Anda di halaman 1dari 18

JOURNAL READING

* Program Profesi Dokter / G1A222023 / Juni 2023


** Pembimbing / dr. Yunaldi, Sp. THT-KL, dr. Havis Ramli, Sp. THT-KL

RINOSINUSISTIS KRONIK: DIAGNOSIS HINGGA PROGNOSIS

Naila Fatiya Syafli, S. Ked *


dr. Yunaldi, Sp. THT-KL **
dr. Havis Ramli, Sp.THT-KL**

PROGRAM PROFESI DOKTER


BAGIAN THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2023
HALAMAN PENGESAHAN

RINOSINUSISTIS KRONIK: DIAGNOSIS HINGGA PROGNOSIS

Oleh:
Naila Fatiya Syafli, S. Ked
G1A222023

Sebagai salah satu tugas di Program Profesi Dokter


Bagian THT-KL
2023

Jambi, Juni 2023


Pembimbing

dr. Havis Ramli, Sp.THT-KL

ii
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpah
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Clinical Science
Session yang berjudul “Rinosinusistis Kronik: Diagnosis Hingga Prognosis”
sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Program Profesi Dokter di Bagian
THT-KL di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi. Pada
kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada dr. Yunaldi,
Sp.THT-KL, dr. Havis Ramli, Sp.THT-KL yang telah bersedia meluangkan waktu
dan pikirannya untuk membimbing penulis selama menjalani Program Profesi
Dokter di Bagian THT-KL di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher
Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada pembahasan
jurnal ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan telaah jurnal ini. Penulis mengharapkan semoga telaah jurnal
ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Jambi, Juni 2023

Naila Fatiya Syafli, S. Ked

iii
RINOSINUSISTIS KRONIK: DIAGNOSIS HINGGA PROGNOSIS

Ferium Trah Ismaya1 , Eka Arie Yuliyani2

1. Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas


Mataram
2. Departemen THT-KL, Fakultas Kedokteran, Universitas Mataram

ABSTRAK
Epitel traktus respiratorius merupakan titik utama interaksi antara organisme
hidup dan lingkungannya. Epitel traktus respiratorius berperan penting dalam
proses terjadinya penyakit dan gangguan pada saluran pernafasan. Salah satu
penyakit yang dapat terjadi akibat kerusakan Epitel ini adalah rinosinusitis
kronik (RSK). RSK secara umum diartikan sebagai suatu keadaan klinis berupa
peradangan persisten pada mukosa hidung dan sinus paranasal, yang
berlangsung selama 12 minggu atau lebih. RSK dapat terjadi akibat adanya
abnormalitas pada faktor host dan lingkungan. Secara umum diagnosis RSK
dapat ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Terdapat 2 modalitas utama dalam tatalaksana RSK
yakni tatalaksana medikamentosa dan intervensi pembedahan. Berbagai
komplikasi dapat ditimbulkan jika tidak ditangani dengan tepat meliputi
komplikasi orbita, endocranial, dan tulang. Prognosis RSK dipengaruhi oleh
ketepatan dan kecepatan dalam proses diagnosis dan pemberian tatalaksana.

Keywords: rinosinusitis kronik; peradangan, sinus paranasal

PENDAHULUAN
Epitel traktus respiratorius merupakan titik utama interaksi antara organisme
hidup dan lingkungannya. Oleh sebab itu, epitel ini memiliki fungsi protektor
dan adaptif yang menjadikannya berfungsi sebagai barrier (penghalang) bagi
fakto – faktor lingkungan yang membahayakan organisme hidup. Epitel traktus
respiratorius berperan penting dalam proses terjadinya penyakit dan gangguan
pada saluran pernafasan (1).

1
Rinosinusitis kronis (RSK) adalah contoh penting dari penyakit tersebut.
Penyakit ini adalah merupakan penyakit gabungan dari sinusitis dan rinitis yang
timbul secara bersamaan. RSK secara umum dapat diklasifikasikan menjadi 2
yakni RSK primer dan RSK sekunder. Perbedaan keduanya terletak pada
penyebab utama terjadinya RSK. Meskipun diperkirakan prevalensi mencapai
16% di antara populasi umum di Amerika Serikat, RSK tetap merupakan
penyakit yang sering ditemui pada praktik dan cukup sulit ditangani dengan
berbagai pilihan terapi (2). Kendati demikian, RSK dapat memiliki prognosis
yang baik jika cepat melakukan identifikasi jenisnya dan diterapi dengan tepat
dan cepat (1). Oleh karena itu sangatlah penting bagi masyarakat terutamanya
para tenaga medis untuk memahami tentang RSK sehingga dapat melakukan
pencegahan ataupun tatalaksana yang sesuai untuk mengatasi permasalahan ini.

