Anda di halaman 1dari 12

Peripartum Cardiomyopathy (PPCM)

Definisi

Kardiomiopati peripartum (peripartum cardiomyopathy, PPCM) adalah keadaan

kardiomiopati idiopatik, berhubungan dengan kehamilan, bermanifestasi sebagai gagal jantung

karena disfungsi sistolik ventrikel kiri, biasanya terjadi selama 1 bulan terakhir kehamilan

sampai 5 bulan postpartum. PPCM adalah diagnosis eksklusi, terjadi pada wanita tanpa penyakit

kardiovaskular lain, tidak harus disertai dengan dilatasi ventrikel kiri, namun fraksi ejeksi

biasanya selalu <45%.

Kriteria kardiomiopati peripartum adalah :

- terjadi pertama kali antara trimester III kehamilan sampai 5 bulan pertama

setelahmelahirkan

- etiologi tidak dapat ditemukan

- tidak pernah menderita penyakit jantung sebelumnya

Epidemiologi

Tidak banyak yang diketahui tentang PPCM; dari berbagai literatur, kejadian PPCM

sekitar 1:2200-4000 (USA), 1:1000 (Afrika Selatan), dan 1:300 (Haiti). Di Asia didapati 1:1374

(Rumah Sakit Tersier di India), 1:1000 (Jepang), 1:837 (Pakistan), 34:100000 (Malaysia).1,3,4

Analisis retrospektif di pusat kesehatan tersier di Singapura mendapatkan insiden 0.89:1000

kelahiran hidup. Kasus tertinggi dilaporkan di Nigeria, sebesar 1% dari semua kelahiran hidup.

Di Amerika didapatkan umur rerata penderita 31 ± 6 tahun, sedangkan di India 31,81 ±

3,7 tahun.6,7 Sebagai acuan, umur rerata kejadian PPCM adalah wanita antara 19-38 tahun.

Etiologi

- Stres oksidatif
Stres oksidatif adalah suatu stimulus poten untuk mengaktivasi Cathepsin D dan Matrix

Metalloproteinase-2 (MMP-2), suatu enzim yang dapat menggenerasi prolaktin 16 kDa.

Belakangan ini ditemukan korelasi erat antara N-terminal brain natriuretic peptide (NTproBNP),

suatu marker tingkat stres dinding ventrikel dan gagal jantung, prolaktin, dan marker untuk stres

oksidatif (LDL teroksidasi) dan infl amasi (interferon-gama).

- Prolaktin, Prolaktin 16 Kda dan Katepsin D

Stres oksidatif sebagai trigger aktivasi cathepsin D dalam kardiomiosit akan memotong

prolactin menjadi angiostatic and pro-apoptotic subfragment. Pasien PPCM akut mempunyai

kadar low density lipoprotein (LDL) serum tinggi (suatu indikasi stres oksidatif tinggi) dan juga

peningkatan kadar serum katepsin D yang teraktivasi, prolaktin total dan fragmen prolaktin

16kDa yang bersifat angiostatik.

Fragmen prolaktin 16 kDa mempunyai efek merusak kardiovaskular yang dapat

menjelaskan patofisiologi PPCM. Fragmen tersebut menginhibisi proliferasi dan migrasi sel

endotel, menginduksi apoptosis dan merusak struktur kapiler yang telah terbentuk. Bentuk

prolaktin ini meningkatkan vasokonstriksi dan merusak fungsi kardiomiosit. Kadar prolaktin

16kDa yang tinggi tanpa keadaan PPCM telah terbukti merusak mikrovaskuler jantung,

menurunkan fungsi jantung dan meningkatkan dilatasi ventrikel. Efek prolaktin 16kDa

berlawanan dengan efek kardioprotektif prolaktin bentuk lengkap. Prolaktin 16kDa tidak

berfungsi melalui reseptor prolaktin bentuk lengkap.

Pro-apoptotic serum markers (soluble death receptor sFas/Apo-1) telah ditemukan

kadarnya meningkat pada pasien PPCM. Marker ini juga dapat memprediksi status fungsional,

dan mortalitas penderita PPCM. Data eksperimental PPCM (mencit dengan

cardiomyocyterestricted deletion of the signal transducer and activator of transcription-3,


STAT3) menyatakan bahwa suatu mekanisme defensif terhadap antioksidan yang rusak mungkin

bertanggung jawab atas terjadinya PPCM.

