Anda di halaman 1dari 51

Laporan Kasus

Seorang wanita 31 tahun G2P1A0 dengan PEB KPD 8 jam pada


sekundigravida hamil aterm belum dalam persalinan riwayat SC 5 tahun
yang lalu pro SCTPem

dengan status fisik

ASA II E plan RASAB

Oleh:
Sani Widya Firnanda
G99142062
Pembimbing
dr. RTH. Supraptomo, Sp.An
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU ANESTESI DAN TERAPI
INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2015

BAB I
PENDAHULUAN
Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan edema
akibat kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam triwulan ketiga
kehamilan, atau segera setelah persalinan (Cunningham, 2013). Preeklampsia
merupakan suatu diagnosis klinis. Adapun komponen diagnosis preeklampsia
terdiri dari hipertensi (tekanan darah 140/90 mmHg pada wanita yang

sebelumnya mempunyai tekanan darah normal), proteinuria (>300 mg/24 jam


atau +2 pada pemeriksaan urinalisa tanpa adanya infeksi saluran kemih).
Terdapat banyak komplikasi yang dapat ditimbulkan dari preeklampsia,
meliputi

eklampsia,

hemolytic-elevated

liver

enzim

and

low

platelet

(HELLPsyndrome), Disseminated Intra Coagulant (DIC), hipertensi emergensi,


hipertensi ensefalopati dan kebutaan daerah kortikal serebri. Pada preeklampsia
hingga

saat

ini

belum

ditemukan

pengobatan

yang

efektif sebagai

pencegahan (Creasy, 2014).


Preeklampsia/eklampsia merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas ibu dan bayi di dunia khususnya negara-negara sedang berkembang.
Pada negara sedang berkembang frekuensi dilaporkan berkisar antara 0,3 %
sampai 0,7 %, sedang di negara-negara maju angka eklampsia lebih kecil, yaitu
0,05 % sampai 0,1 %. Di Indonesia preeklampsia berat dan eklampsia merupakan
penyebab kematian ibu berkisar1,5 % sampai 25 %, sedangkan kematian bayi
antara 45 % sampai 50 %. Di RSUD Dr. Moewardi Surakarta kematian ibu
hamil yang disebabkan oleh preeklampsia yaitu 67,6% dari 37 kasus
preeklampsia dari 1956 persalinan pada tahun 2008 (Sulistryowati, 2010).
Mortalitas maternal pada preeklampsia disebabkan oleh karena akibat
komplikasi dari preeklampsia dan eklampsianya, seperti: Hellp syndrome, solusio
plasenta,

hipofibrigonemia,

hemolisis,

perdarahan

otak,

gagal

ginjal,

dekompensasi kordis dengan oedema pulmo dan nekrosis hati. Mortalitas


perinatal pada preeklampsia dan eklampsia disebabkan asfiksia intra uterin,
prematuritas, dismaturitas, dan kematian janin intrauterin. Asfiksia terjadi karena
adanya gangguan perfusi uteroplasenta akibat vasospasme arteriole spiralis
(Prawirohardjo, 2014).
KPD adalah ketuban pecah sebelum persalinan mulai. Apabila terjadi
sebelum kehamilan aterm maka lebih banyak terjadi masalah daripada bla terjadi
pada saat kehamilan aterm. Masalahmasalah yang dihadapi antara lain persalinan
preterm, infeksi, koroamnionitis, sepsis pada janin. Risiko terjadinya infeksi
meningkat 5 kali pada KPD tapi belum masuk persalinan.

Apabila pada pemeriksaan antenatal ditemukan PEB yang disertai KPD


dengan usia kehamilan lebih dari 37 minggu maka penanganan dilakukan
terminasi kehamilan dengan segera, mengingat besarnya risiko maternal serta
jeleknya luaran perinatal apabila kehamilan diteruskan salah satunya potensial
infeksi pada kasus ketuban pecah dini.
Teknik anestesi yang lazim digunakan dalam sectio caesaria adalah
anestesi regional, tapi tidak selalu dapat dilakukan berhubung dengan sikap
mental pasien. Beberapa teknik anestesi regional yang biasa digunakan pada
pasien obstetri yaitu blok paraservikal, blok epidural, blok subarakhnoid, dan blok
kaudal.
Secara historis, terdapat sebuah keyakinan bahwa anestesi spinal pada
pasien PEB dapat menyebabkan hipotensi yang berat dan penurunan perfusi
uteroplasental mencegah perluasan penggunaan anestesi spinal pada pasien ini.
Pada penggunaan teknik anestesi spinal didapatkan derajat hipotensi yang lebih
besar daripada penggunaan teknik anestesi epidural. Namun hipotensi yang terjadi
ini mudah diatasi dan durasinya biasanya sangat pendek (Henke et al, 2013).
Terkait hal tersebut tetap selalu ada kemungkinan timbulnya efek samping yang
berbahaya bagi ibu dan janin. Beberapa kemungkinan terjadinya komplikasi pada
ibu selama anestesia harus diperhitungkan dengan teliti. Keadaan ini dapat
membahayakan keadaan janin, bahkan dapat menimbulkan kematian ibu.
Komplikasi yang mungkin terjadi antara lain aspirasi paru, gangguan respirasi,
dan gangguan kardiovaskular. Karena anestesi memiliki peranan yang penting
Anestesi spinal merupakan pilihan pada PEB dengan operasi sesar apalagi
pada keadaan dimana tidak terdapatnya kateter epidural dan tidak ada
kontraindikasi. Menilik apa yang sudah dijelaskan di atas, maka penulis akan
membahas tentang kasus mengenai seorang Wanita 31 tahun, G2P1A0 dengan
PEB, KPD 8 jam pada sekundigravida hamil aterm belum dalam persalinan
riwayat SC 5 tahun yang lalu pro SCTPem dengan status fisik ASA II E plan
RASAB.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PREEKLAMPSIA
1. Definisi
Preeklampsia adalah penyakit hipertensi dan proteinuria yang
didapatkan setelah umur kehamilan 20 minggu. (POGI, 2005). Dulu,
preeklampsia didefinisikan sebagai penyakit dengan tanda-tanda hipertensi,
edema dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini terjadi
pada triwulan ke 3 kehamilan tetapi dapat juga terjadi sebelumnya,
misalnya pada mola hidatidosa (Sarwono, 2002).
Preeklampsia didefinisikan dengan adanya hipertensi dimana
tekanan darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah diastolik 90 mmHg
yang diukur dua kali dengan selang waktu 4 -6 jam, menetap sekurangkurangnya selama 7 hari, disertai proteinuria ( 30 mg/liter urin atau
300 mg/24 jam) yang didapatkan setelah umur kehamilan 20 minggu dan
semua kelainan ini akan menghilang sebelum 6 minggu post partum
(Ananth, 2004).
Biasanya sindrom ini terutama muncul pada akhir trimester kedua
sampai ketiga kehamilan. Gejala akan berkurang atau menghilang setelah
melahirkan, sehingga terapi definitifnya adalah mengakhiri kehamilan
(Cunningham et al, 2013).Adapun beberapa komplikasi yang diakibatkan
oleh preeklampsia yaitu: IUGR, oligohidramnion, eklampsia hingga SIRS
(Norma, 2006).
Pada kasus preeklampsia berat dapat terjadi impending eklampsia.
Impending eklampsia ditandai dengan adanya hiperrefleksi. Gejala subyektif
dari pasien yaitu jika pasien merasa kepalanya pusing, muntah, atau adanya
nyeri epigastrik.
Pada kasus yang diabaikan atau yang lebih jarang terjadi, pada kasus
hipertensi karena kehamilan yang fulminan dapat terjadi eklampsia. Bentuk

serangan kejang pada eklampsia adalah kejang grand mal dan dapat timbul
pertama kali sebelum, selama, atau setelah persalinan. Kejang yang timbul
lebih dari 48 jam setelah persalinan lebih besar kemungkinannya disebabkan
oleh lesi lain yang bukan terdapat pada susunan saraf pusat.
2. Faktor Risiko
a. Primigravida atau primipaternitas
b. Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan multiple,
diabetes mellitus, hidrops fetalis, bayi besar.
c. Umur kehamilan yang ekstrim (< 18 tahun atau > 35 tahun)
d. Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya
e. Riwayat keluarga pernah preeklamsia atau eklampsia
f. Penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum kehamilan
g. Obesitas
h. Ras kulit hitam, karena tingginya prevalensi hipertensi kronis
sebelumnya
i. Jarak kehamilan kurang dari 2 tahun atau lebih dari 10 tahun
3. Patofisiologi
Preeklampsia terutama merupakan disfungsi plasenta yang menjurus
kepada sindrom disfungsi endotel yang berhubungan dengan vasospasme
pembuluh darah. Insufisiensi plasenta berhubungan dengan beberapa kelainan
seperti diffuse placental thrombosis, inflammatory placental decidual
vasculopathy dan atau invasi trophoblas ke endometrium yang abnormal.
Peningkatan respon imun maternal terhadap janin atau plasenta juga
mendukung terjadinya preeklampsia (Lim, 2009).
Tiga hipotesis menempati penyelidikan utama, hipotesis pertama
menghubungkan preeklampsia dengan faktor imunologi, hipotesis kedua
menghubungkan

sindrom

prostaglandin

yang

menimbulkan

ketidakseimbangan diantara vasodilator PG2 dan prostasiklin serta rangkaian

vasokonstriktor PGF dan tromboksan, hipotesis ketiga menghubungkan


preeklampsia dengan iskemi utero plasenta (Neville, 2001).
Teori-teori yang sekarang banyak dianut adalah :
1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, disfungsi endotel
3. Teori intoleransi imunologi antara ibu dan janin
4. Teori adaptasi kardiovaskuler genetik
5. Teori defisiensi gizi
6. Teori inflamasi
4. Perubahan Sistem dan Organ pada Preeklampsia
a. Volume plasma
Pada

hamil

(hipervolemia)

normal

untuk

plasma

memenuhi

meningkat
kebutuhan

dengan

bermakna

pertumbuhan

janin.

Peningkatan tertinggi volume plasma pada kehamilan normal terjadi pada


kehamilan

32-34

minggu.

