Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

Peripartum Cardiomyopathy
Disususn untuk memenuhi salah satu tugas di SMF Obstetri dan Ginekologi

Disusun oleh:
Dian Permata Liliana
12100116252

Preseptor
dr. H. Dadan Susandi, Sp.OG

SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
RSUD DR. SLAMET GARUT
2018

3
REFERAT
Peripartum Cardiomyopathy

Disusun oleh:
dr. Dian Permata Liliana

Pendamping :
dr. Dian Arissanthy
dr. H Kamal Sumardin

PROGRAM DOKTER INTERNSHIP


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA CILEGON
PROVINSI BANTEN
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena
berkat rahmatNya, saya selaku penuyusun referat ini, dapat menyelesaikan referat
ini, yang berjudul “peripartum cardiomyopathy”. Dimana laporan kasus ini
disusun sebagai salah satu syarat tugas dalam menyelesaikan Program Internsip
Dokter Indonesia selama satu tahun di wahana terpilih, yakni RSUD Cilegon.
Akhir kata, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak, dan para
pembaca tentunya. Terima kasih.
Tidak lupa, saya mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang
telah mendukung saya, sehingga saya dapat menyelesaikan referat ini. Tidak lupa,
saya mengucapkan terima kasih kepada dokter pendamping wahana RSUD
Cilegon, yang sudah memberikan bantuan, dan kesempatan pada saya, sehingga
referat ini dapat terselesaikan. Ucapan terima kasih saya ucapkan kepada teman-
teman sejawat dokter internsip yang telah mendukung saya, sehingga referat ini
dapat terselesaikan.
Saya menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini terdapat banyak
kekurangan di dalamnya. Oleh karena itu, saya menerima segala kritik, dan saran
dalam penulisan referat, sehingga dapat lebih baik lagi kedepannya. Saya mohon
maaf apabila terdapat kesalahan-kesalahan penulisan, di dalam referat ini.

Cilegon, Agustus 2019

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN

Kardiomiopati peripartum merupakan salah satu penyebab gagal jantung

pada ibu hamil atau pasca persalinan yang memang masih jarang ditemukan,

namun perlu mendapat perhatian khusus mengingat angka kematian ibu di

Indonesia masih belum mencapai target. Kardiomiopati peripartum (peripartum

cardiomyopathy, PPCM) adalah keadaan kardiomiopati idiopatik, berhubungan

dengan kehamilan, bermanifestasi sebagai gagal jantung karena disfungsi sistolik

ventrikel kiri, biasanya terjadi selama 1 bulan terakhir kehamilan sampai 5 bulan

postpartum. Angka kejadian PPCM di Indonesia belum terdata secara baik, namun

SDKI (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia) tahun 2012 menunjukkan

gagal jantung termasuk didalamnya PPCM, merupakan salah satu penyebab masih

tingginya angka kematian ibu hingga 228 per 100.000 kelahiran hidup di

Indonesia.

Berbagai faktor risiko yang berkaitan PPCM adalah multiparitas, usia

maternal yang lanjut (walaupun penyakit ini dapat mengenai semua usia,insidensi

akan meningkatpada wanita berusia > 30 tahun), kehamilan multifetal, pre-

eklamsia, hipertensi gestasional dan ras Afrika Amerika.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Peripartum Cardiomyopathy

2.1.1 Definisi

Kardiomiopati peripartum (peripartum cardiomyopathy, PPCM) adalah

keadaan kardiomiopati idiopatik, berhubungan dengan kehamilan, bermanifestasi

sebagai gagal jantung karena disfungsi sistolik ventrikel kiri, biasanya terjadi

selama 1 bulan terakhir kehamilan sampai 5 bulan postpartum. PPCM adalah

diagnosis eksklusi, terjadi pada wanita tanpa penyakit kardiovaskular lain, tidak

harus disertai dengan dilatasi ventrikel kiri, namun fraksi ejeksi biasanya selalu

<45%.

Kriteria kardiomiopati peripartum adalah :

- Terjadinya gagal jantung pada bulan terakhir kehamilan atau dalam 5

bulan setelah melahirkan


- Tidak adanya kausa gagal jantung yang dapat diidentifikasi
- Tidak adanya penyakit jantung sebelum bulan terakhir kehamilan
- Disfungsi sistolik ventrikel kiri yang dibuktikan oleh kriteria

ekokardiografik klasik misalnya berkurangnya shortening fraction atau

fraksi ejeksi.

