Pembimbing :
dr. Ronny, Sp.OG
Disusun Oleh:
Zulfikar Caesar Narendra
1102014294
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyusun Presentasi
Kasus PERDARAHAN POST PARTUM E.C RETENSIO PLASENTA, DAN ANEMIA
GRAVIS
Penyusunan tugas ini masih jauh dari sempurna baik isi maupun penyajiannya sehingga
diharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak agar dikesempatan yang akan
datang penulis dapat membuat yang lebih baik lagi.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Ronny, Sp.OG
sebagai pembimbing yang telah membantu menyempurnakan presentasi kasus ini. Semoga tugas
ini dapat bermanfaat untuk kita semua.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Perdarahan setelah melahirkan atau post partum hemorrhagic (PPH) adalah konsekuensi
perdarahan berlebihan dari tempat implantasi plasenta, trauma di traktus genitalia dan
struktur sekitarnya, atau keduanya.1
Diperkirakan ada 14 juta kasus perdarahan dalam kehamilan setiap tahunnya paling
sedikit 128.000 wanita mengalami perdarahan sampai meninggal. Sebagian besar kematian
tersebut terjadi dalam waktu 4 jam setelah melahirkan.2
Di Indonesia, sebagian besar persalinan terjadi tidak di rumah sakit, sehingga sering
pasien yang bersalin di luar kemudian terjadi perdarahan post partum terlambat sampai ke
rumah sakit, saat datang keadaan umum/hemodinamiknya sudah memburuk, akibatnya
mortalitas tinggi.3 Pada tahun 2013, perdarahan yaitu terutama perdarahan postpartum
menyebabkan kematian ibu sebanyak 30,3% di Indonesia. Selain perdarahan, penyebab
kematian ibu tertinggi lainnya adalah hipertensi dalam kehamilan, infeksi, partus lama dan
abortus.2
Apabila terjadi perdarahan yang berlebihan pasca persalinan harus dicari etiologi yang
spesifik. Atonia uteri, retensio plasenta (termasuk plasenta akreta dan variannya), sisa
plasenta, dan laserasi traktus genitalia merupakan penyebab sebagian besar perdarahan post
partum. Dalam 20 tahun terakhir, plasenta akreta mengalahkan atonia uteri sebagai penyebab
tersering perdarahan post partum yang keparahannya mengharuskan dilakukan tindakan
histerektomi. Laserasi traktus genitalia yang dapat terjadi sebagai penyebab perdarahan post
partum antara lain laserasi perineum, laserasi vagina, cedera levator ani dan cedera pada
serviks uteri.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2.Klasifikasi4,6,7
Berdasarkan waktunya, perdarahan pascapersalinan dibedakan atas:
a. Perdarahan pascapersalinan primer / dini (early postpartum hemorrhage),
Adalah perdarahan ≥ 500 cc yang terjadi pada 24 jam pertama setelah persalinan. Etiologi dari
perdarahan pasca persalinan dini biasanya disebabkan oleh:
1. atonia uteri
2. laserasi jalan lahir
3. ruptura uteri
4. inversio uteri
5. plasenta akreta
6. gangguan koagulasi herediter
Trombin – Koagulopati
Gangguan koagulasi dan trombositopenia, yang terjadi sebelum atau pada saat kala II
atau III, dapat berhubungan dengan perdarahan masif. Pada awal periode postpartum,
gangguan koagulasi dan platelet biasanya tidak selalu mengakibatkan perdarahan yang masif,
hal ini dikarenakan adanya kontraksi uterus yang mencegah terjadinya perdarahan. Faktor
pembekuan darah pada pembuluh darah berperan pada saat postpartum. Bila ada gangguan
pada faktor pembekuan darah dapat menyebabkan perdarahan postpartum tipe lambat.
Abnormalitas faktor pembekuan darah dapat terjadi sebelumnya atau didapat.
Trombositopenia dapat berhubungan dengan penyakit lain yang menyertai, seperti ITP atau
HELLP sindrom (hemolisis, peningkatan enzim hati, dan penurunan platelet), solutio
plasenta, DIC, atau sepsis. Kebanyakan hal ini terjadi bersamaan meskipun tidak didiagnosa
sebelumnya.