Sedangkan

pada

kehamilan

dengan

preeklampsia terjadi penurunanan 30%-40% dibandingkan kehamilan


normal,

disebut

hipovolemia.

Hipovolemia

diimbangi

dengan

vasokonstriksi yang mengakibatkan hipertensi. Preeklampsia sangat peka


terhadap pemberian cairan intravena yang terlalu cepat dan banyak.
Preeklampsia juga sangat peka terhadap kehilangan darah waktu
persalinan. Oleh karena diperlukan observasi yang ketat (Sarwono, 2008).
b. Hipertensi
Hipertensi merupakan tanda terpenting untuk menegakkan diagnosis
hipertensi dalam kehamilan. Tekanan diastolik menggambarkan resistensi
perifer, sedangkan tekanan darah sistolik menggambarkan besarnya curah
jantung. Tekanan darah menjadi normal beberapa hari pascapersalinan,
kecuali beberapa kasus preeklampsia berat, kembalinya 2-4 minggu
pascapersalinan. Timbulnya hipertensi adalah vasosapasme menyeluruh
(Sarwono, 2008).

c. Fungsi ginjal
Perubahan fungsi ginjal disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut ;
1)

Menurunnya aliran darah ke ginjal akibat


hipovolemia sehingga terjadi oligouria, bahkan anuria.

2)

Kerusakan

glomerulus

mengakibatkan

meningkatnya permeabilitas membran basalis sehingga terjadi


kebocoran dan mengakibatkan proteinuria.
3)

Terjadi

glomerular

capillary

endotheliosis

akibat sel endotel glomerular membengkak disertai deposit fibril.


4)

Gagal ginjal akut terjadi karena nekrosis tubular


ginjal. Bila sebagian besar kedua korteks ginjal mengalami
nekrosis, maka dapat terjadi keadaan ireversibel.

5)

Dapat terjadi kerusakan intrinsik jaringan ginjal


karena vasospasme pembuluh darah. Dapat diatasi dengan dopamin
agar terjadi vasodilatasi pembuluh darah ginjal (Sarwono, 2008).

d. Hasil Laboratorium
Proteinuria, dapat dilakukan dengan (a) urin dipstik: 100mg/1 atau
+1, sekurang-kurangnya diperiksa 2 kali urin acak selang 6 jam, (b)
pengumpulan proteinuria dalam 24 jam. Dianggap patologis bila
proteinuria 300mg/24 jam.
Asam urat, pada umumnya meningkat karena hipovolemia
sehingga aliran darah ke ginjal menurun, mengakibatkan filtrasi
glomerulus juga menurun sehingga menurunnya sekresi asam urat.
Kreatinin, terjadi peningkatan disebabkan karena penurunan filtrasi
glomerulus karena hipovolemia.
Oligouria dan anuria, karena hipovolemia sehingga aliran darah ke
ginjal menurun. Berat ringannya oligouria menggambarkan berat
ringannya hipovolemia, hal ini berarti menggambarkan berat ringannya
preeklampsia.
Kadar total elektrolit pada preeklampsia sama seperti hamil
normal. Karena kadar natrium dan kalium tidak berubah pada

preeklampsia maka tidak terjadi retensi natrium yang berlebihan, sehingga


restriksi konsumsi garam tidak diperlukan (Sarwono, 2008).
e.

Tekanan osmotik koloid plasma atau tekanan onkotik


Pada preeklampsia tekanan onkotik makin menurun karena
kebocoran protein dan peningkatan permeabilitas vaskuler (Sarwono,
2008).

f.
g.

Koagulasi dan fibrinolysis


Viskositas darah
Pada preeklampsia, viskositas darah meningkat, mengakibatkan
meningkatnya resistensi perifer dan menurunnya aliran darah ke organ
(Sarwono, 2008).

h.

Hematokrit
Pada preeklampsia hematokrit meningkat karena hipovolemia yang
menggambarkan beratnya preeklampsia.

i.

Edema
Edema dapat terjadi pada kehamilan normal. Edema terjadi karena
hipoalbuminemia atau kerusakan sel endotel kapiler. Edema yang
patologik adalah edema yang nondependen pada muka dan tangan atau
edema generalisata dan biasanya disertai dengan kenaikan berat badan
yang cepat (Sarwono, 2008).

j.

Hematologi
Perubahan hematologi berupa peningkatan hematokrit akibat
hipovolemia, peningkatan viskositas darah, trombositopenia, dan gejala
hemolisis mikroangiopatik (Sarwono, 2008).

k.

Hepar
Dasar perubahan pada hepar ialah vasospasme, iskemia, dan
perdarahan. Bila terjadi perdarahan pada sel periportal lobus perifer, akan
terjadi nekrosis sel hepar dan terjadi peningkatan enzim hepar. Perdarahan
dapat meluas hingga di bawah kapsula hepar dan disebut subkapsular
hematoma. Subkapsular hematoma menimbulkan rasa nyeri di daerah

epigastrium dan dapat menimbulkan ruptur hepar sehingga perlu


pembedahan (Sarwono, 2008).
l.

Neurologi
Perubahan neurologik dapat berupa :
i.

Nyeri kepala disebabkan hiperperfusi otak sehingga menimbulkan


vasogenik edema.

ii.

Akibat spasme arteri retina dan edema retina dapat terjadi


gangguan visus berupa pandangan kabur, skotoma, ablasio retina.

iii.

Hiperrefleksia sering dijumpai pada preeklampsia berat tetapi


bukan faktor prediksi eklampsia.

iv.

Kejang eklampsia. Hal ini belum diketahui dengan jelas. Faktorfaktor yang menimbulkan kejang eklampsia ialah karena edema
serebri, vasospasme, dan iskemia serebri.

v.

Dapat terjadi perdarahan intrakranial walaupun jarang terjadi


(Sarwono, 2008).

m.

Kardiovaskuler dan Paru


Perubahan kardiovaskuler disebabkan oleh peningkatan cardiac
afterload akibat hipertensi dan penurunan cardiac preload

akibat

hipovolemia (Sarwono, 2008).


Penderita preeklamsia berat mempunyai risiko berat terjadinya
edema pulmo dapat disebabkan karena payah jantung kiri, kerusakan
endotel kapiler paru, dan menurunnya diuresis (Sarwono, 2008).
n.

Janin
Preeklampsia memberi pengaruh buruk pada keadaan janin karena
menurunnya perfusi uteroplasenter, hipovolemia, vasospasme dan
kerusakan sel endotel pembuluh darah plasenta.
Dampak preeklamsia pada janin :
a

IUGR (Intrauterine Growth Restriction) dan oligohidramnion

Kenaikan morbiditas dan mortalitas janin, secara tidak langsung


akibat IUGR, prematuritas, oligohidramnion dan solutio plasenta
(Sarwono, 2008)

4. Klasifikasi
Preeklampsia dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
a.

Genuin Preeklampsia :
Gejala preeklampsia yang timbul setelah kehamilan 20 minggu
disertai dengan pitting edema, dan kenaikan tekanan darah 140/90
mmHg sampai 160/90 mmHg. Juga terdapat proteinuria 300 mg urine/24
jam (esbach).

b.

Super Imposed Preeklampsia


Gejala preeklampsia yang terjadi kurang dari 20 minggu disertai
proteinuria 300 mg/24 jam dan bisa disertai edema. Biasanya didasari
hipertensi kronis sebelumnya (Loekmono Hadi, 2003).

Derajat preeklampsia :
a.

Preeklampsia ringan
Kriteria diagnostik :
1) Tekanan darah 140/90 mmHg yang diukur pada posisi terlentang;
atau kenaikan sistolik 30 mmHg; atau kenaikan tekanan diastolik
15 mmHg.
2) Cara pengukuran sekurang-kurangnya pada dua kali pemeriksaan
dengan jarak periksa 1 jam, sebaiknya 6 jam.
3) Proteinuria kuantitatif 0,3 gram/liter; kualitatif 1+ atau 2+ pada urin
kateter atau mid stream.
4) Edema: lokal pada tungkai tidak dimasukkan dalam kriteria diagnostik
kecuali anasarka.

b.

Preeklampsia berat
Preeklampsia digolongkan berat bila terdapat satu atau lebih gejala:
1)

Tekanan sistole 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastole


110 mmHg atau lebih

2)

Proteinuria 5 gr atau lebih per jumlah urin selama 24 jam

10

3)

Oliguria, air kencing kurang dari atau sama dengan 400 cc dalam
24 jam

4)

Kenaikan kreatinin serum

5)

Nyeri di daerah epigastrium dan nyeri kuadran atas kanan


abdomen

6)

Terjadi edema paru-paru dan sianosis

7)

Terjadi kelainan serebral dan gangguan penglihatan

8)

Terjadi gangguan fungsi hepar

9)

Hemolisis mikroangiopatik

10)

Trombositopenia (< 100.000 sel/mm3)

11)

Sindroma HELLP (POGI, 2005; Sarwono, 2002; Rustam


Mochtar, 1998).

5. Diagnosis
Diagnosis preeklampsia didasarkan atas adanya hipertensi dan
proteinuria. Preeklampsia dikatakan berat bila memenuhi 1 atau lebih dari 11
kriteria di atas (POGI, 2005).
Diagnosis eklampsia umumnya tidak mengalami kesukaran. Dengan
adanya tanda dan gejala preeklampsia yang disusul oleh serangan kejang,
maka diagnosis eklampsia sudah tidak diragukan. (Budiono, 1999).
Menurut Organization Gestosis, impending eklampsia adalah gejalagejala edema, protenuria, hipertensi disertai gejala subyektif dan obyektif.
Gejala subyektif antara lain: nyeri kepala, gangguan visual dan nyeri
epigastrium. Sedangkan gejala obyektif antara lain: hiperrefleksia, eksitasi
motorik dan sianosis (M. Dikman Angsar, 1995).
Pemeriksaan laboratorium untuk mengevaluasi hipertensi kronis,
termasuk uji kerusakan target organ sekunder karena hipertensi dan faktor
resiko lain, meliputi:
1. Urinalisis; CBC; natrium, kalium dan kreatinin serum; dan kadar
glukosa darah.