2.1.2 Epidemiologi

Tidak banyak yang diketahui tentang PPCM; dari berbagai literatur,

kejadian PPCM sekitar 1:2200-4000 (USA), 1:1000 (Afrika Selatan), dan 1:300

(Haiti). Di Asia didapati 1:1374 (Rumah Sakit Tersier di India), 1:1000 (Jepang),
3
1:837 (Pakistan), 34:100000 (Malaysia). Analisis retrospektif di pusat kesehatan

tersier di Singapura mendapatkan insiden 0.89:1000 kelahiran hidup. Kasus

tertinggi dilaporkan di Nigeria, sebesar 1% dari semua kelahiran hidup.

Di Amerika didapatkan umur rerata penderita 31 ± 6 tahun, sedangkan di

India 31,81 ± 3,7 tahun.6,7 Sebagai acuan, umur rerata kejadian PPCM adalah

wanita antara 19-38 tahun.

2.1.3 Etiologi

- Stres oksidatif
Stres oksidatif adalah suatu stimulus poten untuk mengaktivasi Cathepsin

D dan Matrix Metalloproteinase-2 (MMP-2), suatu enzim yang dapat

menggenerasi prolaktin 16 kDa. Belakangan ini ditemukan korelasi erat antara N-

terminal brain natriuretic peptide (NTproBNP), suatu marker tingkat stres dinding

ventrikel dan gagal jantung, prolaktin, dan marker untuk stres oksidatif (LDL

teroksidasi) dan infl amasi (interferon-gama).


- Prolaktin, Prolaktin 16 Kda dan Katepsin D
Stres oksidatif sebagai trigger aktivasi cathepsin D dalam kardiomiosit

akan memotong prolactin menjadi angiostatic and pro-apoptotic subfragment.

Pasien PPCM akut mempunyai kadar low density lipoprotein (LDL) serum tinggi

(suatu indikasi stres oksidatif tinggi) dan juga peningkatan kadar serum katepsin

D yang teraktivasi, prolaktin total dan fragmen prolaktin 16kDa yang bersifat

angiostatik.
Fragmen prolaktin 16 kDa mempunyai efek merusak kardiovaskular yang

dapat menjelaskan patofisiologi PPCM. Fragmen tersebut menginhibisi proliferasi

dan migrasi sel endotel, menginduksi apoptosis dan merusak struktur kapiler yang
telah terbentuk. Bentuk prolaktin ini meningkatkan vasokonstriksi dan merusak

fungsi kardiomiosit. Kadar prolaktin 16kDa yang tinggi tanpa keadaan PPCM

telah terbukti merusak mikrovaskuler jantung, menurunkan fungsi jantung dan

meningkatkan dilatasi ventrikel. Efek prolaktin 16kDa berlawanan dengan efek

kardioprotektif prolaktin bentuk lengkap. Prolaktin 16kDa tidak berfungsi melalui

reseptor prolaktin bentuk lengkap.


Pro-apoptotic serum markers (soluble death receptor sFas/Apo-1) telah

ditemukan kadarnya meningkat pada pasien PPCM. Marker ini juga dapat

memprediksi status fungsional, dan mortalitas penderita PPCM. Data

eksperimental PPCM (mencit dengan cardiomyocyterestricted deletion of the

signal transducer and activator of transcription-3, STAT3) menyatakan bahwa

suatu mekanisme defensif terhadap antioksidan yang rusak mungkin bertanggung

jawab atas terjadinya PPCM.


- Autoimun
Serum wanita PPCM mengandung titer autoantibodi tinggi terhadap

protein jaringan kardium yang tidak terdapat pada pasien kardiomiopati idiopatik.

Autoantibodi berasal dari sel fetal (microchimerism) (yang dapat masuk ke dalam

sirkulasi maternal), dan beberapa protein (seperti aktin dan miosin) yang

dilepaskan oleh uterus selama proses melahirkan telah terdeteksi pada pasien

PPCM. Autoantibodi ini bereaksi dengan protein miokardium maternal yang

kemudian menyebabkan PPCM. Multiparitas adalah faktor risiko PPCM,

menyimpulkan adanya pajanan terhadap antigen fetal atau paternal dapat

menyebabkan respon infl amasi miokardium abnormal.