2.4. Komplikasi
1) Sindrom Sheehan – perdarahan banyak kadang-kadang diikuti dengan sindrom
Sheehan, yaitu: kegagalan laktasi, amenore, atrofi payudara, rontok rambut pubis dan
aksila, superinvolusi uterus, hipotiroidi, dan insufisiensi korteks adrenal.
2) Diabetes insipidus – perdarahan banyak pascapersalinan dapat mengakibatkan diabetes
insipidus tanpa disertai defisiensi hipofisis anterior.
3) Syok Hemoragik
B. Perdarahan Post Partum e.c Retensio Plasenta dan Sisa Plasenta (Placental Rest)
1. Definisi
Perdarahan pascapersalinan dini dapat terjadi sebagai akibat tertinggalnya sisa
plasenta atau selaput janin. bila hal tersebut terjadi, harus dikeluarkan secara manual atau
di kuretase disusul dengan pemberian obat-obat uterotonika intravena.9
Perlu dibedakan antara retensio plasenta dengan sisa plasenta (rest placenta).
Dimana retensio plasenta adalah plasenta yang belum lahir seluruhnya dalam setengah
4,7
jam (30 menit) setelah janin lahir. Sedangkan sisa plasenta merupakan tertinggalnya
bagian plasenta dalam uterus yang dapat menimbulkan perdarahan post partum primer
atau perdarahan post partum sekunder.7
Sewaktu suatu bagian plasenta (satu atau lebih lobus) tertinggal, maka uterus
tidak dapat berkontraksi secara efektif dan keadaan ini dapat menimbulkan perdarahan.
Gejala dan tanda yang bisa ditemui adalah perdarahan segera, uterus berkontraksi tetapi
tinggi fundus tidak berkurang.
2. Etiologi4
i. Plasenta belum lepas dari dinding uterus
ii. Plasenta sudah lepas tetapi belum dilahirkan
Penyebab Retensio Plasenta4 :
a. Fungsional
- His kurang kuat (penyebab tersering)
- Plasenta sukar terlepas karena tempatnya (insersi di sudut tuba); bentuknya (plasenta
membranasea, plasenta anularis); dan ukurannya (plasenta yang sangat kecil).
Plasenta yang sukar lepas dari uterus karena penyebab di atas disebut plasenta adhesive.
b. Patologi-anatomi
- Plasenta akreta : implantasi plasenta menembus desidua basalis dan Nitabuch layer
- Plasenta inkreta : plasenta sampai menembus miometrium
- Plasenta perkreta : vili korialis sampai menembus perimetrium.
Faktor predisposisi terjadinya plasenta akreta adalah plasenta previa, bekas seksio
sesarea, riwayat kuret berulang, dan multiparitas.
Apabila plasenta belum lahir sama sekali, tidak terjadi perdarahan, jika lepas
sebagian terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya. Plasenta
belum lepas dari dinding uterus bisa karena: 7
1. Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta ( plasenta adhesiva)
2. Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vili korialis menembus desidua
sampai miometrium.
Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar, disebabkan
tidak adanya usaha untuk melahirkan, atau salah penanganan kala tiga, sehingga terjadi
lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta.7
—
Faktor yang mempengaruhi pelepasan plasenta :
1. Kelainan dari uterus sendiri, yaitu : Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta
(plasenta adhessiva),
Plasenta adhesiva, yang melekat pada desidua endometrium lebih dalam. Kontraksi uterus kurang
kuat untuk melepaskan plasenta. Plasenta adhesiva merupakan implantasi yang kuat dari
jonjot korion plasenta sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis
2. Kelainan dari plasenta, misalnya : Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi
khorialis menembus desidua sampai miometrium – sampai dibawah peritoneum (plasenta
akreta-perkreta)4
Plasenta akreta, yang mana villi khorialis menembus lebih kedalam dinding rahim (miometrium)
tetapi belum menembus serosa (sampai kebatas atas lapisan otot rahim). Implantasi jonjot
korion plasenta hingga memasuki sebagian lapisan miometrium. Lebih sering terjadi pada
pasien yang sebelumnya pernah operasi seksio sesarea.6
Plasenta inkreta, dimana villi khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus desidua sampai ke
miometrium. Implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki lapisan miometrium
Plasenta perkreta , kalau villi khorialis menembus lapisan otot dan mencapai serosa atau
peritoneum dinding rahim dan menembusnya. Implantasi jonjot korion menembus lapisan
otot sampai lapisan serosa dinding uterus.6
3. Kesalahan manajemen kala III persalinan, seperti : manipulasi dari uterus yang tidak perlu
sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta dapat menyebabkan kontraksi yang tidak ritmik,
pemberian uterotonik yang tidak tepat waktunya juga dapat menyebabkan serviks kontraksi
(pembentukan constriction ring) dan menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio plasenta).
