Anda di halaman 1dari 6

PERIPARTUM CARDIOMYOPATI (PPCM)

1. Definisi
Peripartum kardiomiopati adalah kardiomiopati dilatasi yang terjadi
tanpa sebab yang jelas, terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya tidak
mengalami kelainan jantung apapun, terjadi biasanya pada 1 bulan terakhir
kehamilan sampai 5 bulan setelah melahirkan. Peripartum kardiomiopati
merupakan kardiomiopati yang bersifat idiopatik yang ditunjukkan secara
klinis dengan adanya gagal jantung sekunder dan disfungsi ventrikel kiri,
tidak harus disertai dengan dilatasi ventrikel kiri, namun fraksi ejeksi
biasanya selalu <45%. pada akhir kehamilan hingga beberapa bulan
setelah melahirkan (Sentiatiningrum, 2014; Capriola, 2012; Coyle, 2012).
Menurut National Heart, Lung and Blood Institute and the Office
of Rare Disease of the National Institutes of Health, empat kriteria
diagnosis peripartum kardiomiopati yaitu (Sentiatiningrum, 2014; Shah,
2013; Capriola, 2012 ) :
a. Gagal jantung yang terjadi di akhir kehamilan sampai lima bulan
setelah melahirkan
b. Tidak ada penyebab gagal jantung selain kehamilan
c. Tidak adanya penyakit jantung sebelum akhir kehamilan
d. Adanya left ventricular systolic dysfunction (LVSD) yang dinilai
dengan ekokardiogram, menunjukkan adanya penurunan fraksi ejeksi
(nilai left ventricular ejaction fraction (LVEF) <45%), atau penurunan
shortening fraction (fractional shortening (FS) <30%), atau keduanya,
dengan atau tanpa dimensi end diastolic ventrikel kiri >2,7 cm/m2
body surface area.
2. Etiologi
Etiologi peripartum kardiomiopati tidak diketahui dengan pasti dan
tidak hanya terdapat satu macam etiologi, akan tetapi merupakan interaksi
antara berbagai faktor. Beberapa etiologi yang diduga menjadi penyebab
PPCM adalah reaksi inflamasi, apoptosis sel, respon abnormal terhadap
stres fisiologi yang terjadi pada kehamilan, faktor autoimun, infeksi virus
miokarditis, defisiensi nutrisi, gangguan metabolisme prolaktin, dan
penggunaan tokolitik jangka panjang (Capriola, 2012).
3. Faktor Risiko
Faktor risiko yang menyebabkan terjadinya peripartum kardiomiopati
antara lain sebagai berikut (Sentiatiningrum, 2014; Shah, 2013) :
a. Hipertensi (tekanan darah >140/90 mmHg setelah kehamilan minggu
ke-20)
b. Diabetes melitus
c. Merokok
d. Usia wanita saat hamil >32 tahun
e. Multipara >3

Pada keadaan multiparitas, terdapat peningkatan pajanan terhadap


antigen fetal atau paternal yang lebih sering yang dapat menyebabkan
respon inflamasi miokardium yang abnormal.
f. Kehamilan mulifetal
g. Preeklampsia
h. Penggunaan obat-obatan untuk membantu proses melahirkan
i. Malnutrisi, terutama obesitas (BMI >30).
4. Epidemiologi
Insidensi peripartum kardiomiopati tidak diketahui dengan pasti.
Akan tetapi, dari beberapa laporan, insidensi PPCM tergolong rendah,
yaitu <0,1% pada kehamilan, akan tetapi memiliki morbiditas dan
mortalitas yang tinggi, yaitu 5-32%. Di Amerika, kejadian PPCM sekitar
1:2200-4000, di Afrika Selatan 1:1000, dan di Haiti 1:300. Di Asia
didapati 1:1374 (Rumah Sakit Tersier di India), 1:1000 (Jepang), 1:837
(Pakistan), 34:100.000 (Malaysia). Analisis retrospektif di pusat kesehatan
tersier di Singapura mendapatkan insidennya 0,89:1000 kelahiran hidup
(Sentiatiningrum, 2014; Coyle, 2012).
Kasus tertinggi dilaporkan di Nigeria yaitu sebesar 1% dari semua
kelahiran hidup. Hal ini disebabkan karena pengaruh budaya orang Nigeria
yang mengharuskan setiap ibu postpartum memakan kanwa (garam danau
yang sudah dikeringkan) sembari tidur di atas tempat tidur lempung yang
dipanaskan 2 hari sekali selama 40 hari setelah melahirkan. Hal ini
menyebabkan terjadinya overload cairan karena tingginya konsumsi garam
(Sentiatiningrum, 2014; Capriola, 2012; Coyle, 2012).
Usia rerata penderita kardiomiopati postpartum yaitu 316 tahun,
sedangkan di India 31,813,7 tahun. Sebagai acuan, usia wanita rerata
pada kejadian PPCM yaitu sekitar 19-38 tahun (Sentiatiningrum, 2014).
5. Patomekanisme
Beberapa hipotesis telah diajukan namun tidak ada yang dapat
menjadi penjelasan utama bagi semua kasus PPCM. PPCM mempunyai
patogenesis yang melibatkan banyak faktor. Teori yang diajukan untuk
menjadi dasar patogenesis PPCM adalah sebagai berikut :
a. Stres Oksidatif
Stres oksidatif yang terjadi pada kehamilan dapat menyebabkan
aktivasi dari kaskade prolactin, 16-kDa Prolactin, dan Cathepsin D
yang berperan dalam patofisiologi PPCM. Stres oksidatif dapat
menurunkan kadar Signal Transducer and Activator of Transcription3 (STAT3). Penuruan STAT3 menyebabkan aktivasi cathepsin D di
kardiomiosit, yang berefek pada perubahan bentuk prolaktin menjadi
16-kDa yang bersifat antiangiogenik dan proapoptosis. Efek prolaktin
16-kDa antara lain (Sentiatiningrum, 2014; Shah, 2013) :
1) Menghambat proliferasi dan migrasi sel endotel
2) Menginduksi apoptosis sel endotel
3) Merusak struktur kapiler darah