- Autoimun

Serum wanita PPCM mengandung titer autoantibodi tinggi terhadap protein jaringan

kardium yang tidak terdapat pada pasien kardiomiopati idiopatik. Autoantibodi berasal dari sel

fetal (microchimerism) (yang dapat masuk ke dalam sirkulasi maternal), dan beberapa protein

(seperti aktin dan miosin) yang dilepaskan oleh uterus selama proses melahirkan telah terdeteksi

pada pasien PPCM. Autoantibodi ini bereaksi dengan protein miokardium maternal yang

kemudian menyebabkan PPCM. Multiparitas adalah faktor risiko PPCM, menyimpulkan adanya

pajanan terhadap antigen fetal atau paternal dapat menyebabkan respon infl amasi miokardium

abnormal.

- Miokarditis

Inflamasi jantung disebut juga miokarditis, telah diketahui berhubungan dengan PPCM.

Salah satu penelitian hubungan miokarditis dengan PPCM mengemukakan bahwa dari 26 pasien,

8 pasien menunjukkan adanya viral genome pada biopsi miokardium. Virus tersebut antara lain,

parvovirus B19, human herpes virus 6, Epstein-Barr virus, dan human cytomegalovirus.

Penelitian itu berdasarkan hipotesis bahwa perubahan sistem imun saat hamil dapat

mengeksaserbasi infeksi de novo atau mereaktivasi virus laten pada wanita hamil, menyebabkan

miokarditis yang berujung pada kardiomiopati. Marker inflamasi yang terdapat di serum

(termasuk soluble death receptor sFas/Apo-1), C-reactive protein, interferon gama (IFN- (γ), dan

IL-6, ditemukan meningkat pada penderita PPCM.


Infeksi virus pada jantung merupakan salah satu etiologi yang mungkin menyebabkan infl

amasi peripartum. Beberapa penelitian melaporkan bahwa sejenis cardiotropic enterovirus

bertanggung jawab atas terjadinya PPCM

- Genetik

The European Society of Cardiology mengklasifi kasikan PPCM sebagai suatu bentuk DCM

nonfamilial dan nongenetik berhubungan dengan kehamilan. Tetapi beberapa kasus PPCM telah

terbukti berhubungan dengan faktor genetik.

Penelitian 90 keluarga familial DCM dan PPCM mengungkapkan adanya causative mutation

yang dapat dideteksi lebih awal dengan penapisan. Penelitian tersebut menemukan adanya

mutasi (c.149A>G, p.Gln50Arg) di dalam gen yang mengkode cardiac troponin C (TNNC1).15

Adanya variasi genetik dalam JAK/STAT signaling cascade juga dapat menjadi salah satu

penyebab PPCM.

Faktor Risiko

- Multiparitas

- usia maternalyang lanjut (walaupun penyakit ini dapat mengenai semua usia,insidensi akan

meningkatpada wanita berusia > 30 tahun)

- kehamilan multifetal

- pre-eklamsia

- hipertensi gestasional

- ras Afrika Amerika

Manifestasi klinis
Tanda dan gejala awal PPCM biasanya menyerupai temuan normal fisiologis kehamilan,

termasuk oedem pedis, dyspneu d’effort, ortopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea, dan batuk

persisten.

Tanda dan gejala tambahan pasien PPCM adalah: abdominal discomfort sekunder

terhadap kongesti hepar, pusing, nyeri sekitar jantung dan epigastrium, palpitasi, pada stadium

lanjut didapat hipotensi postural, peningkatan tekanan vena jugularis, murmur regurgitasi yang

tidak ditemukan sebelumnya, serta gallop S3 dan S4 .

Pada mayoritas pasien, 78% gejala didapati pada 4 bulan setelah melahirkan, hanya 9%

pasien menunjukkan gejala pada bulan terakhir kehamilan. Tanda dan gejala paling sering

dijumpai pada saat pasien datang adalah dengan NYHA functional class III atau IV. Kadang

pasien datang dengan aritmi ventrikel atau cardiac arrest.

Gejala PPCM diklasifikasikan menggunakan sistem New York Heart Association sebagai

berikut :

• Class I – Keadaan tanpa gejala

• Class II – Gejala ringan hanya pada aktivitas berat

• Class III – Gejala dengan aktivitas ringan

• Class IV – Gejala pada saat istirahat

Diagnosis

Kardiomiopati peripartum adalah diagnosis eksklusi, pasien harus telah diperiksa dan

disingkirkan penyebab lain gagal jantung selain kehamilan. Hal ini untuk menyingkirkan

kemungkinan diagnosis idiopathic dilated cardiomyopathy (IDCM). Pertimbangan diagnosis

PPCM biasanya pada masa postpartum, sedangkan IDCM pada trimester ke-2 kehamilan.

