M6;
Tanda Vital
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 80x/menit
Pernafasan : 20x/menit
Suhu : 38.5oC
Data Antropometri
BB : 31 kg
TB : 137 cm

Status Gizi (CDC)


BB/U : 31/33 x 100% = 93%
TB/U : 137/139 x 100% = 98%
BB/TB : 31/31 x 100% = 100%

Status Generalisata

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Composmentis
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, refleks pupil +/+,
Hidung : Sekret yang keluar (-), epistaksis (-), pernafasan cuping hidung (-)
Telinga : Serumen -/-
Mulut : Mukosa bibir kering (+), coated tongue (+), sianosis (-)
darah (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), Retraksi suprasternal (-)
Thorax
Inspeksi : Bentuk dan gerakan simetris, retraksi intercosta (-)
Palpasi : Vocal fremitus normal
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi
o Cor BJ I,II murni, reguler, murmur (-), gallop (-)
o Pulmo Vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-
Abdomen
Inpeksi : Distensi abdomen (-), retraksi epigastrium (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (-), turgor kembali cepat, asites (-)
Perkusi : Sonor (+)
Ekstremitas : Akral hangat (+/+), CRT < 2 detik, Sianosis (-/-)

IV. Pemeriksaan Laboratorium

07-09-2019

Widal 7 September 2019. 09.00

JENIS PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL


S. typhi H (+) 1/640 Negatif
S. paratyphi AH Negatif Negatif
S. paratyphi BH Negatif Negatif
S. paratyphi CH (+)1/160 Negatif
S. typhi O (+)1/320 Negatif
S. paratyphi AO Negatif Negatif
S. paratyphi BO (+)1/160 Negatif
S. paratyphi CO Negatif Negatif

07-09-2019

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


Hematologi lengkap
Hemoglobin 11.3 g/dL 11,5-13,5
Leukosit 5.5 ribu/µL 4,5-10,5
Hematokrit 32.8 % 32-42
Eritrosit 4.57 Juta/µL 4,0-5,2
Trombosit 111 ribu/µL 150-450
MCV 71.7 fL 80-94
MCH 24.8 pg 27-31
MCHC 34.6 % 33-37
RDW-SD 16.5 fL 37 - 54
MPV 9.1 fL 8 – 12
Differential
Limfosit % 16.2 % 26 – 36
Monosit % 2.2 % 4–8
Neutrophil % 71.7 % 47 – 62
Eosinophil % 0.4 % 1–3
Basophil % 0.5 % <1
LUC 9.0 % 0-4
Absolut
Limfosit # 0.88 10^3ML 1 – 1,51
Monosit # 0.12 10^3ML 0,16 – 1.0
Neutrophil # 3.91 10^3ML 2.1 – 8,4
Eosinophil # 0.06 10^3ML 0.02 – 0.50
Basofil # 0.03 10^3ML 0.00 – 0.10
LUC# 0.49 10^3ML 0 - 0.4

V. Resume
Demam sejak 10 hari sebelum masuk rumah sakit, demam bersifat naik turun.
Demam terutama dirasakan pada malam hari dan turun pada pagi hari. Demam turun
dengan obat penurun panas dan kemudian demam kembali lagi. Keluhan mual dan muntah
dijumpai. Muntah dirasakan os sejak ±5 hari sebelum masuk rumah sakit dengan frekuensi
2-3 kali/hari. Isi muntah os berupa apa yang dimakan dan diminum oleh os. Penurunan
nafsu makan dan penurunan berat badan ±1 kg dijumpai dalam 10 hari ini. Batuk dialami
os sejak ±1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Batuk disertai dengan dahak berwarna
putih. Mencret juga dirasakan os sejak ±3 hari sebelum masuk rumah sakit dengan
frekuensi 3-4 kali/hari. Konsistensi air lebih banyak dibandingkan ampas. Mencret tidak
disertai dengan darah dan lendir. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan mukosa bibir
kering dan coated tongue. Dari hasil pemeriksaan lab di dapatkan pemeriksaan widal
positif.
VI. Diagnosis Banding
Demam Tifoid
Demam Paratifoid