3. Plasenta8
Plasenta (uri) adalah yang sangat penting bagi janin karena plasenta merupakan alat
pertukaran zat antara ibu dan anak dan sebaliknya, juga sebagai penghasil hormon. Jiwa anak
bergantung pada plasenta. Baik tidaknya anak bergantung pada baik buruknya faal plasenta.
Setelah nidasi, sel-sel trofoblas menyerbu kedalam desidua sekitarnya sambil
menghancurkan jaringan. Diantara massa trofoblas timbul lubang-lubang sehingga
menyerupai susunan spons. Lubang ini kemudian berisi darah ibu karena dinding pembuluh-
pembuluh darah juga termakan oleh kegiatan troblas.
Mula-mula sel-sel yang dihancurkan menjadi bahan makanan bagi telur, kemudian
makanan diambil dari darah ibu. Sel-sel trofoblas yang menyerbu kemudian berubah menjadi
batang-batang yang masing-masing bercabang pula dan akhirnya membentuk jonjot korion
(vili korialis). Sementara itu, trofoblas yang membentuk dinding vilus sudah terdiri dari dua
lapisan.
1. Lapisan luar atau sinsitiotrofoblas
2. Lapisan dalam atau sitotrofoblas (sel-sel Langhans)
Sebelah dalam villus terisi oleh mesoderm. Dalam mesoderm ini terbentuk sel-sel darah
merah dan pembuluh-pembuluh darah yang lambat laun sambung menyambung dan akhirnya
berhubungan dengan peredaran darah janin melalui pembuluh-pembuluh darah di dalam tali
pusat.
Pada kehamilan muda, seluruh korion mempunyai vili, tetapi vili dalam desidua
kapsularis akan mati, sedangkan vili dalam desidua basalis tumbuh terus dan merupakan
bagian fetal dari plasenta. Sebagian vili ada yang menanamkan diri kedalam desidua, vili ini
disebut jonjot panjang (Haftzotte) karena memancangkan telur pada desidua. Ada juga vili
yang ujungnya tidak sampai ke desidua, tetapi terapung dalam darah ibu. Vili ini terutama
bertugas mencari makanan. Mula-mula vili itu berbentuk batang saja, tetapi kemudian
mengeluarkan cabang-cabangnya. Hal ini sangat memperluas permukaan filtrasi vili tersebut
dan berguna karena kebutuhan janin bertambah seriring usianya.
Pada minggu ke-16, sel-sel Langhans mulai menghilang. Hal ini menguntungkan bagi
kecepatan pertukaran zat antara darah anak dan ibu. Darah anak dan ibu tidak dapat
bercampur karena terpisah oleh jaringan yang dinamakan membran plasenta, terdiri dari dua
lapisan sinsitium, lapisan sel Langhans, jaringan ikat vilus dan lapisan endotel kapiler.
Dengan hilangnya satu lapisan, membran plasenta akan menjadi lebih tipis dan pertukaran
zat lebih lancar. Pada akhir bulan ke IV, daya serbu trofoblas berhenti dan pada batas antara
jaringan janin dan ibu terdapat lapisan jaringan yang bersifat nekrotik, disebut lapisan fibrin
Nitabuch.
Pada akhir kehamilan, plasenta akan berbentuk seperti cakram dengan garis tengah 15-20
cm, tebal 2-3 cm, dan berat ± 500 gr. Plasenta tadi terletak pada dinding rahim sebelah depan
atau belakang di dekat fundus.
Permukaan fetal adalah permukaan plasenta yang menghadap ke janin, warnanya
keputuh-putihan dan licin karena tertutup oleh amnion. Di bawah amnion, tampak pembuluh-
pembuluh darah.