- Miokarditis
Inflamasi jantung disebut juga miokarditis, telah diketahui berhubungan

dengan PPCM. Salah satu penelitian hubungan miokarditis dengan PPCM

mengemukakan bahwa dari 26 pasien, 8 pasien menunjukkan adanya viral

genome pada biopsi miokardium. Virus tersebut antara lain, parvovirus B19,

human herpes virus 6, Epstein-Barr virus, dan human cytomegalovirus.

Penelitian itu berdasarkan hipotesis bahwa perubahan sistem imun saat hamil

dapat mengeksaserbasi infeksi de novo atau mereaktivasi virus laten pada wanita

hamil, menyebabkan miokarditis yang berujung pada kardiomiopati. Marker

inflamasi yang terdapat di serum (termasuk soluble death receptor sFas/Apo-1),

C-reactive protein, interferon gama (IFN- (γ), dan IL-6, ditemukan meningkat

pada penderita PPCM.

Infeksi virus pada jantung merupakan salah satu etiologi yang mungkin

menyebabkan infl amasi peripartum. Beberapa penelitian melaporkan bahwa

sejenis cardiotropic enterovirus bertanggung jawab atas terjadinya PPCM

- Genetik

The European Society of Cardiology mengklasifi kasikan PPCM sebagai suatu

bentuk DCM nonfamilial dan nongenetik berhubungan dengan kehamilan. Tetapi

beberapa kasus PPCM telah terbukti berhubungan dengan faktor genetik.

Penelitian 90 keluarga familial DCM dan PPCM mengungkapkan adanya

causative mutation yang dapat dideteksi lebih awal dengan penapisan. Penelitian

tersebut menemukan adanya mutasi (c.149A>G, p.Gln50Arg) di dalam gen yang


mengkode cardiac troponin C (TNNC1).15 Adanya variasi genetik dalam

JAK/STAT signaling cascade juga dapat menjadi salah satu penyebab PPCM.

2.1.4 Faktor Risiko

- Multiparitas
- usia maternal yang lanjut (walaupun penyakit ini dapat mengenai semua

usia,insidensi akan meningkatpada wanita berusia > 30 tahun)


- kehamilan multifetal
- pre-eklamsia
- hipertensi gestasional
- ras Afrika Amerika

2.1.5 Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala awal PPCM biasanya menyerupai temuan normal

fisiologis kehamilan, termasuk oedem pedis, dyspneu d’effort, ortopnea,

paroxysmal nocturnal dyspnea, dan batuk persisten.

Tanda dan gejala tambahan pasien PPCM adalah: abdominal discomfort

sekunder terhadap kongesti hepar, pusing, nyeri sekitar jantung dan epigastrium,

palpitasi, pada stadium lanjut didapat hipotensi postural, peningkatan tekanan

vena jugularis, murmur regurgitasi yang tidak ditemukan sebelumnya, serta gallop

S3 dan S4 .

Pada mayoritas pasien, 78% gejala didapati pada 4 bulan setelah

melahirkan, hanya 9% pasien menunjukkan gejala pada bulan terakhir kehamilan.

Tanda dan gejala paling sering dijumpai pada saat pasien datang adalah dengan

NYHA functional class III atau IV. Kadang pasien datang dengan aritmi ventrikel

atau cardiac arrest.


Gejala PPCM diklasifikasikan menggunakan sistem New York Heart

Association sebagai berikut :

• Class I – Keadaan tanpa gejala

• Class II – Gejala ringan hanya pada aktivitas berat

• Class III – Gejala dengan aktivitas ringan

• Class IV – Gejala pada saat istirahat

2.1.6 Diagnosis

Kardiomiopati peripartum adalah diagnosis eksklusi, pasien harus telah

diperiksa dan disingkirkan penyebab lain gagal jantung selain kehamilan. Hal ini

untuk menyingkirkan kemungkinan diagnosis idiopathic dilated cardiomyopathy

(IDCM). Pertimbangan diagnosis PPCM biasanya pada masa postpartum,

sedangkan IDCM pada trimester ke-2 kehamilan. Kejadian miokarditis banyak

ditemukan pada PPCM, sehingga antigen dan antibodi terhadap agen penyebab

miokarditis dapat ditemukan, hal ini biasanya tidak ditemukan pada IDCM.

