Oleh:
Sani Widya Firnanda
G99142062
Pembimbing
dr. RTH. Supraptomo, Sp.An
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU ANESTESI DAN TERAPI
INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan edema
akibat kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam triwulan ketiga
kehamilan, atau segera setelah persalinan (Cunningham, 2013). Preeklampsia
merupakan suatu diagnosis klinis. Adapun komponen diagnosis preeklampsia
terdiri dari hipertensi (tekanan darah 140/90 mmHg pada wanita yang
eklampsia,
hemolytic-elevated
liver
enzim
and
low
platelet
saat
ini
belum
ditemukan
pengobatan
yang
efektif sebagai
hipofibrigonemia,
hemolisis,
perdarahan
otak,
gagal
ginjal,
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PREEKLAMPSIA
1. Definisi
Preeklampsia adalah penyakit hipertensi dan proteinuria yang
didapatkan setelah umur kehamilan 20 minggu. (POGI, 2005). Dulu,
preeklampsia didefinisikan sebagai penyakit dengan tanda-tanda hipertensi,
edema dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini terjadi
pada triwulan ke 3 kehamilan tetapi dapat juga terjadi sebelumnya,
misalnya pada mola hidatidosa (Sarwono, 2002).
Preeklampsia didefinisikan dengan adanya hipertensi dimana
tekanan darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah diastolik 90 mmHg
yang diukur dua kali dengan selang waktu 4 -6 jam, menetap sekurangkurangnya selama 7 hari, disertai proteinuria ( 30 mg/liter urin atau
300 mg/24 jam) yang didapatkan setelah umur kehamilan 20 minggu dan
semua kelainan ini akan menghilang sebelum 6 minggu post partum
(Ananth, 2004).
Biasanya sindrom ini terutama muncul pada akhir trimester kedua
sampai ketiga kehamilan. Gejala akan berkurang atau menghilang setelah
melahirkan, sehingga terapi definitifnya adalah mengakhiri kehamilan
(Cunningham et al, 2013).Adapun beberapa komplikasi yang diakibatkan
oleh preeklampsia yaitu: IUGR, oligohidramnion, eklampsia hingga SIRS
(Norma, 2006).
Pada kasus preeklampsia berat dapat terjadi impending eklampsia.
Impending eklampsia ditandai dengan adanya hiperrefleksi. Gejala subyektif
dari pasien yaitu jika pasien merasa kepalanya pusing, muntah, atau adanya
nyeri epigastrik.
Pada kasus yang diabaikan atau yang lebih jarang terjadi, pada kasus
hipertensi karena kehamilan yang fulminan dapat terjadi eklampsia. Bentuk
serangan kejang pada eklampsia adalah kejang grand mal dan dapat timbul
pertama kali sebelum, selama, atau setelah persalinan. Kejang yang timbul
lebih dari 48 jam setelah persalinan lebih besar kemungkinannya disebabkan
oleh lesi lain yang bukan terdapat pada susunan saraf pusat.
2. Faktor Risiko
a. Primigravida atau primipaternitas
b. Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan multiple,
diabetes mellitus, hidrops fetalis, bayi besar.
c. Umur kehamilan yang ekstrim (< 18 tahun atau > 35 tahun)
d. Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya
e. Riwayat keluarga pernah preeklamsia atau eklampsia
f. Penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum kehamilan
g. Obesitas
h. Ras kulit hitam, karena tingginya prevalensi hipertensi kronis
sebelumnya
i. Jarak kehamilan kurang dari 2 tahun atau lebih dari 10 tahun
3. Patofisiologi
Preeklampsia terutama merupakan disfungsi plasenta yang menjurus
kepada sindrom disfungsi endotel yang berhubungan dengan vasospasme
pembuluh darah. Insufisiensi plasenta berhubungan dengan beberapa kelainan
seperti diffuse placental thrombosis, inflammatory placental decidual
vasculopathy dan atau invasi trophoblas ke endometrium yang abnormal.
Peningkatan respon imun maternal terhadap janin atau plasenta juga
mendukung terjadinya preeklampsia (Lim, 2009).