Permukaan maternal adalah permukaan plasenta yang menghadap ke dinding rahim,
warnanya merah dan terbagi-bagi oleh celah-celah. Celah ini tadinya terisi oleh septa (sekat)
yang berasal dari jaringan ibu. Oleh celah-celah ini, plasenta terbagi dalam 16-20 kotiledon.
Pada penampang sebuah plasenta yang masih melekat pada dinding rahim, tampak bahwa
plasenta terdiri dari dua bagian :
1. Bagian dari jaringan anak, disebut lempeng penutup atau membrana korii, yang dibentuk
oleh amnion, pembuluh-pembukuh darah janin, korion, dan vili
2. Bagian yang terbentuk oleh jaringan ibu, disebut lempeng desidua atau lempeng basal,
yang terdiri dari desidua kompakta dan sebagian desidua spongiosa, yang kelak ikut lepas
bersama plasenta.
Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi. Kontraksi dan retraksi
otot-otot uterus menyelesaikan proses ini pada akhir persalinan. Sesudah berkontraksi, sel
miometrium tidak relaksasi, melainkan menjadi lebih pendek dan lebih tebal. Dengan
kontraksi yang berlangsung kontinyu, miometrium menebal secara progresif, dan kavum
uteri mengecil sehingga ukuran juga mengecil. Pengecilan mendadak uterus ini disertai
mengecilnya daerah tempat perlekatan plasenta.
Ketika jaringan penyokong plasenta berkontraksi maka plasenta yang tidak dapat
berkontraksi mulai terlepas dari dinding uterus. Tegangan yang ditimbulkannya
menyebabkan lapis dan desidua spongiosa yang longgar memberi jalan, dan pelepasan
plasenta terjadi di tempat itu. Pembuluh darah yang terdapat di uterus berada di antara
serat-serat otot miometrium yang saling bersilangan. Kontraksi serat-serat otot ini
menekan pembuluh darah dan retaksi otot ini mengakibatkan pembuluh darah terjepit
serta perdarahan berhenti.
Fase laten, ditandai oleh menebalnya dinding uterus yang bebas tempat plasenta, namun
dinding uterus tempat plasenta melekat masih tipis.
Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat plasenta melekat (dari
ketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2 cm).
Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta menyempurnakan pemisahannya dari
dinding uterus dan lepas. Tidak ada hematom yang terbentuk antara dinding uterus
dengan plasenta. Terpisahnya plasenta disebabkan oleh kekuatan antara plasenta yang
pasif dengan otot uterus yang aktif pada tempat melekatnya plasenta, yang mengurangi
permukaan tempat melekatnya plasenta. Akibatnya sobek di lapisan spongiosa.
Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur. Saat plasenta bergerak turun,
daerah pemisahan tetap tidak berubah dan sejumlah kecil darah terkumpul di dalam
rongga rahim. Ini menunjukkan bahwa perdarahan selama pemisahan plasenta lebih
merupakan akibat, bukan sebab. Lama kala tiga pada persalinan normal ditentukan oleh
lamanya fase kontraksi. Dengan menggunakan ultrasonografi pada kala tiga, 89%
plasenta lepas dalam waktu satu menit dari tempat implantasinya.
5. Diagnosis4
Diagnosis retensio plasenta ditegakkan atas dasar lamanya plasenta lahir setelah
kelahiran bayi. Tanda-tanda lepasnya plasenta adalah sering ada pancaran darah yang
mendadak, uterus menjadi globuler dan konsistensinya semakin padat, uterus meninggi
ke arah abdomen karena plasenta yang telah berjalan turun masuk ke vagina, serta tali
pusat yang keluar lebih panjang. Sesudah plasenta terpisah dari tempat melekatnya maka
tekanan yang diberikan oleh dinding uterus menyebabkan plasenta meluncur ke arah
bagian bawah rahim atau atas vagina.
Kadang-kadang, plasenta dapat keluar dari lokasi ini oleh adanya tekanan inter-
abdominal. Namun, wanita yang berbaring dalam posisi terlentang sering tidak dapat
mengeluarkan plasenta secara spontan. Umumnya, dibutuhkan tindakan artifisial untuk
menyempurnakan persalinan kala tinggi. Metode yang biasa dikerjakan adalah dengan
menekan dan mengklovasi uterus, bersamaan dengan tarikan ringan pada tali pusat
Untuk mengetahui plasenta sudah lepas dari tempatnya dapat dipakai beberapa
perasat, yaitu :
Perasat Kustner : tangan kanan meregangkan tali pusat, tangan kiri menekan daerah
diatas simfisis. Bila tali pusat masuk kembali kedalam vagina, berarti plasenta belum
lepas.