Ukuran jantung dapat kembali normal pada PPCM, namun dapat juga menjadi

progresif dan mempunyai prognosis buruk jika tidak segera ditangani.

Setelah berbagai etiologi telah disingkirkan, harus dipertimbangkan

kriteria berikut: keadaan kardiomiopati idiopatik, berhubungan dengan kehamilan,

bermanifestasi sebagai gagal jantung karena disfungsi sistolik ventrikel kiri,

biasanya terjadi selama 1 bulan terakhir kehamilan sampai 5 bulan masa

postpartum, adalah diagnosis eksklusi, terjadi pada wanita tanpa penyakit


kardiovaskular lain, tidak harus disertai dilatasi ventrikel kiri, namun fraksi ejeksi

biasanya selalu <45%.

Pemeriksaan laboratorik pada PPCM biasa nya tidak menunjukkan

abnormalitas kecuali telah terjadi komplikasi hipoksia lanjut. Pemeriksaan dapat

digunakan untuk menyingkirkan diagnosis diferensial seperti preeclampsia dan

noncardiogenic pulmonary edema. Noncardiogenic pulmonary edema selama

kehamilan adalah suatu keadaan tekanan onkotik rendah, digambarkan dengan

penurunan kadar albumin serum (kadar yang diharapkan ~3,2 mg/dL); sehingga

ketika ada stressor lain, dapat terjadi edema pulmonar dengan tekanan pengisian

jantung normal; trigger paling sering antara lain pyelonephritis dan infeksi lain,

corticosteroids, dan tocolytics seperti beta agonists dan magnesium sulfat.

- Pemeriksaan Penunjang :
 B-type natriuretic peptide
 Rontgen thorax
 EKG
 Echocardiografi
 MRI

2.1.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan medis PPCM secara garis besar sama dengan terapi

Congestive Heart Failure (CHF) karena disfungsi sistolik, dengan pengecualian

pemberian terapi pada ibu hamil harus dipikirkan efek toksisitas pada janin.

Tujuan akhir penatalaksanaan medis pasien PPCM adalah memperbaiki

oksigenasi dan menjaga cardiac output demi meningkatkan prognosis ibu dan

anak.
Penatalaksanaan awal PPCM adalah istirahat, pembatasan garam, dan

terapi diuretik. Oksigen dapat diberikan lewat face mask atau continuous positive

airway pressure (CPAP) dengan tekanan 5-7,5 cm H2O untuk membantu

meringankan cardiac output dan mendapatkan saturasi oksigen arteri ≥95%.

Pembatasan garam kurang dari 2 g/ hari dapat mencegah retensi air, sedangkan

loop-diuretic dengan dosis efektif terkecil dapat menurunkan pulmonary

congestion.

Restriksi cairan kurang dari 2 L/hari mungkin tidak diperlukan pada kasus

PPCM ringan sedang. Terapi angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-I)

adalah terapi lini pertama pada wanita postpartum, tetapi kontraindikasi pada ibu

hamil karena efek teratogeniknya terutama pada trimester kedua dan ketiga,

adanya hubungan peningkatan angka abortus, fetopati karena hipotensi fetus,

oligohidramnion-anuria, dan renal tubular dysplasia. ACE-I dapat dan harus

digunakan pada pasien PPCM masa postpartum dan aman untuk wanita menyusui.

Selain ACE-I, angiotensin receptor blocker (ARB) juga dikontraindikasikan pada

saat kehamilan karena efek toksisitasnya pada janin. Hydralazine dan nitrat

mengurangi afterload dan merupakan terapi dasar untuk wanita hamil dengan

PPCM. Nitrogliserin harus diberikan secara parenteral untuk mengurangi

afterload jika tekanan darah sistolik di atas 110 mmHg. Pemberian dengan titrasi

mulai dosis 10-20 μg/menit sampai maksimum 200 μg/menit. Nitroprusside

dikontraindikasikan pada wanita hamil karena adanya risiko penumpukan

thiocyanate dan cyanide pada fetus.