Tiga hipotesis menempati penyelidikan utama, hipotesis pertama
menghubungkan preeklampsia dengan faktor imunologi, hipotesis kedua
menghubungkan
sindrom
prostaglandin
yang
menimbulkan
hamil
(hipervolemia)
normal
untuk
plasma
memenuhi
meningkat
kebutuhan
dengan
bermakna
pertumbuhan
janin.
32-34
minggu.
Sedangkan
pada
kehamilan
dengan
disebut
hipovolemia.
Hipovolemia
diimbangi
dengan
c. Fungsi ginjal
Perubahan fungsi ginjal disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut ;
1)
2)
Kerusakan
glomerulus
mengakibatkan
Terjadi
glomerular
capillary
endotheliosis
5)
d. Hasil Laboratorium
Proteinuria, dapat dilakukan dengan (a) urin dipstik: 100mg/1 atau
+1, sekurang-kurangnya diperiksa 2 kali urin acak selang 6 jam, (b)
pengumpulan proteinuria dalam 24 jam. Dianggap patologis bila
proteinuria 300mg/24 jam.
Asam urat, pada umumnya meningkat karena hipovolemia
sehingga aliran darah ke ginjal menurun, mengakibatkan filtrasi
glomerulus juga menurun sehingga menurunnya sekresi asam urat.
Kreatinin, terjadi peningkatan disebabkan karena penurunan filtrasi
glomerulus karena hipovolemia.
Oligouria dan anuria, karena hipovolemia sehingga aliran darah ke
ginjal menurun. Berat ringannya oligouria menggambarkan berat
ringannya hipovolemia, hal ini berarti menggambarkan berat ringannya
preeklampsia.
Kadar total elektrolit pada preeklampsia sama seperti hamil
normal. Karena kadar natrium dan kalium tidak berubah pada
f.
g.
h.
Hematokrit
Pada preeklampsia hematokrit meningkat karena hipovolemia yang
menggambarkan beratnya preeklampsia.
i.
Edema
Edema dapat terjadi pada kehamilan normal. Edema terjadi karena
hipoalbuminemia atau kerusakan sel endotel kapiler. Edema yang
patologik adalah edema yang nondependen pada muka dan tangan atau
edema generalisata dan biasanya disertai dengan kenaikan berat badan
yang cepat (Sarwono, 2008).
j.
Hematologi
Perubahan hematologi berupa peningkatan hematokrit akibat
hipovolemia, peningkatan viskositas darah, trombositopenia, dan gejala
hemolisis mikroangiopatik (Sarwono, 2008).
k.
Hepar
Dasar perubahan pada hepar ialah vasospasme, iskemia, dan
perdarahan. Bila terjadi perdarahan pada sel periportal lobus perifer, akan
terjadi nekrosis sel hepar dan terjadi peningkatan enzim hepar. Perdarahan
dapat meluas hingga di bawah kapsula hepar dan disebut subkapsular
hematoma. Subkapsular hematoma menimbulkan rasa nyeri di daerah
Neurologi
Perubahan neurologik dapat berupa :
i.
ii.
iii.
iv.
Kejang eklampsia. Hal ini belum diketahui dengan jelas. Faktorfaktor yang menimbulkan kejang eklampsia ialah karena edema
serebri, vasospasme, dan iskemia serebri.
v.
m.
akibat
Janin
Preeklampsia memberi pengaruh buruk pada keadaan janin karena
menurunnya perfusi uteroplasenter, hipovolemia, vasospasme dan
kerusakan sel endotel pembuluh darah plasenta.
Dampak preeklamsia pada janin :
a
4. Klasifikasi
Preeklampsia dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
a.
Genuin Preeklampsia :
Gejala preeklampsia yang timbul setelah kehamilan 20 minggu
disertai dengan pitting edema, dan kenaikan tekanan darah 140/90
mmHg sampai 160/90 mmHg. Juga terdapat proteinuria 300 mg urine/24
jam (esbach).
b.
Derajat preeklampsia :
a.
Preeklampsia ringan
Kriteria diagnostik :
1) Tekanan darah 140/90 mmHg yang diukur pada posisi terlentang;
atau kenaikan sistolik 30 mmHg; atau kenaikan tekanan diastolik
15 mmHg.
2) Cara pengukuran sekurang-kurangnya pada dua kali pemeriksaan
dengan jarak periksa 1 jam, sebaiknya 6 jam.