4) Merangsang vasokontriksi
5) Merusak fungsi kardiomiosit
Kadar prolaktin 16kDa yang tinggi meskipun tanpa keadaan
PPCM telah terbukti merusak mikrovaskular jantung, menurunkan
fungsi jantung dan meningkatkan dilatasi ventrikel. Efek prolaktin
16kDa berlawanan dengan efek kardioprotektif prolaktin bentuk
lengkap. Selain prolaktin 16kDa, kadar pro-apoptotic serum markers
(soluble death receptor sFas/Apo-1) telah ditemukan kadarnya
meningkat pada pasien PPCM. Marker ini juga dapat memprediksi
status fungsional dan mortalitas penderita PPCM (Sentiatiningrum,
2014).
b. Infeksi Virus
Selain stres oksidatif, inflamasi jantung disebut juga miokarditis,
telah diketahui berhubungan dengan PPCM. Salah satu penelitian
yang berhubungan dengan miokarditis mengemukakan bahwa dari 26
pasien PPCM, terdapat 8 pasien yang menunjukkan adanya viral
genome pada pemeriksaan biopsi miokardium. Virus yang
berhubungan dengan kejadian inflamasi ini antara lain parvovirus
B19, human herpes virus 6, Epstein-Barr virus, dan human
cytomegalovirus. Beberapa penelitian juga melaporkan bahwa sejenis
cardiotropic enterovirus bertanggung jawab atas terjadinya PPCM.
Pada saat kehamilan secara fisiologis terdapat penurunan respon imun.
Hal ini menyebabkan terjadinya eksaserbasi infeksi de novo atau
mereaktivasi virus laten pada pasien hamil, yang menyebabkan
miokarditis dan berujung pada kardiomiopati (Sentiatiningrum, 2014;
Shah, 2013)
c. Inflamasi
Marker inflamasi yang terdapat di serum meningkat pada
penderita PPCM, diantaranya adalah soluble death receptor sFas/Apo1, C-reactive protein, interferon gama, dan IL-6. Interferon gama juga
dapat menjadi faktor penentu prognosis PPCM karena kadar
penurunan kadar interferon gama mempengaruhi perbaikan klinis
pasien PPCM. Pada pemberian pentoxifyllin yang merupakan agen
anti inflamasi, terdapat kegagalan perbaikan klinis berhubungan
dengan kadar interferon gamma yang tetap tinggi (Sentiatiningrum,
2014; Shah, 2013)
d. Mekanisme Autoimmun
Serum wanita dengan PPCM mengandung titer autoantibodi
yang tinggi terhadap protein jaringan kardium yang tidak terdapat
pada pasien kardiomiopati idiopatik. Pada DCM, hanya terdapat
kenaikan selektif pada G3 subclass immunoglobulin (IgG3s), pada
PPCM terdapat kenaikan kelas G semua subclass immunoglobulin
terhadap miosin rantai berat (Sentiatiningrum, 2014).