Kejadian miokarditis banyak ditemukan pada PPCM, sehingga antigen dan antibodi terhadap
agen penyebab miokarditis dapat ditemukan, hal ini biasanya tidak ditemukan pada IDCM.

Ukuran jantung dapat kembali normal pada PPCM, namun dapat juga menjadi progresif dan

mempunyai prognosis buruk jika tidak segera ditangani.

Setelah berbagai etiologi telah disingkirkan, harus dipertimbangkan kriteria berikut:

keadaan kardiomiopati idiopatik, berhubungan dengan kehamilan, bermanifestasi sebagai gagal

jantung karena disfungsi sistolik ventrikel kiri, biasanya terjadi selama 1 bulan terakhir

kehamilan sampai 5 bulan masa postpartum, adalah diagnosis eksklusi, terjadi pada wanita tanpa

penyakit kardiovaskular lain, tidak harus disertai dilatasi ventrikel kiri, namun fraksi ejeksi

biasanya selalu <45%.

Pemeriksaan laboratorik pada PPCM biasa nya tidak menunjukkan abnormalitas kecuali

telah terjadi komplikasi hipoksia lanjut. Pemeriksaan dapat digunakan untuk menyingkirkan

diagnosis diferensial seperti preeclampsia dan noncardiogenic pulmonary edema.

Noncardiogenic pulmonary edema selama kehamilan adalah suatu keadaan tekanan onkotik

rendah, digambarkan dengan penurunan kadar albumin serum (kadar yang diharapkan ~3,2

mg/dL); sehingga ketika ada stressor lain, dapat terjadi edema pulmonar dengan tekanan

pengisian jantung normal; trigger paling sering antara lain pyelonephritis dan infeksi lain,

corticosteroids, dan tocolytics seperti beta agonists dan magnesium sulfat.

- Pemeriksaan Penunjang :

 B-type natriuretic peptide

 Rontgen thorax

 EKG

 Echocardiografi

 MRI
Penatalaksanaan

Penatalaksanaan medis PPCM secara garis besar sama dengan terapi Congestive Heart

Failure (CHF) karena disfungsi sistolik, dengan pengecualian pemberian terapi pada ibu hamil

harus dipikirkan efek toksisitas pada janin. Tujuan akhir penatalaksanaan medis pasien PPCM

adalah memperbaiki oksigenasi dan menjaga cardiac output demi meningkatkan prognosis ibu

dan anak.

Penatalaksanaan awal PPCM adalah istirahat, pembatasan garam, dan terapi diuretik.

Oksigen dapat diberikan lewat face mask atau continuous positive airway pressure (CPAP)

dengan tekanan 5-7,5 cm H2 O untuk membantu meringankan cardiac output dan mendapatkan

saturasi oksigen arteri ≥95%. Pembatasan garam kurang dari 2 g/ hari dapat mencegah retensi

air, sedangkan loop-diuretic dengan dosis efektif terkecil dapat menurunkan pulmonary

congestion.

Restriksi cairan kurang dari 2 L/hari mungkin tidak diperlukan pada kasus PPCM

ringansedang. Terapi angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-I) adalah terapi lini pertama

pada wanita postpartum, tetapi kontraindikasi pada ibu hamil karena efek teratogeniknya

terutama pada trimester kedua dan ketiga, adanya hubungan peningkatan angka abortus, fetopati

karena hipotensi fetus, oligohidramnion-anuria, dan renal tubular dysplasia. ACE-I dapat dan

harus digunakan pada pasien PPCM masa postpartum dan aman untuk wanita menyusui. Selain

ACE-I, angiotensin receptor blocker (ARB) juga dikontraindikasikan pada saat kehamilan karena

efek toksisitasnya pada janin. Hydralazine dan nitrat mengurangi afterload dan merupakan terapi

dasar untuk wanita hamil dengan PPCM. Nitrogliserin harus diberikan secara parenteral untuk

mengurangi afterload jika tekanan darah sistolik di atas 110 mmHg. Pemberian dengan titrasi
mulai dosis 10-20 μg/menit sampai maksimum 200 μg/menit. Nitroprusside dikontraindikasikan

pada wanita hamil karena adanya risiko penumpukan thiocyanate dan cyanide pada fetus.