3) Proteinuria kuantitatif 0,3 gram/liter; kualitatif 1+ atau 2+ pada urin
kateter atau mid stream.
4) Edema: lokal pada tungkai tidak dimasukkan dalam kriteria diagnostik
kecuali anasarka.
b.
Preeklampsia berat
Preeklampsia digolongkan berat bila terdapat satu atau lebih gejala:
1)
2)
10
3)
Oliguria, air kencing kurang dari atau sama dengan 400 cc dalam
24 jam
4)
5)
6)
7)
8)
9)
Hemolisis mikroangiopatik
10)
11)
5. Diagnosis
Diagnosis preeklampsia didasarkan atas adanya hipertensi dan
proteinuria. Preeklampsia dikatakan berat bila memenuhi 1 atau lebih dari 11
kriteria di atas (POGI, 2005).
Diagnosis eklampsia umumnya tidak mengalami kesukaran. Dengan
adanya tanda dan gejala preeklampsia yang disusul oleh serangan kejang,
maka diagnosis eklampsia sudah tidak diragukan. (Budiono, 1999).
Menurut Organization Gestosis, impending eklampsia adalah gejalagejala edema, protenuria, hipertensi disertai gejala subyektif dan obyektif.
Gejala subyektif antara lain: nyeri kepala, gangguan visual dan nyeri
epigastrium. Sedangkan gejala obyektif antara lain: hiperrefleksia, eksitasi
motorik dan sianosis (M. Dikman Angsar, 1995).
Pemeriksaan laboratorium untuk mengevaluasi hipertensi kronis,
termasuk uji kerusakan target organ sekunder karena hipertensi dan faktor
resiko lain, meliputi:
1. Urinalisis; CBC; natrium, kalium dan kreatinin serum; dan kadar
glukosa darah.
11
kehamilan,
sehingga
pemeriksaan
ditunda
hingga
postpartum.
4. Peningkatan kadar kortikosteroid endogen selama kehamilan
normal
menyulitkan
evaluasi
hipertensi
sekunder
karena
adanya
kontraksi
volume
intravaskuler
atau
12
Pencegahan
2007).
a) Pemberian diuretik tidak terbukti dapat mencegah terjadinya
preeklampsia bahkan memperberat hipovolemia.
b) Pemberian kalsium: 1500-2000 mg/hari dapat dipakai untuk
suplemen pada pasien dengan resiko preeklampsia.
c) Zinc 200 mg/hari
d) Magnesium 365 mg/hari
e) Obat antitrombotik (aspirin 100 mg/hari) dapat mencegah
preeklampsia.
f)Obat antioksidan misalnya vitamin C, vitamin E dan karoten
(Sarwono, 2008)
13
7. Differential Diagnosis
-
Hipertensi menahun
Penyakit ginjal
8. Penanganan
Prinsip penatalaksanaan preeklampsia berat adalah mencegah timbulnya
kejang, mengendalikan hipertensi guna mencegah perdarahan intrakranial serta
kerusakan dari organ-organ vital dan melahirkan bayi dengan selamat (Sarwono,
2007).
Pada preeklampsia, penyembuhan dilakukan dengan ekspulsi yaitu
pengeluaran trofoblast. Pada preeklampsia berat, penundaan merupakan tindakan
yang salah. Karena preeklampsia sendiri bisa membunuh janin (Cunningham, et
al., 1995).
PEB dirawat segera bersama dengan bagian Interna dan Neurologi, dan
kemudian ditentukan jenis perawatan atau tindakannya. Perawatannya dapat
meliputi:
1. Perawatan aktif, yang berarti kehamilan segera diakhiri setelah
mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi ibu.
a.
Indikasi :
Bila didapatkan satu atau lebih dari keadaan berikut ini
1). Ibu :
a). Kegagalan terapi pada perawatan konservatif :
-
Setelah
jam
sejak
dimulai
pengobatan
Setelah
24
jam
sejak
dimulai
pengobatan
14
Pengobatan Medisinal
1). Segera masuk rumah sakit
2). Tirah baring ke kiri secara intermiten
3). Infus D5% yang tiap liternya diselingi dengan larutan RL 500
cc (60-125 cc/jam)
4). Pemberian obat anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan dan
terapi. Pemberian dibagi loading dose (dosis awal) dan dosis
lanjutan.