DEFINISI
Rinosinusitis kronik (RSK) secara umum diartikan sebagai suatu keadaan klinis
berupa peradangan persisten pada mukosa hidung dan sinus paranasal, yang
berlangsung selama 12 minggu atau lebih (3). Berdasarkan European Position
Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) 2020, rinosinusitis kronik
adalah suatu inflamasi kronis pada hidung dan sinus paranasalis dengan
memenuhi dua atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung tersumbat atau
kongesti atau sekret hidung, dan dapat disertai rasa nyeri atau tekanan pada
wajah, penurunan atau hilangnya penciuman dan dapat disertai dengan gambaran
endoskopi berupa polip hidung, dan atau sekret mukopurulen terutama berasal
dari meatus media dan atau edema atau obstruksi mukosa terutama pada meatus
media serta adanya gambaran CT-scan berupa perubahan mukosa dalam
kompleks ostiomeatal (KOM) dan atau sinus yang terjadi selama lebih dari 12
minggu (4).

EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian RSK secara umum cukup besar diseluruh dunia. Prevalensi
RSK di Amerika Serikat sekitar 13-16% pertahun dengan angka kunjungan
dokter yakni 13 juta kunjungan/tahun (2). Selain itu, penelitian juga dilakukan di

2
beberapa negara lainnya dengan hasil 28% di Iran, 16% di Belanda, 10 – 15% di
Eropa, 11% di Korea Selatan, 8% di China, dan 5,5% di Brasil (1,4). Di
Indonesia sendiri kasus RSK juga banyak ditemui, menurut penelitian yang
dilakukan di poliklinik THT-KL RSUP Dr M Djamil Padang tahun 2012
didapatkan 63 kasus RSK. Dari banyaknya kasus RSK Sebagian besar
didominasi pada kelompok usia 46-55 tahun (22,22%) dan lebih banyak terjadi
pada perempuan (60,32%) (2,5)

KLASIFIKASI
Rinosinusitis kronik dapat diklasifikasikan menjadi 2 yakni RSK primer dan
RSK sekunder. RSK primer adalah RSK yang disebabkan karena terjadinya
inflamasi di daerah rongga hidung, sinus paranasal atau mukosa saluran napas.
Sedangkan RSK sekunder adalah RSK yang penyebabnya bukan berasal dari
inflamasi rongga hidung maupun sinus paranasal. RSK primer dan sekunder
masing-masing dapat dikelompokkan lagi berdasarkan keterlibatan distribusi
anatominya, dominasi endotipe dan gambaran fenotipe (3).

Gambar 1. Klasifikasi Rinosinusitis Primer

3
Gambar 2. Klasifikasi Rinosinusitis Sekunder

ETIOLOGI
RSK merupakan kumpulan gejala atau sindroma dengan etiologi multifaktorial
yang dihasilkan dari interaksi disfungsional antara faktor lingkungan dan faktor
host (sistem imun pasien). Beberapa patogen dipercaya berkontribusi dalam
terjadinya RSK diantaranya jamur (pada kasus yang sulit disembuhkan),
Staphylococcus aureus karena dapat meningkatkan resistensi akibat
pembentukan biofilm, dan ketidakseimbangan mikroba. Berbagai mikroba
abnormal dan patogen tersebut dapat menyebabkan peradangan pada area rentan
secara anatomi. Selain itu, faktor host berupa sistem imunitas pasien juga
memegang peran penting dalam terjadinya RSK. Penelitian terbaru juga
menyebutkan terdapat hubungan antara genetik tertentu terhadap terjadinya RSK
(3).