VII. Diagnosis Kerja


Demam Tifoid

VIII. Tatalaksana

31 𝑥 70
Infus : Ringer Lactat = 30 𝑐𝑐/𝑗𝑎𝑚
72

Inj : Ceftriaxone 1x1 gr


Oral : Paracetamol 120 mg syr 4x 2 ½ cth (13 ml)
Bedrest
Diet bubur

IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam
Quo ad functionam
Quo ad sanam
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang menjadi masalah dunia.
Tidak hanya di negara-negara tropis, namun di negara-negara subtropis pun prevalensi demam
tifoid cukup tinggi, terlebih di negara berkembang. Badan kesehatan dunia, yaitu WHO, mencatat
pada tahun 2003 lebih dari 17 juta kasus demam tifoid terjadi di seluruh dunia, dengan angka
kematian mencapai 600.000, dan 90% dari angka kematian tersebut terdapat di negara-negara
Asia.1

2.2. Epidemiologi demam tifoid


Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang menjadi masalah dunia.
Tidak hanya di negara-negara tropis, namun di negara-negara subtropis pun prevalensi demam
tifoid cukup tinggi, terlebih di negara berkembang. WHO mencatat pada tahun 2003 lebih dari 17
juta kasus demam tifoid terjadi di seluruh dunia, dengan angka kematian mencapai 600.000, dan
90% dari angka kematian tersebut terdapat di negara-negara Asia.1
Surveilans Departemen Kesehatan RI mencatat frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada
tahun 1994 meningkat hingga 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di
Indonesia tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar
35,8%, yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus.6
WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk demam tifoid. Di Indonesia,
terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid dengan angka kematian lebih dari 20.000 setiap
tahunnya.1 Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, angka prevalensi demam
tifoid secara nasional adalah 1,6%.3
Gambar 2.1. Distribusi global daerah endemik dari Salmonella Enteric serotipe Typhi, 1990-
2002.5

Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya berhubungan dengan sanitasi
lingkungan; di daerah rural 157 kasus per 10.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan
760-810 kasus per 10.000 penduduk. Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan erat dengan
penyediaan air bersih secara merata yang belum memadai, serta sanitasi lingkungan terutama cara
pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan ligkungan.7
Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh kematian
di Indonesia. Namun berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan
RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995, demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan
mortalitas tinggi.8

2.3. Etiologi demam tifoid


Penyebab demam tifoid adalah bakteri dari Genus Salmonella. Salmonella memiliki dua
spesies yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori. Salmonella enterica terbagi dalam
enam subspesies, yaitu : I. Salmonella enterica subsp. enterica; II. Salmonella enterica subsp.
salamae; IIIa. Salmonella enterica subsp. arizonae; IIIb. Salmonella enterica subsp. diarizonae;
IV. Salmonella enterica subsp. hotenae; V. Salmonella enterica subsp. indica. 9
Salmonella enterica subsp. enterica memiliki setidaknya 1454 serotipe, beberapa
diantaranya adalah : Salmonella Choleraesuis, Salmonella Dublin, Salmonella Enteritis,
Salmonella Gallinarum, Salmonella Hadar, Salmonella Heidelberg, Salmonella Infantis,
Salmonella Paratyphi, Salmonella Typhi, Salmonella Typhimurium, dan Salmonella Genrus.9
Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi adalah bakteri penyebab demam tifoid.
Bakteri ini berbentuk batang, Gram-negatif, tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan
mempunyai flagela. Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di
dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 66o C) selama 15
– 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan klorinasi.10

Gambar 2.2. Struktur antigenik Salmonellae. 10

Salmonella Typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu : 11


1. Antigen O (antigen somatik), terletak pada lapisan luar tubuh kuman. Bagian ini
mempunyai struktur lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan
terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (antigen flagela), terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari kuman. Antigen
ini mempunyai struktur protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan
terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi, terletak pada kapsul (envelope) kuman yang dapat melindungi kuman
terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula
pembentukan 3 macam antibodi yang disebut aglutinin.