11

2. Creatinine clearance, mikroalbuminuria, protein urine 24 jam,


kalsium serum, asam urat, glycosilated hemoglobin, TSH, dan
ECG.
3. Lipid serum (kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida) meningkat
selama

kehamilan,

sehingga

pemeriksaan

ditunda

hingga

postpartum.
4. Peningkatan kadar kortikosteroid endogen selama kehamilan
normal

menyulitkan

evaluasi

hipertensi

sekunder

karena

peningkatan kortikosteroid adrenal.


Tes rutin untuk menilai pasien preeklampsia meliputi:
1. CBC
Trombosit < 150 ribu/ul, 75% sekunder karena trombositopeni
dilusi selama kehamilan, 24% karena preeklampsia, dan sekitar 1%
kasus karena kelainan trombosit yang tidak berhubungan dengan
kehamilan. Trombosit < 100 ribu/ul menunjukkan adanya
preeklampsia atau ITP.
Hemoglobin > 13 g/dl menunjukkan adanya hemokonsentrasi.
Kadar hemoglobin yang rendah berhubungan dengan hemolisis
mikroangiopati atau defisiensi besi.
2. Elektrolit
3. BUN
4. Kreatinin serum, pada kehamilan < 0,8 mg/dl, bila lebih
menunjukkan

adanya

kontraksi

volume

intravaskuler

atau

keterlibatan ginjal pada preeklampsia. Creatinin clearance


meningkat sekitar 50% selama kehamilan.
5. Kadar asam urat serum, > 5 mg/dl merupakan marker yang sensitif
tetapi tidak spesifik untuk disfungsi tubuler pada preeklampsia.
6. Enzim hepar dan bilirubin yang meningkat menggambarkan
keterlibatan hepar pada preeklampsia, dan dapat timbul tanpa nyeri
epigastrium.

12

7. Protein urine, bila kualitatif +2 atau lebih, harus dihitung protein


urine 24 jam atau rasio protein:kreatinin. Abnormal bila kadarnya
lebih dari 300 mg/dl.
6. Pencegahan
Yang dimaksud pencegahan adalah upaya untuk mencegah terjadinya
preeklampsia pada wanita hamil yang mempunyai risiko terjadinya
preeklampsia (POGI, 2005).
Pencegahan dapat dilakukan secara medikal dan non medikal.
1

Pencegahan dengan non medikal

a) Melakukan tirah baring, meskipun tidak terbukti mencegah


preeklampsia dan persalinan preterm.
b) Restriksi garam tidak terbukti dapat menegah preeklampsia.
c) Suplemen makanan :
1) Minyak ikan kaya asam lemak tidak jenuh, misalnya omega-3
PUFA
2) Antioksidan : vitamin C, vitamin E, karoten
3) Elemen logam berat : zinc, magnesium, kalsium.
2

Pencegahan

dengan medikal (Sarwono,

2007).
a) Pemberian diuretik tidak terbukti dapat mencegah terjadinya
preeklampsia bahkan memperberat hipovolemia.
b) Pemberian kalsium: 1500-2000 mg/hari dapat dipakai untuk
suplemen pada pasien dengan resiko preeklampsia.
c) Zinc 200 mg/hari
d) Magnesium 365 mg/hari
e) Obat antitrombotik (aspirin 100 mg/hari) dapat mencegah
preeklampsia.
f)Obat antioksidan misalnya vitamin C, vitamin E dan karoten
(Sarwono, 2008)

13

7. Differential Diagnosis
-

Hipertensi menahun

Penyakit ginjal

8. Penanganan
Prinsip penatalaksanaan preeklampsia berat adalah mencegah timbulnya
kejang, mengendalikan hipertensi guna mencegah perdarahan intrakranial serta
kerusakan dari organ-organ vital dan melahirkan bayi dengan selamat (Sarwono,
2007).
Pada preeklampsia, penyembuhan dilakukan dengan ekspulsi yaitu
pengeluaran trofoblast. Pada preeklampsia berat, penundaan merupakan tindakan
yang salah. Karena preeklampsia sendiri bisa membunuh janin (Cunningham, et
al., 1995).
PEB dirawat segera bersama dengan bagian Interna dan Neurologi, dan
kemudian ditentukan jenis perawatan atau tindakannya. Perawatannya dapat
meliputi:
1. Perawatan aktif, yang berarti kehamilan segera diakhiri setelah
mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi ibu.
a.

Indikasi :
Bila didapatkan satu atau lebih dari keadaan berikut ini
1). Ibu :
a). Kegagalan terapi pada perawatan konservatif :
-

Setelah

jam

sejak

dimulai

pengobatan

medikamentosa, terjadi kenaikan darah yang persisten


-

Setelah

24

jam

sejak

dimulai

pengobatan

medikamentosa, terjadi kenaikan desakan darah yang


persisten
b). Adanya tanda-tanda terjadinya impending eklampsia
c). Gangguan fungsi hepar
d). Gangguan fungsi ginjal

14

e). Dicurigai terjadi solutio plasenta


f). Timbulnya onset partus, ketuban pecah dini, perdarahan
2). Janin :
a). Umur kehamilan lebih dari 37 minggu
b). Adanya tanda-tanda gawat janin (bisa diketahui dari NST
nonreaktif dan profil biofisik abnormal)
c). Adanya tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat berat
(IUGR berat) berdasarkan pemeriksaan USG
d). Timbulnya oligohidramnion
3). Laboratorium :
Trombositopenia progresif yang menjurus ke HELLP
syndrome (POGI, 2005).
b.

Pengobatan Medisinal
1). Segera masuk rumah sakit
2). Tirah baring ke kiri secara intermiten
3). Infus D5% yang tiap liternya diselingi dengan larutan RL 500
cc (60-125 cc/jam)
4). Pemberian obat anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan dan
terapi. Pemberian dibagi loading dose (dosis awal) dan dosis
lanjutan.
5). Anti hipertensi diberikan bila tensi 180/110 mmHg.
6). Diuretikum diberikan atas indikasi edema paru, payah
jantung kongestif, edema anasarka.
7). Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam
(POGI, 2005).
2. Pengelolaan Konservatif, yang berarti kehamilan tetap dipertahankan
sehingga memenuhi syarat janin dapat dilahirkan, meningkatkan
kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi keselamatan ibu.
a. Indikasi
Kehamilan kurang bulan (<37 minggu) tanpa disertai tanda-tanda
impending eklampsi dengan keadaan janin baik.

15

b. Pengobatan Medisinal
Sama dengan perawatan medisinal pada pengelolaan secara aktif.
Hanya dosis awal MgSO4 tidak diberikan i.v. cukup i.m. saja
(MgSO4 40% 8 gr i.m.) (Hidayat W., dkk., 1998).
Sebagai pengobatan untuk mencegah timbulnya kejang-kejang
dapat diberikan:
i. Larutan sulfas magnesikus 40% (4 gram) disuntikan i.m.
pada bokong kiri dan kanan sebagai dosis permulaan, dan
dapat diulang 4 gram tiap 6 jam menurut keadaan. Tambahan
sulfas magnesikus hanya diberikan bila diuresis baik, reflek
patella positif, dan kecepatan pernapasan lebih dari 16 kali
per menit.
ii. Klorpromazin 50 mg i.m.
iii. Diazepam 20 mg i.m.
9. Komplikasi
a. Kejang.
b. Perdarahan otak.
c. Edema pulmo, karena kebocoran kapiler, cairan intravena yang berlebihan,
atau disfungsi miokard.
d. Gagal ginjal akut.
e. DIC.
f. Sindroma HELLP.
g. Infark/ruptur hepar dan subcapsular hematoma, dapat menyebabkan
perdarahan dalam masif dan syok.
10. Prognosis
Prognosis PEB dikatakan jelek karena kematian ibu antara 9,820,5%,
sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yaitu 42,248,9%. Kematian ini
disebabkan karena kurang sempurnanya pengawasan antenatal, di samping itu
penderita eklampsia biasanya sering terlambat mendapat pertolongan.

16

Kematian ibu biasanya karena perdarahan otak, decompensatio cordis, oedem


paru, payah ginjal dan aspirasi cairan lambung. Sebab kematian bayi karena
prematuritas dan hipoksia intra uterin.
B. KETUBAN PECAH DINI
1. Definisi
Ketuban Pecah Dini (KPD) dapat diartikan sebagai pecahnya ketuban
pada saat fase laten sebelum adanya his. Pada persalinan yang normal,
ketuban pecah pada fase aktif. Pada KPD kantung ketuban pecah sebelum
fase aktif yaitu pada saat kala I akhir atau kala II awal. KPD terjadi pada
10 % kehamilan, dimana sebagian besar terjadi pada usia kehamilan lebih
dari 37 minggu dan juga terjadi spontan tanpa sebeb yang jelas
(Prawirohardjo dan Wiknojosastro, 2014).
2. Etiologi Dan Patogenesis
KPD diduga terjadi karena adanya pengurangan kekuatan selaput
ketuban, peningkatan tekanan intrauterine maupun keduanya. Sebagian
besar penelitian menyebutkan bahwa KPD terjadi karena berkurangnya
kekuatan selaput ketuban. Selaput ketuban dapat kehilangan elastisitasnya
karena bakteri maupun his. Pada beberapa penelitian diketahui bahwa
bakteri penyebab infeksi adalah bakteri yang merupakan flora normal
vagina maupun servix. Mekanisme infeksi ini belum diketahui pasti.
Namun diduga hal ini terjadi karena aktivitas uteri yang tidak diketahui
yang menyebabkan perubahan servix yang dapat memfasilitasi terjadinya
penyebaran infeksi. Faktor lainnya yang membantu penyebaran infeksi
adalah inkompetent servix, vaginal toucher (VT) yang berulang-ulang dan
koitus.
Banyak teori yang menyebabkan KPD, mulai dari defek kromosom,
kelainan kolagen sampai infeksi. Namun sebagian besar kasus disebabkan
oleh infeksi. Kolagen terdapat pada lapisan kompakta amnion, fibroblast,
jaringan retikuler korion dan trofoblas. Sintesis maupun degradasi jaringan
kolagen dikontrol oleh sistem aktifitas dan inhibisi interleukin-1 (IL-1)
danprostaglandin. Jika ada infeksi dan inflamasi, terjadi peningkatan
17