5). Anti hipertensi diberikan bila tensi 180/110 mmHg.
6). Diuretikum diberikan atas indikasi edema paru, payah
jantung kongestif, edema anasarka.
7). Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam
(POGI, 2005).
2. Pengelolaan Konservatif, yang berarti kehamilan tetap dipertahankan
sehingga memenuhi syarat janin dapat dilahirkan, meningkatkan
kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi keselamatan ibu.
a. Indikasi
Kehamilan kurang bulan (<37 minggu) tanpa disertai tanda-tanda
impending eklampsi dengan keadaan janin baik.
15
b. Pengobatan Medisinal
Sama dengan perawatan medisinal pada pengelolaan secara aktif.
Hanya dosis awal MgSO4 tidak diberikan i.v. cukup i.m. saja
(MgSO4 40% 8 gr i.m.) (Hidayat W., dkk., 1998).
Sebagai pengobatan untuk mencegah timbulnya kejang-kejang
dapat diberikan:
i. Larutan sulfas magnesikus 40% (4 gram) disuntikan i.m.
pada bokong kiri dan kanan sebagai dosis permulaan, dan
dapat diulang 4 gram tiap 6 jam menurut keadaan. Tambahan
sulfas magnesikus hanya diberikan bila diuresis baik, reflek
patella positif, dan kecepatan pernapasan lebih dari 16 kali
per menit.
ii. Klorpromazin 50 mg i.m.
iii. Diazepam 20 mg i.m.
9. Komplikasi
a. Kejang.
b. Perdarahan otak.
c. Edema pulmo, karena kebocoran kapiler, cairan intravena yang berlebihan,
atau disfungsi miokard.
d. Gagal ginjal akut.
e. DIC.
f. Sindroma HELLP.
g. Infark/ruptur hepar dan subcapsular hematoma, dapat menyebabkan
perdarahan dalam masif dan syok.
10. Prognosis
Prognosis PEB dikatakan jelek karena kematian ibu antara 9,820,5%,
sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yaitu 42,248,9%. Kematian ini
disebabkan karena kurang sempurnanya pengawasan antenatal, di samping itu
penderita eklampsia biasanya sering terlambat mendapat pertolongan.
16
18
d. Evaporation test
e. Intraamniotic fluorescein
f. Amnioscopy
g. Diamine oxidase test
h. Fetal fibronectin
i. Alfa-fetoprotein test
4. Komplikasi
KPD dapat menyebabkan beberapa komplikasi baik pada ibu maupun pada
janin, diantaranya:
a. Infeksi
Diagnosis korioamnionitis dapat dilihat dari gejala klinisnya antara
lain demam (37,80C), dan sedikitnya dua gejala berikut yaitu takikardi
baik pada ibu maupun pada janin, uterus yang melembek, air ketuban
yang berbau busuk, maupun leukositosis.
b. Hyaline membrane disease
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa hyaline memnrane disease
sebagian besar disebabkan oleh ketuban pecah dini (KPD). Terdapat
hubungan antara umur kehamilan denganhyaline membrane disease
dan chorioamnionitis yang terjadi pada pasien dengan KPD. Pada usia
kehamilan kurang dari 32 minggu, angka risiko hyaline mebran disease
lebih banyak dibandingkan risiko infeksi.
c. Hipoplasi pulmoner
Hal ini terjadi bila ketuban pecah sebelum usia kehamilan 26 minggu
dan fase laten terjadi lebih dari 5 minggu yang diketahui dari adanya
distress respirasi yang berat yang terjadi segera setelah lahir dan
membutuhkan bantuan ventilator.
d. Abruptio placenta
Hal ini tergantung dari progresifitas penurunan fungsi plasenta yang
mengakibatkan pelepasan plasenta. Gejala klinik yang terjadi adalah
perdarahan pervaginam.
e. Fetal distress
19
mengatasinya
maka
dilakukan
sectio
cesaria,
yang
20
DJJ menunjukkan pola deselerasi sedang atau berat maka pasien harus
cepat diterminasi. Jika janin dalam presentasi belakang kepala, maka
dapat dilakukan amnioinfusion, induksi dan dapat dilakukan persalinan
pervaginam. Namun bila janin tidak dalam presentasi kepala maka
terapi yang dapat dilakukan adalh section cesaria.
e. Pasien dengan infeksi
Pasien dengan chorioamnionitis harus dilakukan induksi bila tidak ada
kontraindikasi untuk dilakukan persalinan pervaginam dan bila belum
dalam
persalinan.