Dobutamin dan milrinon dapat digunakan untuk memberikan support inotropic pada

pasien dengan cardiac output rendah yang mempunyai gejala kulit dingin dan lembap,

vasokonstriksi sistemik yang menyebabkan asidosis, gagal ginjal, disfungsi hati, dan gangguan

kesadaran. Dobutamin memerlukan β-receptors untuk efek inotropiknya, sedangkan milrinon

tidak; hal ini penting dalam terapi pasien yang juga mendapat β-blocker. Milrinon mempunyai

sifat vasodilatasi sistemik dan pulmoner; pada wanita dengan tekanan sistolik kurang dari 90

mmHg, dobutamin lebih menguntungkan dibanding milrinon.

Digoxin, digitalis dengan efek inotropik, aman untuk kehamilan, dapat digunakan untuk

memaksimalkan kontraksi dan kontrol laju denyut jantung, tetapi kadar dalam serum harus

dipantau, karena jika berlebihan dapat menyebabkan prognosis buruk. Calcium channel blockers

(CCB), kecuali amlodipin, memberikan efek inotropik negatif dan harus dihindari. Amlodipin,

suatu CCB golongan dihidropiridin telah dibuktikan dapat meningkatkan angka kehidupan pada

non-ischemic cardiomyopathy.

Beta-blockers digunakan sebagai terapi lini kedua karena penggunaan jangka panjang

pada masa prenatal dapat menyebabkan berat badan lahir rendah (BBLR) pada bayi, meskipun

beta-blocker relatif aman untuk wanita menyusui. β-1 selective beta blocker lebih disukai

dibanding β-2 receptor blockade, karena secara teori β-2 dapat mempunyai aksi anti-tocolytic.

Diuretik harus digunakan secara terbatas pada kehamilan karena dapat mengurangi peredaran

darah plasenta. Diuretik terutama yang digunakan adalah loop diuretic (furosemide) dan

golongan thiazide (hydrochlorothiazide/ HCT).


Levosimendan merupakan agen kardiotropik lain yang dapat memperbaiki cardiac output

dengan meningkatkan respons miofi lamen terhadap kalsium intraseluler, dan peningkatan kadar

kalsium intraseluler. Levosimendan telah terbukti efektif meningkatkan cardiac output dan

menurunkan mortalitas. Levosimendan digunakan per parenteral dengan laju 0,1-0,2 μg/kg/menit

pada gagal jantung dengan atau tanpa loading dose 3-12 μg/kg dalam 10 menit.

Antikoagulan disarankan untuk pasien PPCM, terutama bagi yang mempunyai ejection

fraction <35% dan mempunyai beberapa faktor risiko, seperti dilatasi ventrikel berat, fibrilasi

atrium, dan adanya trombus mural pada echocardiography atau riwayat adanya trombus.

Warfarin sangat teratogenik pada awal kehamilan dan dapat menyebabkan fetal warfarin

syndrome, sedangkan pemakaian pada trimester kedua dan ketiga menyebabkan fetal cerebral

hemorrhage, microcephaly, buta, tuli, dan gangguan pertumbuhan.

Guideline American College of Cardiology and the American Heart Association on the

management of patients with heart valve disease mengatakan bahwa jika diperlukan, warfarin

mungkin aman digunakan pada 6 minggu pertama kehamilan, akan tetapi terdapat risiko

embryopathy jika digunakan lebih dari itu. Namun, mengingat banyaknya risiko yang menyertai

pemakaiannya, warfarin sebaiknya digunakan pada masa postpartum. Low-molecular-weight

heparin (enoxaparin) lebih disukai pada saat kehamilan karena tidak menembus plasenta dan

mempunyai risiko rendah untuk terjadinya osteoporosis dan trombositopenia, selain itu

bioavailabilitas lebih dapat diprediksi.

The American Society of Anesthesiology merekomendasikan bahwa wanita dengan

dosis tinggi LMWH tidak mendapatkan anestesi spinal dan epidural untuk 24 jam setelah injeksi

terakhir.
Selain itu, dapat pula digunakan low dose unfractionated heparin (UFH). Pada PPCM

dosisnya adalah 5.000 unit UFH subcutan dua atau tiga kali sehari pada trimester pertama, 7.500

unit di trimester kedua, dan 10.000 unit dua kali sehari di trimester ketiga. Pada dasarnya, pasien

dengan PPCM disarankan untuk mendapatkan terapi antikoagulan sampai fungsi ventrikel kiri

menjadi normal menurut kriteria ekokardiografi .