Dobutamin dan milrinon dapat digunakan untuk memberikan support

inotropic pada pasien dengan cardiac output rendah yang mempunyai gejala kulit

dingin dan lembap, vasokonstriksi sistemik yang menyebabkan asidosis, gagal

ginjal, disfungsi hati, dan gangguan kesadaran. Dobutamin memerlukan β-

receptors untuk efek inotropiknya, sedangkan milrinon tidak; hal ini penting

dalam terapi pasien yang juga mendapat β-blocker. Milrinon mempunyai sifat

vasodilatasi sistemik dan pulmoner; pada wanita dengan tekanan sistolik kurang

dari 90 mmHg, dobutamin lebih menguntungkan dibanding milrinon.

Digoxin, digitalis dengan efek inotropik, aman untuk kehamilan, dapat

digunakan untuk memaksimalkan kontraksi dan kontrol laju denyut jantung, tetapi

kadar dalam serum harus dipantau, karena jika berlebihan dapat menyebabkan

prognosis buruk. Calcium channel blockers (CCB), kecuali amlodipin,

memberikan efek inotropik negatif dan harus dihindari. Amlodipin, suatu CCB

golongan dihidropiridin telah dibuktikan dapat meningkatkan angka kehidupan

pada non-ischemic cardiomyopathy.

Beta-blockers digunakan sebagai terapi lini kedua karena penggunaan

jangka panjang pada masa prenatal dapat menyebabkan berat badan lahir rendah

(BBLR) pada bayi, meskipun beta-blocker relatif aman untuk wanita menyusui. β-

1 selective beta blocker lebih disukai dibanding β-2 receptor blockade, karena

secara teori β-2 dapat mempunyai aksi anti-tocolytic. Diuretik harus digunakan

secara terbatas pada kehamilan karena dapat mengurangi peredaran darah

plasenta. Diuretik terutama yang digunakan adalah loop diuretic (furosemide) dan

golongan thiazide (hydrochlorothiazide/ HCT).


Levosimendan merupakan agen kardiotropik lain yang dapat memperbaiki

cardiac output dengan meningkatkan respons miofi lamen terhadap kalsium

intraseluler, dan peningkatan kadar kalsium intraseluler. Levosimendan telah

terbukti efektif meningkatkan cardiac output dan menurunkan mortalitas.

Levosimendan digunakan per parenteral dengan laju 0,1-0,2 μg/kg/menit pada

gagal jantung dengan atau tanpa loading dose 3-12 μg/kg dalam 10 menit.

Antikoagulan disarankan untuk pasien PPCM, terutama bagi yang

mempunyai ejection fraction <35% dan mempunyai beberapa faktor risiko, seperti

dilatasi ventrikel berat, fibrilasi atrium, dan adanya trombus mural pada

echocardiography atau riwayat adanya trombus. Warfarin sangat teratogenik pada

awal kehamilan dan dapat menyebabkan fetal warfarin syndrome, sedangkan

pemakaian pada trimester kedua dan ketiga menyebabkan fetal cerebral

hemorrhage, microcephaly, buta, tuli, dan gangguan pertumbuhan.

Guideline American College of Cardiology and the American Heart

Association on the management of patients with heart valve disease mengatakan

bahwa jika diperlukan, warfarin mungkin aman digunakan pada 6 minggu

pertama kehamilan, akan tetapi terdapat risiko embryopathy jika digunakan lebih

dari itu. Namun, mengingat banyaknya risiko yang menyertai pemakaiannya,

warfarin sebaiknya digunakan pada masa postpartum. Low-molecular-weight

heparin (enoxaparin) lebih disukai pada saat kehamilan karena tidak menembus

plasenta dan mempunyai risiko rendah untuk terjadinya osteoporosis dan

trombositopenia, selain itu bioavailabilitas lebih dapat diprediksi.


The American Society of Anesthesiology merekomendasikan bahwa

wanita dengan dosis tinggi LMWH tidak mendapatkan anestesi spinal dan

epidural untuk 24 jam setelah injeksi terakhir.

Selain itu, dapat pula digunakan low dose unfractionated heparin (UFH).

Pada PPCM dosisnya adalah 5.000 unit UFH subcutan dua atau tiga kali sehari

pada trimester pertama, 7.500 unit di trimester kedua, dan 10.000 unit dua kali

sehari di trimester ketiga. Pada dasarnya, pasien dengan PPCM disarankan untuk

mendapatkan terapi antikoagulan sampai fungsi ventrikel kiri menjadi normal

menurut kriteria ekokardiografi .