PATOFISIOLOGI
Patofisiologi yang mendasari terjadinya RSK adalah interaksi antara faktor
lingkungan dan host (sistem imunitas pasien), dimana nantinya dapat
mempengaruhi dominasi endotipe. Endotipe adalah keadaan spesifik yang
dimiliki pada masing-masing individu meliputi peningkatan IgE, IL-4, eosinofil,
dan periostin. Endotipe ini yg akan mengakibatkan proses perubahan komposisi
dan struktur jaringan normal pada mukosa hidung dan sinus paranasal

4
(remodelling) karena pengaruh stress, seperti inflamasi kronik. Remodelling
saluran napas adalah proses fluktuatif antara akumulasi dan penghancuran
matriks ekstraseluler. Proses tersebut dapat menghasilkan suatu rekonstruksi
terhadap kerusakan jaringan yang penting dalam proses recovery luka. Inflamasi
kronik pada mukosa saluran napas menyebabkan remodelling mukosa dengan
gambaran berupa proliferasi epitel, hiperplasia sel goblet, ketidakseimbangan
antara penumpukan dengan penghancuran kolagen sehingga menghasilkan
penebalan lapisan membran basalis, infiltrasi sel-sel inflamasi dan pembentukan
pembuluh darah baru seperti pada RSK yang digambarkan sebagai fenotipe
berupa gambaran klinis yang ditentukan berdasarkan gejala, hasil pemeriksaan
nasoendoskopi dan CT-scan hidung dan sinus paranasal (3).

Gambar 3. Patofisiologi Rinosinusitis Kronik


Rinosinusitis kronis sering dihubungkan dengan berbagai penyakit lainnya
seperti asma, PPOK, N-ERD (NSAIDs-exacerbated respiratory disease), GERD
(Gastrooesophageal reflux disease), dan hipogamma globulinemia (1,4).
Penyakit – penyakit tersebut dapat menyebabkan obstruksi kompleks
osteomeatal (KOM), dimana hal ini seringkali menjadi titik awal terjadinya
penyakit sinus karena infeksi akibat tekanan negatif di sinus yang dapat
merangsang produksi mukus dan retensi di rongga sinus (6). Kegagalan aliran
mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan penyebab utama
berkembangnya penyakit rinosinusitis. Inflamasi yang terjadi di mukosa hidung
akan memicu terjadinya pembengkakan dan eksudasi yang dapat mengakibatkan
obstruksi pada ostium sinus. Obstruksi tersebut akan mengakibatkan terjadinya
gangguan ventilasi, drainase dan resorpsi oksigen dirongga sinus yang berujung

5
pada hipoksia sehingga akan menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler
dan sekresi kelenjar. Efek berulang dari adanya transudasi dan peningkatan
eksudasi serosa ditambah dengan penurunan fungsi silia akan menyebabkan
retensi sekresi di sinus. Stasis sekresi didalam sinus dapat dipicu oleh obstruksi
mekanik dari edema mukosa yang diakibatkan oleh berbagai macam etiologinya.
Stagnansi mukus dalam sinus menjadi media perkembangbiakan patogen yang
baik. Pada saat respons inflamasi terus berlanjut dan diikuti dengan infeksi yang
terus menerus, respon bakteri mengambil alih lingkungan sinus (4,6,7)

Gambar 4. Siklus Penyakit Sinus

DIAGNOSIS
Penyakit RSK dapat ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis dapat ditanyakan gejala klinis yang
mengarah ke diagnosis RSK meliputi dua atau lebih gejala, yang salah satunya
berupa hidung tersumbat/kongesti/beringus, disertai nyeri/rasa tertekan pada
wajah atau berkurangnya kemampuan menghidu atau tidak dapat mencium bau,
yang berlangsung lebih atau sama dengan 12 minggu. Setelah anamnesis, dapat
dilanjutkan ke pemeriksaan fisik yang meliputi rinoskopi anterior,
nasoendoskopi, dan endoskopi. Pemeriksaan mengarah ke RSK jika ditemukan
gambaran polip hidung, dan/atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus
media, dan/atau pembengkakan atau obstruksi primer pada meatus medius (3).
Untuk memastikan diagnosis RSK dapat dilakukan pemeriksaan penunjang