Cardiac Resynchronization Therapy dan Implantable Cardioverters/Defibrillators

Jika pasien PPCM mempunyai persistently severe LV-dysfunction 6 bulan setelah

didiagnosis, walaupun telah menerima terapi medis secara optimal, banyak yang menganjurkan

pemasangan ICD (implantable cardioverters/ defibrillator) yang dapat dikombinasi dengan CRT

(cardiac resynchronization therapy) jika pasien tersebut juga memiliki gejala NYHA (New York

Heart Association) FC III atau IV dan durasi QRS > 120 ms.

Agen Immunosuppressant

Intravenous Immunoglobulin (IVIG) Peran IVIG sebagai salah satu terapi PPCM ditelaah

dalam penelitian retrospektif dari 6 wanita yang diterapi IVIG dan 11 wanita yang diterapi secara

konvensional. Setelah 6 bulan, terdapat peningkatan LVEF (left ventricular ejection fraction)

yang bermakna pada wanita yang diterapi dengan IVIG dibandingkan dengan terapi

konvensional (26% vs 13%). Akan tetapi, uji IMAC (controlled trial of immune globulin in

recent-onset dilated cardiomyopathy) menunjukkan bahwa terapi imunoglobulin pada pasien

dewasa dengan recent-onset cardiomyopathy tidak mempengaruhi perbaikan LVEF atau

kapasitas fungsional pada follow-up.

Bromocriptine

Strategi terapi ini didasarkan pada penelitian mutasi delesi gen cardiomyocyte-specifi c

STAT-3. Mutasi tersebut menyebabkan peningkatan ekspresi dan aktivitas cardiac cathepsin D
dan mempromosi pembentukan 16-kD prolactin. Hasilnya menyatakan bahwa terapi mencit

dengan bromocriptine telah terbukti mencegah terbentuknya PPCM.

METODE MELAHIRKAN

Pasien PPCM selama kehamilan memerlukan perawatan bersama spesialis jantung

dengan spesialis obstetri ginekologi. Kecuali terdapat penurunan kondisi maternal atau fetal,

tidak diperlukan terminasi kehamilan lebih awal. Persalinan darurat tanpa memikirkan umur

gestasi, hanya dipertimbangkan pada PPCM berat dan status hemodinamik tidak stabil.

Kemungkinan terbaik untuk ibu dan anak harus didiskusikan oleh tim yang terdiri dari kardiolog,

ahli kandungan, anestesiologis, neonatologis, dan internis.

Pada dasarnya, melahirkan spontan per vaginam lebih dianjurkan untuk wanita PPCM

dengan kondisi jantung terkontrol dan fetus sehat. Sectio caesarea terencana dianjurkan untuk

wanita dalam keadaan kritis dan memerlukan terapi inotropik atau support mekanis.

Pada kala II melahirkan spontan dapat dibantu menggunakan forsep atau vakum untuk

mempersingkat waktu melahirkan dan mengurangi beban jantung. Komplikasi kardiovaskuler

selama proses melahirkan diantaranya supine hypotension, peningkatan cardiac output, dan

kehilangan darah.

Cairan intravena beserta continuous urinary catheter harus terpasang untuk mencegah

overload cairan dan edema pulmoner. Fetus harus dipantau dengan kardiotokografi . Posisi left

lateral decubitus (LLD) lebih dianjurkan untuk memastikan venous return yang memadai dari

vena cava inferior. Analgesik epidural lebih dianjurkan pada kala 1 karena dapat menstabilisasi

cardiac output. Pada sectio caesarea continuous spinal anesthesia dan kombinasi anestesi spinal

dan epidural telah dianjurkan.


Kala III dalam fase melahirkan dapat dibantu dengan pemberian oxytocin IM.

Ergometrin merupakan kontraindikasi. Setelah melahirkan, auto transfusi darah dari ekstremitas

bawah dan uterus yang berkontraksi dapat meningkatkan preload secara signifi kan, dianjurkan

pemberian furosemide iv.

MENYUSUI

Dengan dasar penemuan terbaru tentang efek fragmen prolaktin, menyusui tidak

dianjurkan pada pasien yang dicurigai menderita PPCM atau didiagnosis pasti PPCM. Jika perlu,

dapat diberikan ACE-inhibitors (captopril, enalapril, dan quinapril).

Prognosis

Faktor prediksi mortalitas independen yang masih perlu dipelajari lebih lanjut adalah

gejala, kelas NYHA, LVEF, durasi QRS, dan onset lambat. Pada penelitin, angka mortalitas

untuk 29 wanita berkisar antara 32%, sedangkan pada penelitian besar pada populasi di Haiti

oleh Fett, et al, angka mortalitas berkisar antara 15,8%.

Anda mungkin juga menyukai