Cardiac Resynchronization Therapy dan Implantable

Cardioverters/Defibrillators

Jika pasien PPCM mempunyai persistently severe LV-dysfunction 6 bulan

setelah didiagnosis, walaupun telah menerima terapi medis secara optimal, banyak

yang menganjurkan pemasangan ICD (implantable cardioverters/ defibrillator)

yang dapat dikombinasi dengan CRT (cardiac resynchronization therapy) jika

pasien tersebut juga memiliki gejala NYHA (New York Heart Association) FC III

atau IV dan durasi QRS > 120 ms.

Agen Immunosuppressant

Intravenous Immunoglobulin (IVIG) Peran IVIG sebagai salah satu terapi

PPCM ditelaah dalam penelitian retrospektif dari 6 wanita yang diterapi IVIG dan

11 wanita yang diterapi secara konvensional. Setelah 6 bulan, terdapat

peningkatan LVEF (left ventricular ejection fraction) yang bermakna pada wanita

yang diterapi dengan IVIG dibandingkan dengan terapi konvensional (26% vs


13%). Akan tetapi, uji IMAC (controlled trial of immune globulin in recent-onset

dilated cardiomyopathy) menunjukkan bahwa terapi imunoglobulin pada pasien

dewasa dengan recent-onset cardiomyopathy tidak mempengaruhi perbaikan

LVEF atau kapasitas fungsional pada follow-up.

Bromocriptine

Strategi terapi ini didasarkan pada penelitian mutasi delesi gen

cardiomyocyte-specifi c STAT-3. Mutasi tersebut menyebabkan peningkatan

ekspresi dan aktivitas cardiac cathepsin D dan mempromosi pembentukan 16-kD

prolactin. Hasilnya menyatakan bahwa terapi mencit dengan bromocriptine telah

terbukti mencegah terbentuknya PPCM.

METODE MELAHIRKAN

Pasien PPCM selama kehamilan memerlukan perawatan bersama spesialis

jantung dengan spesialis obstetri ginekologi. Kecuali terdapat penurunan kondisi

maternal atau fetal, tidak diperlukan terminasi kehamilan lebih awal. Persalinan

darurat tanpa memikirkan umur gestasi, hanya dipertimbangkan pada PPCM berat

dan status hemodinamik tidak stabil. Kemungkinan terbaik untuk ibu dan anak

harus didiskusikan oleh tim yang terdiri dari kardiolog, ahli kandungan,

anestesiologis, neonatologis, dan internis.

Pada dasarnya, melahirkan spontan per vaginam lebih dianjurkan untuk

wanita PPCM dengan kondisi jantung terkontrol dan fetus sehat. Sectio caesarea

terencana dianjurkan untuk wanita dalam keadaan kritis dan memerlukan terapi

inotropik atau support mekanis.


Pada kala II melahirkan spontan dapat dibantu menggunakan forsep atau

vakum untuk mempersingkat waktu melahirkan dan mengurangi beban jantung.

Komplikasi kardiovaskuler selama proses melahirkan diantaranya supine

hypotension, peningkatan cardiac output, dan kehilangan darah.

Cairan intravena beserta continuous urinary catheter harus terpasang

untuk mencegah overload cairan dan edema pulmoner. Fetus harus dipantau

dengan kardiotokografi . Posisi left lateral decubitus (LLD) lebih dianjurkan

untuk memastikan venous return yang memadai dari vena cava inferior. Analgesik

epidural lebih dianjurkan pada kala 1 karena dapat menstabilisasi cardiac output.

Pada sectio caesarea continuous spinal anesthesia dan kombinasi anestesi spinal

dan epidural telah dianjurkan.

Kala III dalam fase melahirkan dapat dibantu dengan pemberian oxytocin

IM. Ergometrin merupakan kontraindikasi. Setelah melahirkan, auto transfusi

darah dari ekstremitas bawah dan uterus yang berkontraksi dapat meningkatkan

preload secara signifi kan, dianjurkan pemberian furosemide iv.

MENYUSUI

Dengan dasar penemuan terbaru tentang efek fragmen prolaktin, menyusui

tidak dianjurkan pada pasien yang dicurigai menderita PPCM atau didiagnosis

pasti PPCM. Jika perlu, dapat diberikan ACE-inhibitors (captopril, enalapril, dan

quinapril).