aktifitas IL-1 dan prostaglandin, menghasilkan kolagenase jaringan


sehingga terjadi depolimerisasi kolagen pada selaput korion/amnion yang
menyebabkan selaput ketuban tipis, lemah dan mudah pecah spontan.
Faktor predisposisi KPD:
a. Kehamilan multipel
b. Riwayat persalinan preterm sebelumnya
c. Koitus, namun hal ini tidak merupakan predisposisi kecuali bila
hygiene buruk
d. Perdarahan pervaginam
e. Bakteriuria
f. pH vagina diatas 4,5
g. Servix yang tipis/kurang dari 39 mm
h. Flora vagina abnormal
i. Fibronectin > 50 ng/ml
j. Kadar CRH (Corticotropin Releasing Hormone) maternal tinggi
3. Diagnosis
Diagnosis KPD dapat ditegakkan dengan beberapa cara :
a. Air ketuban yang keluar dari vagina
Diagnosis KPD dapat ditegakkan dengan mudah ketika ada cairan
ketuban yang keluar dari vagina. Jika air ketuban tidak ada, tekanan
ringan pada uterus dan gerakan janin dapat mengakibatkan keluarnya
air ketuban.
b. Nitrazine test
pH vagina normal adalah 4,5 5,5 sedangkan air ketuban mempunyai
pH 7,0 7,5, sehingga kertas nitrasin akan cepat berubah warna
menjadi biru bila terkena air ketuban. Namun cairan antiseptik, urin,
darah dan infeksi vagina dapat meningkatkan pH vagina dan hal ini
menyebabkan hasil nitrazine test positif palsu.
c. Fern test
Test ini positif bila didapatkan gambaran pakis yang didapatkan pada
air ketuban pada pemeriksaan secara mikroskopis.

18

d. Evaporation test
e. Intraamniotic fluorescein
f. Amnioscopy
g. Diamine oxidase test
h. Fetal fibronectin
i. Alfa-fetoprotein test
4. Komplikasi
KPD dapat menyebabkan beberapa komplikasi baik pada ibu maupun pada
janin, diantaranya:
a. Infeksi
Diagnosis korioamnionitis dapat dilihat dari gejala klinisnya antara
lain demam (37,80C), dan sedikitnya dua gejala berikut yaitu takikardi
baik pada ibu maupun pada janin, uterus yang melembek, air ketuban
yang berbau busuk, maupun leukositosis.
b. Hyaline membrane disease
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa hyaline memnrane disease
sebagian besar disebabkan oleh ketuban pecah dini (KPD). Terdapat
hubungan antara umur kehamilan denganhyaline membrane disease
dan chorioamnionitis yang terjadi pada pasien dengan KPD. Pada usia
kehamilan kurang dari 32 minggu, angka risiko hyaline mebran disease
lebih banyak dibandingkan risiko infeksi.
c. Hipoplasi pulmoner
Hal ini terjadi bila ketuban pecah sebelum usia kehamilan 26 minggu
dan fase laten terjadi lebih dari 5 minggu yang diketahui dari adanya
distress respirasi yang berat yang terjadi segera setelah lahir dan
membutuhkan bantuan ventilator.
d. Abruptio placenta
Hal ini tergantung dari progresifitas penurunan fungsi plasenta yang
mengakibatkan pelepasan plasenta. Gejala klinik yang terjadi adalah
perdarahan pervaginam.
e. Fetal distress

19

Hal ini dapat diketahui dari adanya deselerasi yang menggambarkan


kompresi tali pusat yang disebabkan oleh oligohidramnion. Sehingga
untuk

mengatasinya

maka

dilakukan

sectio

cesaria,

yang

mengakibatkan tingginya angka section cesaria pada pasien dengan


KPD.
f. Cacat pada janin
g. Kelainan kongenital
5. Terapi
Manajemen pada pasien dengan ketuban pecah dini tergantung dari
keadaan pasien.
a. Pasien yang sedang dalam persalinan
Tidak ada usaha yang dapat dilakukan untuk menghentikan proses
persalinan dan memperlama kehamilan jika sudah ada his yang teratur
dan pada pemeriksaan dalam didapatkan pendataran servix 100 % dan
dilatasi servix lebih dari 4 cm. Penggunaan tokolitik tidak efektif dan
akan mengakibatkan oedem pulmo.
b. Pasien dengan paru-paru janin yang matur
Maturitas paru janin dapat diketahui dari rasio lesitin-spingomielin,
phosphatidylglycerol dan rasio albumin-surfaktan. Maturitas paru janin
diperlukan untuk amniosintesis pada evaluasi awal pasien dengan
ketuban pecah dini.
c. Pasien dengan cacat janin
Terapi konservatif dengan risiko infeksi pada ibu tidak perlu dilakukan
bila janin mempunyai kalainan yang membahayakan. Namun pada
janin dengan kelainan yang tidak membahayakan harus diperlakukan
sebagai janin normal, namun input yang tepat merupakan terapi yang
sangat penting.
d. Pasien dengan fetal distress
Kompresi tali pusat dan prolaps tali pusat merupakan komplikasi
tersering ketuban pecah dini, terutama padapresentasi bokong yang
tidak maju (engaged), letak lintang dan oligohidramnion berat. Jika

20

DJJ menunjukkan pola deselerasi sedang atau berat maka pasien harus
cepat diterminasi. Jika janin dalam presentasi belakang kepala, maka
dapat dilakukan amnioinfusion, induksi dan dapat dilakukan persalinan
pervaginam. Namun bila janin tidak dalam presentasi kepala maka
terapi yang dapat dilakukan adalh section cesaria.
e. Pasien dengan infeksi
Pasien dengan chorioamnionitis harus dilakukan induksi bila tidak ada
kontraindikasi untuk dilakukan persalinan pervaginam dan bila belum
dalam

persalinan.

Bila

ada

kontraindikasi

untuk

persalinan

pervaginam, maka dilakukan section cesaria setelah pemberian


antibiotic yang dimaksudkan untuk menurunkan komplikasi pada ibu
dan janin. Beberapa penelitian menyebutkan section cesaria sebaiknya
dilakukan bila persalinan pervaginam tidak dapat terjadi setelah 12 jam
diagnosis

chorioamnionitis

ditegakkan

(Prawirohardjo

dan

Wiknojosastro, 2014).
Pendapat lain membagi terapi ketuban pecah dini menjadi :
a. Terapi konservatif
-

rawat di Rumah sakit

antibiotika jika ketuban pecah lebih dari 6 jam

pada umur kehamilan kurang dari 32 minggu, dirawat


selama air ketuban masih keluar atau sampai air ketuban
tidak keluar lagi

Bila umur kehamilan sudah 32-34 minggu masih keluar,


maka pada usia kehamilan 35 minggu dipertimbangkan
untuk terminasi kehamilan

Nilai tanda-tanda infeksi

Pada umur kahamilan 32-34 minggu berikan steroid selama


7 hari untuk memacu kematangan paru janin dan bila
memungkinkan perikasa kadar lesitin dan spingomyelin
tiap minggu

21

b. Terapi Aktif
-

kehamilan lebih dari 36 minggu, bila 6 jam belum terjadi


persalinan maka induksi dengan oksitosin, bila gagal
lakukan section cesaria

pada keadaan DKP, letak lintang terminasi kehamilan


dengan section cesaria

bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotika dosis tinggi


dan terminasi persalinan
a. Bila bishop score kurang dari 5, akhiri persalinan
dengan section cesaria
b. Bila bishop score lebih dari 5, induksi persalinan dan
partus pervaginam
c. Bila ada infeksi berat maka lakukan section cesaria
(Caughey et al., 2008)

C. SECTIO CAESARIA TRANS PERITONEAL PROFUNDA (SCTP)


1. Definisi
Sectio caesaria adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding perut dan dinding uterus. Terdapat beberapa cara sectio
caesaria yang dikenal saat ini, yaitu sectio caesaria transperitonealis profunda,
sectio caesaria klasik/ korporal, sectio caesaria ekstraperitoneal, dan sectio
caesaria dengan teknik histerektomi.
Teknik yang saat ini lebih sering digunakan adalah teknik sectio
caesaria transperitoneal profunda dengan insisi di segmen bawah uterus.
Keunggulan teknik sectio caesaria transperitonealis profunda antara lain :
Perdarahan akibat luka insisi tidak begitu banyak, bahaya peritonitis tidak
terlalu besar, parut pada uterus umumnya kuat, sehingga bahaya ruptura uteri
di masa mendatang tidak besar karena dalam masa nifas segmen bawah uterus
tidak mengalami kontraksi yang kuat seperti korpus uteri. Hal ini
menyebabkan luka dapat sembuh lebih sempurna.

22

a. Indikasi
o Indikasi ibu: Panggul sempit, tumor jalan lahir yang menimbulkan
obstruksi, stenosis serviks uteri atau vagina, perdarahan ante partum,
disproporsi janin dan panggul, bakat ruptura uteri, preeklampsia/
hipertensi.
o Indikasi janin : kelainan letak, gawat janin.
b. Komplikasi

Infeksi puerperal.

Perdarahan.

Komplikasikomplikasi lain seperti luka kandung kencing dan terjadinya


embolisme paru.

D. ANESTESI SPINAL
Analgesi regional adalah suatu tindakan anestesi yang menggunakan
obat analgetik lokal untuk menghambat hantaran saraf sensorik, sehingga
impuls nyeri dari suatu bagian tubuh diblokir untuk sementara. Fungsi
motorik dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya, sedangkan penderita
tetap sadar.
Anestesi spinal merupakan salah satu macam anestesi regional. Pungsi
lumbal pertama kali dilakukan oleh Qunke pada tahun 1891. Anestesi spinal
subarachnoid dicoba oleh Corning, dengan menganestesi bagian bawah tubuh
penderita dengan kokain secara injeksi columna spinal. Efek anestesi tercapai
setelah 20 menit, mungkin akibat difusi pada ruang epidural. Indikasi
penggunaan anestesi spinal salah satunya adalah tindakan pada bedah obstetri
dan ginekologi.
Analgesi spinal (anestesi lumbal, blok subarachnoid) dihasilkan bila
kita menyuntikkan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid di
daerah antara vertebra L2-L3 / L3-L4 (obat lebih mudah menyebar ke kranial)
atau L4-L5 (obat lebih cenderung berkumpul di kaudal).