6
berupa pemeriksaan foto rontgen konvensional, CT-scan Sinus Paranasal dan
MRI (Magnetic Resoonance Imaging), dimana CT-scan merupakan gold
standard untuk mengevaluasi penyakit pada hidung sekaligus dapat membantu
dalam mengevaluasi keadaan patologis atau variasi anatomi di KOM serta
memudahkan dalam mengidentifikasi proses erosif dan gangguan tulang. Dalam
proses penilaiannya dapat digunaan skor LundMackay yang telah divalidasi
dalam menilai perubahan inflamasi atau derajat kekeruhan di sinus paranasal
(4,8,9). Pemeriksaan MRI diperlukan untuk meningkatkan spesifisitas diagnosis
dari massa mencakup perluasan dari massa, penyebaran lokal ke dalam struktur
yang berdekatan, serta menilai ada tidaknya keterlibatan dari saraf karena tumor.
Jika dalam pemeriksaan ditemukan massa pada hidung, maka dapat dilanjutkan
dengan pemeriksaan histopatologi (10,11).

TATALAKSANA
Penatalaksanaan awal pada kasus RSK adalah dengan pemberian
medikamentosa, kemudian jika keadaan pasien tidak membaik dan RSK terus
terjadi dengan gejala berat dan persisten maka tindakan pembedahan dapat
menjadi pilihan. Terapi medikamentosa yang dapat diberikan antara lain steroid
oral, steroid intranasal dan irigasi nasal salin. Apabila pemberian steroid nasal
dan salin tidak memberikan respons yang baik, maka perlu dilakukan
pemeriksaan CT-scan dan pemeriksaan endotyping RSK.
Pada kasus RSK dengan pemberian medikamentosa tidak didapatkan perbaikan
maka dapat dilakukan intervensi bedah (4,12). Di antara berbagai modalitas,
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) merupakan salah satu teknik bedah
pilihan. Prosedur BSEF ini dapat dikombinasikan dengan terapi medikamentosa
untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Tujuan dari prosedur BSEF ini adalah
membuang jaringan polip di hidung dan sinus dengan memperhatikan struktur
anatomi dan mukosa sinonasal agar terjaga serta pemulihan kembali ventilasi dan
drainase sinus melalui pembedahan minimal invasif hingga pengangkatan
lengkap mukosa sinus patologis (4,12,13)

7
Gambar 6. Alur Pelayanan Pasien Rinosinusitis Kronik

Gambar 7. Tatalaksana Rinosinusitis Kronik Difus

8
KOMPLIKASI
Komplikasi RSK dapat diklasifikasikan menjadi komplikasi orbita, endocranial,
dan osseous (tulang). Komplikasi orbita meliputi selulitis preseptal, selulitis
orbita, abses superiosteal, abses orbita, dan thrombosis sinus kavernosus.
Sedangkan komplikasi endocranial terdiri atas abses epidural, abses subdural,
abses otak, meningitis, serebritis, dan thrombosis sinus kavernosus. Terdapat
juga komplikasi osseus berupa infeksi sinus yang meluas menjadi osteomyelitis.
Selain ketiga komplikasi tersebut, terdapat komplikasi lainnya yang diakibatkan
karena tindakan pembedahan sinus endoskopi fungsional (BSEF) antara lain
kebocoran cairan serebrosinal, infeksi intracranial, pneumocephalus, dan cedera
arteri karotis interna (3).

PROGNOSIS
Prognosis rinosinusitis dapat ditentukan dengan mengidentifikasi endotype
RSK. Semakin baik proses identifikasi endotype RSK makan akan semakin
memudahkan penatalaksanaan yang efektif dengan target terapi lebih terarah dan
hasil yang relatif lebih baik. Endotipe RSK dengan patologi lokal akan berbeda
dengan endotipe mekanik, inflamasi ataupun autoimun. Selain itu, kadar
eosinofil juga dianggap sebagai salah satu penanda inflamasi yang dapat juga
dijadikan acuan prognosis pada RSK. Kasus RSK dengan jumlah eosinofil yang
cukup tinggi dianggap akan prognosis yang kurang baik (3).