Bila
ada
kontraindikasi
untuk
persalinan
chorioamnionitis
ditegakkan
(Prawirohardjo
dan
Wiknojosastro, 2014).
Pendapat lain membagi terapi ketuban pecah dini menjadi :
a. Terapi konservatif
-
21
b. Terapi Aktif
-
22
a. Indikasi
o Indikasi ibu: Panggul sempit, tumor jalan lahir yang menimbulkan
obstruksi, stenosis serviks uteri atau vagina, perdarahan ante partum,
disproporsi janin dan panggul, bakat ruptura uteri, preeklampsia/
hipertensi.
o Indikasi janin : kelainan letak, gawat janin.
b. Komplikasi
Infeksi puerperal.
Perdarahan.
D. ANESTESI SPINAL
Analgesi regional adalah suatu tindakan anestesi yang menggunakan
obat analgetik lokal untuk menghambat hantaran saraf sensorik, sehingga
impuls nyeri dari suatu bagian tubuh diblokir untuk sementara. Fungsi
motorik dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya, sedangkan penderita
tetap sadar.
Anestesi spinal merupakan salah satu macam anestesi regional. Pungsi
lumbal pertama kali dilakukan oleh Qunke pada tahun 1891. Anestesi spinal
subarachnoid dicoba oleh Corning, dengan menganestesi bagian bawah tubuh
penderita dengan kokain secara injeksi columna spinal. Efek anestesi tercapai
setelah 20 menit, mungkin akibat difusi pada ruang epidural. Indikasi
penggunaan anestesi spinal salah satunya adalah tindakan pada bedah obstetri
dan ginekologi.
Analgesi spinal (anestesi lumbal, blok subarachnoid) dihasilkan bila
kita menyuntikkan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid di
daerah antara vertebra L2-L3 / L3-L4 (obat lebih mudah menyebar ke kranial)
atau L4-L5 (obat lebih cenderung berkumpul di kaudal).
23
ASA II
ASA III
ASA IV
Pasien
dengan
gangguan
sistemik
berat
yang
24
25
26
2. Premedikasi Anestesi
27
a. Bupivakain
Bupivakain (Decain, Marcain) adalah derivat butil yang 3 kali
lebih kuat dan bersifat long acting (5-8 jam). Obat ini terutama
28
(larutan 0,25%-0,5%)
Berat Jenis
Sifat
Dosis
1,005
1,027
Isobarik
Hiperbarik
b. Fentanyl
Merupakan opioid agonis sintetis yang sering digunakan untuk
premedikasi. Keuntungan penggunaan obat ini adalah memudahkan
induksi, mengurangi kebutuhan obat anestesi, menghasilkan analgesia
pra dan pasca bedah, memudahkan melakukan pemberian pernafasan
buatan.
Fentanyl dapat menyebabkan bradikardi sehingga memicu
penurunan tekanan darah dan cardiac output. Fentanyl juga memiliki
efek vasodilatasi perifer, sehingga dapat menyebabkan hipotensi
orthostatik. Hal ini akan lebih berat lagi bila digunakan pada pasien
29
Dosis
: 0,05 ug/kgBB
a. Keuntungan:
1) Respirasi spontan.
2) Lebih murah.
3) Sedikit resiko muntah yang dapat menyebabkan aspirasi paru
pada pasien dengan perut penuh.
4) Tidak memerlukan intubasi.
5) Pengaruh terhadap biokimiawi tubuh minimal.
6) Fungsi usus cepat kembali.
7) Observasi dan perawatan post operatif lebih ringan.
b. Kerugian:
1) Efeknya terhadap sistem kardiovaskuler lebih dari general system.
2) Menyebabkan post operatif headache.
6. Komplikasi Tindakan Anestesi Spinal
a. Hipotensi berat
Akibat Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa
dicegah dengan pemberian cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500
ml sebelum tindakan.
b. Bradikardi
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat blok
sampai T-2.