KEHAMILAN BERIKUTNYA

Karena sedikitnya data tentang PPCM, sulit melakukan konseling

individual, tetapi ada nya LVEF <25% pada saat terdiagnosis atau LVEF tidak
kembali normal setelah melahirkan, pasien dengan riwayat PPCM disarankan

untuk tidak hamil lagi.

Semua pasien harus diberi informasi bahwa kehamilan mempunyai efek

negatif terhadap fungsi jantung, dan dapat terjadi gagal jantung yang berujung

pada kematian. Wanita dengan riwayat PPCM harus disaran-kan menggunakan

metode kontrasepsi karena menghentikan kehamilan mungkin tidak dapat

mencegah PPCM. Intrauterine device / IUD (copperdan progesterone releasing

IUD) adalah tipe yang paling efektif dan pada jangka panjang tidak meningkatkan

risiko trombo-embolisme. Kontrasepsi yang mengandung hormon kombinasi

(estrogen dan progestin - bentuk sintetik progesteron) harus dihindari. Estrogen

dapat meningkat-kan risiko trombo-embolisme dan harus di-hindari, tetapi

pemberian progesteron saja aman dipakai. Metode barriertidak disaran kan karena

tingginya tingkat kegagalan. Pilihan untuk sterilisasi dapat dipertimbangkan,

seperti vasektomi, tubal ligation, dan insersi tubal stent.

2.1.8 Prognosis

Faktor prediksi mortalitas independen yang masih perlu dipelajari lebih

lanjut adalah gejala, kelas NYHA, LVEF, durasi QRS, dan onset lambat. Pada

penelitin, angka mortalitas untuk 29 wanita berkisar antara 32%, sedangkan pada

penelitian besar pada populasi di Haiti oleh Fett, et al, angka mortalitas berkisar

antara 15,8%.
BAB III

RINGKASAN

Kardiomiopati peripartum (peripartum cardiomyopathy, PPCM) adalah

keadaan kardiomiopati idiopatik, berhubungan dengan kehamilan, bermanifestasi

sebagai gagal jantung karena disfungsi sistolik ventrikel kiri, biasanya terjadi

selama 1 bulan terakhir kehamilan sampai 5 bulan postpartum. PPCM adalah

diagnosis eksklusi, terjadi pada wanita tanpa penyakit kardiovaskular lain, tidak

harus disertai dengan dilatasi ventrikel kiri, namun fraksi ejeksi biasanya selalu

<45%. Kriteria kardiomiopati peripartum adalah terjadinya gagal jantung pada

bulan terakhir kehamilan atau dalam 5 bulan setelah melahirkan, tidak adanya

kausa gagal jantung yang dapat diidentifikasi, tidak adanya penyakit jantung

sebelum bulan terakhir kehamilan dan isfungsi sistolik ventrikel kiri yang

dibuktikan oleh kriteria ekokardiografik klasik misalnya berkurangnya shortening

fraction atau fraksi ejeksi.

Penatalaksanaan medis PPCM secara garis besar sama dengan terapi

congestive heart failure(CHF) karena adanya disfungsi sistolik, dengan

pengecualian pada ibu hamil harus dipikirkan efek toksisitas pada janin. Tujuan

akhir penatalaksanaan medis pasien PPCM adalah memperbaiki oksigenasi dan

menjaga cardiac output demi meningkatkan prognosis ibu dan anak.Terapi PPCM

pada kehamilan harus termasuk pemberian oksigen jika perlu, pembatasan garam,

dan pembatasan intake cairan. Harus dipikirkan pemberian antikoagulan selama

kehamilan untuk mengurangi risiko trombosis.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham, dkk. William Obstetri, ed 23. EGC. Jakarta,2009.


2. Monique S., Vallentino R. Definisi, Etiopatogenesis, dan Diagnosis
Kardiomiopati Peripartum. CDK 218, vol. 41. IDI, 2014.
3. Monique S., Vallentino R. Penatalaksanaan Kardiomiopati Peripartum.
CDK 228, Vol. 42. IDI, 2014.
4. Zolt Arany, Uri Elkayam. Peripartum Cardiomyopathy. Circulation, AHA.
2016.
5. Sharma and Russell. An Update on Peripartum Cardiomyopathy in the 21 st
Century. International Journal of Clinical Cardiology. USA, 2015.

28

Anda mungkin juga menyukai