23

Indikasi: anestesi spinal dapat digunakan pada hampir semua operasi


abdomen bagian bawah (termasuk sectio caesaria), perineum dan kaki.
Anestesi ini memberi relaksasi yang baik, tetapi lama anestesi didapat dengan
lidokain hanya sekitar 90 menit. Bila digunakan obat lain misalnya
bupivakain, sinkokain, atau tetrakain, maka lama operasi dapat diperpanjang
sampai 2-3 jam. Kontraindikasi: pasien dengan hipovolemia, anemia berat,
penyakit jantung, kelainan pembekuan darah, septikemia, tekanan intrakranial
yang meninggi.
Tahapan penatalaksanaan anestesi yang dilaksanakan perioperatif:
1. Persiapan pra anestesi

Persiapan pra anestesi sangat mempengaruhi keberhasilan


anestesi dan pembedahan. Kunjungan pra anestesi harus dipersiapkan
dengan baik, pada bedah elektif umumnya dilakukan 1-2 hari
sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih
singkat. Adapun tujuan kunjungan pra anestesi adalah:
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
b. Merencanakan dan memilih tehnik serta obatobat anestesi yang
sesuai dengan fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik penderita dengan klasifikasi ASA (American
Society of Anesthesiology).
ASA I

Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa


kelainan faal, biokimiawi, dan psikiatris. Angka
mortalitas 2%.

ASA II

Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai


dengan sedang sebagai akibat kelainan bedah atau
proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%.

ASA III

Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga


aktivitas harian/ live style terbatas. Angka mortalitas
38%.

ASA IV

Pasien

dengan

gangguan

sistemik

berat

yang

mengancam jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi.

24

Misal: insufisiensi fungsi organ, angina menetap.


Angka mortalitas 68%.
ASA V

Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan


operasi hampir tak ada harapan hidup dalam 24 jam,
baik dengan operasi maupun tanpa operasi. Angka
mortalitas 98%.

Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan


mencantumkan tanda huruf E (emergensi), misal ASA I E, ASA II E.
Selain itu dibutuhkan juga pemeriksaan praoperasi anestesi yang
meliputi:
Anamnesis
a. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, dll.
b. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
c. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi
penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru
kronis (asma bronkhial, pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung,
hipertensi, dan penyakit ginjal.
d. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan
obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi
dengan obat anestetik seperti kortikosteroid, obat antihipertensi,
antidiabetik, antibiotik, golongan aminoglikosid, dll.
e. Riwayat anestesi dan operasi yang terdiri dari tanggal, jenis
pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif paska
bedah.
f. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan
anestesi seperti merokok, alkohol, obat penenang, narkotik, dan
muntah.
g. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi
maligna.

25

h. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum,


pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi,
neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.
i. Makanan yang terakhir dimakan.
Pemeriksaan Fisik
a. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi
cairan yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah
pembedahan.
b. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta
suhu tubuh.
c. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya
trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi
ekstensi leher, deviasi ortopedi dan dermatologi. Ada pula
pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari visualisasi pembukaan
mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan mallampati
sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam
melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:
1) Mallampati I: palatum molle, uvula, dinding posterior oropharynk,
tonsilla palatina dan tonsilla pharyngeal
2) Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding posterior
3) Mallampati III: palatum molle, dasar uvula
4) Mallampati IV: palatum durum saja
d. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung.
e. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi.
f. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau
tanda regurgitasi.
g. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis,
adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat
pungsi vena atau daerah blok saraf regional.

26

2. Premedikasi Anestesi

Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun


tujuan dari premedikasi antara lain:
a. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
b. Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam.
c. Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam.
d. Memberikan analgesia, misal pethidin.
e. Mencegah muntah, misal : domperidol, metoklopropamid.
f. Memperlancar induksi, misal : pethidin.
g. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin.
h. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.
i. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin
Premedikasi diberikan berdasarkan atas keadaan psikis dan
fisiologis pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah.
Dengan demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan
digunakan harus selalu mempertimbangkan umur pasien, berat badan,
status fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi
sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat
tertentu yang berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya
operasi, macam operasi, dan rencana anestesi yang akan digunakan.
Sesuai dengan tujuannya, maka obat-obat yang dapat digunakan
sebagai obat premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini:
a. Narkotik analgetik, misal morfin, pethidin.
b. Transquillizer yaitu dari golongan benzodiazepin, misal diazepam
dan midazolam.
c. Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital.
d. Antikolinergik, misal atropin dan hiosin.
e. Antihistamin, misal prometazine.
f. Antasida, misal gelusil.
g. H2 reseptor antagonis, misal simetidine.

27

3. Prosedur Anestesi Spinal

a. Perlu mengingatkan penderita tentang hilangnya kekuatan motorik


dan berkaitan keyakinan kalau paralisisnya hanya sementara.
b. Pasang infus, minimal 500 ml cairan sudah masuk saat menginjeksi
obat anestesi lokal.
c. Posisi lateral dekubitus adalah posisi yang rutin untuk mengambil
lumbal pungsi, tetapi bila kesulitan, posisi duduk akan lebih mudah
untuk pungsi. Asisten harus membantu memfleksikan posisi penderita.
d. Inspeksi : garis yang menghubungkan 2 titik tertinggi krista iliaka
kanan kiri akan memotong garis tengah punggung setinggi L4-L5.
e. Palpasi : untuk mengenal ruangan antara 2 vertebra lumbalis.
f.

Pungsi lumbal hanya antara L2-L3, L3-L4, L4-L5, L5-S1.

g. Setelah tindakan antiseptik daerah punggung pasien dan memakai


sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan dengan penyuntikan
jarum lumbal no. 22 lebih halus no. 23, 25, 26 pada bidang median
dengan arah 10-30 derajat terhadap bidang horisontal ke arah kranial
pada ruang antar vertebra lumbalis yang sudah dipilih. Jarum lumbal
akan menembus berturut-turut beberapa ligamen, yang terakhir
ditembus adalah duramater subarachnoid.
h. Setelah stilet dicabut, cairan LCS akan menetes keluar. Selanjutnya
disuntikkan larutan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid.
Cabut jarum, tutup luka dengan kasa steril.
i. Monitor tekanan darah setiap 5 menit pada 20 menit pertama, jika
terjadi hipotensi diberikan oksigen nasal dan ephedrin IV 5 mg, infus
500-1000 ml NaCl atau hemacel cukup untuk memperbaiki tekanan
darah.
4. Obat Anestesi Spinal

a. Bupivakain
Bupivakain (Decain, Marcain) adalah derivat butil yang 3 kali
lebih kuat dan bersifat long acting (5-8 jam). Obat ini terutama

28

digunakan untuk anestesi daerah luas

(larutan 0,25%-0,5%)

dikombinasi dengan adrenalin 1:200.000. derajat relaksasinya


terhadap otot tergantung terhadap kadarnya. Presentase pengikatannya
sebesar 82-96%.Melalui N-dealkilasi zat ini dimetabolisasi menjadi
pipekoloksilidin (PPX). Ekskresinya melalui kemih 5% dalam
keadaan utuh , sebagian kecil sebagai PPX, dan sisanya metabolitmetabolit lain. Plasma t1/2 1,5-5,5jam. Untuk kehamilan, sama
dengan mepivakain dapat digunakan selama kehamilan dengan kadar
2,5-5 mg/ml. Dari semua anestetika lokal, bupivakain adalah yang
paling sedikit melintasi plasenta.
Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37 oC adalah
1,003-1,008. Anestesi lokal dengan berat jenis yang sama dengan CSS
disebut isobarik sedangkan yang lebih berat dari CSS adalah
hiperbarik. Anestesi lokal yang sering digunakan adalah jenis
hiperbarik yang diperoleh dengan mencampur anestesi lokal dengan
dekstrosa.
Anestesi Lokal
Bupivakain (Decain)
0,5% dalam air
0,5% dalam dekstrosa 8,25%

Berat Jenis

Sifat

Dosis

1,005
1,027

Isobarik
Hiperbarik

5-20 mg (1-4 ml)


5-15 g (1-3 ml)

b. Fentanyl
Merupakan opioid agonis sintetis yang sering digunakan untuk
premedikasi. Keuntungan penggunaan obat ini adalah memudahkan
induksi, mengurangi kebutuhan obat anestesi, menghasilkan analgesia
pra dan pasca bedah, memudahkan melakukan pemberian pernafasan
buatan.
Fentanyl dapat menyebabkan bradikardi sehingga memicu
penurunan tekanan darah dan cardiac output. Fentanyl juga memiliki
efek vasodilatasi perifer, sehingga dapat menyebabkan hipotensi
orthostatik. Hal ini akan lebih berat lagi bila digunakan pada pasien

29

dengan hipovolemia, juga dapat menyebabkan depresi pusat


pernapasan di medulla yang dapat ditunjukkan dengan respon
turunnya CO2. Mual dan muntah menunjukkan adanya stimulasi
narkotik pada pusat muntah di medulla. Posisi tidur dapat mengurangi
efek tersebut.
Sediaan

: dalam ampul 50 mcg/cc

Dosis

: 0,05 ug/kgBB

Pemberian : IV, IM, intradural


5. Keuntungan dan Kerugian Anestesi Spinal

a. Keuntungan:
1) Respirasi spontan.
2) Lebih murah.
3) Sedikit resiko muntah yang dapat menyebabkan aspirasi paru
pada pasien dengan perut penuh.
4) Tidak memerlukan intubasi.
5) Pengaruh terhadap biokimiawi tubuh minimal.
6) Fungsi usus cepat kembali.
7) Observasi dan perawatan post operatif lebih ringan.
b. Kerugian:
1) Efeknya terhadap sistem kardiovaskuler lebih dari general system.
2) Menyebabkan post operatif headache.
6. Komplikasi Tindakan Anestesi Spinal

a. Hipotensi berat
Akibat Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa
dicegah dengan pemberian cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500
ml sebelum tindakan.
b. Bradikardi
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat blok
sampai T-2.