KESIMPULAN
Rinosinusitis kronik (RSK) secara umum diartikan sebagai suatu keadaan klinis
berupa peradangan secara terus menerus pada mukosa hidung dan sinus
paranasal, yang berlangsung selama 12 minggu atau lebih. RSK dapat
disebabkan oleh interaksi antara faktor lingkungan dan host. Diagnosis RSK
dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Setelah diagnosis ditegakkan RSK dapat ditatalaksana dengan
medikamentosa, intervensi bedah, atau kombinasi keduanya. Prognosis RSK
bergantung pada ketepatan dan kecepatan identifikasi endotype dan kadar
eosinofil. Semakin cepat teridentifikasi dan semakin rendah kadar eosinofilnya

9
maka akan memberikan prognosis yang relatif baik.

10
DAFTAR PUSTAKA

1. Fokkens WJ, Lund VJ, Hopkins C, Hellings PW, Kern R, Reitsma S,


et al. Executive summary of EPOS 2020 including integrated care
pathways. Rhinology. 2020;58(2):82–111.
2. Budiman BJ, Irfandy D, Yolazenia Y. Biofilm Bakteri pada Penderita
Rinosinusitis Kronis. J Kesehat Melayu. 2018;1(2):106.
3. Kemenkes RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor Hk.01.07/Menkes/1257/2022 Tentang Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Rinosinusitis Kronik. 2022.
4. Ninla Elmawati Falabiba. Watkinson J, editor. Scott-Brown
Otorhinolaryngology Head and neck surgery Volume 1. eigth edit.
2019. 1025–1035 p.
5. Irfandy D, Ambriani D, Vitresia H. Penatalaksanaan
Multirinosinusitis Kronis dengan Komplikasi Abses Subperiosteal
Sinistra. J Kesehat Andalas. 2021;9(4):466.
6. Heath J, Hartzell L, Putt C, Kennedy JL. Chronic Rhinosinusitis in
Children: Pathophysiology, Evaluation, and Medical Management.
Curr Allergy Asthma Rep. 2018;18(7).
7. Schleimer RP. Immunopathogenesis of Chronic Rhinosinusitis and
Nasal Polyposis. Annu Rev Pathol Mech Dis. 2017;12(November
2016):331– 57.
8. Nikkerdar N, Eivazi N, Lotfi M, Golshah A. Agreement between
cone-beam computed tomography and functional endoscopic sinus
surgery for detection of pathologies and anatomical variations of the
paranasal sinuses in chronic rhinosinusitis patients: A prospective
study. Imaging Sci Dent. 2020 Dec;50(4):299–307.
9. Fraczek M, Masalski M, Guzinski M. Reliability of computed
tomography scans in the diagnosis of chronic rhinosinusitis. Adv Clin
Exp Med. 2018;27(4):541–5.
10. Azgaonkar SP, Dutta M, Kudalkar UN, Das S, Sinha R. The
Anatomic Variations of the Nose and Paranasal Sinuses and Their

11
Effect on Chronic Rhinosinusitis in Adult Patients. Indian J
Otolaryngol Head Neck Surg. 2020;
11. Whyte A, Boeddinghaus R. Imaging of adult nasal obstruction. Clin
Radiol. 2020;75(9):688–704.
12. Bailey’s Head and Neck Surgery Otolaryngology. In: Bailey’s Head
& Neck Surgery Otorinolaryngology. 2014. p. 359–70.
13. Jankowski R, Rumeau C, Gallet P, Nguyen DT. Nasal polyposis (or
chronic olfactory rhinitis). Eur Ann Otorhinolaryngol Head Neck Dis
[Internet]. 2018;135(3):191–6
14.

12
JOURNAL REVIEW

Judul Jurnal Unilateral Recurrent Central Serous


Chorioretinopathy (CSCR) Following COVID-19
Vaccination- A Multimodal Imaging Study
Latar Belakang Pandemi Corona virus disease−19 (COVID-
19) telah merugikan kesehatan dan keuangan
global dengan kematian melebihi lebih dari 3,3
juta di seluruh dunia.1 Untuk memerangi
pandemi, vaksin telah dikembangkan untuk
mengatasi keadaan darurat kesehatan global ini.
Vaksin COVID-19 telah disetujui untuk
penggunaan darurat di berbagai negara.
Efek samping okular yang diamati setelah
pemberian vaksin COVID-19 termasuk
episkleritis, skleritis, uveitis anterior,
neuroretinopati makula akut, paracentral acute
middle maculopathy, korioretinopati serosa
sentral (CSCR), trombosis vena oftalmik, Vogt
koyanagi Harada (VKH), acute zonal occult outer
retinopathy (AZOOR), koroiditis multifokal,
arteritic anterior ischemic optic neuropathy
(AAION), non- arteritic anterior ischemic optic
neuropathy (NA-AION), Graves disease,
kelumpuhan saraf kranial seperti kelumpuhan
nervus fasialis atau abdusen, acute zoster
ophthalmicus (HZO), nekrosis retina akut, dan
multiple evanescent white dot syndrome
(MEWDS).2–13
CSCR telah melaporkan terkait vaksin covid-
19 Pfizer-BioNTechTM mRNA (BNT162b2),