2.3.Patogenesis demam tifoid


Masuknya kuman Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi ke dalam tubuh manusia
terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan
dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila
respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel
epitel usus dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan
difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di
dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar
getah bening mesenterika.11

Gambar 2.3. Mekanisme infeksi Salmonella Typhi .12


Selanjutnya melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk
ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) kemudian
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Dengan periode
waktu yang bervariasi antara 1-3 minggu, kuman bermultiplikasi di organ-organ ini kemudian
meninggalkan makrofag dan kemudian berkembang biak di luar makrofag dan selanjutnya masuk
ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda
dan gejala penyakit infeksi sistemik.11
Di dalam hati, kuman masuk ke kantung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan
empedu diekskresikan kembali ke dalam lumen usus secara intermiten. Sebagian kuman
dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulang kembali, oleh karena makrofag telah teraktivasi sebelumnya maka saat
fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi (IL-1, IL-6, IL-8,
TNF-β, INF, GM-CSF, dsb.) yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik
seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental,
dan koagulasi.11
Di dalam plak Peyeri, makrofag yang telah hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan dan menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Perdarahan saluran cerna dapat
terjadi akibat erosi pembuluh darah di sekitar plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan
hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan
limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan
perforasi usus.11

2.4. Manifestasi klinis demam tifoid


Pengetahuan tentang gambaran klinis demam tifoid sangatlah penting untuk membantu
mendeteksi secara dini. Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala
klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat, dari asimptomatik hingga gambaran
penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.11
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Pada minggu
pertama, ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut umumnya yaitu
demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan
tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis.10 Karakteristik demamnya adalah demam yang
meningkat secara perlahan-lahan berpola seperti anak tangga dengan suhu makin tinggi dari hari
ke hari, lebih rendah pada pagi hari dan tinggi terutama pada sore hingga malam hari. Pada akhir
minggu pertama, demam akan bertahan pada suhu 39-40°C. Pasien akan menunjukkan gejala rose
spots, yang warnanya seperti salmon, pucat, makulopapul 1-4 cm lebar dan jumlahnya kurang dari
5; dan akan menghilang dalam 2-5 hari. Hal ini disebabkan karena terjadi emboli oleh bakteri di
dermis.11
Pada minggu kedua, gejala klinis menjadi semakin berkembang jelas, berupa demam,
bradikardia relatif dimana setiap peningkatan 1o C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per
menit, kemudian didapatkan pula lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung lidah merah
serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen,
stupor, koma, delirium, atau psikosis.11 Beberapa penderita dapat menjadi karier asimptomatik dan
memiliki potensi untuk menyebarkan kuman untuk jangka waktu yang tidak terbatas.

2.5.Diagnosis Demam Tifoid


Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang diperkuat oleh
pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih dilakukan berbagai penelitian yang
menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha
penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh. Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1)
pemeriksaan darah tepi; (2) pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji
serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara molekuler.12

2.5.1. Pemeriksaan darah tepi


Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa
menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya
normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis.13
Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta
laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup
tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan
tetapi adanya leukopenia dan limfositosis menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.14

2.5.2. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman


Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri Salmonella
Typhi dalam biakan dari darah, urine, feses dan sumsum tulang. Bakteri akan lebih mudah
ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium
berikutnya di dalam urine dan feses.12,16 Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid
akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada
beberapa faktor, seperti : (1) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan
kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat
dan hasil mungkin negatif; (2) Jumlah darah yang diambil terlalu sedikit (diperlukan kurang
lebih 10 cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif; (3) Riwayat
vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi dalam darah pasien. Antibodi ini
dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah dapat negatif; dan (4) Waktu pengambilan
darah yang dilakukan setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat. 10,12
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan
2-4 mL.17 Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-
1 mL.18 Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika
daripada bakteri dalam darah. Hal ini mendukung teori bahwa kultur sumsum tulang lebih
tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang
lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya.12,19 Media pembiakan
yang direkomendasikan untuk Salmonella Typhi adalah media empedu dari sapi. Media ini
dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya Salmonella Typhi dan Salmonella
Paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.17
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada
perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 70-90% dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.12,17 Sensitivitasnya
akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat
sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai.20
Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga
minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama.
Biakan sumsum tulang merupakan metode yang mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan
hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit
dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita
yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya.17,20
Namun prosedur ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada
keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum
dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya
risiko aspirasi terutama pada anak. 13,16,17