30

c. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf phrenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas.
d. Hematom
e. Cedera saraf
f. Mual-muntah
g. Blok spinal tinggi atau spinal total
7. Penatalaksanaan

a. Pemberian oksigen
Apabila terjadi hipoventilasi baik oleh obatobat narkotik,
anestesi umum maupun lokal, maka akan mudah terjadi hipoksemia
yang berat. Faktor-faktor yang menyebabkan hal ini, yaitu :
1) Turunnya kemampuan paru-paru untuk menyimpan O2
2) Naiknya konsumsi oksigen
3) Airway closure
4) Turunnya cardiac output pada posisi supine
Pemberian oksigen terhadap pasien sangat bermanfaat karena:
1) Memperbaiki keadaan asam-basa bayi yang dilahirkan
2) Dapat memperbaiki pasien dan bayi pada saat episode hipotensi
3) Sebagai preoksigenasi kalau anestesi umum diperlukan

b. Terapi cairan
Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk mencukupi kebutuhan
cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi. Selain itu
jugaa untuk tindakan emergency pemberian obat.
Pemberian cairan operasi dibagi :
1) Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga
seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain.
Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml/ kgBB/
jam. Bila terjadi dehidrasi ringan 2% BB, sedang 5% BB, berat

31

7% BB. Setiap kenaikan suhu 1 0Celcius kebutuhan cairan


bertambah 10 15 %.
2) Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan
cairan pada dewasa untuk operasi :
Ringan = 4 ml / kgBB / jam
Sedang = 6 ml / kgBB / jam
Berat = 8 ml / kg BB / jam
Bila terjadi perdarahan selama operasi, dimana perdarahan kurang
dari 10% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid
sebanyak 3 kali volume darah yang hilang. Apabila perdarahan
lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma /
koloid/ dekstran dengan dosis 1 2 kali darah yang hilang.
3) Setelah operasi
Pemberian Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan
defisit cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari
pasien.
8. Pemulihan

Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan paska operasi


dan anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery
room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang
pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke
bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan
demikian pasien paska operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang
perawatan perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi
dan pembedahan. Untuk regional anestesi digunakan skor Bromage.
Bromage Scoring System

32

Kriteria
Skor
Gerakan penuh dari tungkai
0
Tak mampu ekstensi tungkai
1
Tak mampu fleksi lutut
2
Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3
Bromage skor 2 boleh pindah ke ruang perawatan
E. TEKNIK ANESTESI SPINAL PADA SECTIO CAESARIA
Anestesi spinal (intratekal, intradural, subdural, subarknoid) ialah
pemberian obat anestetik lokal kedalam ruang subaraknoid. Anestesia spinal
diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke dalam ruang
subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5 . Teknik ini
cukup sederhana, cukup efektif dan mudah dikerjakan. Walaupun teknik ini
sederhana, dengan adanya pengetahuan anatomi, efek fisiologi darianestesi
spinal dan faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi anestesi lokal di
ruangintratekal serta komplikasi anestesi spinal akan mengoptimalkan
keberhasilan terjadinya blok anestesi spinal.
1. Teknik anestesi spinal pada sectio caesaria
Pada tindakan premedikasi sekitar 15-30 menit sebelum anestesi lakukan
observasi tanda vital. Setelah tindakan antisepsis kulit daerah punggung
pasien dan memakai sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan dengan
menyuntikkan jarum lumbal (biasanya no 25 atau 27) pada bidang median
setinggi vertebra L3-4 atau L4-5. Jarum lumbal akan menembus berturutturut beberapa ligamen, sampai akhirnya menembus duramatersubarachnoid. Setelah stilet dicabut, cairan serebro spinal akan menetes
keluar. Selanjutnya disuntikkan larutan obat analgetik lokal kedalam
ruang subarachnoid tersebut. Keberhasilan anestesi diuji dengan tes
sensorik Pin prick test, menggunakan jarum halus atau kapas. Daerah
pungsi ditutup dengan kasa dan plester, kemudian posisi pasien diatur
pada posisi operasi.

33

2. Pembagian tingkat anestesi spinal:


a. Sadle back anestesi, yang kena pengaruhnya adalah daerah lumbal
bawah dan segmen sakrum.
b. Spinal rendah, daerah yang mengalami anestesi adalah daerah
umbilikus/ Th X di sini termasuk daerah thoraks bawah, lumbal dan
sakral.
c. Spinal tengah, mulai dari perbatasan kosta (Th VI) di sini termasuk
thoraks bawah, lumbal dan sakral.
d. Spinal tinggi, mulai garis sejajar papilla mammae, disini termasuk
daerah thoraks segmen Th4-Th12, lumbal dan sakral.
e. Spinal tertinggi, akan memblok pusat motor dan vasomotor yang lebih
tinggi.
3. Indikasi anestesi spinal pada sectio caesaria
Biasanya anestesi spinal dilakukan untuk pembedahan pada daerah yang
diinervasi oleh cabang Th.4 (papila mammae kebawah).
4. Kontraindikasi absolut anestesi spinal
a. Pasien menolak
b. Infeksi pada tempat suntikan
c. Hipovolemia berat, syok
d. Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
e. Tekanan intrakranial meninggi

5. Kontraindikasi relatif anestesi spinal:


a. Infeksi sistemik (sepsis, bakterimia)
b. Kelainan psikis
c. Bedah lama

34

d. Penyakit jantung
e. Hipovolemia ringan
f. Nyeri punggung kronis

6. Obat anestesi spinal pada sectio caesaria


Obat anestetik yang sering digunakan: Lidocain 1-5 %, Bupivacain 0,250,75 %.
7. Mekanisme kerja
Anestesi spinal dihasilkan oleh injeksi larutan anestesi lokal ke
dalam ruang subarakhnoid lumbal. Larutan anestesi lokal dimasukkan ke
dalam cairan serebrospinal lumbal, bekerja pada lapisan superfisial dari
korda spinalis, tetapi tempat kerja yang utama adalah serabut
preganglionik karena mereka meninggalkan korda spinal pada rami
anterior. Karena serabut sistem saraf simpatis preganglionik terblokade
dengan

konsentrasi

anestesi

lokal

yang

tidak

memadai

untuk

mempengaruhi serabut sensoris dan motoris, tingkat denervasi sistem


saraf simpatis selama anestesi spinal meluas kira-kira sekitar dua segmen
spinal sefalad dari tingkat anestesi sensoris. Untuk alasan yang sama,
tingkat anestesi motorik rata-rata dua segmen dibawah anestesi sensorik.
8. Komplikasi anestesi spinal pada sectio caesaria
a. Hipotensi
b. Brakikardi
c. Sakit kepala spinal (pasca pungsi)
d. Menggigil
e. Mual-muntah
f. Total spinal
g. Sequelae neurologic
h. Penurunan tekanan intrakranial

35

i. Meningitis
j. Retensi urine

36

BAB III
LAPORAN KASUS

I.

ANAMNESIS
A. Identitas Penderita
Nama
Umur
Alamat
Pekerjaan
Tanggal masuk
Tanggal pemeriksaan
No RM

: Ny. N
: 31 tahun
: Banjarsari, Surakarta
: Ibu rumah tangga
: 19/10/2015
: 19/10/2015
: 0131 xx xx

B. Data Dasar
1. Keluhan Utama
Air kawah sudah dirasakan keluar
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang G2P1A0, 31 tahun, umur kehamilan 41+3 minggu
datang dengan rujukan dari RSUD Surakarta dengan keterangan
G2P1A0 umur kehamilan 41+3 minggu belum dalam persalinan dan
riwayat SC. Pasien merasakan air kawah telah dirasakan keluar
sejak 8 jam SMRS. Lendir darah belum dirasakan keluar.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit serupa
Riwayat tekanan darah tinggi
Riwayat diabetes melitus
Riwayat sakit jantung
Riwayat alergi
Riwayat asma
Riwayat abortus
Riwayat operasi

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit serupa
Riwayat tekanan darah tinggi
Riwayat sakit gula
Riwayat sakit jantung
Riwayat alergi

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
37

Riwayat asma

: disangkal

5. Riwayat Kebiasaan
Merokok
Minuman beralkohol
Ketergantungan obat

: disangkal
: disangkal
: disangkal

6. Riwayat asupan gizi


Pasien biasa makan 3x sehari dengan nasi, sayur dan lauk
pauk serta buah-buahan. Kesan: asupan gizi cukup.
7. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang wanita usia 31 tahun, bekerja sebagai
ibu rumah tangga. Pasien berobat dengan fasilitas BPJS Kesehatan.

II.

PEMERIKSAAN FISIK
A. Primary Survey
Airway
: bebas, buka mulut > 3 jari, mallampati I, gerak leher
bebas, TMD > 3 jari
Breathing : Thorax bentuk normochest, simetris, pengembangan dada
kanan=kiri, retraksi (-), otot bantu nafas (-), sonor/sonor,
suara dasar vesikuler +/+, suara tambahan -/-, frekuensi
nafas 20x/menit.
Circulation : jantung ictus cordis tak tampak, tak kuat angkat, tak
teraba, bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising
(-), tekanan darah 160/100 mmHg, nadi 86x/menit, CRT
Disability

<2 detik, akral dingin (-).


: GCS E4V5M6, pupil isokor dengan diameter 3mm/3mm,

reflek cahaya +/+.


Exposure : suhu 36, 60C
B. Secondary Survey
Status gizi
:
Berat badan

: 60 kg

Tinggi badan : 166 cm


BMI

: 21,78 (kehamilan 38 minggu)

38

Kulit
Kepala
Mata

:sawo matang, turgor menurun (-), lembab (+),


ikterik(-)
: bentuk mesocephal, rambut warna hitam
:konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-),
lensakeruh (-/-)
:sekret (-), nyeri

Telinga
Hidung
Mulut
Leher

tekan

mastoid

(-),

nyeri

tekantragus (-)
: nafas cuping hidung (-), sekret (-)
: sianosis (-), mukosa basah (+), papil lidah atrofi (-)
stomatitis (-)
:trakhea
di
tengah,
simetris,
massa/
pembesaranlimfonodi (-)
:dinding perut lebih tinggi dari dinding dada,

Abdomen

distensi gravida, bising usus(+) normal, timpani,


supel, hepar dan lien tidak teraba, teraba janin
tunggal, intrauterin, memanjang, puka, preskep,
HIS(-) DJJ(+) 140x/menit reguler, TFU 34 cm
Ekstremitas

:
akral dingin
-

III.

oedem
- -

- + +
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium tanggal 19 Oktober 2015

PEMERIKSAA

HASIL

SATUAN

RUJUKAN

10.4
32
14.8
218
3.66
10.9
35.6
0.5
11
Non reactive
+3
139
2.9
109

g/dl
%
Ribu/ul
Ribu/ul
Juta/ul
detik
detik
mg/dl
mg/dl

12.0 - 15.6
33 45
4.5 - 11.0
150 450
4.10 5.10
10.0 15.0
20.0 40.0
0.6 1.1
< 50
Non reactive

N
Hb
Hct
AL
AT
AE
PTT
APTT
Kreatinin
Ureum
HbsAg
Protein kuantitatif
Natrium Darah
Kalium Darah
Klorida Darah

mmol/L
mmol/L
mmol/L
mmol/L

136-145
3.3 5.1
98 106
39

IV.