13
Sinopharm™ vaksin covid-19 yang tidak aktif,
dan vaksin covid-19 Astra Zeneca™.2 – 5
Kami melaporkan kasus pertama CSCR akut
unilateral berulang setelah pemberian vaksin
Covishield™, Vaksin Rekombinan Virus Corona
ChAdOx1 nCoV-19.14
Tujuan Melaporkan kasus unik korioretinopati serosa
sentral berulang setelah mendapatkan dosis
kedua vaksin COVID- 19
Metodologi Case Report
Pasien dimulai dengan pemberian eplerenone
oral 50 mg sekali sehari dilanjutkan dengan
pendampingan aktivitas.
Pasien tidak tertarik pada laser fokus dan juga
fakta bahwa dia memiliki kebocoran multifokal
itu tidak dianggap sebagai pilihan.
Pada follow up 1 bulan, foto fundus berwarna
menunjukkan elevasi macula teratasi (Gbr. 2
A), dengan BCVA membaik menjadi 20/20
dengan pengobatan eplerenone dan ada
penurunan yang signifikan dalam SRF pada SD-
OCT (Gambar. 2B). Ketebalan pusat makula
telah berkurang ke 296μm. OCTA (Gambar.2 C
(1 – 4) menunjukkan penurunan dari shadow
effect dengan proyeksi choriocapillaris (CC)
pada retina luar karena pengurangan cairan
(Gambar.2 C4). Namun hanya ada sedikit
artefak proyeksi yang terlihat. Membran
neovaskular koroid tidak terlihat.
Eplerenone oral dilanjutkan selama 1 bulan lagi.
Pada follow up 2 bulan, ada penyelesaian
lengkap dari detasemen. Detasemen epitel
pigmen masih ada.
Enam minggu kemudian, dia melakukan vaksin
dosis kedua dari COVISHIELD™ dan dan
mengalami sakit yang parah pada hari yang
sama dan penglihatan kabur 3 hari kemudian.
Evaluasi okular mengungkapkan ketajaman
visual terkoreksi terbaik (BCVA) sebesar 20/20
OD dan 20/30 di OS. Evaluasi segmen anterior
dari kedua mata dalam batas normal.
Pemeriksaan segmen posterior dari OS
menunjukkan CSCR ( Gambar. 3 A).

14
Setelah vaksinasi dosis kedua, SD-OCT OS
menunjukkan NSD yang lebih kecil ( Gambar.
3B ) dan beberapa pigment epithelial
detachments (PEDs) pada makula.
Pada presentasi ini, pasien tidak tertarik pada
FFA/intervensi dan mengamati karena
gejalanya tidak separah presentasi pertama.
Pasien kemudian hilang untuk ditindaklanjuti.
Hasil Covishield™ memiliki peran kausal yang
terbukti dalam CSCR dan mungkin hanya
peristiwa temporal. CSCR biasanya merupakan
kondisi yang sembuh sendiri, tetapi mungkin
memerlukan perawatan dengan eplerenone
oral/focal laser jika diperlukan resolusi yang
lebih cepat
Kesimpulan Kami ingin menyimpulkan dengan menyatakan
bahwa Covishield™ memiliki peran kausal
yang terbukti dalam CSCR dan mungkin hanya
peristiwa temporal. CSCR biasanya merupakan
kondisi yang sembuh sendiri, tetapi mungkin
memerlukan perawatan dengan eplerenone
oral / focal laser jika diperlukan resolusi yang
lebih cepat seperti pada pasien kami. Pekerjaan
sistemik dan penilaian kepribadian Tipe A
mungkin diperlukan dalam kasus-kasus tertentu.

15

Anda mungkin juga menyukai