2.5.3. Uji serologis


2.5.3.1. Uji Widal
Dasar reaksi uji Widal adalah reaksi aglutinasi antara antigen kuman Salmonella
Typhi dengan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella Typhi
terdapat dalam serum penderita demam tifoid, orang yang pernah tertular Salmonella
Typhi, dan orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Antigen yang
digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella Typhi yang sudah dimatikan dan
diolah di laboratorium. Tujuan uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum penderita yang diduga menderita demam tifoid.11,22
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang
ditentukan titernya untuk diagnosis. Secara umum, aglutinin O mulai muncul pada hari
ke 6-8 dan aglutinin H mulai muncul pada hari ke 10-12 dihitung sejak hari timbulnya
demam. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan didiagnosis
sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan meningkat
pada pemeriksaan ulang yang dilakukan pada selang waktu minimal 5 hari. Peningkatan
titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam
tifoid.22
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
a. Titer aglutinin O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut.
b. Titer aglutinin H yang tinggi ( > 160) menunjukkan sudah pernah mendapat imunisasi
atau pernah menderita infeksi.
c. Titer aglutinin yang tinggi terhadap antigen Vi terdapat pada carrier.

2.5.3.2. Uji Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA)


Prinsip dasar uji ELISA adalah reaksi antigen-antibodi.13 Uji ini sering dipakai
untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen O9 LPS, antibodi IgG
terhadap antigen flagela d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi Salmonella Typhi.
Chaicumpa dkk mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73%
pada sampel feses, dan 40% pada sampel sumsum tulang.1,24

2.5.3.3. Pemeriksaan Dipstik


Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS Salmonella Typhi dengan
menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen Salmonella Typhi
sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen
kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak
memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai
fasilitas laboratorium yang lengkap. 4,29
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69.8%
bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan
kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar
94.6%.20 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%.30

2.5.3.4. Uji Tubex®


Tubex® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diproduksi oleh IDL
Biotech, Broma, Sweden.27 Tes ini sangat cepat, hanya membutuhkan waktu 5-10 menit,
sederhana dan akurat. Tes ini mendeteksi serum antibodi IgM terhadap antigen O9 LPS
yang sangat spesifik terhadap bakteri Salmonella Typhi. Pada orang yang sehat
normalnya tidak memiliki IgM anti-O9 LPS.23,27
Gambar 2.5. Prinsip dari tes Tubex®. Bagian atas, hasil negatif;
bagian bawah, hasil positif.27

Tes Tubex® merupakan tes yang subjektif dan semikuantitatif dengan cara
membandingkan warna yang terbentuk pada reaksi dengan Tubex® color scale yang
tersedia. Range dari color scale adalah dari nilai 0 (warna paling merah) hingga nilai
10 (warna paling biru).27
Cara membaca hasil tes Tubex® adalah sebagai berikut menurut IDL Biotech
2008: 11,27
1. Nilai < 2 menunjukan nilai negatif (tidak ada indikasi demam tifoid).
2. Nilai 3 menunjukkan inconclusive score dan memerlukan pemeriksaan ulang.
3. Nilai 4-5 menunjukan positif lemah.
4. Nilai > 6 menunjukan nilai positif (indikasi kuat demam tifoid).
Nilai Tubex® yang menunjukan nilai positif disertai dengan tanda dan gejala
klinis yang sesuai dengan gejala demam tifoid, merupakan indikasi demam tifoid yang
sangat kuat.27

2.5.3.5. Uji Typhidot®


Uji Typhidot® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diproduksi oleh
Biodiagnostic Research, Bangi, Malaysia. Hasil uji Typhidot® dinilai positif apabila
didapatkan reaksi dengan intensitas yang sama dengan atau lebih besar dari reaksi
kontrol, terlihat pada kertas saring komersial yang telah disiapkan. Tes ini
memperingatkan, jika hasil yang diperoleh tak tentu, tes harus diulang setelah 48 jam.28

Gambar 2.6. Prinsip dari tes Typhidot®. Bagian atas, prosedur tes;
bagian bawah, interpretasi hasil tes.28

2.5.4. Identifikasi kuman secara molekuler


Metode lain untuk identifikasi bakteri Salmonella Typhi yang akurat adalah
mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri Salmonella Typhi dalam darah dengan
teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA.