Perasat Strassman : tangan kanan meregangkan tali pusat, tangan kiri mengetok
fundus uterus. Bila terasa pada tali pusat yang diregangkan berarti plasenta belum
terlepas.
Perasat Klein : pasien disuruh mengedan, tali pusat tampak turun ke bawah. Bila
pengedanannya berhenti dan tali pusat masuk kembali ke dalam vagina, berarti
plasenta belum lepas dari dinding uterus.
Pada kasus perdarahan pasca persalinan karena sisa plasenta di dalam kavum
uteri, seringkali disebabkan karena plasenta akreta, yaitu plasenta yang melekat erat pada
dinding kavum uteri, vili korialis menanamkan diri lebih dalam ke dinding rahim, yang
pada plasenta normal, hanya menanamkan diri sampai batas atas lapisan otot rahim.
Plasenta akreta dibedakan menjadi plasenta akreta kompleta (jika seluruh permukaan
melekat erat pada dinding rahim), dan plaseta akreta parsialis (hanya beberapa bagian
dari plasenta yang melekat erat dengan dinding rahim).
Plasenta akreta yang kompleta, plasenta ipnkreta, dan plasenta perkreta jarang
terjadi. Penyebab plasenta akreta adalah kelainan desidua, misalnya desidua yang terlalu
tipis.. Plasenta akreta menyebabkan retensio plasenta.
6. Penanganan4
Inspeksi plasenta segera setelah bayi lahir. jika ada plasenta yang hilang, uterus
harus diekspl orasi dan potongan plasenta dikeluarkan khususnya jika kita menghadapi
perdarahan post partum lanjut.
Jika plasenta belum lahir, harus diusahakan mengeluarkannya. Dapat dicoba dulu parasat
Crede, tetapi saat ini tidak digunakan lagi karena memungkinkan terjadinya inversio uteri.
Tekanan yang keras akan menyebabkan perlukaan pada otot uterus dan rasa nyeri keras
dengan kemungkinan syok.
Cara lain untuk membantu pengeluaran plasenta adalah cara Brandt, yaitu salah satu
tangan, penolong memegang tali pusat dekat vulva. Tangan yang lain diletakkan pada
dinding perut diatas simfisis sehingga permukaan palmar jari-jari tangan terletak
dipermukaan depan rahim, kira-kira pada perbatasan segmen bawah dan badan rahim.
Dengan melakukan penekanan kearah atas belakang, maka badan rahim terangkat. Apabila
plasenta telah lepas maka tali pusat tidak tertarik keatas. Kemudian tekanan diatas simfisis
diarahkan kebawah belakang, ke arah vulva. Pada saat ini dilakukan tarikan ringan pada tali
pusat untuk membantu megeluarkan plasenta. Tetapi kita tidak dapat mencegah plasenta
tidak dapat dilahirkan seluruhnya melainkan sebagian masih harus dikeluarkan dengan
tangan. Pengeluaran plasenta dengan tangan kini dianggap cara yang paling baik. Tehnik ini
kita kenal sebagai plasenta manual.
Plasenta akreta parsialis masih dapat dilepaskan secara manual, tetapi plasenta akreta
kompleks tidak boleh dilepaskan secara manual karena usaha ini dapat menimbulkan
perforasi dinding rahim. Terapi terbaik plasenta akreta totalis adalah histerektomi.
BAB III
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Cicih Pitria
Umur : 28 tahun
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Golongan darah: O
Alamat : Perum Villa Mutiara Jaya Blok M.1 no. 16
RT 01 RW 07, Wanajaya, Cibitung
No.CM : 164536
Tanggal Masuk: 7 Oktober 2019
B. ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis dan aloanamnesis dengan keluarga pasien pada tanggal 7
Oktober 2019 pada pukul 04.30 WIB
Keluhan Utama :
Keluar darah dari jalan lahir 2 jam setelah melahirkan bayi.