DIAGNOSIS ANESTESI
Wanita 31 tahun, G2P1A0 dengan PEB, KPD 8 jam pada
sekundigravida hamil aterm belum dalam persalinan riwayat SC 5 tahun
yang lalu pro SCTPem dengan status fisik ASA II E plan RASAB.

V.

POTENSIAL PROBLEM
Hipokalemia
Nyeri post operasi
Perdarahan
Infeksi

VI.

PELAKSANAAN OPERASI
Operasi dilaksanankan pada tanggal 19 Oktober 2015 di OK IGD
A. Primary survey
Airway
: bebas, buka mulut > 3 jari, mallampati I
Breathing
:Thorax
bentuk
normochest,
simetris,
pengembangan dada kanan=kiri, retraksi (-), otot
bantu nafas (-), sonor/sonor, suara dasar vesikuler
Circulation

+/+, suara tambahan -/-, frekuensi nafas 20x/menit.


: jantung ictus cordis tak tampak, tak kuat angkat
teraba di SIC V LMCS, bunyi jantung I-II
intensitas normal, reguler, bising (-), tekanan darah
140/110 mmHg, nadi 100x/menit irama teratur, isi

Disability
Exposure

cukup, CRT <2 detik, akral dingin (-).


: GCS E4V5M6, pupis isokor dengan diameter
3mm/3mm, reflek cahaya (+/+).
: suhu 36, 60C

B. Secondary survey
Kulit
: turgor menurun (-), lembab (+), ikterik(-)
Mata
: konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga
: nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekantragus (-)

40

Hidung
Mulut
Leher
Abdomen

: nafas cuping hidung (-), sekret (-)


: sianosis (-), mukosa basah (+), papil lidah atrofi (-)
stomatitis (-)
: trakhea di tengah, massa/pembesaran limfonodi (-)
:dinding perut lebih tinggi dari dinding
dada,distensi, bising usus(+) normal, timpani,
supel, hepar dan lien tidak teraba, teraba janin
tunggal, intrauterin, memanjang, puki, preskep,

Ekstremitas

HIS(-), DJJ (+).


: motorik dan sensori dalam batas normal
akral dingin
oedem
- - -

- + +

Anestesi dimulai pukul 08.20, berlangsung


- - 120 menit, sampai
pukul 10.20. Tindakan bedah dilakukan mulai pukul 08.20-09.10
WIB. Dilakukan regional anestesi sub arachnoid block dengan
bupivakain 12,5 mg dan fentanyl 25 mcg secara intratekal. Setelah
menunggu beberapa saat, perlahan pasien teranestesi. Kemudian
dilakukan tindakan sectio caesaria dengan posisi supine pada pasien.

41

Tabel 1. Catatan hemodinamik selama operasi


Jam
Tekanan
Darah
Nadi
SpO2
Keteranga
n

Jam
Tekanan
Darah
Nadi
SpO2
Keterangan

08.20
160/100

08.35
155/96

08.50
148/81

09.05
144/75

100
100%
Pasien
masuk
ruang
OK IGD
dan akan
dilakuka
n anestesi

98
99%
Setelah
dilakuka
n anestesi
RASAB

93
99%
Setela
h lahir
bayi

89
100%
Pemantauan
20
menit
pertama
setelah
kelahiran
bayi

09.20
145/90

09.35
148/88

09.50
152/86

88
97%
Pemantauan
20
menit
kedua
setelah
kelahiran
bayi

86
96%
Pemantauan
20
menit
ketiga setelah
kelahiran
bayi

88
98%
Pemantauan
20
menit
keempat
setelah
kelahiran
bayi

Di ruang pemulihan, sesuai skala bromage, setelah operasi


selesai dilakukan, skor = 3 (pasien tidak mampu fleksi pergelangan
kaki), 15 menit setelah operasi, skor = 2 (pasien tidak mampu fleksi
lutut), 30 menit setelah operasi, skor = 1 (pasien tidak mampu
ekstensi lutut), 45 menit setelah operasi, skor = 0 (gerakan penuh
dari tungkai), kesadaran composmentis, tekanan darah 158/82
mmHg, nadi 88x/menit, Sp02 100%.
Perhitungan cairan pada kasus ini adalah (BB = 60 kg)
42

1.
2.
3.
4.
5.
6.

EBV pasien ini = 65 cc/kg x 60 kg = 3900cc


ABL pasien ini = (36-24)/100x3x3900 cc = 1404 cc
Defisit cairan karena puasa 1 jam = 1 x 65 cc = 65 cc (terpenuhi)
Maintenance = 120 cc/jam
Stress operasi = 6 x 65 = 390 cc/jam
Kebutuhan cairan jam I = 65+390 = 455 cc
Kebutuhan cairan jam II = 65+390 = 455 cc

Input

Jam

Kris

Output

Kol

Drh

Drh

Balance

Urin

SO+
M

08.20

500

250

500

250

200

100

558

-8

558

+ 42

09.20
09.20
10.20
TOTAL

100

50

+ 34

43

BAB IV
PEMBAHASAN
Prinsip tatalaksana dari preeklampsia berat adalah penanganan aktif
yaitu terminasi kehamilan se-aterm mungkin, kecuali apabila ditemukan
penyulit dapat dilakukan terminasi tanpa memandang usia kehamilan.
Kemudian pada pasien dilakukan terminasi kehamilan dengan sectio caesaria
emergensi atas indikasi maternal. Indikasi maternal adalah untuk mencegah
timbulnya komplikasi eklampsia.
Pada tindakan-tindakan bedah sesar umumnya dipilih anestesi
regional sub arachnoid block/spinal karena mempunyai banyak keuntungan
seperti kesederhanaan teknik, onset yang cepat, resiko keracunan sistemik
yang kecil, blok anestesi yang baik, pencegahan perubahan fisiologi dan
penanggulangannya sudah diketahui dengan baik, analgesia dapat diandalkan,
sterilitas dijamin, pengaruh terhadap bayi sangat minimal, dapat mengurangi
kemungkinan terjadinya aspirasi, dan ibu dapat kontak langsung dengan
bayinya segera setelah melahirkan. Tetapi anestesi spinal juga bukan tanpa
risiko, risiko yang dapat terjadi seperti mual dan muntah bisa terjadi pada
anestesi spinal. Bradikardi, disritmia atau bahkan cardiac arrest merupakan
komplikasi yang bisa terjadi.
Ada beberapa permasalahan dari segi medik, antara lain:
1. Emergensi, karena jika tidak segera dilakukan tindakan akan dapat
menimbulkan komplikasi yang membahayakan baik ibu dan
janinnya
2. Menyangkut 2 nyawa, yaitu nyawa ibu dan anak.
3. Diaphragma terdorong keatas, sehingga rentan timbul sesak nafas.
4. Supine hipotensi, oleh karena janin menekan vena cava inferior ibu.
Hal ini juga mempengaruhi sirkulasi fetomaternal.
Permasalahan lain yang perlu diperhatikan juga adalah adanya
permasalahan dari segi bedah, yaitu antara lain:
1. DIT (Delivery Intake Time) : Kecepatan ahli kandungan untuk
mengeluarkan bayi dari kandungan, kurang dari 10 menit setelah
induksi.

44

2. Perdarahan durante dan post operasi.


Permasalahan dari segi anestesi antara lain adalah:
Pemberian obat-obat anestesi yang sesuai :
1. Anestesi spinal : Bupivakain 12,5 mg dan Fentanyl 25 mcg.
2. Maintenance : Oksigen 2 liter/menit.
Pada kasus ini, saat dilakukan anestesi spinal, saat operasi tidak
terjadi penurunan tekanan darah yang berarti. Tekanan darah yang turun
setelah anestesi spinal biasanya sering terjadi. Hipotensi dapat terjadi
pada sepertiga pasien yang menjalani anestesi spinal. Hipotensi terjadi
karena :
1. Penurunan venous return ke jantung dan penurunan cardiac out put.
Penurunan venous return juga dapat menyebabkan bradikardi. Untuk
mengatasi bradikardi yang terjadi diberikan sulfas atropin 0,25 mg IV.
c. Penurunan resistensi perifer.
Empat alternatif cara pencegahan hipotensi pada anestesia spinal
adalah pemberian vasopresor, modifikasi teknik regional anestesia,
modifikasi posisi dan kompresi tungkai pasien, serta pemberian cairan
intravena. Usaha meningkatkan volume cairan sentral dengan pemberian
cairan intravena merupakan cara yang mudah dilakukan untuk mencegah
hipotensi pada anestesia spinal. Cairan yang diberikan dapat berupa
kristaloid atau koloid. Teknik pemberian cairan dapat dilakukan dengan
preloading atau coloading. Preloading adalah pemberian cairan20 menit
sebelum dilakukan anestesia spinal, sedangkan coloading adalah
pemberian cairan selama 10 menit saat dilakukan anestesia spinal.
Pemberian cairan kristaloid sebagai preloading tidak memperlihatkan
manfaat untuk mencegah hipotensi.
Coloading kristaloid dapat menjadi pilihan untuk mencegah efek
samping hipotensi pada anestesia spinal namun tidak menurunkan angka
kejadian hipotensi. Hal ini ditunjukkan pada penelitian Mojika dkk. yang
membandingkan pemberian RL sebagai preloading dan coloading pada
operasi non-obstetrik. Koloid memiliki keunggulan dibanding kristaloid
karena bertahan lebih lama intravaskular. Keuntungan lain adalah jumlah
volume koloid yang diperlukan untuk mencegah hipotensi lebih sedikit
dibanding kristaloid
45