2.6. Terapi Demam Tifoid


Pemberian terapi antibiotik yang tepat dan cepat, mencegah komplikasi demam
tifoid yang berat dan mengurangi kasus fatal menjadi < 1%. Terapi antibiotik inisial
bergantung terhadap kerentanan dari S. Typhi dan S. Paratyphi pada tiap tiap area. Terapi
demam tifoid yang paling efektif adalah agen fluorokuinolon, dengan angka kesembuhan
98% dan angka relaps dan karier fecal <2%. Pemberian terapi singkat degan ofloxacin
memiliki angka kesuksesan yang sama dengan pemberian agen kuinolon terhadap
salmonela yang sensitif. Di Asia, penggunaan luas agen fluorokuinolon secara bebas,
menyebabkan kenaikan angka kejadian DCS ( decreased ciprofloxacin susceptibility).
Oleh karena itu penggunaan agen fluorokuinolon sebainya dibatasi dan tidak menjadi terapi
empiris. Pasien yang terinfeksi dengan golongan S.typhi DCS sebaiknya diterapi
menggunakan ceftriaxone, azithromycin atau ciprofloksasin dalam dosis besar.
Penggunaan fluorokuinolon dosis besar dalam 7 hari sebagai terapi demam typhoid DCS,
menyebabkan keterlambatan resolusi dan meningkatkan angka karier fecal. Oleh karena
itu, terapi demam typhoid DCS dengan menggunakan ciprofloxacin dosis besar diberikan
dalam waktu 14 hari.

Ceftriaxone, cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif untuk demam
tifoid MDR ( multi drug resistant), termasuk DCS dan salmonella yang resisten dengan
fluorokuinolon. Agen ini menurunkan panas dalam waktu ± 1 minggu, dengan angka
kegagalan 5-10%, angka karier fekal <3% dan angka relaps 3-6%. Pemberian azithromycin
oral, menurunkan demam dalam 4-6 hari, dengan angka relaps dan karier fekal <3%. Pada
demam tifoid DCS, pemberian azithromycin berhubungan dengan angka kegagalan terapi
yang rendah, dan durasi hospitalisasi yang pendek dibandingkan pemberian
fluorokuinolon. Sefalosporin generasi satu, generasi generasi kedua dan aminoglikosida
tidak efektif pada terapi demam tifoid.

Pada pasien dengan demam tifoid tanpa komplikasi, dapat diterapi di rumah dengan
antibiotik oral dan antipiretik. Pasien dengan muntah menetap, diare menetap atau distensi
abdomen sebaiknya dirawat di rumah sakit dan diberikan terapi suportif (tirah baring dan
dukungan nutrisi )disertai pemberian antibiotik parenteral sefalosporin generasi ketiga atau
fluorokuinolon, tergantung dari tingkat sensitif bakteri. Terapi sebaiknya diberikan selama
10 hari atau selama 5 hari setelah resolusi demam.
Pada 1-5% pasein yang menderita karies Salmonella kronis dapat diterapi dengan
pemberian antibiotik oral yang tepat selama 4 sampai 6 minggu. Terapi menggunakan
amoxicillin oral, TMP-SMX, ciprofloxacin atau norfloxacin efektif dalam mengeradikasi
karier kronis ( 80% efektif). Siprofloksasin 750 mg, 2 kali sehari selama 28 hari terbukti
efektif. Bila tidak ada siprofloksasin dan galur tersebut peka, 2 tablet ko-trimoksaszol 2
kali sehari selama 3 bulan , atau 100 mg/kg/hari amoksisilin dikombinasi dengan
probenesid 30 mg/kg/hari, keduanya diberikan selama 3 bulan juga efektif. Karier dengan
batu empedu hanya memperlihatkan respons sementara terhadap kemoterapi, dan
diperlukan kolesistektomi untuk mengakhiri keadaan karier pada kasus tersebut.

Tabel 2.1 Terapi antibiotik untuk demam tifoid


Tabel 2.2 Antibiotik untuk Pengobatan Demam Tifoid Tahun 2010 ( KONSENSUS
KONAS PETRI - BALI )

2.7. Komplikasi Demam Tifoid

Demam typhoid dapat menjadi penyakit yang semakin berat dan mengancam
nyawa, terggantung dari faktor inang ( terapi imunosupresi, terapi antasida, riwayat
vaksinasi), virulensi dari bakteri dan pemilihan terapi antibiotik. Pendarahan
gastrointestinal *10-20%) dan perforasi intestinal (1-3%), hal ini biasa terjadi minggu ke-
3 dan minggu ke-4. Pendarahan gastrointestinal dan perforasi intestinal terjadi akibat
hiperplasia, ulsersi dan nekrosis dari plak peyeri ileocecal. Keuda komplikasi ini dapat
mengancam nyawa dan membutuhkan resusistasi cairan segera dan intervensi bedah
dengan pemberian antibiotik spektrum luas untu periotinits polimikrobial. Manifestasi
neurologikal dapat ditemukan pada 2 -40% berupa, meningitis, guillain-barre syndrome,
neuritits dan gejala neuropsikiatrik.

Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa disseminated intravascular coagulation,


hematophagotic syndrome, pankreatitis, hepatitis, miokarditis, orkitis, glomerulonefritis,
pieloneftitis, pneumonia berat, arthritis, osteomielitis. Namun komplikasi ini sudah jarnag
terjadi akibat pemberian antibiotik yang tepat.

Gambar 2.7 : Perforasi ileum akibat infeksi S. typhi


BAB III

KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang menjadi

masalah dunia. WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk demam

tifoid. Di Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid dengan angka kematian

lebih dari 20.000 setiap tahunnya. Diagnosis demam tifoid bisa dilakukan dengan berbagai

cara, tidak hanya dengan melihat manifestasi klinis yang muncul pada pasien namun juga

didukung dengan pemeriksaan penunjang untuk diagnosis definitif. Pada intinya, segala

jenis pemeriksaan tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri penyebab demam

tifoid. Diantara berbagai pemeriksaan serologis yang ada, widal sebagai pemeriksaan yang

paling tua sudah tidak lagi menjadi pemeriksaan yang direkomendasikan. Saat ini sudah

ada pemeriksaan serologis lain dengan sensitifitas dan spesitifitas yang lebih baik seperti

TUBEX dan Typhidot.

Terapi demam tifoid yang paling efektif adalah agen fluorokuinolon, dengan angka

kesembuhan 98% dan angka relaps dan karier fecal <2%. Penggunaan luas agen

fluorokuinolon secara bebas, menyebabkan kenaikan angka kejadian DCS (decreased

ciprofloxacin susceptibility). Oleh karena itu penggunaan agen fluorokuinolon sebainya

dibatasi dan tidak menjadi terapi empiris. Ceftriaxone, cefotaxime dan cefixime oral

merupakan terapi efektif untuk demam tifoid.