Riwayat menstruasi :
o Haid pertama : usia 12 Tahun
o Siklus Haid : Teratur setiap 1 bulan sekali
o Lama Haid : 5 - 7 hari
Riwayat pernikahan :
Pasien menikah pada usia 17 tahun, menikah hanya sekali dan sudah 11 tahun.
Riwayat KB :
Memakai KB suntik 3 bulan selama 4 tahun.
Riwayat Obstetri:
o Paritas : P3 A0 AH: 3
o HPHT : Lupa
o HPL : Lupa
Riwayat Persalinan:
Tahun Jenis Umur Jenis Penolong Umur BB Lahir
lahir Kelamin Kehamilan Kehamilan Anak
1 2012 Perempuan + 9 Bulan Spontan Bidan 7 Tahun 3000 g
2 2015 Perempuan + 9 Bulan Spontan Bidan 4 Tahun 2800 g
3 2019 Laki-laki + 9 Bulan Spontan Sendiri 3500 g
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status generalis
Keadaan umum : Letargis
Kesadaran : Somnolen
Tekanan darah : 85/41 mmHg
Nadi : 143 x/menit teraba lemah
Suhu : 35,7 oC
Pernafasan : 30 x/menit
Saturasi : 98% terpasang nasal canul dengan oksigen 4 lpm
Mata : Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-
Wajah : Pucat, lidah pucat
Paru : SN Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Jantung : BJ I – II normal reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Pembesaran perut yang simetris, bising usus (+)
Ekstremitas : Akral dingin, CRT > 2", Edema (-)
2. Status obstetri
a. Pemeriksaan luar
TFU : 2 jari diatas pusat (+ 22 cm)
Leopold I - IV Tidak dilakukan
Kontraksi : (-) lemah
b. Inspekulo : Tidak dilakukan
c. Pemeriksaan dalam : Tampak tali pusat keluar dari ostium vagina,
porsio tebal lunak, pembukaan 4 cm, robekan
jalan lahir (-)
3. Pemeriksaan Laboratorium
7 Oktober 2019
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hematologi
Darah Rutin
· Hb 5,2 12 – 16 g/dL
· Hct 16 35 – 50 %
· Eritrosit 1,95 3,8 – 5,8 juta/µL
· Leukosit 28.300 3500 – 10000/ µL
· Trombosit 231.000 150000 – 400000/ µL
D. DIAGNOSIS KERJA
P3A0 post partum aterm spontan dengan syok hipovolemik e.c perdarahan post
partum dini e.c retensio plasenta, anemia gravis, dan retardasi mental
E. RENCANA PENATALAKSANAAN
- Injeksi 10 Unit Oksitosin + 0,2 mg Metergin dalam 500 cc Ringer Laktat drip
20 tpm makro
- Loading cairan NaCl 0,9% secepatnya
- Injeksi Ceftriaxone 3 x 1 g IV
- Transfusi PRC 750 cc
- Nasal canule dengan oksigen 4 lpm
- Manual plasenta setelah keadaan umum stabil
- Observasi tanda vital
F. PROGNOSIS
ad vitam : Dubia
ad sanactionam : dubia ad bonam
ad functionam : dubia ad bonam
G. FOLLOW UP
Ruang VK
Tanggal, Temuan Klinis dan Penatalaksanaan
Jam
Pemeriksaan
7 Oktober 2019 S: Pasien mengeluhkan lemas
04.30 O: KU: letargis
Kesadaran : Somnolen
TD : 88/42
Nadi : 140 x/menit
RR : 28 x/menit
Suhu : 36,1 ⁰C
Perdarahan : masih aktif
TFU: 2 jari diatas pusat, kontraksi uterus lemah
Vulvovagina: tampak tali pusat
A: P3A0 post partum aterm spontan dengan syok hipovolemik e.c
perdarahan post partum e.c retensi plasenta, Anemia gravis
P: IVFD RL 500 cc + 10 unit oksitosin + 0,2 mg Metergin 20 tpm
makro
Nasal canule dengan oksigen 4 lpm
Dilakukan manual plasenta. Plasenta lahir tidak lengkap, kotiledon
(+), selaput tidak lengkap.