30
c. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf phrenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas.
d. Hematom
e. Cedera saraf
f. Mual-muntah
g. Blok spinal tinggi atau spinal total
7. Penatalaksanaan
a. Pemberian oksigen
Apabila terjadi hipoventilasi baik oleh obatobat narkotik,
anestesi umum maupun lokal, maka akan mudah terjadi hipoksemia
yang berat. Faktor-faktor yang menyebabkan hal ini, yaitu :
1) Turunnya kemampuan paru-paru untuk menyimpan O2
2) Naiknya konsumsi oksigen
3) Airway closure
4) Turunnya cardiac output pada posisi supine
Pemberian oksigen terhadap pasien sangat bermanfaat karena:
1) Memperbaiki keadaan asam-basa bayi yang dilahirkan
2) Dapat memperbaiki pasien dan bayi pada saat episode hipotensi
3) Sebagai preoksigenasi kalau anestesi umum diperlukan
b. Terapi cairan
Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk mencukupi kebutuhan
cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi. Selain itu
jugaa untuk tindakan emergency pemberian obat.
Pemberian cairan operasi dibagi :
1) Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga
seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain.
Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml/ kgBB/
jam. Bila terjadi dehidrasi ringan 2% BB, sedang 5% BB, berat
31
32
Kriteria
Skor
Gerakan penuh dari tungkai
0
Tak mampu ekstensi tungkai
1
Tak mampu fleksi lutut
2
Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3
Bromage skor 2 boleh pindah ke ruang perawatan
E. TEKNIK ANESTESI SPINAL PADA SECTIO CAESARIA
Anestesi spinal (intratekal, intradural, subdural, subarknoid) ialah
pemberian obat anestetik lokal kedalam ruang subaraknoid. Anestesia spinal
diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke dalam ruang
subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5 . Teknik ini
cukup sederhana, cukup efektif dan mudah dikerjakan. Walaupun teknik ini
sederhana, dengan adanya pengetahuan anatomi, efek fisiologi darianestesi
spinal dan faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi anestesi lokal di
ruangintratekal serta komplikasi anestesi spinal akan mengoptimalkan
keberhasilan terjadinya blok anestesi spinal.
1. Teknik anestesi spinal pada sectio caesaria
Pada tindakan premedikasi sekitar 15-30 menit sebelum anestesi lakukan
observasi tanda vital. Setelah tindakan antisepsis kulit daerah punggung
pasien dan memakai sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan dengan
menyuntikkan jarum lumbal (biasanya no 25 atau 27) pada bidang median
setinggi vertebra L3-4 atau L4-5. Jarum lumbal akan menembus berturutturut beberapa ligamen, sampai akhirnya menembus duramatersubarachnoid. Setelah stilet dicabut, cairan serebro spinal akan menetes
keluar. Selanjutnya disuntikkan larutan obat analgetik lokal kedalam
ruang subarachnoid tersebut. Keberhasilan anestesi diuji dengan tes
sensorik Pin prick test, menggunakan jarum halus atau kapas. Daerah
pungsi ditutup dengan kasa dan plester, kemudian posisi pasien diatur
pada posisi operasi.
33
34
d. Penyakit jantung
e. Hipovolemia ringan
f. Nyeri punggung kronis
konsentrasi
anestesi
lokal
yang
tidak
memadai
untuk
35
i. Meningitis
j. Retensi urine
36
BAB III
LAPORAN KASUS
I.
ANAMNESIS
A. Identitas Penderita
Nama
Umur
Alamat
Pekerjaan
Tanggal masuk
Tanggal pemeriksaan
No RM
: Ny. N
: 31 tahun
: Banjarsari, Surakarta
: Ibu rumah tangga
: 19/10/2015
: 19/10/2015
: 0131 xx xx
B. Data Dasar
1. Keluhan Utama
Air kawah sudah dirasakan keluar
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang G2P1A0, 31 tahun, umur kehamilan 41+3 minggu
datang dengan rujukan dari RSUD Surakarta dengan keterangan
G2P1A0 umur kehamilan 41+3 minggu belum dalam persalinan dan
riwayat SC. Pasien merasakan air kawah telah dirasakan keluar
sejak 8 jam SMRS. Lendir darah belum dirasakan keluar.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit serupa
Riwayat tekanan darah tinggi
Riwayat diabetes melitus
Riwayat sakit jantung
Riwayat alergi
Riwayat asma
Riwayat abortus
Riwayat operasi
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
37
Riwayat asma
: disangkal
5. Riwayat Kebiasaan
Merokok
Minuman beralkohol
Ketergantungan obat
: disangkal
: disangkal
: disangkal
II.