Autoantibodi ini berasal dari sel fetal (micro chimerism) yang


dapat masuk ke sirkulasi maternal, serta beberapa protein seperti aktin
dan miosin yang dilepaskan oleh uterus selama proses melahirkan
terdeteksi pada pasien PPCM. Antibodi ini bereaksi dengan protein
miokardium maternal, merangsang sistem imun dan terjadilah
kerusakan pad miokardium (Sentiatiningrum, 2014; Shah, 2013).
e. Kerentanan Genetik
The European Society Cardiology mengklasifikasikan PPCM
sebagai suatu bentuk DCM nonfamilial dan nongenetik yang
berhubungan dengan kehamilan. Akan tetapi, beberapa kasus PPCM
telah terbukti berhubungan dengan faktor genetik. Beberapa penelitian
melaporkan bahwa wanita PPCM mempunyai ibu dan saudara
perempuan yang didiagnosis PPCM. Perempuan yang mempunyai gen
DCM (dilated cardiomyopathy) dapat berujung pada PPCM setelah
kehamilan karena adanya stres hemodinamik. Penelitian pada 90
keluarha familial DCM dan PPCM mengungkapkan adanya causative
mutation yang dapat dideteksi lebih awal dengan penapisan. Penelitian
tersebut mengungkapkan adanya mutasi di dalam gen yang mengkode
cardiac troponin C (TNNC1). Adanya variasi genetik dalam
JAK/STAT signaling cascade juga dapat menjadi salah satu penyebab
PPCM (Sentiatiningrum, 2014; Shah, 2013).
6. Tanda Gejala
Manifestasi klinis PPCM sama dengan gagal jantung sistolik
sekunder yang disebabkan oleh sebab yang lain, serta mempunyai temuan
klinis yang sama dengan fisiologi kehamilan sehingga manifestasinya
terselubung. Mayoritas pasien (78%) mendapati gejala pada 4 bulan
setelah melajirkan, sedangkan hanya 9% yang menunjukkan gejala pada
bulan terakhir kehamilan. Gejala PPCM antara lain sebagai berikut
(Sentiatiningrum, 2014; Shah, 2013) :
a. Gejala awal
1) Edem pada tungkai
2) Pasroxysmal noctunal dyspneu
3) Dypsneu deffort
4) Ortopnea
5) Batuk persisten
b. Gejala tambahan :
1) Abdominal discomfort sekunder akibat kongesti jantung
2) Pusing
3) Nyeri di sekitar jantung dan epigastrium
4) Palpitasi
5) Hipotensi postural pada stadium lanjut
6) Peningkatan JVP
7) Murmur regurgitasi yang tidak ditemukan sebelumnya
8) Adanya bunyi tambahan jantung berupa gallop S3 dan S4

9) Abnormalitas EKG (sinus takikardi, atrial fibrilasi, atrial flutter,


vebtrikular takikardi, QRS time memanjang)
10) Peningkatan serum B-natriuretic peptide (BNP) atau NT-BNP
Gejala PPCM diklasifikasikan menggunakan sistem New York Heart
Association (NYHA) sebagai berikut (Sentiatiningrum, 2014) :
a. Kelas I : Keadaan tanpa gejala
b. Kelas II : Gejala ringan, muncul hanya pada aktivitas berat
c. Kelas III : Gejala muncul pada saat aktivitas ringan
d. Kelas IV : Gejala muncul pada saat istirahat
7. Penegakan Diagnosis (Adit)
8. Tatalaksana (Adit)
9. Komplikasi
Komplikasi yang disebabkan oleh PPCM antara lain adanya PPCM
pada kehamilan selanjutnya. Komplikasi lain yang tersering, terutama pada
pasien dengan gangguan ventrikel kiri yang menetap antara lain adalah
gagal jantung kongestif (terjadi sekitar 44%), aritmia jantung, dan edema
pulmo, (Bosch, 2008).
10. Prognosis
Prognosis PPCM berhubungan dengan kembalinya fungsi
ventrikel. Apabila ukuran ventrikel dapat kembali normal setelah
kehamilan dan masa postpartum, prognosis jangka pendek sangat baik,
walaupun sequele untuk kehamilan berikutnya tidak begitu dipahami.
Sebaliknya, jika ukuran ventrikel tidak kembali normal seperti semula,
dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas pada pasien. Faktor yang
berperngaruh terhadap prognosis yang lebih baik dan kembalinya fungsi
miokardium pada pasien dengan PPCM antara lain (Sentiatiningrum,
2014; Tsah, 2013) :
a. Ukuran ventrikel kiri yang kecil pada saat end-diastolik (<5,5-6 cm)
b. Kenaikan fungsi sistolik (LVEF>30-35% dan FR >20%)
c. Tidak adanya kenaikan troponin
d. Tidak ada trombus pada ventrikel kiri
e. Bukan ras Afrika-Amerika
Rata-rata pasien dengan PPCM dapat kembali normal setelah 6
bulan post partus. Berdasarkan peneltian, 70% pasien dengan LVEF 1019% dan 87% pasien dengan LVEF 20-29% fungsi jantung akan kembali
normal dalam 6 bulan. (Sentiatiningrum, 2014; Tsah, 2013; Coyle, 2012).

DAFTAR PUSTAKA
Bosch, MGE., Santema, JG., Voort., Bams, JL. 2008. A sSerious
Complication in the Puerperium : Peripartum Cardiomyopathy.
Netherlands Heart Journal. Volume 16 : 12.

Capriola, M. 2013. Peripartum Cardiomyopathy : a Review. International


Journal of Womans Health. Volume 5 : 1-8
Coyle, J., Jensen, L., Sobey, A. 2012. Peripartum Cardiomyopathy :
Review and Practice Guidelines. American Journal of Critical Care.
Volue 21 : 2
Sentiatiningrum, M., Rehatta, V. 2014. Definisi, Etiopatogenesis, dan
Diagnosis Kardiomiopati Peripartum. IDI Continuing Medical
Eduvation. CDK-218, Volume 41 :7.
Tsah, T., et al. 2013. Peripartum Cardiomyopathy : a Contemporary
Review. Methodist deBakey Cardiovascular Journal. Volume 9 : 1

Anda mungkin juga menyukai