7 Oktober 2019 S: Pasien masih merasa lemas
05.00 O: KU: letargis
Kesadaran : Composmentis
TD : 90/55
Nadi : 120 x/menit
RR : 24 x/menit
Suhu : 36,2⁰C
Perdarahan : + (observasi menggunakan pampers)
TFU: setinggi pusat, kontraksi lemah
A: P3A0 post partum aterm spontan dengan perdarahan post partum dini
e.c retensi plasenta, susp. sisa plasenta, anemia gravis
P : IVFD RL 500 cc + oksitosin 10 unit + Metilergometrin 0,2 mg 20
tpm makro
Injeksi Ceftriaxone 3 x 1 g IV
7 Oktober 2019 S: Pasien mengeluh nyeri perut dan masih keluar darah
08.30 O: KU: tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
TD : 100/60
Nadi : 100 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,5⁰C
Perdarahan : + 50 cc
TFU: setinggi pusat, kontraksi lemah
A : P3A0 post partum aterm spontan dengan perdarahan post partum
dini e.c retensi plasenta, susp. sisa plasenta, anemia gravis
P : IVFD NaCl 0,9% 20 tpm makro
Transfusi PRC kolf pertama saat dipindah ke ruang nifas
Ruang Nifas
Tanggal, Temuan Klinis dan Penatalaksanaan
Jam
Pemeriksaan
7 Oktober 2019 S: Pasien mengeluh nyeri perut dan lemas, pasien sudah bisa berdiri dan
11.00 berjalan ke kamar mandi walaupun harus dibantu oleh kakaknya
O: KU: baik
Kesadaran : Composmentis
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 90 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36 ⁰C
Perdarahan: + 150 cc (observasi menggunakan pampers)
TFU: setinggi pusat, kontraksi lemah
Vulvovagina: tenang, hiperemis (-)
A : P3A0 post partum aterm spontan dengan perdarahan post partum
lambat susp. sisa plasenta, anemia gravis
P : IVFD NaCl 0,9% 20 tpm makro
Transfusi PRC kolf I (235 cc)
Injeksi Ceftriaxone 3 x 1 g IV
Rencana Kuretase setelah perbaikan keadaan umum
8 Oktober 2019 S: Pasien mengeluh nyeri perut bawah namun tidak seberat kemarin,
09.00 lemas membaik. Pasien sudah mau makan satu porsi habis. Pasien
masih belum BAB, namun flatus (+) dan sudah bisa ke kamar mandi
sendiri. Demam (-), mual (-), muntah (-).
O: KU: baik Lab 8/10
Kesadaran : Composmentis Hb 5,4 g/dL
TD : 98/77 Ht 20 g/dL
Eri 2,3 x 106 /L
Nadi : 86 x/menit
Tr 124 x 103/L
RR : 20 x/menit
L 8,4 x 103/L
Suhu : 36,5 ⁰C
Payudara: normal, hiperemis (-), inverted nipple (-), ASI (-)
TFU: setinggi pusat, kontraksi (+)
Perdarahan: sulit diobservasi pasien tidak menggunakan pampers
Vulvovagina: tenang, hiperemis (-)
A : P3A0 post partum aterm spontan dengan perdarahan post partum
lambat e.c susp. sisa plasenta, anemia gravis
P : IVFD NaCl 0,9% 20 tpm makro
Transfusi PRC kolf III (225 cc)
Injeksi Ceftriaxone 3 x 1 g IV
Rencana kuretase setelah perbaikan keadaan umum
10 Oktober 2019 S: Pasien mengeluhkan
08.30 O: KU: baik
Kesadaran : Composmentis
TD : 96/73 mmHg
Nadi : 80 x/menit
RR : 22 x/menit
Suhu : 36,3 ⁰C
Payudara: normal, hiperemis (-), inverted nipple (-), ASI (-)
TFU: setinggi pusat, kontraksi (+)
Perdarahan: sulit diobservasi pasien tidak menggunakan pampers
Vulvovagina: tenang, hiperemis (-)
A : P3A0 post partum aterm spontan dengan perdarahan post partum
lambat e.c susp. sisa plasenta, anemia gravis
P : IVFD NaCl 0,9% 20 tpm makro
Injeksi Ceftriaxone 3 x 1 g IV
Rencana kuretase
10 Oktober 2019 S: Pasien persiapan kuretase di OK Cito. Saat ini tidak ada keluhan
10.30 namun pasien sempat khawatir.