PEMERIKSAAN FISIK
A. Primary Survey
Airway
: bebas, buka mulut > 3 jari, mallampati I, gerak leher
bebas, TMD > 3 jari
Breathing : Thorax bentuk normochest, simetris, pengembangan dada
kanan=kiri, retraksi (-), otot bantu nafas (-), sonor/sonor,
suara dasar vesikuler +/+, suara tambahan -/-, frekuensi
nafas 20x/menit.
Circulation : jantung ictus cordis tak tampak, tak kuat angkat, tak
teraba, bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising
(-), tekanan darah 160/100 mmHg, nadi 86x/menit, CRT
Disability
: 60 kg
38
Kulit
Kepala
Mata
Telinga
Hidung
Mulut
Leher
tekan
mastoid
(-),
nyeri
tekantragus (-)
: nafas cuping hidung (-), sekret (-)
: sianosis (-), mukosa basah (+), papil lidah atrofi (-)
stomatitis (-)
:trakhea
di
tengah,
simetris,
massa/
pembesaranlimfonodi (-)
:dinding perut lebih tinggi dari dinding dada,
Abdomen
:
akral dingin
-
III.
oedem
- -
- + +
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium tanggal 19 Oktober 2015
PEMERIKSAA
HASIL
SATUAN
RUJUKAN
10.4
32
14.8
218
3.66
10.9
35.6
0.5
11
Non reactive
+3
139
2.9
109
g/dl
%
Ribu/ul
Ribu/ul
Juta/ul
detik
detik
mg/dl
mg/dl
12.0 - 15.6
33 45
4.5 - 11.0
150 450
4.10 5.10
10.0 15.0
20.0 40.0
0.6 1.1
< 50
Non reactive
N
Hb
Hct
AL
AT
AE
PTT
APTT
Kreatinin
Ureum
HbsAg
Protein kuantitatif
Natrium Darah
Kalium Darah
Klorida Darah
mmol/L
mmol/L
mmol/L
mmol/L
136-145
3.3 5.1
98 106
39
IV.
DIAGNOSIS ANESTESI
Wanita 31 tahun, G2P1A0 dengan PEB, KPD 8 jam pada
sekundigravida hamil aterm belum dalam persalinan riwayat SC 5 tahun
yang lalu pro SCTPem dengan status fisik ASA II E plan RASAB.
V.
POTENSIAL PROBLEM
Hipokalemia
Nyeri post operasi
Perdarahan
Infeksi
VI.
PELAKSANAAN OPERASI
Operasi dilaksanankan pada tanggal 19 Oktober 2015 di OK IGD
A. Primary survey
Airway
: bebas, buka mulut > 3 jari, mallampati I
Breathing
:Thorax
bentuk
normochest,
simetris,
pengembangan dada kanan=kiri, retraksi (-), otot
bantu nafas (-), sonor/sonor, suara dasar vesikuler
Circulation
Disability
Exposure
B. Secondary survey
Kulit
: turgor menurun (-), lembab (+), ikterik(-)
Mata
: konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga
: nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekantragus (-)
40
Hidung
Mulut
Leher
Abdomen
Ekstremitas
- + +
41
Jam
Tekanan
Darah
Nadi
SpO2
Keterangan
08.20
160/100
08.35
155/96
08.50
148/81
09.05
144/75
100
100%
Pasien
masuk
ruang
OK IGD
dan akan
dilakuka
n anestesi
98
99%
Setelah
dilakuka
n anestesi
RASAB
93
99%
Setela
h lahir
bayi
89
100%
Pemantauan
20
menit
pertama
setelah
kelahiran
bayi
09.20
145/90
09.35
148/88
09.50
152/86
88
97%
Pemantauan
20
menit
kedua
setelah
kelahiran
bayi
86
96%
Pemantauan
20
menit
ketiga setelah
kelahiran
bayi
88
98%
Pemantauan
20
menit
keempat
setelah
kelahiran
bayi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Input
Jam
Kris
Output
Kol
Drh
Drh
Balance
Urin
SO+
M
08.20
500
250
500
250
200
100
558
-8
558
+ 42
09.20
09.20
10.20
TOTAL
100
50
+ 34
43
BAB IV
PEMBAHASAN
Prinsip tatalaksana dari preeklampsia berat adalah penanganan aktif
yaitu terminasi kehamilan se-aterm mungkin, kecuali apabila ditemukan
penyulit dapat dilakukan terminasi tanpa memandang usia kehamilan.