DAFTAR PUSTAKA
1. [WHO] Background document : The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever.
World Health Organization; 2003: 17-18.
2. Ochiai RL, Acosta CJ, Danovaro-Holliday MC, Baiging D, Bhattacharya SK, Agtini MD, et al.
WHO | A study of typhoid fever in five Asian countries: disease burden and implications
for controls. http://www.who.int/ bulletin/volumes/86/4/06039818/ en/#content. [31 Mei
2013].
3. [DEPKES] Riset Kesehatan Dasar 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008. http://www.litbang.depkes. go.id/
bl_riskesdas2007. [31 Mei 2013].
4. Olga. Tubex®, Cepat dan Akurat Diagnosis Demam Tifoid. J. Med. Kedokteran Indonesia. 2012;
XXXVIII (08). http://jurnalmedika.com /edisi-tahun-2012/edisi-no-08-vol-
xxxvii/2012/463-kegiatan/965-Tubex®-cepat-dan-akurat-diagnosis-demam-tifoid. [31 Mei
2013].
5. Keddy KH, Sooka A, Letsoalo ME, Hoyland G, Chaignat CL, Morrissey AB, et al. Bull. World
Health Organisation. 2011 Sep 1;89(9):640-7. http://www.who.
int/bulletin/online_first/11-087627.pdf. [31 Mei 2013].
6. Kawano RL, Leano SA, Agdamag DM. Comparison of Serological Test Kits for Diagnosis of
Typhoid Fever in the Philippines. J Clin Microbiol. Jan 2007; 45(1): 246–247.
http://www.ncbi.nlm. nih.gov/pmc/articles/PMC 1828988/.
[ 31 Oktober 2013 ].
7. Septiawan IK, Herawati S, Sutirtayasa IW. Examination of The Immunoglobulin M Anti
Salmonella in Diagnosis of Typhoid Fever. E-Jurnal Medika Udayana 2.6; 2013: 1080-
1090. http://ojs.unud.ac.id /index.php/eum/article/view/5626. [31 Oktober 2013].
8. Aru W. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi I. Jilid II. Jakarta: Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006: 1774.
9. Kidgell C, Reichard U, Wain J, Linz B, Torpdahl M, Dougan G, et al. Salmonella Typhi, the
causative agent of typhoid fever. Infect Genet Evol. 2002 Oct;2(1):39-45.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ 12797999. [ 31 Oktober 2013 ].
10. Widodo D. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid III. Jakarta : Interna
Publishing. 2009:2797-2800.
11. Parry M, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. A Review of Typhoid Fever. New England
Journal of Medicine. 2002; 347:1770-1782. http://www.nejm.org/doi/
full/10.1056/NEJMra020201. [31 Oktober 2013].
12. Tumbelaka AR. Tata laksana terkini demam tifoid pada anak. Simposium Infeksi – Pediatri
Tropik dan Gawat Darurat pada Anak. IDAI Cabang Jawa Timur. Malang : IDAI Jawa
Timur, 2005:37-50.
13. Hoffman SL. Typhoid Fever. Dalam : Strickland GT, Ed. Hunter’s Textbook of Pediatrics,
edisi 7. Philadelphia : WB Saunders, 1991:344-358.
14. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S, Ed. Ilmu
Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, Edisi 1. Jakarta : Salemba Medika,
2002:1-43.
15. Darmowandowo W. Demam tifoid. Media IDI 1998;23:4-7.
16. Tumbelaka AR, Retnosari S. Imunodiagnosis Demam Tifoid. Dalam : Kumpulan Naskah
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV. Jakarta : BP FKUI,
2001:65-73.
17. [WHO] Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The diagnosis, treatment
and prevention of typhoid fever. World Health Organization, 2003;7-18.
18. Wain J, Bay PVB, Vinh H, Duong NM, Diep TS, Walsh AL, et al. Quantitation of bacteria in
bone marrow from patients with typhoid fever : relationship between counts and clinical
features. J Clin Microbiol 2001;39(4):1571-6.
19. Chaicumpa W, Ruangkunaporn Y, Burr D, Chongsa-Nguan M, Echeverria P. Diagnosis of
typhoid fever by detection of Salmonella Typhi antigen in urine. J Clin Microbiol
1992;30(9):2513-5. [Abstract]
20. Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002; 347(22): 1770-82.
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra020201. [ 31 Oktober 2013 ].
21. Darmowandowo D. Demam Tifoid. Dalam : Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak
XXXIII. Surabaya : Surabaya Intellectual Club, 2003:19-34.
22. [DEPKES]. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Mei 2006. www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes /KMK%20No.
%20364%20ttg%20Pedoman%20Pengendalian%20Demam%20Tifoid.pdf.
[31 Oktober 2013].
23. Harahap, NH. Demam Tifoid. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2011.
repository.usu.ac.id/bitstream/4/Chapter %20II.pdf. [31 Oktober 2013]
24. Drive, Nancy R. 2009. A Review Article of Salmonella Typhi IgM ELISA.
www.genwaybio.com. [ 31 Oktober 2013 ].
25. Gasem MH, Smits HL, Goris MG, Dolmans WM. Evaluation of a simple and rapid dipstick
assay for the diagnosis of typhoid fever in Indonesia. J Med Microbiol 2002; 51:173-177.
26. Sherwal BL, Dhamija RK, Randhawa VS, Jais M, Kaintura A, Kumar M . A Comparative
Study of Typhoid and Widal Test in Patient of Typhoid Fever. JIACM 2004; 5(3) : 244-6.
http:// medind.nic.in/jac/t04/i3/jact 04i3p244.pdf. [ 31 Oktober 2013 ].
27. A review article of Rapid Detection of Typhoid fever. IDL Botech, 2008. www.idl.se. [ 31
Oktober 2013 ].
28. Anagha K, Deepika B, Shahriar R, Sanjeev K. The Easy and Early Diagnosis of Typhoid Fever.
JDCR. 2012;4058:2034. www.jcdr.net /articles/pdf/ 2034/12a-%204058.A.pdf. [ 31
Oktober 2013 ].
29. Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J. Salmonellosis.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. 19th edition. United States : Mc Graw Hill.
2015:1049-1052.
30. KONAS PETRI Bali 2010. Konsensus Penatalaksanaan Demam Tifoid. Bali. 2010

Anda mungkin juga menyukai