O: KU: baik Lab 10/10
Kesadaran : Composmentis Hb 6,7 g/dL
TD : 114/82 mmHg Ht 20,1 g/dL
Pasien berumur 28 tahun, dengan P3A0 post partum aterm spontan dengan perdarahan
post partum dini e.c retensio plasenta, anemia gravis
b. Pemeriksaan Fisik
· KU/Kes : Letargis/Somnolen
· TD : 85/41 mmHg
· Nadi : 143 x/menit teraba lemah
· Suhu : 36 oC
· Pernafasan : 30 x/menit
· Mata : konjungtiva anemis +/+
· Ekstremitas : akral dingin, CRT > 2 detik
Pemeriksaan Obstetri :
TFU : 22 cm (2 jari diatas pusat)
Kontraksi :-
Vulvovagina: tampak tali pusat keluar dari ostium vagina
Ø : 4 cm
c. Diagnosis : P3A0 post partum aterm spontan dengan syok hipovolemik e.c
perdarahan post partum dini e.c retensio plasenta, anemia gravis
- Tatalaksana yang dilakukan pada pasien ini di RSUD Kabupaten Bekasi sudah
seusuai dengan kepustakaan yaitu ketika kala III sudah lebih dari 30 menit namun
plasenta belum lahir langsung dilakukan manual plasenta. Ketika pada pasien
terjadi syok karena perdarahan segera diberikan loading cairan dan cari sumber
perdarahan tersebut.
- Pemberian tranfusi sudah sesuai indikasi yaitu pada pasien Hb kurang dari 7 g/dL.
- Pasien dilakukan kuretase 3 hari post partum karena kecurigaan terdapat sisa
plasenta. Hal ini dilakukan karena pada saat masa perawatan pasien masih terjadi
perdarahan dan proses involusi uterus terhambat (tinggi fundus setinggi pusat,
kontraksi lemah).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Perdarahan post partum merupakan penyebab kematian ibu tertinggi di Indonesia
Diagnosa secara dini dan penatalaksanaan perdarahan post partum yang baik
membantu penatalaksanaan secara dini sehingga dapat mengurangi angka mortalitas.
Apabila sudah didapatkan pemanjangan kala III segera lakukan manual plasenta.
Apabila masih terdapat sisa plasenta dalam uterus ibu ditandai dengan adanya
perdarahan yang sedikit-sedikit namun sering dan juga subinvolusi uters segera
lakukan kuretase
5.2 Saran
Pada kasus Perdarahan post partum diperlukan observasi tanda vital ibu secara ketat
Jika terjadi perdarahan post partum harus dilakukan penanganan sesegera mungkin.
Bila perlu harus melakukan rujukan ke Rumah Sakit yang memiliki fasilitas yang
lengkap seperti ruang operasi dan tranfusi darah.
Sebagai tenaga kesehatan harus bisa mendiagnosis dan juga menangani
kegawatdaruratan perdarahan post partum
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap III LC, Wenstrom
KD. Uterine Leiomyomas. In : Williams Obstetrics. 24ndedition. Mc Graw-Hill. New
York : 2016
2. Sheris j. Out Look : Kesehatan ibu dan Bayi Baru Lahir. Edisi Khusus. PATH. Seattle :
2012
3. Johanes C. Mose. Gestosis, dalam Obstetri Patologi Ilmu Kesehatan Reproduksi, Fakultas
Kedokteran Universitas Padjajaran. Edisi 2. EGC. Jakarta: 2017.
4. Sarwono Prawirohardjo. Ilmu Kebidanan. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo..
Jakarta. 2011.522
5. Fakultas Kedokteran UNPAD. Obstetri Patologi. Ilmu Kesehatan Produksi. Edisi 2.
Jakarta : EGC. 2017.
6. Mochtar, Rustam. Sinopsis Obstetri : Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi Jakarta : EGC,
2017
7. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadi T. Perdarahan Post Partum. Dalam : Ilmu
Bedah Kebidanan. Edisi 3. Jakarta : YBP-SP. 2011.
8. Fakultas Kedokteran UNPAD. Obstetri Fisiologi. Ilmu Kesehatan Produksi. Edisi 2.
Jakarta : EGC. 2017.50p.
9. Available at http//www.jurnaldokter.com. Kala3. Tahap Pengeluaran Plasenta.Accessed
on August 20, 2011