Kemudian pada pasien dilakukan terminasi kehamilan dengan sectio caesaria
emergensi atas indikasi maternal. Indikasi maternal adalah untuk mencegah
timbulnya komplikasi eklampsia.
Pada tindakan-tindakan bedah sesar umumnya dipilih anestesi
regional sub arachnoid block/spinal karena mempunyai banyak keuntungan
seperti kesederhanaan teknik, onset yang cepat, resiko keracunan sistemik
yang kecil, blok anestesi yang baik, pencegahan perubahan fisiologi dan
penanggulangannya sudah diketahui dengan baik, analgesia dapat diandalkan,
sterilitas dijamin, pengaruh terhadap bayi sangat minimal, dapat mengurangi
kemungkinan terjadinya aspirasi, dan ibu dapat kontak langsung dengan
bayinya segera setelah melahirkan. Tetapi anestesi spinal juga bukan tanpa
risiko, risiko yang dapat terjadi seperti mual dan muntah bisa terjadi pada
anestesi spinal. Bradikardi, disritmia atau bahkan cardiac arrest merupakan
komplikasi yang bisa terjadi.
Ada beberapa permasalahan dari segi medik, antara lain:
1. Emergensi, karena jika tidak segera dilakukan tindakan akan dapat
menimbulkan komplikasi yang membahayakan baik ibu dan
janinnya
2. Menyangkut 2 nyawa, yaitu nyawa ibu dan anak.
3. Diaphragma terdorong keatas, sehingga rentan timbul sesak nafas.
4. Supine hipotensi, oleh karena janin menekan vena cava inferior ibu.
Hal ini juga mempengaruhi sirkulasi fetomaternal.
Permasalahan lain yang perlu diperhatikan juga adalah adanya
permasalahan dari segi bedah, yaitu antara lain:
1. DIT (Delivery Intake Time) : Kecepatan ahli kandungan untuk
mengeluarkan bayi dari kandungan, kurang dari 10 menit setelah
induksi.
44
46
47
BAB V
KESIMPULAN
Seorang wanita 31 tahun, G2P1A0 dengan PEB, KPD 8 jam pada
sekundigravida hamil aterm belum dalam persalinan riwayat SC 5 tahun yang
lalu pro SCTPem dengan status fisik ASA II E plan RASAB. Dilakukan
tindakan sectio caesaria pada tanggal 19 Oktober 2015 di kamar operasi IGD
atas indikasi preeklampsia berat dan ketuban pecah dini. Teknik anestesi
dengan spinal anestesi (subarachnoid blok) merupakan teknik anestesi
sederhana dan cukup efektif. Anestesi dengan
menggunakan Bupivacain
spinal 12,5 mg, dan untuk maintenance dengan oksigen 2 liter/menit. Untuk
mengatasi nyeri digunakan Fentanyl sebanyak 25 mcg. Perawatan post
operatif dilakukan dibangsal dan dilakukan pengawasan pada tanda-tanda
vital serta tanda-tanda perdarahan. Prosedur anestesi spinal pada sectio
caesaria dalam kasus ini tidak mengalami hambatan yang berarti baik dari
segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan
pasien sadar penuh, hemodinamik stabil, dan tidak terjadi hal yang
memerlukan penanganan serius.
48
DAFTAR PUSTAKA
Ananth K, Bdolah Y, Vikas P, Sukhatme (2004). Angiogenic Imbalance in
the Patophysiology of Preeclampsia : Newer Insight. Semin Nephrol.
24: 548-556. Elsevier Inc.
Angsar, MD (2005). Kuliah Dasar Hipertensi dalam Kehamilan (EPHGestosis).
Surabaya:
Lab/UPF
Obstetri
dan
Ginekologi
FK
(2009).
Pre
eklampsia
dan
Eklampsia
dalam
Ilmu
49
1989.
Pendidikan
anestesiologi
mahasiswa.
Dalam:
51