Pada tindakan-tindakan bedah sesar umumnya dipilih anestesi


regional sub arachnoid block/spinal karena mempunyai banyak
keuntungan seperti kesederhanaan teknik, onset yang cepat, resiko
keracunan sistemik yang kecil, blok anestesi yang baik, pencegahan
perubahan fisiologi dan penanggulangannya sudah diketahui dengan
baik, analgesia dapat diandalkan, sterilitas dijamin, pengaruh terhadap
bayi sangat minimal, dapat mengurangi kemungkinan terjadinya aspirasi,
dan ibu dapat kontak langsung dengan bayinya segera setelah
melahirkan. Tetapi anestesi spinal juga bukan tanpa risiko, risiko yang
dapat terjadi seperti mual dan muntah bisa terjadi pada anestesi spinal.
Bradikardi, disritmia atau bahkan cardiac arrest merupakan komplikasi
yang bisa terjadi.
Anestesi spinal terutama yang berdosis tinggi dapat menyebabkan
paralisis otot pernafasan, abdominal, intercostal. Oleh karena itu, pasien
dapat mengalami kesulitan bernafas. Untuk mencegah hal tersebut, perlu
pemberian oksigen yang adekuat dan pengawasan terhadap depresi
pernafasan yang mungkin terjadi.
Premedikasi jarang diberikan terutama pada penderita dengan
keadaan umum yang buruk, atau karena keterbatasan waktu. Namun pada
beberapa kasus dapat diberikan premedikasi secara intravena atau
intramuskular dengan antikolinergik disertai pemberian antasida,
antagonis reseptor H2 atau metoclopramide. Pemberian obat anti mual
dan muntah sangat diperlukan dalam operasi sectio caesaria emergensi
dimana merupakan usaha untuk mencegah adanya aspirasi dari asam
lambung. Namun, pada pasien ini tidak diberikan premedikasi.
Induksi menggunakan Bupivacaine HCL merupakan anestesi
lokal golongan amida. Obat anestesi regional bekerja dengan
menghilangkan rasa sakit atau sensasi pada daerah tertentu dari tubuh.
Cara kerjanya yaitu memblok proses konduksi syaraf perifer jaringan
tubuh, bersifat reversibel. Onset kerja lambat jika dibandingkan dengan
lidokain. Durasi kerja obat 8 jam. Setelah itu posisi pasien dalam keadaan
terlentang(supine). Anestesi spinal mulai dilakukan, posisi pasien duduk

46

tegak dengan kepala menunduk hingga prossesus spinosus mudah teraba.


Dicari perpotongan garis yang menghubungkan kedua crista illiaca
dengan tulang punggung yaitu antara vertebra lumbal 3-4, lalu ditentukan
tempat tusukan pada garis tengah.Kemudian disterilkan tempat tusukan
dengan alkohol dan betadin. Jarum spinal nomor 27-gauge ditusukkan
dengan arah median, barbutase positif dengan keluarnya LCS (jernih)
kemudian dipasang spuit yang berisi obat anestesi dan dimasukkan secara
perlahan-lahan.
Monitor tekanan darah setiap 5 menit sekali untuk mengetahui
penurunan tekanan darah yang bermakna. Hipotensi terjadi bila terjadi
penurunan tekanan darah sebesar 20-30% atau sistol kurang dari 100
mmHg. Hipotensi merupakan salah satu efek dari pemberian obat
anestesi spinal, karena penurunan kerja syaraf simpatis.Bila keadaan ini
terjadi maka cairan intravena dicepatkan, bolus ephedrin 5-15mg secara
intravena, dan pemberian oksigen. Pada pasien ini tidak terjadi hipotensi.
Sesaat setelah bayi lahir dan plasenta diklem diberikan oxytocin
10 IU (1 ampul), diberikan per drip. Pemberian oksitosin bertujuan untuk
mencegah perdarahan dengan merangsang kontraksi uterus secara ritmik
atau untuk mempertahankan tonus uterus post partum, dengan waktu
partus 3-5 menit. Pada pasien ini lahir bayi laki-laki dengan BB 1000
gram, lahir hidup tanpa kelainan kongenital. Setelah operasi selesai,
pasien dibawa ke HCUObsgyn. Pasien berbaring dengan posisi kepala
lebih tinggi untuk mencegah spinal headache, dikarenakan efek obat
anestesi masih ada. Observasi post sectio caesari dilakukan selama 2 jam,
dan dilakukan pemantauan secara ketat meliputi vital sign (tekanan
darah, nadi, suhu dan respiratory rate), dan memperhatikan banyaknya
darah yang keluar dari jalan lahir. Oksigen tetap diberikan 3 liter/menit.
Setelah keadaan umum stabil, maka pasien dibawa ke ruangan bangsal.

47

BAB V
KESIMPULAN
Seorang wanita 31 tahun, G2P1A0 dengan PEB, KPD 8 jam pada
sekundigravida hamil aterm belum dalam persalinan riwayat SC 5 tahun yang
lalu pro SCTPem dengan status fisik ASA II E plan RASAB. Dilakukan
tindakan sectio caesaria pada tanggal 19 Oktober 2015 di kamar operasi IGD
atas indikasi preeklampsia berat dan ketuban pecah dini. Teknik anestesi
dengan spinal anestesi (subarachnoid blok) merupakan teknik anestesi
sederhana dan cukup efektif. Anestesi dengan

menggunakan Bupivacain

spinal 12,5 mg, dan untuk maintenance dengan oksigen 2 liter/menit. Untuk
mengatasi nyeri digunakan Fentanyl sebanyak 25 mcg. Perawatan post
operatif dilakukan dibangsal dan dilakukan pengawasan pada tanda-tanda
vital serta tanda-tanda perdarahan. Prosedur anestesi spinal pada sectio
caesaria dalam kasus ini tidak mengalami hambatan yang berarti baik dari
segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan
pasien sadar penuh, hemodinamik stabil, dan tidak terjadi hal yang
memerlukan penanganan serius.

48

DAFTAR PUSTAKA
Ananth K, Bdolah Y, Vikas P, Sukhatme (2004). Angiogenic Imbalance in
the Patophysiology of Preeclampsia : Newer Insight. Semin Nephrol.
24: 548-556. Elsevier Inc.
Angsar, MD (2005). Kuliah Dasar Hipertensi dalam Kehamilan (EPHGestosis).

Surabaya:

Lab/UPF

Obstetri

dan

Ginekologi

FK

UNAIR/RSUD Dr. Sutomo.


Budiono

(2009).

Pre

eklampsia

dan

Eklampsia

dalam

Ilmu

Kebidanan.Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.


Caughey AB, Robinson JN, dan Norwirtz ER (2008). Contemporary
Diagnosis and Management of Preterm Premature Rupture of
Membranes. Rev Obstet Gynecol. 2008 Winter; 1(1): 1122
Creasy R (2014).Maternal Fetal medicine.Principle and practice.Volume 7.
756S
Cunningham, Mac Donald, Gant, Levono, Gilstrap, Hanskin, Clark
(2005).Williams Obstetrics 20th. Prentice-Hall International,Inc.
Cunningham, FG,Leveno KJ,Bloom SL,Hauth JC,Rouse DJ, andSpong CY
(2010). Pregnancy Hypertension. In: Williams Obstetrics23th Edition.
USA: The McGraw-Hil Companies.
Cuningham (2013). William Obstetric, 25 ed. 762-763.
English FA, Kenny LC, McCarthy FP (2015). Risk factors and effective
management of preeclampsia. Dovepress:Integrated Blood Pressure
Control. 2015:8.
HaddadB, and Sibai BM (2005). Expectant management of severe
preeclampsia: proper candidates and pregnancy outcomes. Clin Obstet
Gynecol, 48: 430-40.
Hagman H, Ravi T, Thomas B, Ananth K, Holger S (2012).The promise of
angiogenic markers for the early diagnosis and prediction of
preeclampsi.Clinical Chemistry.
58: 5 837-845.

49

HaramK, Svendsen E, and Abildgaard U (2009). The HELLP syndrome:


Cinical issues and management. A Review:BMC Pregnancy and
Childbirth, 9:8.
Hemant S, Chabi S, Frey D (2009). HELLP Syndrome. Journal of Obstetric
and Gynecologic India. 59:1.
Henken V, Betmen B, Leffert L (2013). Spinal Anesthesia in Severe
Preeclampsi. Journal of International Anesthesia Research Society.
117:3.
Hishashi M, Etsuko N, Tomonori S, Yuji H (2012). Severe Superimposed
preeclampsia with obesity, diabetes, and a mild imbalance of
angiogenic factors.Acta Med Okayama.Vol 66. No 2. Pp 171-175.
Jameilet al (2014). A Brief overview of preeclampsia. J Clin Med Res.Vol 6
Issue 1. Page:1-7.
Kuan IW, Chih HM, Chang YC, Liang C (2013). Association between
hypertensive disorders during pregnancy and end stage renal disease:
population based study. CMAJ.10:15.03.
Mochtar R (2007). Sinopsis Obstetri. Jakarta: EGCRoesli M, Tampubolon
OE.

1989.

Pendidikan

anestesiologi

mahasiswa.

Dalam:

Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. CV


Infomedika. Jakarta: 9
Norma CS (2006). Immunology and genetic of preeclampsia.Clinical and
Developmental Immunology. 13 (2-4) 197-201.
Prawirohardjo S dan Wiknjosastro (2014). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka FK UI.
Sulistryowati S, Abadi A, Hood J, Soetjipto S (2010). The Influence of Low
HLA-G Protein Expression on HSP-70 and VCAM-1 Profile in
Preeclampsia Indonesian J Obstet Gynecol. Vol 34(4). P 185-190
Universitas Sriwijaya. Preeklamsia Berat. Dalam Protap Obgyn: 3-10
Wibowo B, Rachimhadhi T. 2005. Preeklampsia-Eklampsia. Dalam
Wiknjosastro H, Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga Cetakan Ketujuh.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta: 281-94.
50

51

Anda mungkin juga menyukai